Mendengar penuturan ibunya, Sumini merasa mempunyai semangat baru. dia merasa kembali mempunyai harapan, hati yang telah layu, seakan mulai bersemi kembali.
Hari ini dia kembali kerja dengan penuh semangat. seumur hidup Dia tak pernah merasakan perasaan ingin memiliki kepada seseorang sebesar ini sebelumnya, sehingga Sumini merasa harus memperjuangkan perasaan ini. Lagi pula, bukankah benar, agamanya pun tak melarang seorang laki-laki memiliki istri lebih dari satu?
"Kalaupun memang takdirku tak bisa memilikimu seutuhnya, aku rela kang untuk berbagi, asalkan aku bisa menjadi istri sahmu. Aku berjanji akan berjuang, melakukan apapun untuk mendapatkanmu."
Tekad Sumini.
***
Sumini rela menebalkan muka kepada Tukiman, penolakan halus yang terus dia dapatkan, tak membuat semangatnya surut. Justru tekadnya semakin kuat, rasanya cintanya semakin besar, kekagumannya kepada Tukiman, lelaki yang begitu setia itu seolah seperti pupuk yang membuat perasaanya s
"Sudah to nduk, sudah! Jangan nangis terus, emak juga ikut sedih lihat kamu seperti ini."Mak Siyem mencoba menenangkan Sumini, semenjak mengetahui kenyataan bahwa Tukiman ternyata adalah suami Menik, Sumini seolah kehilangan harapan. Kenyataan menamparnya dengan begitu keras, sehingga hatinya hancur tak berbentuk. Berkali-kali dia merutukki nasib yang tak pernah berpihak kepadanya."Selama ini mak, aku berfikir mereka itu sama-sama keponakanya ki Harjo karena saudara, ternyata mereka keponakanya ki Harjo karena suami istri, sakit hatiku mak, sakit! Kenapa sejak awal Menik tidak pernah cerita? perasaanku kepada Mas Tukiman sudah terlanjur dalam mak. Harapanku sudah terlanjur besar!"Mak Siyem hanya mampu terdiam sekaligus merasa bersalah, karena dulu dia yang membawa Menik datang kerumah ini. Seandainya saja Sumini tidak pernah mengenal Menik, mungkin rasa sakitnya tidak sesakit ini,tidak harus menanggung rasa bersalah ketika dia berjuang merebut hati Tukiman. M
"Bune, tolong suruh orang buat manggil Menik kesini!"Lelaki tua itu terlihat begitu marah, wajahnya memerah hingga memperlihatkan urat-uratnya. Rasa marah serta malu bercampur menjadi satu. Tidak pernah sekalipun dia menyangka, bahwa keponakan yang lugu dan pendiam, keponakannya yang dia kenal jujur, keponakan yang dia rawat dari kecil, bisa mencoreng wajahnya dengan perbuatan sehina itu."Enggeh pak."Saut nyi Saminah dengan kepala tertunduk. Tangan wanita iti terlihat gemetar, selama dia menikah dengan ki Harjo, tak pernah sekalipun dia melihat suaminya itu semarah saat ini."Pak lek, ini semua fitnah pak lek, saya bisa jelaskan.""Diam kamu Man! Bikin malu saja! Apalagi yang mau kamu jelaskan? hari masih pagi, bahkan matahari saja belum muncul, dan kamu sedang tidur dirumah perempuan tanpa baju? sekarang kamu masih mau ngelak? Paklek bener-bener kecewa sama kamu Man! Sama sekali pak lek tidak menyangka bahwa kamu tega melempar kotoran di muka p
"Saya memilih hukum adat dijalankan!Saya lebih baik mati dari pada harus mengakui kesalahan yang tidak pernah saya lakukan!"Jawab Tukiman dengan lantang."Heh Tukiman! Jadi kamu mau bilang kalau anak saya berbohong? Rela mempertaruhkan harga dirinya untuk sebuah omong kosong? Bahkan paklekmu sendiri yang menjadi saksi saja kamu masih mengelak?! Jawab Mak siyem yang tak terima dengan keputusan Tukiman. Hatinya mulai gusar. "Tapi saya memang tidak melakukan apapun Mak, kenapa mbak Sumini tega melakukan semua ini kepada saya? Bukankah istriku itu adalah sahabatmu? Apa salah kami mbak?""Justru aku yang seharusnya bertanya kepada sampean, kenapa sampean tega melakukan semua ini kepada saya, sampean nodai saya, lalu tidak mengakui perbuatan itu, dan melimpahkan kesalahan kepada saya, seolah-olah semua ini hanya relayasa. Apa untungnya buat saya dengan melakukan semua ini?"Sumini menjawab
Saat tersadar, tubuhnya sudah ada ditepi sungai, dengan banyak orang yang mengelilinginya. Terdengar ucapan syukur dari mereka saat matanya mulai terbuka. Suara saling berbisik terdengan saling bersahutan. Ternyata dia masih hidup, padahal dia sudah tak berharap akan keselamatanya saat itu, ataukah Tuhan memang punya rencana lain dengan hidupnya? "Untung le, kamu selamat. Tadi waktu saya lagi Memet nyari ikan, saya melihat tubuhmu terseret arus."Jelas salah satu warga yang mengelilinginya. "Matursuwun pak." "Rumahmu mana le? biar dianterkan saja, tubuhmu masih sangat lemah untuk pulang sendiri. Apa mau istirahat dulu dirumah bapak? kebetulan rumah saya tidak jauh dari sini." Tukiman menolak dengan halus. Dia merasa raganya baik-baik saja, namun jiwanyalah yang justru sedang hancur-hancurnya. Tukiman menyebutkan alamat rumahnya setelah terus didesak warga untuk seg
Ada perasaan bahagia, namun juga sedih yang membayangi Sumini.Bahagia karena sebentar lagi dia akan menikah dengan lelaki yang dia inginkan, sebentar lagi dia akan memiliki status baru. Akhirnya, akan ada sosok lelaki dalam keluarganya. Namun Sumini juga sedih, karena lelaki yang dia cintai, tidak menginginkan pernikahan ini. "Westalah nduk, tresno iku jalaran Soko kulino. Kalau saat ini Tukiman tidak mencintaimu, benih-benih cinta itu akan tumbuh dengan seiring berjalanya waktu!" "Tapi, bagaimana dengan Menik Mak?" "Mikirin kok orang lain, apa kamu cukup selamanya hanya berteman dengan Menik? Nangis terus tiap kali melihat kemesraan mereka? Justru karena kalian sudah dekat, akan mudah bagi Menik untuk menerima kamu, sudahlah tidak perlu memikirkan hal itu, yang paling penting sekarang sandang pangan mu akan terjamin dengan menikahi Tukiman, bagaimanapun kelak dia harus adil! Sebantar lagi status sosia
Akhirnya, hari besar itu datang juga.Acara akan dilakukan dirumah pihak laki-laki. Semua ini permintaan Menik, karena sesuai janjinya, dia sendiri yang akan menyiapkan pernikahan untuk sahabat dan suaminya itu. Menik mempersiapkan semua ini dengan sebaik mungkin, walaupun dengan hati hancur. Menik hanya berusaha untuk menerima ini sebagai takdir tuhan. Memang sudah jalannya untuk seperti ini. Rumahpun dia pilih untuk didekorasi dengan hiasan yang meriah, bahkan Menik sendiri jugalah yang menyiapkan baju untuk suaminya, Tukiman.Dia belikan kemeja dan jas terbaik untuk dikenakan hari ini, seolah ini adalah pernikahan yang memang sudah direncanakan dengan matang. Seolah pernikahan ini adalah pernikahan yang diharapkan. Semua aneka makanan yang terbilang mewah juga sudah tersedia dimeja. Menik tidak ingin mempermalukan keluarga mereka dengan tampilan dan suguhan yang apa adanya, karena Dimata masyarakat, k
Acara sudah selesai, Sumini dan ibunya juga sudah diantar pulang. Menik berjalan memasuki kamar AStutik, dia ingin berganti baju sekaligus istirahat disana. Hari ini, dia sungguh merasa sangat lelah, bukan hanya badannya, namun juga hati dan fikirannya. Setegar apapun dia dimata orang lain, seolah ribuan belati menyayat hatinya ketika suaminya mengucap ijab kabuk untuk perempuan lain. Malam ini menik akan tidur dikamar anak perempuannya itu, namun baru saja dia hendak memejamkan mata, terdengar pintu kamar yang terbuka. "Dek, kenapa malah tidur disini? Seharian kamu belum sempat makan, aku dan anak-anak sudah menunggu kamu dari tadi dimeja makan. Ayo kita makan dulu, aku nggak mau kamu sakit." "Aku belum lapar mas" "jangan seperti itu. Kamu belum makan, bagaimana mungkin tidak lapar?" "Perempuan mana mas, yang bisa makan dengan lahap setelah melihat suaminya mengucapkan ijab kabul u
Semula, Sumini memang tidak ada niatan untuk menyakiti Menik. Dia hanya meminta sedikit kebahagiaan dari sahabatnya itu.Semula, dia memang tidak berniat untuk merebut Tukiman dari Menik. Selama ini, Menik sudah memiliki hampir semua yang diinginkan oleh seorang wanita, wajah yang cantik, kulit yang putih bersih, anak-anak yang pintar, harta yang melimpah, disegani masyarakat, juga keluarga yang terpandang.Lalu, salahkah dia bila meminta sedikit saja kebahagiaan itu? Rasanya begitu tamak jika Menik ingin menikmati semua itu sendiri. Bukankah didunia ini tidak ada yang sempurna? Sejak kecil, Sumini hanya dibesarkan oleh seorang ibu. Tempat tinggalnya pun tak tentu, seringkali berpindah karena tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Sejak kecil, Sumini sudah harus bekerja membantu ibunya agar tetap bisa makan untuk hari esok. Bahkan Sumini tidak tahu bagaimana rasanya bermain dengan kawan seusianya. Tidak ada waktu untuk bersenang-senang, tidak