Hari ini aku masak spesial, opor ayam kampung pedes, sama soto ayam kampung untuk Nella.
Ayam peliharaan bapak memang cukup banyak, itu pun dilepas begitu saja tanpa kawatir diambil orang, mereka mencari makanananya sendiri, sehingga tidak perlu memberi pakan terlalu banyak kalau sore ayam-ayam itu biasanya pulang sendiri, seolah sudah hafal jalan pulangnya.
Aku melihat kearah jam yang ternyata sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Nella kebetulan ikut ibu ke pasar. Aku tidak perlu kawatir mereka sudah makan apa belum, karena kalau kepasar, ibu pasti akan mengajak Nella mampir ke warung langganan kita. Dari dulu sejak aku masih sekecil Nella, setiap kali kepasar ibu akan mengajak mampir ke warung itu, namanya warung Lumintu, dengan menu andalah iwak srondengnya. Iwak srondeng sendiri adalah dendeng daging yang dikasih srondeng kelapa. Sekarang sudah generasi kedua, namun rasa masakannya masih tetap sama, sama sekali tak berubah.
Makanan sudah siap, rumah sudah bersih, cucian sudah selesai dijemur. Ya beginilah rutinitas hari-hariku. Dulu orang-orang selalu mengatakan “eman-eman Alina, disekolahkan tinggi-tinggi malah nganggur dirumah. Sayang ilmunya nggak kepake.”
Lalu bapak akan menjawab.
“Tidak ada ilmu yang sia-sia, dengan sekolah tinggi Alina juga punya wawasan yang lebih luas, pengalaman yang banyak. Dan memang seorang istri tidak wajib bekerja bukan?”
Mendengar bapak yang selalu berkata demikian, rasa bersalahku berangsur menghilang, berganti rasa syukur yang tiada tara memiliki keluarga yang selalu mendukungku.
Aku merebahkan diri untuk beristirahat dengan mainan hp. Ternyata sudah ada dua panggilan tak terjawab dari suamiku, mas Briyan. Segera ku telfon balik , ternyata hpnya sudah tidak aktif. Mungkin mas Briyan sudah mulai bekerja.
Aku dan mas Briyan memang sedang menjalani hubungan LDR. Mas Briyan bekerja di kalimantan, disebuah perusahaan batu bara sebagai operator alat berat. Setiap tiga bulan sekali mas Briyan mendapat cuti selama dua minggu, dan saat itulah digunakannya untuk pulang bertemu kami.
Saat sedang asik rebahan, kulihat dari jendela ruang tamu, mbah Sum sedang termenung sendiri dikursi rodanya. Menatap dengan pandangan kosong jauh kedepan, dengan tangan yang dilipat didepan perutnya, entah apa yang sedang dia pikirkan.
Seketika ada nelangsa menelusup didada,
Betapa tidak bersyukurnya aku bila masih sering mengeluh dengan apa yang aku miliki saat ini.
Tentang pekerjaan rumah yang seolah tidak ada habisnya, tentang hubungan LDR yang sering menyesakkan dada, tentang anak yang terkadang suka rewel, tentang tempat tinggal yang terpaksa kembali ke desa setelah sekian lama terbiasa hidup dikota.
Sedang didepan mataku, ada yang mempunyai nasib jauh kurang beruntung dari pada aku, atau semua ini justru Karma untuk mbah Sum?
Karma untuk seorang wanita yang tega merebut dan menguasai harta, anak-anak, serata suami sahabatnya. Orang yang pernah menolongnya ketika tidak ada seorangpun yang peduli. Bahkan lebih dari itu ,setelah tercapai tujuanya, dengan tega dia mengusir sahabatnya dari rumahnya sendiri. Dan sahabatnya tersebut tak lain adalah bulek ibuku, masih ada silsilah keluarga dengan kami. Bahkan kami mengenalnya dengan sangat baik.
Aku belajar karma dan keadilan tuhan yang begitu nyata dari kisah mbah Sum dan mbah Nik.
Bahwa apa yang kita dapat dari cara mengambil hak orang lain, tidak akan mendapat keberkahan dari tuhan.
Bahwa sebuah iklas akan menuai buah yang begitu manis, seperti apa yang didapat mbah Nik saat ini.
Sedangkan Karma jahat selamanya akan menghantui perbuatan sang pelaku dengan caranya yang sulit untuk ditebak kita manusia dengan segala keterbatasan.
Kuhampiri mbah Sum, kutinggalkan semua kegiatan didalam hp yang hanya sebatas hiburan dunia maya. Aku penasaran apa yang sedang difikirkan wanita tua malang itu, kulihat matanya berembun.
“Tengnopo mbah, pagi-pagi kok sudah melamun? “ tanyaku sambil menggenggam jemarinya yang dingin, sambil kebuang jauh-jauh egoku. Jemarinya yang sudah keriput, seolah hanya tulang yang terbalit kulit.
“Ngelak”
(Haus) jawab mbah Sum dengan suara nyaris tak terdengar, seolah hanya berbisik.
Aku buru-buru masuk ke dalam rumahnya, kuperiksa tempat air. Kosong!!
Nyesss rasanya, nyeri. Duh hatiku, mengapa begitu nelangsa hidup wanita tua ini. Seberapa besar kesalahannya dimasalalu hingga tuhan menghukumnya sedemikian rupa?
“Airnya habis mbah, tak ambilkan dirumah sebentar ya, tadi kok gak bilang Alin apa bapak gitu kalo gak punya air?”
Diam, hanya senyum sebagai jawaban.
Mbah Sum, yang biasanya selalu banyak bicara untuk mencari perhatian, yang selalu menahan orang ketika akan ditinggal pergi, hari ini lebih banyak terdiam, matanya menerawang jauh penuh kehampaan.
Kesepian tergambar jelas dimata tuanya.
Berkali-kali aku mengusap air yang terus jatuh dari mataku. Mbah Sum memang seringkali menyebalkan, aku juga seringkali berdebat dengannya hanya untuk memuaskan egoku. Namun kali ini, melihat mbah Sum seperti ini, hatiku ikut sesak. Kenapa tuhan menguji hidupnya dengan cobaan seberat ini? Hidup sendiri dengan mata rabun dan kaki lumpuh, tanpa anak dan saudara yang peduli. Aku rasa, walaupun mbah Sum seringkali menyakiti hati kami, justru hanya keluarga kamilah yang benar-benar peduli dengannya.
Aku menyerahkan air yang sudah aku isi penuh kepadanya.
“ini mbah airnya, sudah Alin isi. Tadi katanya haus”
Dengan tangan tuanya yang bergetar, mbah Sum menerimanya, lalu hanya meminumnya seteguk.
“Sudah mbah? Alin tutup ya botolnya, biar tidak tumpah.”
Mbah Sum hanya mengangguk dan masih diam.
“Kenapa to mbah? Bapak masih disawah, Nella sama ibu juga masih kepasar, sekalian mau mampir kerumah bulek Sri tadi katanya. Alin jadi bosen dirumah sendiri, tak temenin disini ya mbah.”
Bibir tua itu terlihat tersenyum.
“Bohong kamu itu Lin.”
“Loh, kok bohong to mbah?”
Lalu kembali hening dalam waktu yang cukup lama, aku juga binggung mau memulai pembicaraan apa, sehingga aku biarkan wanita tua itu mengembara sendiri dengan pikirannya.
“Waktu cepat sekali berlalu ya Lin, dulu aku punya badan yang bagus, badanku kuat, mbahmu ini sejak kecil sudah terbiasa bekerja nduk. Dulu waktu aku buruh jadi tukang petik kopi, mbah kuat mengangkat kopi berpuluh-puluh kilo. Sekarang jangankan untuk berjalan, menggerakkan kaki saja aku sudah tidak mampu.”
Aku hanya diam menyimak, tidak tahu harus merespon apa. Sudah sering sekali aku mendengar cerita mbah Sum ini, jika biasanya aku menyikapinya dengan rasa bosan dan membatin “sudah tahu” kali ini lain, aku mencoba mengerti tentang keadaannya, tentang maksutnya, tentang keinginannya untuk didengar.
“Aku merasa hidupku sudah tidak lama lagi Nduk, maaf ya jika mbah sering membuat kalian kesal dan sering merepotkan.”
“Hust, mbah Sum ini bicara apa to? Kok mendahului kehendak tuhan seperti itu.”
Aku tersentak, baru kali ini aku mendengar mbah Sum berkata seperti demikian, pesimis dengan hidupnya.
Spontan ku peluk tubuh renta itu, seakan mengisyaratkan bahwa Mbah Sum tidak sendiri, walaupun tidak memiliki siapapun untuk bersandar, setidaknya masih ada kami, tetangganya yang peduli.
Matahari sudah sangat tinggi, tak seperti biasa, kulihat Rumah mbah Sum masih tertutup rapat.Padahal biasanya jam segini mbah Sum berjemur didepan rumah sambil menunggu orang lewat.Bahkan tadi, ketika pembantu anaknya mengantarkan makanan pun tak terdengar suara keluh kesah mbah Sum seperti biasa, orang itupun langsung pulang.Sebenarnya, orang kepercayaan anaknya yang selalu disuruh mengurus makan dan kebutuhan mbah Sum lainnya itu, memang tak pernah berlama-lama dirumah mbah Sum, setelah menaruh makanan, pasti langsung pulang, tanpa perduli dengan kondisi dan juga keluh kesah yang terdengar. Entah mungkin karena jijik melihat kondisi mbah Sum yang terkadang bau pesing karena pipis yang berceceran sebelum berhasil mencapai kamar mandi, atau karena jengah mendengar keluh kesah wanita tua itu.Semua dilakukan sekedarnya, mungkin merasa tak ada ikatan, tak punya kewajiban, atau hanya menghindari gunjingan tetangga karena tuduha
Flasback.Sumber bening adalah sebuah desa yang masih sangat asri, sumber airnya tak pernah kering walau dimusim kemarau. Mungkin karena itu desa ini diberi nama Sumber bening. Desa yang tenang dan nyaman, serta sumber alamnya yang melimpah.Masyarakat disini sebagian besar bekerja sebagai buruh diperkebunan kopi milik ki dhemang Raharjo, atau biasa juga dipanggil ki Harjo.Saking luasnya perkebunan tersebut, membuat kampung ini dijuluki sebagai kampung kopi.Masyarakatnya ramah-ramah, hidup dengan rukun dan saling gotong royong.Ki Harjo adalah sosok lelaki yang tegas, namun baik, terlihat keras namun berhati lembut. Pekerjakeras dan memiliki disiplin yang tinggi.Namun demikian, ki Harjo dikelilingi orang-orang yang tamak.Ki harjo memiliki keponakan sekaligus orang kepercayaan untuk membantu menjalankan perkebunan kopi tersebut, namanya Tukiman, lelaki lugu namun cerdas.Kerjanya bagus, cekatan, d
Sudah dua hari, Sumini dan ibunya, Mursiyem berada di desa Sumber bening.Sumini dan ibunya tinggal di rumah belakang ki Harjo.Rumah yang memang diperuntukan untuk para pekerja dirumah utama.Hari ini Sumini akan mulai bekerja di perkebunan, sedang ibunya akan membantu pekerjaan dirumah utama.Sekaligus menemani nyi Saminah yang selalu merasa kesepian karena anak dan cucunya yang tinggal jauh di luar kota.Hari masih sangat pagi, namun Sumini sudah terlihat cantik dan rapi. Rambutnya disanggul sederhana, ditambah perbaduan baju yang pas untuk tubuh sintalnya, membuatnya semakin sedap dipandang mata. Kalau sudah begini, lelaki mana yang tidak tertarik dengannya?"Walah Sum, ini masih jam berapa? kamu kok sudah cantik, rapi begini?""Hari ini kan hari pertama Sumi kerja mak, masak harus telat sih? setidaknya kan Sumu harus memberikan kesan pertama yang baik.""Ya tapi kamu ini kerjanya dikebun nduk, bukan dikantor desa, atau dis
Sumini, gadis dengan kulit sawo matang, rambutnya ikal, namun memiliki tubuh yang sintal.Usianya sudah berada diakhir 20n, namun belum juga menikah, padahal diwaktu itu, teman seusianya rata-rata sudah memiliki anak yang beranjak remaja. Sangat tabu di masyarakat umum anak gadis yang belum menikah diusia segitu, karena umumnya, pada masa itu rata-rata perempuan menikah diusia 15-17tahun. Jika lebih dari itu dan belum juga menikah, maka harus siap jika sebutan perawan tua diberikan kepadanya.Sumini memang tidak terlalu cantik, namun memiliki lekuk tubuh yang menarik. Tuhan menganugerahi bentuk tubuh yang di idam-idamkan banyak wanita kepadanya.Sehingga sering kali digoda lelaki iseng, itu sebabnya banyak wanita yang tak menyukainya, atau mungkin juga karena sikapnya yang acuh dan tak mudah bergaul. Sumini lebih memilih untuk menyendiri dari pada bergaul. Karena sejak kecil, Sumini selalu mendapatkan perlakuan kurang baik dari sekitarnya.Sudah hampir se
Sudah hampir seminggu Sumini terbaring sakit,Semenjak dia tahu kenyataan bahwa sang pujaan hati ternyata sudah beristri,dunia Sumini tak lagi sama.Dia berubah menjadi pendiam.mengurung diri didalam kamar berhari-hari, hanya untuk menangis pedih. Harapan Sumini yang sudah terlanjur membumbung tinggi, kini hancur berserakan. Hatinya pecah, harapannya musnah.Mak Siyem pun kawatir dengan apa yang menimpa Sumini,setiap kali ditanya, Sumini hanya menjawab ingin sendiri.hingga akhirnya Dia menceritakan semua ini kepada nyi Saminah, tak sanggup rasanya dia melihat putri kesayangannya menjadi seperti ini. Seakan hilang arah, tak punya lagi semangat untuk hidup. Mak Siyem prihatin, ini adalah pertama kalinya Sumini jatuh cinta, lalu seketika harus dipatahkan oleh kenyataan. Hatinya ikut sakit, membayangkan kisah masalalunya hatus terulang kepada Sumini.Merasa kawatir dengan apa yang diceritakan mak Siyem, nyi Saminah pun megusulk
Mendengar penuturan ibunya, Sumini merasa mempunyai semangat baru. dia merasa kembali mempunyai harapan, hati yang telah layu, seakan mulai bersemi kembali.Hari ini dia kembali kerja dengan penuh semangat. seumur hidup Dia tak pernah merasakan perasaan ingin memiliki kepada seseorang sebesar ini sebelumnya, sehingga Sumini merasa harus memperjuangkan perasaan ini. Lagi pula, bukankah benar, agamanya pun tak melarang seorang laki-laki memiliki istri lebih dari satu?"Kalaupun memang takdirku tak bisa memilikimu seutuhnya, aku rela kang untuk berbagi, asalkan aku bisa menjadi istri sahmu. Aku berjanji akan berjuang, melakukan apapun untuk mendapatkanmu."Tekad Sumini.***Sumini rela menebalkan muka kepada Tukiman, penolakan halus yang terus dia dapatkan, tak membuat semangatnya surut. Justru tekadnya semakin kuat, rasanya cintanya semakin besar, kekagumannya kepada Tukiman, lelaki yang begitu setia itu seolah seperti pupuk yang membuat perasaanya s
"Sudah to nduk, sudah! Jangan nangis terus, emak juga ikut sedih lihat kamu seperti ini."Mak Siyem mencoba menenangkan Sumini, semenjak mengetahui kenyataan bahwa Tukiman ternyata adalah suami Menik, Sumini seolah kehilangan harapan. Kenyataan menamparnya dengan begitu keras, sehingga hatinya hancur tak berbentuk. Berkali-kali dia merutukki nasib yang tak pernah berpihak kepadanya."Selama ini mak, aku berfikir mereka itu sama-sama keponakanya ki Harjo karena saudara, ternyata mereka keponakanya ki Harjo karena suami istri, sakit hatiku mak, sakit! Kenapa sejak awal Menik tidak pernah cerita? perasaanku kepada Mas Tukiman sudah terlanjur dalam mak. Harapanku sudah terlanjur besar!"Mak Siyem hanya mampu terdiam sekaligus merasa bersalah, karena dulu dia yang membawa Menik datang kerumah ini. Seandainya saja Sumini tidak pernah mengenal Menik, mungkin rasa sakitnya tidak sesakit ini,tidak harus menanggung rasa bersalah ketika dia berjuang merebut hati Tukiman. M
"Bune, tolong suruh orang buat manggil Menik kesini!"Lelaki tua itu terlihat begitu marah, wajahnya memerah hingga memperlihatkan urat-uratnya. Rasa marah serta malu bercampur menjadi satu. Tidak pernah sekalipun dia menyangka, bahwa keponakan yang lugu dan pendiam, keponakannya yang dia kenal jujur, keponakan yang dia rawat dari kecil, bisa mencoreng wajahnya dengan perbuatan sehina itu."Enggeh pak."Saut nyi Saminah dengan kepala tertunduk. Tangan wanita iti terlihat gemetar, selama dia menikah dengan ki Harjo, tak pernah sekalipun dia melihat suaminya itu semarah saat ini."Pak lek, ini semua fitnah pak lek, saya bisa jelaskan.""Diam kamu Man! Bikin malu saja! Apalagi yang mau kamu jelaskan? hari masih pagi, bahkan matahari saja belum muncul, dan kamu sedang tidur dirumah perempuan tanpa baju? sekarang kamu masih mau ngelak? Paklek bener-bener kecewa sama kamu Man! Sama sekali pak lek tidak menyangka bahwa kamu tega melempar kotoran di muka p