Share

Yang tak berhenti berharap

Lagi-lagi aku terbangun di sebuah kamar Rumah Sakit. Infus sudah menancap di punggung lengan kiriku dan rasa lemas itu masih terasa. Ku coba memutar ulang ingatan terakhirku dan yang ku ingat jeritan mba Tias yang melihat darah mengalir di betisku.

“Kamu sudah sadar Rin?” suara lembut pak Sanjaya tertangkap oleh telingaku.  Aku menoleh ke sumber suara yang dekat denganku.

“Ibu saya mana Pak?” aku mencari-cari sosok ibu. Aku ingin bersama ibuku di sini.

“Ibu pulang baru saja pulang nanti siang balik ke sini lagi. Kamu harus banyak istirahat dan tidak boleh stress. Beberapa hari ke depan kamu harus bed rest dulu. Ikuti saran dokter yaa Rin?”

Aku hanya mengangguk, mungkin memang aku butuh istirahat sejenak. Setelah kehilangan sosok ibu Sanjaya aku seperti kehilangan separuh penopang kekuatanku. Lalu ku teringat pada janjiku untuk membawa Sanjaya Hotel menjadi lebih sukses di tanganku. Aku mendesah pelan dan mecoba memejamkan mata. ‘Semua akan baik-baik saja … semua akan baik-baik saja.’ Rapalku dalam hati.

Pak Sanjaya sudah kembali pulang ke rumah gantian dengan ibu yang datang dengan membawa baju tidur serta perlengkapanku. Aku bahkan tidak boleh turun dari ranjang agar tidak banyak pergerakan yang memancing darahku keluar lagi. Dokter bilang anak ini sehat, dia janin yang kuat hanya saja memang shock dan terlalu letih membuatku jadi lemah.

“Ibu bawakan apa yang kamu minta tapi kalau Ibu takut nanti pak Sanjaya tahu bagaimana Nak?”  tanya tanya ibu ragu seraya meletakkan notebook-ku. Aku meminta ibu mengambilnya dari kamarku karena ada beberapa hal penting yang akan ku kerjakan meski harus dari tempat tidur.

“Pak Sanjaya tidak akan tahu jika saya mengambilnya Bu,” pak Andy tiba-tiba muncul dan sudah berdiri di dekat ibu. Aku dan ibu pun terkejut bersamaan.

“Saya akan bawa notebook Airin ke kantor dan tidak akan membiarkan Airin menyentuh pekerjaan kantor sedikitpun sebelum pulih benar.”

Aku melongo saat pak Andy mengambil notebook itu dan menaruhnya di sofa.

“Engh … anu Mas Andy, padahal Ibu sudah kasih tahu Airin lhoo supaya istirahat dulu tapi anak ini ngeyelnya gak ada yang kalahin.” Ibu menjadi tidak enak karena pak Andy mengamankan kembali notebook-ku. Aku berdecak kesal  bahkan pak Andy hanya memberiku ponsel biasa tanpa akses internet dan menyita ponsel pintarku.

“Iya Bu, saya tahu bagaimana keras kepalanya Nyonya Airin ini, jadi saya harus menyimpan dulu barang-barangnya yang berhubungan dengan pekerjaan.” Pak Andy mengulum senyum.

“Ibu mau ke kantin dulu yaa Ibu lupa beliin Airin roti dia tadi pesan tapi Ibu buru-buru jadi lupa. Tolong jaga Airin sebentar yaa Mas andy.” Ibu pun berbalik keluar dan menutup pintu.

Pak Andy menarik kursi dan duduk di dekatku kemudian dia membuka tas untuk mengambil sesuatu. Dua buah buku yang masih disampul plastik diberikannya kepadaku.

“Yang satunya novel dari pengarang kesukaanmu dan satunya buku tentang bayi. Aku mau kamu gak usah mikirin tentang pekerjaan dulu.”

“Terima kasih.” Ujarku pendek sambil melihat kedua judul buku itu. Aku memang suka baca buku dan pak Andy tahu kebiasaanku dari jaman kuliah. Dia pernah bilang mataku lebih berbinar melihat toko buku dibanding toko baju. Mungkin saat itu dia pernah melihatku bersama Kartika di mall.

“Kamu tenang aja, semua akan ku handle,jadi pikirkan kesehatanmu dulu. Aku begitu ketakutan saat melihatmu pingsan. Sudah dua kali aku harus menggendongmu setengah berlari menuju mobil.”

Aku mengernyitkan dahi apa maksudnya dengan dua kali menggendongku?

“Maksud pak Andy dua kali menggendongku?”

“Yang pertama kamu pingsan dekat dapur hotel, yang kedua di pemakaman siang tadi dan aku harap tidak ada yang ketiga. Aku tidak bisa tenang jika terjadi apa-apa sama kamu.”

“Cukup pak Andy, terima kasih atas perhatiannya. Ingat pak Andy tidak perlu menjagaku atau bertanggung jaawab atas apapun yang terjadi denganku.”

Aku memalingkan wajahku dan menatap lurus ke depan menghindari tatapan pak Andy yang  … aahh … tatapan yang tidak pernah dari dulu. Sepasang mata yang selalu teduh untukku meski kadang galak ketika menjadi atasanku dulu tetapi itu akhirnya menjadi pemicu untukku agar bekerja lebih baik lagi.

“Airin, sampai kapanpun aku akan tetap menunggumu, aku tahu kau sekarang adalah Nyonya Sanjaya tapi aku tidak akan pernah berhenti berharap suatu saat nanti hatimu itu untukku.”

“Jika sudah tidak ada keperluan lagi silahkan pak Andy pulang, saya mau istirahat.” Aku sudah malas meladeni curahan hati pak Andy. Bagiku cinta adalah hal mustahil lagi bagiku sejak Ariel merampas paksa kehormatanku.

“Baiklah, aku sudah terbiasa dengan penolakanmu Airin tapi ingat selama kamu masih berada di Sanjaya Hotel aku akan tetap di sisimu sampai akhir.”

Pak Andy pun berdiri , dia merapikan selimut di ujung kakiku yang tersingkap lalu menatapku sejenak. Aku memilih memejamkan mata dan berpura-pura tidur. Terdengar pintu dibuka dan langkah kaki yang menjauh. Nyeri di bawah perutku terasa lagi dan aku benar-benar memilih untuk tidur agar rasa sakit itu hilang.

Hari ketiga di Rumah Sakit dan aku sudah membaca sampai selesai novel yang Pak Andy belikan untukku. Tapi tidak dengan buku yang bergambar bayi lucu di sampulnya. Aku enggan membaca atau mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan bayi. Lima bulan di perutku rasa cintaku pada janin ini belum jua tumbuh, aku harus bertahan hanya demi nama keluarga Sanjaya.

“Buuumil … mau asinan Bogor gak?” tiba-tiba kepala Kartika menyembul dari balik pintu sambil tersenyum lebar.

“Heeey … Tika … masuk sini, kenapa baru datang sekarang siih? Aku bosan tau di sini!” seruku gembira melihat kedatangan sahabatku.

Kartika melangkah masuk dengan kotak makanan yang ku tebak adalah asinan Bogor yang biasa ku pesan .

“Maaf Bumil, di kantor sibuk banget. Tahu kan kalo ini lagi masuk musim liburan?” Kartika pun mendekat dan memelukku sejenak.

“Yang kuat yaa Bumil, yang tabah, aku mengerti bagaimana sosok mendiang ibu Sanjaya untukmu.”

Ahhh … aku teringat beliau lagi dan tanpa sadar pelupuk mataku sudah basah dengan air mata. Kartika mengelus punggungku lembut untuk menguatkanku. Kemudian dia melepaskanku dan memberiku tisu.

“Sudah Rin, jangan bersedih terus kasian bayi kamu.” Kartika mengelus bahuku.

Aku menarik napas untuk menenangkan diriku. Kartika benar disaat aku merasa emosional perutku kembali terasa mengencang dan mengeras, nyeri itu pasti akan datang lagi.

“Masih ada Pak Sanjaya, aku, pak Andy dan ibumu di sisimu Rin. Kau hanya butuh memulihkan kesehatanmu, menegarkan hati dan menguatkan diri.” Senyum Kartika mengembang kemudian mengambil kotak makanan yang diletakannya tadi di meja.

“Asinan Bogor spesial yaa Bumil, diantar pula dengan kurir cantik jadi harganya sangat mahal.” Canda Kartika untuk menghiburku. Aku tertawa kecil dalam hati bersyukur aku masih punya orang-orang yang peduli denganku.

Seminggu sudah berlalu dan dokter menyatakan aku sudah pulih, kandunganku juga baik-baik saja. Aku hanya harus menghindari stress juga tidak boleh lelah bekerja. Hanya berselang satu hari sekembalinya dari Rumah Sakit aku masuk kerja. Tidak ada tumpukan laporan atau harus berkeliling memantau hotel, semua sudah dikerjakan dengan sangat baik oleh pak Andy hingga benar-benar tidak menyisakan pekerjaan yang berarti untukku. Aku tinggal tanda tangan untuk surat-surat penting saja.

Aku tidak bisa tinggal diam saja dalam ruanganku, aku ingin berjalan-jalan memantau hotel tapi tidak secara keseluruhan. Seperti biasa sambil menggenggam HT aku berkeliling dan ada Kartika yang menemaniku. Kali ini aku akan melihat persiapa ball room yang disewa untuk menyelenggarakan suatu acara. Persiapan mereka sudah hampir rampung hanya saja aku melihat kejanggalan dari lampu hias yang dipasang oleh teknisi. Ada bunyi yang tak lazim dari rantai penahan lampu saat lampu itu bergerak terkena angin.

“Tika tolong minta teknisi untuk periksa kembali lampu hiasanya kayaknya ada yang gak beres.”

Kartika mengamati sejenak dan menyalakan HT untuk menacri tahu dimana teknisi yang memasang lampu itu. Aku berjalan ke tengah ruangan untuk memeriksa dekorasi ruangan namun terdengar bunyi dari arah lampu hias itu. Kraaak… kraaak … praaaaang….

“Awaaaas Airiiin …!” pak Andy segera berlari ke arahku dan menyingkirkanku dari sana, lampu hias dari Kristal itu terjatuh dan hampir mengenaiku. Pecahannya berserak di lantai, aku hampir tidak bisa bernapas dalam pelukan pak Andy. Aku memandangi pak Andy dan Kartika yang wajah mereka seketika pucat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status