Tukiman menatap kamar yang biasa digunakan istri dan anak perempuannya dengan nanar. Serasa ada yang tercabut dari dadanya, rasanya begitu sakit.Tukiman menyadari kesalahannya, dia terlalu egois. Sungguh dia tak bermaksud menyakiti hati dua orang yang paling berharga dalam hidupnya tersebut. Tukiman hanya tak ingin berpisah dari mereka, terlebih dikota dimana saat ini mereka berada, ada seseorang yang sangat dia cemburui.Sungguh semua ini dia lakukan karena besarnya rasa cinta kepada keduanya.Dia menyesal telah bersikap kasar kepada Menik, sehingga melukai hatinya.Sungguh melihat Menik terluka karena sikap dan ucapnya, Tukiman pun juga merasakan sakit yang sama. Itu semua dia lakukan untuk menutupi ketidak percayaan dirinya menghadapi Menik yang kini semakin bersinar terang dan bisa berdiri tegap, seakan tak lagi membutuhkannya. Harga dirinya sebagai seorang laki-laki terasa tercabik habis.Kini setelah keduanya pergi, rasa takut akan kehilangan itu semakin menjelma menjadi nyata.
Hari masih begitu pagi ketika Tukiman membangunkan Wijaya. Hatinya semakin gusar memikirkan penyesalannya. Dia tidak ingin terlambat, masih ada waktu untuk memperbaiki semua ini."Wijaya, bangun Nak!""Bapak, ada apa sih pak? Masih pagi ini!"Wijaya kembali menarik selimut untuk menghangatkan tubuhnya. Udara didesa memang masih dingin dan segar, apalagi dipai hari seperti ini."Bangun, ayo segera siap-siap!"Wijaya melirik bapaknya, bingung dengan apa yang dimaksud bersiap."Bersiap untuk apa pak? Memangnya kita mau kemana?""Kita susul ibu dan adikmu! Makanya kamu segera bangun, bawa keperluanku seperlunya saja!"Wijaya langsung bangun seketika mendengar bapaknya yang ingin menyusul ibu dan adiknya kekota."Sudahlah pak, Jaya mohon, jangan halangi Astutik untuk meraih cita-cita nya, jangan halangi juga kebahagiaan ibu. Kasian pak ibu, bahkan jaya sering elihat ibu yang diam-diam menangis."Bukan nak, bapak justru mau minta maaf kepada mereka, bapak akan merestui adikmu. Bapak akan
BRAAAKKKKKKMenik kaget melihat kejadian dibelakangnya, Tukiman yang tengah mengaduh memegang kakinya, akibat terserempet sebuah motor ketika akan menyebrang untuk menyebrangnya. Untung saja luka yang diderita Tukiman tidak separah yang dia takutkan, namun mengendara motor tersebut harus jatuh, dan menyebabkan motornya rusak dibeberapa bagian."Kalau mau nyebrang dipakek dong matanya, mau cari mati Lo?"Tukiman kaget, kenapa dia yang diserempet justru dia yang dimarah-marahi?Kenapa orang kota tidak punya sopan santun seperti ini?"Iya mas sabar, rumah saya disebrang sana, kita minum dulu mas, nanti saya akan ganti semua kerusakan motor masnya!" Ujar Menik yang berusaha Menengahi mereka.Melihat Tukiman yang berjalan terpincang, tumbuh rasa iba dihati Menik, bagaimana pun dia masih menyandang sebagai seorang istri dari Tukiman.Astutik begitu kawatir ketika bapaknya jalan dengan terpincang, dan lutut yang berdarah. Sedangkan Wijaya segera menolong Tukiman, tanpa banyak bertanya sete
Dirabanya kening Sumini yang terasa begitu panas ditangan Tukiman. Diperhatikannya wajah wanita yang kini telah beranjak tua tersebut. Memang dia tak secantik Menik istrinya, namun entah kenapa ada perasaan tak tega membayangkanya hidup sendiri. Ada perasaan iba membayangkan buruknya nasib yang selama ini dia jalani. Bukan dia tak ingat tentang apa yang wanita didepannya itu lakukan pada kehidupannya dan Menik di masa lalu. Kejahatan itu memang tak bisa dimaafkan. Namun semua itu dia anggap sebagai takdir yang telah digariskan oleh tuhan. Teringat pula olehnya pesan sang paman agar memulangkan Sumini begitu Menik kembali. Perasaan bersalah itu semakin besar membayangi. Dia semakin bingung harus apa yang dia lakukan.Kembali dipegang tangan lemah itu."Dek, kamu kenapa? Badanmu mu panas sekali? Apa perlu kita ke dokter?""Kang? Kamu sudah datang"Sumini berucap dengan lemah dengan membuka sedikit matanya."Tidak perlu, aku baik-baik saja."Lalu seakan melupakan rasa lelah yang dia rasa
"Hallo Menik, pulanglah kang Tukiman sakit, dia terus memanggil nama kalian"Menik hanya bisa terdiam, tak tahu harus merespon apa, dia baru saja merasakan kebahagiaan bersama anak-anaknya. Namun harus menerima kabar seperti ini, haruskah dia pulang dan kembali terkungkung dalam luka masa lalu?""Baik" lalu telepon ditutup. Dia berjalan dengan gontai kearah meja makan."Siapa yang menelepon barusan Bu?" Astutik penasaran dengan ibunya yang terlihat kurang senang dengan apa yang didengarnya dari sipenelephon barusan."Sumini" mendengar nama itu disebut, semua ikut terdiam, ada perasaan tidak enak ketika mendengarnya."Ada apa dia menghubungi kita?"Tanya Wijaya terang-terangan dengan nada tidak suka. Wijaya tidak pernah suka dan simpati kepada ibu tirinya tersebut, sekalipun wanita itu selalu berusaha berbuat baik kepadanya, berbeda dengan sikap Sumini kepada Astutik selama ini."Tutik" Menik beralih kepada Astutik, namun terdiam cukup lama sebelum melanjutkan ucapanya."Bapakmu sakit
(disarankan buat dengerin lagunya seventeen yang "kemaren" disaat baca bab ini)Menik kawatir melihat kondisi Tukiman."Wijaya, cepat ambilkan air untuk bapakmu!""Sumini!" Teriak Menik memanggil Sumini yang tadi memilih keluar dami memberi ruang untuk keluarga itu. Dia sadar, dia bukan pemilik hati Tukiman. Bahwa selama ini kebersamaan mereka,Tukiman hanyalah menaruh iba kepadanya.Sumini berlari memasuki kamar yang sedari dulu selalu dia impikan untuk dia miliki, namun tak pernah dia dapatkan itu. Firasatnya mengatakan hal yang buruk menimpa lelaki yang selalu dia cintai sepenuh hati."Siapa yang memiliki mobil disini? Ayo cepetan ajak Wijaya untuk meminjamnya, kita bawa bapaknya anak-anak segera kerumah sakit!"Perintah Menik dengan air mata yang berderai. Menik sudah menyiapkan hati sejak menerima telepon Sumini tentang hal ini, namun entah kenapa , melihat langsung keadaan lelaki yang pernah berjanji sehidup semati dengannya tersebut tetap saja hatinya tak sanggup."Atau tunggu
Kemarin engkau masih ada disiniBersamaku menikmati rasa iniBerharap semua tak kan pernah berubahBersamamuBersamamuKemarin dunia terasa sangat indahDan denganmu merasakan ini semuaMelewati Hitam-Putih hidup iniBersamamuBersamamuKini, sendiri disiniMencarimu, tak tahu dimanaSemoga tenang kau disanaSelamanyaaaaAku selalu mengingatmu.Doakanmu setiap malamkuSemoga tenang kau disana....****Astutik baru datang diantar oleh Rudi. Dia langsung berlari menghampiri jenazah bapaknya yang sudah terbujur kaku diruang tamu.Sengaja, memang mereka menunggu kedatangan Astutik agar bisa melihat bapaknya untuk terakhir kalinya.Gemetar kaki Astutik melihat semua ini, tak percaya, seakan semua hanya sebuah mimpi.Kenapa Tuhan tak mengijinkan dirinya untuk memenuhi janji bahwa dia akan membanggakan bapaknya dengan gelar dokter yang akan dia sandang nanti? Kenapa bapaknya pergi begitu cepat tanpa sebuah kata perpisahan untuk dirinya?Rasanya masih kemaren dirinya, kakaknya,
Tiga hari setelah kepergian Tukiman, tetangga masih banyak yang datang membantu menyiapkan sajian untuk tahlil, dan juga menghibur keluarga itu agar tidak sempat merasakan kesepian dan terlalu larut dalam duka.Kerabatpun masih banyak yang datang sulit berganti, sehingga rumah itu tidak pernah terlihat sepi. Nyi Saminah juga masih berada dirumah itu, menghibur Astutik yang masih sering menangis, dan sering mengajak Menik bercerita. Nyi Saminah kawatir, Kerena semenjak kematian Tukiman, Menik menjadi semakin pendiam.Pernah suatu kali Menik bercerita kepadanya tentang penyesalan Menik yang tak pernah berusaha memperbaiki hubungan mereka. Dia terlalu larut dalam kekecewaan, dia terlalu memikirkan diri sendiri tanpa mau tau apa yang dirasakan Tukiman. Dia merasa menjadi sombong ketika sudah bisa memiliki segalanya, seakan sudah tak lagi membutuhkan Tukiman sebagai lelaki. Dia sungguh sangat menyesal, hingga sang waktu terus berlari hingga hanya menyisakan kenangan."Aku belum lihat kamu