Share

Cerita ibu

Matahari sudah sangat tinggi, tak seperti biasa, kulihat Rumah mbah Sum masih tertutup rapat.

Padahal biasanya jam segini mbah Sum berjemur didepan rumah sambil menunggu orang lewat.

Bahkan tadi, ketika pembantu anaknya mengantarkan makanan pun tak terdengar suara keluh kesah mbah Sum seperti biasa, orang itupun langsung pulang.

Sebenarnya, orang kepercayaan anaknya yang selalu disuruh mengurus makan dan kebutuhan mbah Sum lainnya itu, memang tak pernah berlama-lama dirumah mbah Sum, setelah menaruh makanan, pasti langsung pulang, tanpa perduli dengan kondisi dan juga keluh kesah yang terdengar. Entah mungkin karena jijik melihat kondisi mbah Sum yang terkadang bau pesing karena pipis yang berceceran sebelum berhasil mencapai kamar mandi, atau karena jengah mendengar keluh kesah wanita tua itu.

Semua dilakukan sekedarnya, mungkin merasa tak ada ikatan, tak punya kewajiban, atau hanya menghindari gunjingan tetangga karena tuduhan menelantarkan.

Semakin ku fikirkan, semakin aku kawatir.

“Pak, mbah Sum kok gak kelihatan ya?”

Tanyaku pada bapak

“Iya ya nduk, coba kamu lihat dulu sana, jangan-jangan jatuh gak ada yang tau”

Jawab bapak dengan raut kawatir.

Aku pun bergegas ke rumah mbah Sum.

Tok tok tokkk ...

“Mbahhh, mbah Sum..”

Kupanggil-panggil , namun tak ada sahutan dari dalam. Kutunggu beberapa saat, mungikin masih dikamar mandi pikirku. Ku ketuk pintu belakang yang terhubung dengan kamar mandi, namun masih tidak ada jawaban dari mbah Sum.

Karena kawatir, langsung kubuka pintunya tanpa berlama-lama menunggu respon dari mbah Sum.

Hatiku sedikit lega, ketika kulihat mbah Sum yang terbaring ditempat tidur. Namun setelah ku pikir lagi, tidak mungkin jam segini mbah Sum masih tidur. Walau bagaimanapun mbah Sum termasuk orang yang rajin meski dalam keterbatasan fisik. Disaat aktifitasnya hanya sebatas dikursi roda pun mbah Sum masih mencuci bajunya dengan tangannya sendiri. Aku mulai berjalan mendekat kearahnya untuk memastikan kondisinya.

“Mbahhh, istirahat to?”

Panggilku sambil duduk di sampingnya,namun tak ada jawaban, hanya matanya yang terbuka sebentar lalu kembali tertutup

Aku semakin kawatir, kuraba badanya, panas.

“Masyallah mbah, sampean badanya panas sekali, sudah makan mbah?”

Hanya gelengan kepala sebagai jawaban.

Kulihat tempat makan yang tergeletak di meja. Nasi goreng.

Hari ini jatah makan mbah Sum hanyalah nasi goreng tanpa lauk apapun. Dan itu berarti menu yang sama untuk siang dan sore.

Nyesss, sesak didada rasanya melihat nasib malang yang harus dijalani mbah Sum dihari tuanya.

Bagaimana mbah Sum mau hidup dengan sehat, jika gizinya saja tidak terpenuhi. Bagaimana mungkin seseorang tega memberi makan kepada orangtua seperti ini? Aku yakin, disana anaknya memiliki makanan yang jauh lebih layak dari pada ini. Dan aku juga sangat yakin bahwa makanan yang diberikan kepada mbah Sum adalah nasi sisa kemaren yang kemudian digoreng dan diberikan untuk jatah makan mbah Sum selama sehari. Tanpa sayur, apalagi lauk.

Aku berjalan terburu pulang sambil menahan kesal bercampur kawatir, untuk mengambil obat dan makanan yang lebih sehat untuk orang sakit.

“Gimana nduk mbah Sum?”

Tanya bapak saat melihatku jalan dengan terburu.

“Sakit pak, badanya panas, ini mau tak ambilin makan sama obat. “

Jawabku sambil berlalu.

Lalu kulihat bapakpun segera bergegas kerumah mbah Sum, mungkin khawatir dengan wanita sebatang kara itu.

“Kenapa mbah Sum? Sakit? Wong ya punya anak aja , dia itu bukan kewajiban kita.”

Ujar ibu yang terdengar sinis.

Ah ibu, mungkin mulutnya memang sinis, tapi hatinya tetap manis,

Mulutnya memang bisa berkata seperti itu, tapi hatinya menolak untuk abai.

Buktinya saat ini, melihatku sedang menyiapkan makanan untuk mbah Sum, ibu juga ikut sibuk menyiapkan obat dan air untuk kompres sambil menggendong nella yang hampir terlelap.

Aku tahu ibu seperti ini hanya karena gengsi, karena mbah Sum selalu saja berusaha untuk mengusik ibu, sejak dahulu. Namun sebenarnya diantara kami, ibulah yang justru lebih perduli kepada mbah Sum. Selalu ada jatah lebih ketika ibu membeli sesuatu untuk kami, yang sengaja disisihkan agar aku atau bapak memberikannya kepada mbah Sum.

Saat tiba dirumah mbah Sum, kulihat bapak membantu mbah Sum untuk duduk,

Aku suapi perlahan, kebetulan sekali hari ini aku masak sayur sop, ibu menyiapkan teh panas yang sudah dibawanya dari rumah, dengan raut yang sama seperti kami, terlihat begitu kawatir.

Setelah meminumkan obat , memasangkan kompress dan memastikan mbah Sum sudah terlelap, kita pulang.

“Buk, kasian ya mbah Sum itu, sudah tua, sakit tapi dibiarkan sendiri, apa mbah Sum tidak punya keluarga yang lain buk?”

Tanya ku kepada ibu setelah menidurkan nella dikamarnya.

“Mbah Sum itu asal usulnya aja nggak jelas nduk, dia dulu datang ke desa ini dengan ibunya. Bapaknya siapa, asalnya dari mana, tidak ada yang tau.

Tidak jelas. Beda yang bertanya, beda lagi jawabanya.

Orang-orang sini dulu enggan dekat-dekat dengan keluarga itu, kecuali mbah Nik. Mbah Nik itu walaupun sudah banyak yang mengingatkan untuk tidak dekat-dekat dengan mbah Sum, tapi masih ngengkel, masih bisa berkata bahwa tidak semua yang terlihat buruk itu buruk, semua orang memiliki kesempatan yang sama. Ibu masih sangat ingat dengan ucapan mbah Nik itu, karena yang mengingatkan itu Emaknya ibu sendiri.

Namun sayangnya, semua kebaikan itu berujung perih, semua malah berujung petaka, berujuk celaka untuk mbah Nik.”

Ujar ibu dengan mata yang menerawang.

“Alin mau denger dong buk, ceritanya”

Pintaku penuh harap.

Ibu menatapku begitu dalam seoalah sedang berfikir.

“Baiklah nduk,akan ibu ceritakan semoga ini bisa menjadi pelajaran untukmu kedepanya.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status