Sejak resminya statusku diumumkan rasanya semakin gencar gosip yang beredar di antara karyawan hotel. Nyaris semua divisi bercerita tentangku, aneka rupa tanggapan mereka. Ada yang menganggapku pelakor yang mengincar harta keluarga Sanjaya ada pula yang menganggap aku sedang beruntung saja.
“Jangan terlalu dipikirkan Rin, semua omongan mereka akan berhenti dengan sendirinya jika mereka sudah melihat kerja kerasmu.” Hibur Kartika yang melihatku muram setelah jamuan makan malam tempo hari.
“Aku hanya sedang memikirkan Ibu Sanjaya, keadaan beliau semakin melemah. Aku belum siap rasanya untuk kehilangan beliau.” Kilahku.
“Oh ya Tika, aku bisa minta tolong gak ? minta sama siapa gitu belikan aku asinan Bogor. Tolong yaa? “ aku memasang wajah memelas pada asisten pribadiku ini.
“Iya bumil, siap laksanakan perintah!” seru Kartika dengan wajah ceria sambil menaikkan jemarinya hormat. Aku mencubit lengannya pelan. Dia pun segera menghilang di balik pintu. Kehamilanku ini sungguh membuatku jadi sensitif, mudah marah tapi seketika mudah ceria lagi. Di samping itu badanku juga cepat lelah hingga aku mengurangi sedikit aktifitasku untuk memantau langsung setiap divisi hotel ini.
Aku menunggu asinan Bogor yang dibawa Kartika di dekat taman hotel, ini adalah tempat favoritku jika sedang butuh udara segar dan melepas penat. Beberapa orang staf hotel sedang menikmati makan sisang mereka di bangku taman. Mereka tidak menyadari keberadaanku dan obrolannya terdengar jelas di tempatku yang agak terlindung oleh bunga bougenville.
“Dengar-dengar bos baru kita si pelakor berkelas itu sedang hamil. Wiiih cepet amat yaa?”
Aku mempertajam pendengaranku lagi, meski ada bara yang sedang menyala di dadaku.
“Iya gosipnya siih gitu, aku dengar Kartika lagi pesan asinan Bogor buat bu bos, kesukaan orang ngidam tuuh.”
“Eeh … eeh … eehh.. pak Sanjaya kan udah tua tuh yaa umurnya kan udah setengah abad lebih, ternyata masih joss juga yaa ? baru nikah langsung isi aja tuh bu bos.”
“Ellleehh … paling kasih DP duluan, jadi gak heran kalo sekarang hamil dan jadi General Manager pula. Kasian ibu Sanjaya.”
Mataku memanas dengan semua omongan mereka, aku geram dengan hidupku yang menjadi makanan empuk gosip mereka.
“Kalian tuuh yaa hobi banget omongin orang kayak udah bener aja!” hardik Kartika yang ternyata sudah dari tadi mendengar obrolan para staf divisi Food And Beverage tempatku dulu memulai karir dari nol.
“Kalau gak tahu kebenarannya gak usah ngomong macem-macem!” semprot Kartika lagi dengan emosi.
“kamu kan asisten pribadinya bu bos jadi wajarlah kamu belain dia. Kamu juga dapat bagi hasil kan dari pelakor itu ? buktinya jabatan kamu naik kayak roket.”
Mereka pun ramai-ramai mencibir Kartika dan membubarkan diri. Kartika tampak menahan tangis karena dia tahu aku ada tak jauh dari mereka.
“Ini asinannya Rin, sorry lama anak OB yang beliin kamu kena macet.” Dia menyodorkan sekotak asinan itu dengan wajah yang menahan kesedihan.
“Sudahlah Tika, jangan diambil hati. Mereka wajar ngomong begitu karena posisiku yang tiba-tiba naik seperti ini. Ditambah kehamilanku yang memang sangat cepat orang pasti curiga kalau aku …,” aku pun tak melanjutkan perkataanku.
“Makan bareng aku yaa?” tawarku pada kartika untuk mengubah suasana. Kartika menggeleng dan menarik napas panjang berkali-kali untuk menenangkan diri.
“Asinannya enaaaak banget Tika, hhhmmmhhh … .” aku tidak sedang akting, aku sangat takjub dengan rasa asinan yang biasanya aku tolak karena tidak terlalu menyukainya.
“Selamat menikmati Bumil.” Senyum Kartika telah kembali. Dan yaa … inilah kehidupan yang kami jalani saat ini. Menguatkan hati mendengar omongan orang yang setajam silet.
Monitor komputerku masih menyala memperlihatkan berbagai angka-angka dalam kolom. Aku sedang mempelajari laporan-laporan dari semua divisi yang tentu saja dibantu oleh pak Andy. Ketuak di pintu terdengar dan pak Andy masuk dengan beberapa brosur di tangannya.
“Ini brosur perguruan tinggi yang kamu minta. Ada yang di dalam negeri sampai di luar negeri.”
“Terima kasih aku akan melihatnya nanti.”
Kartika melihat brosur itu dan bertanya dengan nada kekhawatiran.
“Maaf Bu, Ibu kan sedang hamil, yakin Ibu bisa kuliah sambil kerja di tengah sikon Ibu seperti ini?”
Pak Andy terperanjat kaget, dia memang belum tahu keadaanku yang tengah berbadan dua.
“Ka-kamu hamil Airin?” matanya membulat, aku bisa menduga jika dia curiga aku hamil anaknya Ariel. Kartika seketika menutup mulutnya karena tersadar dia baru saja kelepasan bicara.
“Iya, aku sedang hamil, kurasa pak Andy sudah tahu karena kencangnya angin gosip yang mengabarkan itu.” Jawabku santai.
“Anda tidak perlu terkejut seperti itu kan pak Andy ? aku wanita bersuami dan wajar jika aku sedang hamil sekarang.” Aku menatapnya dengan tatapan percaya diri.
“Kartika, tinggalkan kami.” Perintah pak Andy pada asisten pribadiku.
Kartika segera meninggalkan ruangan dan menutup pintu dengan rapat.
“Anak itu anak Ariel kan?” pak Andy mencoba memastikan hal itu.
“Bukan, anak ini anak suamiku pak Sanjaya. Lagi pula ini bukan urusan anda pak Andy.”
“Ini urusanku juga Airin, ingat Ariel itu adikku, otomatis pak Sanjaya juga pamanku. Tapi sepertinya kamu belum tahu banyak tentang pak Sanjaya.”
“Apa pedulimu pak Andy ? ini urusan pribadiku, kehamilanku ini tak lantas membuatmu bersikap seakan kau juga memiliki anak ini.”
“Aku mencintaimu Rin, itu masalahnya. Aku belum bisa beranjak dari perasaanku yang sudah bertahun ini darimu. Jangan pura-pura kamu tidak tahu itu!” desis pak Andy di dekat telingaku dengan emosi yang tertahan.
Aku terkejut, dan menjauh darinya beberapa langkah dan memalingkan wajahku darinya. Aku mengepalkan jariku untuk menahan perasaanku yang kacau ini.
“Lupakan semua itu pak Andy, sekarang semuanya sudah berbeda. Carilah wanita lain.” Ujarku sesaat kemudian.
“Kamu pikir kenapa aku masih ada di Sanjaya Hotel merangkak dari bawahan sampai meraih posisi ini? aku lakukan ini agar kau tetap di sisiku atau aku tetap berada tak jauh darimu. Menjagamu dengan usaha terbaikku meski sekarang kamu sudah menjadi istri pamanku.”
Aku semakin berusaha menguatkan diri dan tetap terlihat tenang. Paling tidak aku masih punya satu lagi pendukung di tempat yang tak banyak berpihak padaku.
“Apalagi sekarang kau sedang mengandung anak Ariel, keponakanku, walaupun cara Ariel biada* untukmu.” Pak Andy melipat tangannya di dada, kalimat terakhir yang dia ucapkan terdengar sendu.
Aku berbalik dan berusaha menegaskan sesuatu.
“Sekali lagi ku tegaskan pak Andy, janin ini milik pak Sanjaya, suamiku yang sah.”
“Yaa, tentu saja anak ini kelak akan tercatat sebagai keturunan Sanjaya Hariguna karena beliau adalah suami yang tercatat di mata hukum tapi bukan sebagai ayah biologisnya.”
Aku memalingkan wajahku kembali karena mataku sudah mulai berembun, ada gejolak di dalam dadaku.
“Sepertinya memang kamu gak tahu banyak tentang pak Sanjaya. Ketahuilah Airin, pak Sanjaya adalah pria mandul yang tidak bisa memberi keturunan. Itulah sebabnya mengapa pasangan Sanjaya itu tidak kunjung memiliki anak.”
Aku tersentak kaget dan rasanya tidak percaya.
“Tapi ibu Sanjaya bilang jika beliaulah yang …,”
Pak Andy melangkah lebih dekat dan jarak di antara kami hanya tiga jengkal saja.
“Ibu Sanjaya wanita yang sangat baik, sangat tulus dan istri yang sangat menjaga nama baik suaminya. Beliau rela menyatakan dirinya lah yang mandul agar nama besar suaminya tidak tercoreng. Demi nama pak Sanjaya. Jadi aku sangat yakin jika janin yang kau kandung adalah hasil perbuatan Ariel.” Pak Andy berlalu dari hadapanku dan sebelum menghilang dia sempat mengatakan sesuatu kepadaku.
“Kita pertimbangkan lagi tentang kuliahmu itu, aku tidak mau kamu terlalu lelah. Aku akan bicarakan ini dengan bapak ibu Sanjaya.”
Aku segera duduk di sofa kenyataan ini seakan menghantam dadaku dengan keras, lalu ku elus perutku yang belum terlihat membesar.
“Kau adalah anak dari keluarga Sanjaya, ayahmu adalah Sanjaya Hariguna, aku yang mengandungmu namun ibumu adalah Andriana Hariguna.”
Air mataku kembali menetes dan kemudian bahuku terguncang, aku sedih dan marah dengan semua yang terjadi padaku.
Aku berjalan beriringan bersama Sandrina, jemari kami saling tertaut dengan erat dan sesekali saling melemparkan tawa kecil ketika Sandrina berceletuk lelucon yang lucu. Jemariku semakin erat bertaut ketika kami sudah ada di ambang pintu kamar perawatan mas Andy. Sejenak kami saling memandang, aku tersenyum padanya dan mengelus kepalanya penuh kasih sayang.“Ayo kita jenguk ayahmu, semoga setelah ada dirimu di sini, Ayah akan sadar dan terbangun untuk kita.”Sandrina mengangguk mendengar ucapanku, lalu aku mendorong pintunya.Di sisi tempat tidur tampak ibuku yang tengah membaca buku, wajahnya mendongak dan berubah menjadi semringah setelah melihat kedatangan kami.“San Sayang …!” serunya dengan suara tertahan, ditutupnya segera buku itu dan bergegas menghampiri cucunya.“Kalian tidak mengabari ibu jika kalian akan datang, kalian tahu jika dokter tidak membolehkan ibu menggunakan ponsel pintar, mereka hanya membolehkan ibu memakai ponsel biasa yang katanya radiasinya lebih aman. Ibu s
Darwis melirikku sesaat dari kaca spion depan, tersirat kecemasan dalam tatapannya kepadaku dan Budi. Lalu aku menoleh pada Budi yang sedang memejamkan matanya, aku merasakan jika anak muda ini tengah meredam semua gejolak dalam hatinya. Perlahan aku meraih tangannya dan melihat buku-buku jemarinya yang memerah dan masih terdapat bercak darah.“Budi, Ariel … dia melompat dari atas balkon, dia mengakhiri nyawanya.” Aku menunggu respon Budi sesaat.“Dia sudah membayar nyawa mamaku dengan lunas ….” gumam Budi yang terdengar pelan di telingaku. Terlihat duka di wajahnya meskipun dari awal berkali-kali dia mengharapkan bisa melenyapkan Ariel dengan tangannya sendiri.“Apa kau baik-baik saja?” tanyaku lagi untuk memastikan, aku tak pernah melihat ekspresi Budi yang sekacau itu.“Aku baik-baik saja, Nyonya. Kurasa kita harus mengkhawatirkan Nona Sandrina.”Aku menghela napas, masih terngiang di telingaku saat Ariel meneriakkan ibu macam apa aku ini, yaah aku mungkin ibu terburuk di dunia. Ak
“Dari awal aku memang telah meragukanmu! Dan memang kau ingin mengacaukan semuanya di saat seperti ini, begitu besarnya dendammu padaku, Airin, hingga kau menghalangiku bersama gadis yang aku cintai!” Cengkraman tangan Ariel semakin kuat dan membuatku semakin tidak bisa bernapas. Dengan sisa-sisa kekuatan yang aku punya, jemariku berusaha menjangkau vas bunga di dekatku dan…Praaak…!Bunyi hantaman vas bunga di kepala Ariel terdengar seiring dengan erangan rasa sakit di kepalanya.“Hanya binatang yang sanggup mengawini keturunannya sendiri dan aku tidak akan membiarkan dirimu menikahi putri kandungmu, Ariel!” bentakku yang hampir menjerit. Aku bergegas mengambil berkas hasil tes DNA Sandrina dan Budi dan melemparkan ke arah wajahnya.“Vasektomi yang kau lakukan itu gagal, kau bukan hanya telah menghamili aku tapi juga seorang perempuan bernama Marcella!”Ariel memegangi kepalanya yang mengucurkan darah, wajah Ariel semakin pucat ketika aku menyebut nama Marcella. Jemarinya gemetar me
Aku meminta Darwis untuk menjemputku di salon, penampilanku hari ini tampil dengan sempurna untuk menghadiri pesta paling kunantikan selama ini. Kejatuhan Ariel! Betapa aku menunggu wajah pucat laki-laki itu ketika dia mengetahui jika bukan hanya Sandrina yang diingkarinya tetapi juga ada seorang anak laki-laki yang sedang menabur dendam padanya.“Anda sudah siap, Nyonya?” tanya Darwis memastikan kondisiku. Jemariku gemetar dan jelas terlihat oleh Darwis. Sesaat dia meraih jemariku dan menggenggamnya erat, mata elangnya menatap ke arahku. Baru kali ini Darwis melakukan kontak fisik denganku yang membuatku sedikit terkejut.“Tarik napas Anda dan bersikaplah lebih rileks, Anda akan baik-baik saja dan aman bersama kami, Nyonya.” Laki-laki itu berusaha menenangkanku dan seakan sedang mentransfer tenaganya aku merasakan kecemasanku berkurang. Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Kemudian Darwis mempersilakan aku untuk naik dengan mobil mempelai perempuan menuju hotel di mana Arie
Aku kembali memastikan jika semua sudah siap, bukan… bukan pesta pernikahan ini, tetapi sesuatu yang lebih “meriah” dari pesta yang luar biasa ini. Malam kemarin aku sudah bertemu dengan Budi dan menanyakan kebenarannya secara langsung. Pemuda yang terlihat kuat, garang dan dingin itu menangis bersimpuh mengingat penderitaan ibunya yang diusir dari rumah orang tuanya karena hamil di luar nikah. Masih sedikit beruntung karena ibunya ditampung oleh pemilik panti sehingga perempuan itu bisa melahirkan dan sempat merawat Budi kecil hingga beberapa tahun.“Waktu itu umurku tujuh tahun, penyakit mama semakin parah, sehingga mama memutuskan untuk membawaku kepada laki-laki itu, menerimaku sebagai putranya. Tapi dia menyangkalnya dan mengatakan jika ibuku adalah seorang jal*ng.” Budi menghela napas, matanya mulai basah, kenangan itu begitu buruk dalam hatinya.“Setelah dia menghina mamaku habis-habisan dengan pongahnya dia mendorong kami ke tepi jalan. Ketika itu malam hujan deras dan mama se
Persiapan pernikahan Sandrina sudah nyaris rampung, aku datang untuk melihatnya meski hanya dari atas balkon hotel ini. Para kru WO hotel bekerja dengan keras dan penuh semangat untuk mewujudkan pernikahan “impian” ini. Walaupun, aku tahu akan berakhir seperti apa nanti pesta yang disebut-sebut sebagai wedding of the year. Aku juga tahu saat ini Rico dan pak Rudy sedang berusaha keras meredam para wartawan yang sudah mencium berita besar ini.Aku sendiri pun merinding jika membayangkan rencana yang akan kulakukan nanti. Semua perhatian sedang tertuju pada pernikahan akbar ini dan aku ibu dari calon mempelai wanita yang akan merusaknya.“Maaf, Bu, ada telepon dari pak Rico, Ibu diminta ke kantor pusat sekarang karena ada meeting penting.” Suara dari Vera sekretaris Sandrina memecah lamunanku.“Ouh … baiklah, tolong siapkan mobilnya,” pintaku pada gadis muda itu. Aku kembali menyapu seluruh ruangan melihat dekorasi yang indah dengan dominasi warna putih dan putih tulang. Indah … indah