Ibu mertua, mbak Iza dan Mas Marvin tidak berkomentar setelah itu, mereka berjalan menuju ruang tamu dan bercengkrama di sana. Tanpa memperdulikan, aku yang merasa ini semua semakin tak adil. Kenapa mereka selalu bersikap seenaknya kepadaku?
Tragis. Sehumor inikah hidupku?
Kenapa keluarga ini tidak pernah memikirkan perasaanku? Melahirkan bukanlah yang sepele, harusnya mereka menjaga kesehatan jiwa dan ragaku pasca persalinan. Bukannya terus menyalahkan.
Mereka meninggalkanku seolah aku lah orang yang melakukan kesalahan fatal dan benar – benar fatal.
Pun Mas Marvin, semakin hari tingkahnya semakin susah kupahami. Seolah tidak paham, apa yang seharusnya dilakukan seorang suami setelah istrinya melahirkan. Bukan malah menuntut seperti ini.
“Jadi gimana, Dek? Kamu bisa kan pinjemin aku uang? Sebulan lagi akan kubayar.”
Samar – samar terdengar suara manja mengalun dari bibir mbak Iza. Rupanya ini alasan wanita itu jauh – jauh mengunjungi kami. Untuk meminjam uang suamiku.
Kakak ipar keduaku tinggal beda kecamatan dengan kami, dan mengunjungi ibu sebulan sekali.
Mbak Iza terlihat sedang merayu mas Marvin untuk mengeluarkan dompetnya.
“Gimana Marvin? Kamu pinjemin mbakmu uang kan? Kasihan kebutuhannya banyak." Sambar ibu membantu putrinya membujuk Mas Marvin.
“Cuma butuh tiga juta saja kok, Dek. Buat bayar arisan ibu – ibu wali murid TK, mbak udah nunggak banyak,” jelasnya memelas.
Jika sudah begini, pasti mas Marvin akan luluh. Mas Marvin merasa bertanggung jawab atas kebutuhan mbak – mbak dan juga adiknya. Karena dial ah satu – satunya laki – laki di keluarganya. Tidak peduli, harusnya dua kakaknya yang sudah menikah sudah menjadi tanggung jawab suami masing – masing.
Hatiku terasa panas jika menyinggung perkara uang. Mas Marvin belum memberiku uang belanja minggu ini, apalagi pampers anakku hanya cukup untuk dua hari ke depan dan harus beli dekat – dekat ini. Malah, kakaknya mau meminjam uang tanpa peduli kebutuhan adiknya yang semakin banyak setelah resmi menjadi orangtua baru.
“Mas, pampers aghis waktunya beli,” akhinya kuberanikan muncul dengan mengalihkan topik pembicaraan kita.
Niatku, biar mbak Iza paham bahwa kebutuhan kami semakin bertambah dan mengurungkan niatnya meminjak uang.
Kutengok, Mbak Iza semakin cemberut menatapku. Pun ibu, melirikku dengan tampang judes.
Penghasilan suamiku memang di atas UMR. Sebagai karyawan IT di salah satu perusahaan besar di kota kami. Sebulan bisa mencapai 6 juta, bahkan 7 juta jika mendapat bonus.
Dua juta akan dialihkan untuk kuliah adiknya, Resita. 1,5 juta untuk kebutuhan ibunya dan sisanya untuk kebutuhan rumah tangga kami. Meski, aku sendiri merasa mas Marvin hanya memberiku uang bersih tidak kurang 2 juta untuk kebutuhan dapur, listrik dan keperluan bayi. Itu pun rasanya sangat mepet.
Di mana uang lebihan dari gaji mas Marvin? Sebagian dipergunakan untuk membayar cicilan mobil mas Marvin dan juga kebutuhan mendadak. Kadang untuk biaya berobat ibu, kadang juga ibu mertua kerap tiba – tiba meminta untuk kebutuhan lain.
“Kamu tahu sopan santun nggak sih Furika? Aku belum selesai ngobrol sama adikku, dan kamu menyelanya.” Bukannya sungkan, mbak Iza malah memarahiku lagi.
Apa tidak ada kalimat halus yang bisa dikatakan selain ucapan seperti itu?
“Maaf mbak Iza, aku hanya mengingatkan mas Marvin kalau uang belanjaku minggu ini habis, waktunya belanja pampers sama bayar listrik juga,” jelasku dengan suara keras. Berharap mas Marvin peka dan mengurungkan niatnya meminjakan uang kepada kakak keduanya.
Bukan karena tanpa alasan.
Mbak Iza sudah meminjam uang mas Marvin bulan lalu, mbak Iza meminjam uang 1,5 juta untuk membayar cicilan sepeda katanya, namun sampai bulan ini juga tak kunjung diganti. Meski pun jumlahnya tidak banyak tetap saja Namanya hutang.
“Oh, jadi kamu mau ngelarang adikku minjemin uang kakaknya?” mbak Iza melirikku dengan tatapan sewot. Kemudian, menoleh ke sisi ibu mertua seolah sedang mengirim kode.
“Furika, jangan ikut campur urusan keluarga kami, itu kan uang suamimu bukan uangmu, jadi kamu tidak berhak melarang Marvin untuk meminjamkan uang kepada kakaknya,” timpal ibu mertua tanpa menatapku.
Aku menduduki kursi kosong di seberang mereka dengan wajah tertunduk.
“Kamu sendiri juga boros sebagai istri, apa tidak bisa Aghis tidak memakai pampers? Jangan malas mencuci kamu.”
“Iya benar, dulu Afifah tidak pernah memakai pampers, kami menggunakan popok kain agar lebih aman,” sahut mbak Iza memperkuat ucapan ibunya.
Marvin tidak berkomentar dan hanya meliriknya sekilas.
“Benar Marvin, bilang ke istrimu, pampers itu bisa bikin iritasi, biar tidak boros juga mendingan pakai popok kain saja,” ucap ibu mertua lagi kepada suamiku.
Dan disusul anggukan kepala Marvin, seolah ucapan ibu mertua berhasil mempengaruhi pemikiran suamiku.
Sangat susah memberi pengertian orang keras kepala. Apalagi menjadi minoritas di sini. Sepertinya, memang keluarga mas Marvin tidak ada yang suka denganku dan terus berusaha merendahkanku.
Kata siapa pampers bikin iritasi? Iya benar memang, jika lebih dari lima jam tidak di ganti dan tidak pernah diberi krim anti ruam. Dan itu tidak berlaku untukku. Aku sangat primpen merawat anakku.
Aku hanya menggunakan pampers saat malam hari saja, itu pun ganti tiga sampai empat jam sekali agar lebih hemat. Tidak pernah Aghis mengeluh kesakitan, tidak ada efek samping dari penggunaan pampers selama ini.
Begini pun aku sangat merasa kepada anakku, karena tidak mematuhi aturan mengganti pampers dua jam sekali untuk menghemat pengeluaran.
Mereka hanya menyudutkan dan terus menyudutkanku.
“Sebaiknya, kamu dengarkan kata ibu dan mbak Iza yang lebih berpengalaman Furika, aku setuju jika Aghis tidak menggunakan pampers lagi," ujar Mas Marvin.
Menyebalkan, lagi – lagi Marvin mudah terpengaruh dengan ucapan ibu dan iparku. Jika begini jadinya, aku hanya bisa diam mengalah.
“Mbak, uangnya akan kutransfer nanti ya,” janji Marvin sambil mengurut keningnya dengan tangan kanannya.
Senyum lebar muncul di wajah mbak Iza kemudian, ia melirikku dengan raut mengejek seolah ‘berhasil’ mengalahkanku mempengaruhi Mas Marvin. Terus dan terus, wanita itu cengar – cengir sambil bertukar pandang dengan ibu mertua.
“Aduh! Anakmu ngompol, bayi nakal!” Pekiknya.
Raut mbak Iza berubah kaget saat tiba – tiba merasakan pahanya basah. Ternyata, putra kesayanganku pipis di atas pangkuannya.
Sudah menjelang magrib, tapi toko baju masih ramai pengunjung. Furika sudah Lelah mengurus banyak hal hari ini, dan akhirnya menyerahkan semua pelayanan toko kepada karyawannya.Ia ingin bergegas pulang, Kembali ke rumah dan berjumpa dengan putra kesayangan. Namun ternyata, Aghis sudah diantar pengasuhnya ke toko karena pengasuhnya harus segera pulang karena sebuah urusan.“Sayang, kangen bunda ya?” tanya Furika sembari menciumi kedua pipi bayi yang baru genap delapan bulan.Bayi mungil itu hanya meringis sejurus kemudian memeluk Furika dengan sangat manja.Tidak terasa, bayinya tumbuh besar sangat cepat dan tumbuh menjadi anak yang sehat. Aghis tidak pernah rewel saat diasuh. Menjadi anak penurut dan tidak merepotkan selama Furika merawatnya seorang diri.Meski hari-hari Furika pahit dan sepi karena statusnya menjadi orangtua tunggal. Senyum Aghis selalu berhasil membenamkan semua perih yang Furika pendam selama ini.Luka pengkhianatan, direndahkan bahkan sampai perceraian, semua suda
Selepas mengirim semua paket orderan online, Furika masih disibukkan mengurus toko online untuk laporan penjualan dan setelah itu menemui salah satu selebgram yang ia sewa untuk mempromosikan toko bajunya. Toko baju yang ia Kelola memang toko baju biasa yang tidak mempunyai brand khusus. Namun bagi seorang Furika, wajib hukumnya merawat usaha yang ia geluti dengan maksimal untuk mendapatkan keuntungan maksimal juga.Apalagi di era serba modern seperti ini, Furika ingin memaksimalkan promosi online agar calon pembelinya tertarik.“Ibu owner makin hari makin sibuk aja,” goda Irzham sambal mengapit kedua mukanya dengan menelungkupkan dua tangan. Pria itu memang tak bosan-bosannya menggodai sang pujaan, meski Furika kerap ngambek karena ocehan Irzham berhasil merusak fokusnya.“Ibu owner jangan sibuk terus, dong. Sini temenin saya ngeteh,” ocehnya lagi mencari perhatian.Usahanya yang kedua, berhasil membuat Furika berdecak dan melengos ke arahnya.“Apa’an sih, dari tadi gangguin terus,”
"Kamu nggak papa, kan?"Seorang pria berjalan sedikit terburu mendekati Furika dengan wajah dipenuhi raut khawatir. Kehadirannya memang terlambat, tidak bersamaan dengan keluarga Marvin yang kebetulan menginjakkan kaki di toko Furika.Dia amat menyesal dan berpikir yang tidak-tidak. Bagaimana Nasib Wanita pujaanya? Apakah dia sakit hati usai dihina mantan mertua dan suaminya? Begitulah yang terlintas di otak Irzham setelah mendengar kabar bahwa Santika beserta sang mantan suami berkunjung ke toko Furika."Si Marvin sama keluarganya emang keterlaluan, ya? untung kamu sabar." Irzham semakin dirundung kesal usai Furika menjelaskan kronologi keluarga mantan suaminya saat berjumpa dengan Furika.Furika tidak begitu sedih, tidak pula kesal. Setelah memutuskan berpisah dengan Marvin, Furika sudah siap menanggung semua resiko yang akan ia temui dikemudian hari. Termasuk, semakin dibenci laki-laki yang amat ia cintai. Marvin.Bagi Furika, mengenyam hinaan dan cacian Santika adalah hal biasa.
"Izham, kayaknya ini terlalu berlebihan deh," serat Furika dengan terus mengedarkan pandang ke seluruh ruangan.Furika memang sangat senang, senang sekali dan tidak menyangka dirinya akan menjadi owner toko baju dengan ukuran toko sebesar ini.Bayangan Furika, toko baju yang akan dibeli Irzham tidak sebesar toko baju yang ia singgahi sekarang. Tempatnya sangat luas, mewah dan dipenuhi aneka baju berjejer rapi di seluruh sudut yang ada.Matanya tidak bisa berkedip semenjak tadi."Aku nggak berlebihan kok Furi, ini adalah ganjaran untuk hasil kerasmu selama ini," kilah Irzhan dengan senyumnya yang bersahaja."Jadi, jangan anggap aku membelikan kamu toko ini secara cuma-cuma, ini nggak gratis, kok," imbuhnya lagi."Aku jadi terharu, makasih Zam. Aku janji akan urus toko ini biar terus berkembang," sirah Furika sungguh-sungguh. Netranya berkaca haru, ingin menangis namun berusaha tidak menangis."Aku suka gayamu, hehe."Setelah berpisah dari Marvin, Furika benar-benar mengatur strategi un
Sebenarnya Marvin cukup kesal dengan kejadian yang mengusiknya pagi-pagi buta. Tempat nyaman yang ia tinggali, akhirnya harus ia relakan diambil alih orang lain. Marvin sadar diri, memang tidak seharusnya ia menguasai rumah itu, karena memang rumah yang ia inggali dengan Isyani tidak lain adalah hak milik Furika."Tidak perlu sedih bu, aku tinggal di rumah ibu tidak akan lama," ujar Marvin berusaha menenangkan sang ibu.Sejak mengetahui putranya terancam jadi gelandangan, jelaslah sang ibu sedih dan tidak tega. Sedangkan, tidak mungkin Marvin dan Isyani tinggal di rumahnya. Sebab, rumah yang ia tinggali sekarang bakal di waris oleh adik terakhir Marvin."Nggak sedih gimana toh, kamu bakal jadi gelandangan nak! Memang Furika keterlaluan, bisa-bisanya jual rumah kamu!" omelnya kian kesal."Ibu lupa sesuatu?" celetuk Marvin memelankan ucapannya.Marvin sedang berada di kamar sang ibu, sementara Isyani tengah sibuk menata barang di kamar Marvin."Lupa? lupa apa lagi?" oceh sang Ibu tambah
POV Marvin Pagi-pagi buta, ketenangan Marvin dan Isyani terusik ketika ada dua tamu yang menginjakkan kaki di rumah mereka. Tepatnya, pukul 07.00 saat Marvin siap-siap berangkat ke kantor. "Kalian ini ngaco? tidak mungkin saya menjual rumah yang masih saya tempati. Aneh kalian." Ketus Marvin kesal. Sejak tadi ia menjelaskan bahwa ia tidak merasa menawarkan rumahnya kepada siapapun, namun dua tamu yang berkunjung ke rumahnya masih saja kekeuh. "Memang bukan anda yang menawarkan, karena anda bukan pemilik sah rumah ini," balas Jovi tidak mau kalah. Jovi adalah Asisten kepercayaan Irzham yang dikirim untuk mengurus perkara jual rumah Isyani. Dan pak Somad adalah saudagar kaya yang berniat membeli rumah Isyani secepatnya. Marvin geleng-geleng tertawa, dia ngeri sendiri jika benar rumah ini dijual oleh Isyani. Namun seingatnya, Isyani tidak pernah membahas surat tanah dan rumah yang selama ini ia sembunyikan. "Ah, nggak mungkin Isyani yang menjual rumah ini, surat-suratnya sudah kusem