Matahari sudah sangat tinggi, tak seperti biasa, kulihat Rumah mbah Sum masih tertutup rapat.
Padahal biasanya jam segini mbah Sum berjemur didepan rumah sambil menunggu orang lewat.
Bahkan tadi, ketika pembantu anaknya mengantarkan makanan pun tak terdengar suara keluh kesah mbah Sum seperti biasa, orang itupun langsung pulang.
Sebenarnya, orang kepercayaan anaknya yang selalu disuruh mengurus makan dan kebutuhan mbah Sum lainnya itu, memang tak pernah berlama-lama dirumah mbah Sum, setelah menaruh makanan, pasti langsung pulang, tanpa perduli dengan kondisi dan juga keluh kesah yang terdengar. Entah mungkin karena jijik melihat kondisi mbah Sum yang terkadang bau pesing karena pipis yang berceceran sebelum berhasil mencapai kamar mandi, atau karena jengah mendengar keluh kesah wanita tua itu.
Semua dilakukan sekedarnya, mungkin merasa tak ada ikatan, tak punya kewajiban, atau hanya menghindari gunjingan tetangga karena tuduhan menelantarkan.
Semakin ku fikirkan, semakin aku kawatir.
“Pak, mbah Sum kok gak kelihatan ya?”
Tanyaku pada bapak
“Iya ya nduk, coba kamu lihat dulu sana, jangan-jangan jatuh gak ada yang tau”
Jawab bapak dengan raut kawatir.
Aku pun bergegas ke rumah mbah Sum.
Tok tok tokkk ...
“Mbahhh, mbah Sum..”
Kupanggil-panggil , namun tak ada sahutan dari dalam. Kutunggu beberapa saat, mungikin masih dikamar mandi pikirku. Ku ketuk pintu belakang yang terhubung dengan kamar mandi, namun masih tidak ada jawaban dari mbah Sum.
Karena kawatir, langsung kubuka pintunya tanpa berlama-lama menunggu respon dari mbah Sum.
Hatiku sedikit lega, ketika kulihat mbah Sum yang terbaring ditempat tidur. Namun setelah ku pikir lagi, tidak mungkin jam segini mbah Sum masih tidur. Walau bagaimanapun mbah Sum termasuk orang yang rajin meski dalam keterbatasan fisik. Disaat aktifitasnya hanya sebatas dikursi roda pun mbah Sum masih mencuci bajunya dengan tangannya sendiri. Aku mulai berjalan mendekat kearahnya untuk memastikan kondisinya.
“Mbahhh, istirahat to?”
Panggilku sambil duduk di sampingnya,namun tak ada jawaban, hanya matanya yang terbuka sebentar lalu kembali tertutup
Aku semakin kawatir, kuraba badanya, panas.
“Masyallah mbah, sampean badanya panas sekali, sudah makan mbah?”
Hanya gelengan kepala sebagai jawaban.
Kulihat tempat makan yang tergeletak di meja. Nasi goreng.
Hari ini jatah makan mbah Sum hanyalah nasi goreng tanpa lauk apapun. Dan itu berarti menu yang sama untuk siang dan sore.
Nyesss, sesak didada rasanya melihat nasib malang yang harus dijalani mbah Sum dihari tuanya.
Bagaimana mbah Sum mau hidup dengan sehat, jika gizinya saja tidak terpenuhi. Bagaimana mungkin seseorang tega memberi makan kepada orangtua seperti ini? Aku yakin, disana anaknya memiliki makanan yang jauh lebih layak dari pada ini. Dan aku juga sangat yakin bahwa makanan yang diberikan kepada mbah Sum adalah nasi sisa kemaren yang kemudian digoreng dan diberikan untuk jatah makan mbah Sum selama sehari. Tanpa sayur, apalagi lauk.
Aku berjalan terburu pulang sambil menahan kesal bercampur kawatir, untuk mengambil obat dan makanan yang lebih sehat untuk orang sakit.
“Gimana nduk mbah Sum?”
Tanya bapak saat melihatku jalan dengan terburu.
“Sakit pak, badanya panas, ini mau tak ambilin makan sama obat. “
Jawabku sambil berlalu.
Lalu kulihat bapakpun segera bergegas kerumah mbah Sum, mungkin khawatir dengan wanita sebatang kara itu.
“Kenapa mbah Sum? Sakit? Wong ya punya anak aja , dia itu bukan kewajiban kita.”
Ujar ibu yang terdengar sinis.
Ah ibu, mungkin mulutnya memang sinis, tapi hatinya tetap manis,
Mulutnya memang bisa berkata seperti itu, tapi hatinya menolak untuk abai.
Buktinya saat ini, melihatku sedang menyiapkan makanan untuk mbah Sum, ibu juga ikut sibuk menyiapkan obat dan air untuk kompres sambil menggendong nella yang hampir terlelap.
Aku tahu ibu seperti ini hanya karena gengsi, karena mbah Sum selalu saja berusaha untuk mengusik ibu, sejak dahulu. Namun sebenarnya diantara kami, ibulah yang justru lebih perduli kepada mbah Sum. Selalu ada jatah lebih ketika ibu membeli sesuatu untuk kami, yang sengaja disisihkan agar aku atau bapak memberikannya kepada mbah Sum.
Saat tiba dirumah mbah Sum, kulihat bapak membantu mbah Sum untuk duduk,
Aku suapi perlahan, kebetulan sekali hari ini aku masak sayur sop, ibu menyiapkan teh panas yang sudah dibawanya dari rumah, dengan raut yang sama seperti kami, terlihat begitu kawatir.
Setelah meminumkan obat , memasangkan kompress dan memastikan mbah Sum sudah terlelap, kita pulang.
“Buk, kasian ya mbah Sum itu, sudah tua, sakit tapi dibiarkan sendiri, apa mbah Sum tidak punya keluarga yang lain buk?”
Tanya ku kepada ibu setelah menidurkan nella dikamarnya.
“Mbah Sum itu asal usulnya aja nggak jelas nduk, dia dulu datang ke desa ini dengan ibunya. Bapaknya siapa, asalnya dari mana, tidak ada yang tau.
Tidak jelas. Beda yang bertanya, beda lagi jawabanya.
Orang-orang sini dulu enggan dekat-dekat dengan keluarga itu, kecuali mbah Nik. Mbah Nik itu walaupun sudah banyak yang mengingatkan untuk tidak dekat-dekat dengan mbah Sum, tapi masih ngengkel, masih bisa berkata bahwa tidak semua yang terlihat buruk itu buruk, semua orang memiliki kesempatan yang sama. Ibu masih sangat ingat dengan ucapan mbah Nik itu, karena yang mengingatkan itu Emaknya ibu sendiri.
Namun sayangnya, semua kebaikan itu berujung perih, semua malah berujung petaka, berujuk celaka untuk mbah Nik.”
Ujar ibu dengan mata yang menerawang.
“Alin mau denger dong buk, ceritanya”
Pintaku penuh harap.
Ibu menatapku begitu dalam seoalah sedang berfikir.
“Baiklah nduk,akan ibu ceritakan semoga ini bisa menjadi pelajaran untukmu kedepanya.”
Flasback.Sumber bening adalah sebuah desa yang masih sangat asri, sumber airnya tak pernah kering walau dimusim kemarau. Mungkin karena itu desa ini diberi nama Sumber bening. Desa yang tenang dan nyaman, serta sumber alamnya yang melimpah.Masyarakat disini sebagian besar bekerja sebagai buruh diperkebunan kopi milik ki dhemang Raharjo, atau biasa juga dipanggil ki Harjo.Saking luasnya perkebunan tersebut, membuat kampung ini dijuluki sebagai kampung kopi.Masyarakatnya ramah-ramah, hidup dengan rukun dan saling gotong royong.Ki Harjo adalah sosok lelaki yang tegas, namun baik, terlihat keras namun berhati lembut. Pekerjakeras dan memiliki disiplin yang tinggi.Namun demikian, ki Harjo dikelilingi orang-orang yang tamak.Ki harjo memiliki keponakan sekaligus orang kepercayaan untuk membantu menjalankan perkebunan kopi tersebut, namanya Tukiman, lelaki lugu namun cerdas.Kerjanya bagus, cekatan, d
Sudah dua hari, Sumini dan ibunya, Mursiyem berada di desa Sumber bening.Sumini dan ibunya tinggal di rumah belakang ki Harjo.Rumah yang memang diperuntukan untuk para pekerja dirumah utama.Hari ini Sumini akan mulai bekerja di perkebunan, sedang ibunya akan membantu pekerjaan dirumah utama.Sekaligus menemani nyi Saminah yang selalu merasa kesepian karena anak dan cucunya yang tinggal jauh di luar kota.Hari masih sangat pagi, namun Sumini sudah terlihat cantik dan rapi. Rambutnya disanggul sederhana, ditambah perbaduan baju yang pas untuk tubuh sintalnya, membuatnya semakin sedap dipandang mata. Kalau sudah begini, lelaki mana yang tidak tertarik dengannya?"Walah Sum, ini masih jam berapa? kamu kok sudah cantik, rapi begini?""Hari ini kan hari pertama Sumi kerja mak, masak harus telat sih? setidaknya kan Sumu harus memberikan kesan pertama yang baik.""Ya tapi kamu ini kerjanya dikebun nduk, bukan dikantor desa, atau dis
Sumini, gadis dengan kulit sawo matang, rambutnya ikal, namun memiliki tubuh yang sintal.Usianya sudah berada diakhir 20n, namun belum juga menikah, padahal diwaktu itu, teman seusianya rata-rata sudah memiliki anak yang beranjak remaja. Sangat tabu di masyarakat umum anak gadis yang belum menikah diusia segitu, karena umumnya, pada masa itu rata-rata perempuan menikah diusia 15-17tahun. Jika lebih dari itu dan belum juga menikah, maka harus siap jika sebutan perawan tua diberikan kepadanya.Sumini memang tidak terlalu cantik, namun memiliki lekuk tubuh yang menarik. Tuhan menganugerahi bentuk tubuh yang di idam-idamkan banyak wanita kepadanya.Sehingga sering kali digoda lelaki iseng, itu sebabnya banyak wanita yang tak menyukainya, atau mungkin juga karena sikapnya yang acuh dan tak mudah bergaul. Sumini lebih memilih untuk menyendiri dari pada bergaul. Karena sejak kecil, Sumini selalu mendapatkan perlakuan kurang baik dari sekitarnya.Sudah hampir se
Sudah hampir seminggu Sumini terbaring sakit,Semenjak dia tahu kenyataan bahwa sang pujaan hati ternyata sudah beristri,dunia Sumini tak lagi sama.Dia berubah menjadi pendiam.mengurung diri didalam kamar berhari-hari, hanya untuk menangis pedih. Harapan Sumini yang sudah terlanjur membumbung tinggi, kini hancur berserakan. Hatinya pecah, harapannya musnah.Mak Siyem pun kawatir dengan apa yang menimpa Sumini,setiap kali ditanya, Sumini hanya menjawab ingin sendiri.hingga akhirnya Dia menceritakan semua ini kepada nyi Saminah, tak sanggup rasanya dia melihat putri kesayangannya menjadi seperti ini. Seakan hilang arah, tak punya lagi semangat untuk hidup. Mak Siyem prihatin, ini adalah pertama kalinya Sumini jatuh cinta, lalu seketika harus dipatahkan oleh kenyataan. Hatinya ikut sakit, membayangkan kisah masalalunya hatus terulang kepada Sumini.Merasa kawatir dengan apa yang diceritakan mak Siyem, nyi Saminah pun megusulk
Mendengar penuturan ibunya, Sumini merasa mempunyai semangat baru. dia merasa kembali mempunyai harapan, hati yang telah layu, seakan mulai bersemi kembali.Hari ini dia kembali kerja dengan penuh semangat. seumur hidup Dia tak pernah merasakan perasaan ingin memiliki kepada seseorang sebesar ini sebelumnya, sehingga Sumini merasa harus memperjuangkan perasaan ini. Lagi pula, bukankah benar, agamanya pun tak melarang seorang laki-laki memiliki istri lebih dari satu?"Kalaupun memang takdirku tak bisa memilikimu seutuhnya, aku rela kang untuk berbagi, asalkan aku bisa menjadi istri sahmu. Aku berjanji akan berjuang, melakukan apapun untuk mendapatkanmu."Tekad Sumini.***Sumini rela menebalkan muka kepada Tukiman, penolakan halus yang terus dia dapatkan, tak membuat semangatnya surut. Justru tekadnya semakin kuat, rasanya cintanya semakin besar, kekagumannya kepada Tukiman, lelaki yang begitu setia itu seolah seperti pupuk yang membuat perasaanya s
"Sudah to nduk, sudah! Jangan nangis terus, emak juga ikut sedih lihat kamu seperti ini."Mak Siyem mencoba menenangkan Sumini, semenjak mengetahui kenyataan bahwa Tukiman ternyata adalah suami Menik, Sumini seolah kehilangan harapan. Kenyataan menamparnya dengan begitu keras, sehingga hatinya hancur tak berbentuk. Berkali-kali dia merutukki nasib yang tak pernah berpihak kepadanya."Selama ini mak, aku berfikir mereka itu sama-sama keponakanya ki Harjo karena saudara, ternyata mereka keponakanya ki Harjo karena suami istri, sakit hatiku mak, sakit! Kenapa sejak awal Menik tidak pernah cerita? perasaanku kepada Mas Tukiman sudah terlanjur dalam mak. Harapanku sudah terlanjur besar!"Mak Siyem hanya mampu terdiam sekaligus merasa bersalah, karena dulu dia yang membawa Menik datang kerumah ini. Seandainya saja Sumini tidak pernah mengenal Menik, mungkin rasa sakitnya tidak sesakit ini,tidak harus menanggung rasa bersalah ketika dia berjuang merebut hati Tukiman. M
"Bune, tolong suruh orang buat manggil Menik kesini!"Lelaki tua itu terlihat begitu marah, wajahnya memerah hingga memperlihatkan urat-uratnya. Rasa marah serta malu bercampur menjadi satu. Tidak pernah sekalipun dia menyangka, bahwa keponakan yang lugu dan pendiam, keponakannya yang dia kenal jujur, keponakan yang dia rawat dari kecil, bisa mencoreng wajahnya dengan perbuatan sehina itu."Enggeh pak."Saut nyi Saminah dengan kepala tertunduk. Tangan wanita iti terlihat gemetar, selama dia menikah dengan ki Harjo, tak pernah sekalipun dia melihat suaminya itu semarah saat ini."Pak lek, ini semua fitnah pak lek, saya bisa jelaskan.""Diam kamu Man! Bikin malu saja! Apalagi yang mau kamu jelaskan? hari masih pagi, bahkan matahari saja belum muncul, dan kamu sedang tidur dirumah perempuan tanpa baju? sekarang kamu masih mau ngelak? Paklek bener-bener kecewa sama kamu Man! Sama sekali pak lek tidak menyangka bahwa kamu tega melempar kotoran di muka p
"Saya memilih hukum adat dijalankan!Saya lebih baik mati dari pada harus mengakui kesalahan yang tidak pernah saya lakukan!"Jawab Tukiman dengan lantang."Heh Tukiman! Jadi kamu mau bilang kalau anak saya berbohong? Rela mempertaruhkan harga dirinya untuk sebuah omong kosong? Bahkan paklekmu sendiri yang menjadi saksi saja kamu masih mengelak?! Jawab Mak siyem yang tak terima dengan keputusan Tukiman. Hatinya mulai gusar. "Tapi saya memang tidak melakukan apapun Mak, kenapa mbak Sumini tega melakukan semua ini kepada saya? Bukankah istriku itu adalah sahabatmu? Apa salah kami mbak?""Justru aku yang seharusnya bertanya kepada sampean, kenapa sampean tega melakukan semua ini kepada saya, sampean nodai saya, lalu tidak mengakui perbuatan itu, dan melimpahkan kesalahan kepada saya, seolah-olah semua ini hanya relayasa. Apa untungnya buat saya dengan melakukan semua ini?"Sumini menjawab