Share

Bab 4

Ibu mertua, mbak Iza dan Mas Marvin tidak berkomentar setelah itu, mereka berjalan menuju ruang tamu dan bercengkrama di sana. Tanpa memperdulikan, aku yang merasa ini semua semakin tak adil. Kenapa mereka selalu bersikap seenaknya kepadaku?

Tragis. Sehumor inikah hidupku?

Kenapa keluarga ini tidak pernah memikirkan perasaanku? Melahirkan bukanlah yang sepele, harusnya mereka menjaga kesehatan jiwa dan ragaku pasca persalinan. Bukannya terus menyalahkan.

Mereka meninggalkanku seolah aku lah orang yang melakukan kesalahan fatal dan benar – benar fatal.

Pun Mas Marvin, semakin hari tingkahnya semakin susah kupahami. Seolah tidak paham, apa yang seharusnya dilakukan seorang suami setelah istrinya melahirkan. Bukan malah menuntut seperti ini.

“Jadi gimana, Dek? Kamu bisa kan pinjemin aku uang? Sebulan lagi akan kubayar.”

Samar – samar terdengar suara manja mengalun dari bibir mbak Iza. Rupanya ini alasan wanita itu jauh – jauh mengunjungi kami. Untuk meminjam uang suamiku.

Kakak ipar keduaku tinggal beda kecamatan dengan kami, dan mengunjungi ibu sebulan sekali.

Mbak Iza terlihat sedang merayu mas Marvin untuk mengeluarkan dompetnya.

“Gimana Marvin? Kamu pinjemin mbakmu uang kan? Kasihan kebutuhannya banyak." Sambar ibu membantu putrinya membujuk Mas Marvin.

“Cuma butuh tiga juta saja kok, Dek. Buat bayar arisan ibu – ibu wali murid TK, mbak udah nunggak banyak,” jelasnya memelas.

Jika sudah begini, pasti mas Marvin akan luluh. Mas Marvin merasa bertanggung jawab atas kebutuhan mbak – mbak dan juga adiknya. Karena dial ah satu – satunya laki – laki di keluarganya. Tidak peduli, harusnya dua kakaknya yang sudah menikah sudah menjadi tanggung jawab suami masing – masing.

Hatiku terasa panas jika menyinggung perkara uang. Mas Marvin belum memberiku uang belanja minggu ini, apalagi pampers anakku hanya cukup untuk dua hari ke depan dan harus beli dekat – dekat ini. Malah, kakaknya mau meminjam uang tanpa peduli kebutuhan adiknya yang semakin banyak setelah resmi menjadi orangtua baru.

“Mas, pampers aghis waktunya beli,” akhinya kuberanikan muncul dengan mengalihkan topik pembicaraan kita.

Niatku, biar mbak Iza paham bahwa kebutuhan kami semakin bertambah dan mengurungkan niatnya meminjak uang.

Kutengok, Mbak Iza semakin cemberut menatapku. Pun ibu, melirikku dengan tampang judes.

Penghasilan suamiku memang di atas UMR. Sebagai karyawan IT di salah satu perusahaan besar di kota kami. Sebulan bisa mencapai 6 juta, bahkan 7 juta jika mendapat bonus.

Dua juta akan dialihkan untuk kuliah adiknya, Resita. 1,5 juta untuk kebutuhan ibunya dan sisanya untuk kebutuhan rumah tangga kami. Meski, aku sendiri merasa mas Marvin hanya memberiku uang bersih tidak kurang 2 juta untuk kebutuhan dapur, listrik dan keperluan bayi. Itu pun rasanya sangat mepet.

Di mana uang lebihan dari gaji mas Marvin? Sebagian dipergunakan untuk membayar cicilan mobil mas Marvin dan juga kebutuhan mendadak. Kadang untuk biaya berobat ibu, kadang juga ibu mertua kerap tiba – tiba meminta untuk kebutuhan lain.

“Kamu tahu sopan santun nggak sih Furika? Aku belum selesai ngobrol sama adikku, dan kamu menyelanya.” Bukannya sungkan, mbak Iza malah memarahiku lagi.

Apa tidak ada kalimat halus yang bisa dikatakan selain ucapan seperti itu?

“Maaf mbak Iza, aku hanya mengingatkan mas Marvin kalau uang belanjaku minggu ini habis, waktunya belanja pampers sama bayar listrik juga,” jelasku dengan suara keras. Berharap mas Marvin peka dan mengurungkan niatnya meminjakan uang kepada kakak keduanya.

Bukan karena  tanpa alasan.

Mbak Iza sudah meminjam uang mas Marvin bulan lalu, mbak Iza meminjam uang 1,5 juta untuk membayar cicilan sepeda katanya, namun sampai bulan ini juga tak kunjung diganti.  Meski pun jumlahnya tidak banyak tetap saja Namanya hutang.

“Oh, jadi kamu mau ngelarang adikku minjemin uang kakaknya?” mbak Iza melirikku dengan tatapan sewot. Kemudian, menoleh ke sisi ibu mertua seolah sedang mengirim kode.

“Furika, jangan ikut campur urusan keluarga kami, itu kan uang suamimu bukan uangmu, jadi kamu tidak berhak melarang Marvin untuk meminjamkan uang kepada kakaknya,” timpal ibu mertua tanpa menatapku.

Aku menduduki kursi kosong di seberang mereka dengan wajah tertunduk.

“Kamu sendiri juga boros sebagai istri, apa tidak bisa Aghis tidak memakai pampers? Jangan malas mencuci kamu.”

“Iya benar, dulu Afifah tidak pernah memakai pampers, kami menggunakan popok kain agar lebih aman,” sahut mbak Iza memperkuat ucapan ibunya.

Marvin tidak berkomentar dan hanya meliriknya sekilas.

“Benar Marvin, bilang ke istrimu, pampers itu bisa bikin iritasi, biar tidak boros juga mendingan pakai popok kain saja,” ucap ibu mertua lagi kepada suamiku.

Dan disusul anggukan kepala Marvin, seolah ucapan ibu mertua berhasil mempengaruhi pemikiran suamiku.

Sangat susah memberi pengertian orang keras kepala. Apalagi menjadi minoritas di sini. Sepertinya, memang keluarga mas Marvin tidak ada yang suka denganku dan terus berusaha merendahkanku.

Kata siapa pampers bikin iritasi? Iya benar memang, jika lebih dari lima jam tidak di ganti dan tidak pernah diberi krim anti ruam. Dan itu tidak berlaku untukku. Aku sangat primpen merawat anakku.

Aku hanya menggunakan pampers saat malam hari saja, itu pun ganti tiga sampai empat jam sekali agar lebih hemat. Tidak pernah Aghis mengeluh kesakitan, tidak ada efek samping dari penggunaan pampers selama ini.

Begini pun aku sangat merasa kepada anakku, karena tidak mematuhi aturan mengganti pampers dua jam sekali untuk menghemat pengeluaran.

Mereka hanya menyudutkan dan terus menyudutkanku.

“Sebaiknya, kamu dengarkan kata ibu dan mbak Iza yang lebih berpengalaman Furika, aku setuju jika Aghis tidak menggunakan pampers lagi," ujar Mas Marvin.

Menyebalkan, lagi – lagi Marvin mudah terpengaruh dengan ucapan ibu dan iparku. Jika begini jadinya, aku hanya bisa diam mengalah.

“Mbak, uangnya akan kutransfer nanti ya,” janji Marvin sambil mengurut keningnya dengan tangan kanannya.

Senyum lebar muncul di wajah mbak Iza kemudian, ia melirikku dengan raut mengejek seolah ‘berhasil’ mengalahkanku mempengaruhi Mas Marvin. Terus dan terus, wanita itu cengar – cengir sambil bertukar pandang dengan ibu mertua.

“Aduh! Anakmu ngompol, bayi nakal!” Pekiknya.

Raut mbak Iza berubah kaget saat tiba – tiba merasakan pahanya basah. Ternyata, putra kesayanganku pipis di atas pangkuannya.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status