Share

Bab 5

Aku semakin kesal dengan hasil musyawarah tadi sore, benar – benar Mas Marvin langsung terpengaruh begitu saja dengan ucapan mbak Iza dan ibu mertua. Malam ini, Aghis tidak diperkenankan memakai pampers oleh suamiku, dan apa yang terjadi?

Sejak sore dia menangis tak berhenti, sebab risih dengan kain basah yang harus diganti setiap kali bayiku buang air kecil. Tidurnya jadi tak nyenyak dan dia semakin rewel.

Aku belum istirahat sejak pagi, ibu Mas Marvin melarangku tidur siang karena ‘pamali’ katanya. Sementara, sore pun aku tidak berani tidur sebab ada mbak iza dan ibu mertua di rumahku. Mereka akan berkomentar yang tidak – tidak jika melihatku tidur sementara, bayiku tidak ada yang menjaga.

Sangat miris bukan? Harusnya, setelah melahirkan seorang ibu harus memaksimalkan istirahat. Karena akan mempercepat pemulihan dan juga bisa berpengaruh terhadap derasnya ASI. Tapi mau bagaimana lagi, support sistemku alias mas bojo juga tidak peduli dengan apa yang sedang kualami.

“Mas, gantiin jaga’in Aghis dong, aku mau tidur sebentar,” pintaku kepada Mas Marvin yang selojoran memainkan gawainya.

Mas Marvin hanya melirikku sekilas, dan kembali menatap layer ponselnya.

“Mas, kamu dengerin aku kan?” karena kesabaranku semakin terkuras dengan sikap suami yang tidak memahami keadaanku sekarang, terpaksa aku protes kepadanya.

“Furika, coba dong pahami aku, seharian aku kerja cariin kamu uang, masak kamu nyuruh aku gendong Aghis, sekarang waktuku istirahat!” protes Aghis mendengus kesal.

Seharian bekerja? Lalu bagaimana dengan aku? Memasak sejak subuh, mencuci dan nyetrika malam hari dan begadang nidurin Aghis bayi mungil kesayanganku, apa aku tidak perlu istirahat?

Bahuku sampai terasa nyeri linu – linu lantaran berjam – jam menggendong bayiku. Ah, aku Lelah mengeluh.

“Aku juga capek mas, seharian ngurus Aghis,” balasku membela diri.

“Capek ngurus Aghis?”

“Oh, jadi bener ya kata ibu, ternyata kamu malas ngurus anak kita, begitu?:” Mas Marvin berdiri dari duduknya menatapku mulai emosi.

Sakit hati aku mendengar ucapan suamiku. Kenapa dia semakin seenaknya saja? Apa Mas Marvin tidak pernah berfikir bahwa melakukan semua aktivitas di rumah juga melelahkan? Apalagi, aku di rumah saja tidak ada hiburan di rumah ini selain televisi. Tidak ada teman yang mengajak bersenda gurau.

“Mas, jangan gampang terpengaruh omongan ibu dong, aku Cuma minta kamu jagain anak kita sebentar, aku belum tidur sejak semalam..” terpaksa kucoba menjelaskan kepada Mas Marvin.

“Benar – benar kamu Furika, sekarang kamu malah ngatain ibuku,” cecar Mas Marvin. Diambilnya dengan paksa Aghis yang kugendong, gegas melenggangkan kaki entah pergi ke mana. Tanpa meninggalkan banyak kata.

****

Karena benar – benar sangat Lelah, aku tidak memperdulikan apa yang dikatakan Mas Marvin tadi dan segera merebahkan tubuh di sofa. 24 jam lebih tidak tidur, membuatku langsung terlelap nyenyak. Tubuhku terasa lebih rilek dan enakan.

“Furika! Kamu bener – bener ya!”

Bentakan itu, sontak membuatku kaget. Tidak sampai lima menit aku terlelap tiba – tiba dibangunkan begitu saja dengan suara cempereng.

Dengan malas kubuka mata, dan sosok itu sudah berdiri di depanku dengan tampang sewotnya.

“Suamimu capek – capek seharian kerja, malah kamu suruh momong!” Hardiknya lagi sambil menggendong bayiku.

“Ibu,” lirihku membangkitkan tubuh payahku terduduk.

“Marvin itu capek, harus istirahat karena besok kerja, urus anakmu sendiri ya!” ucapnya ngomel – ngomel sembari mengulurkan Aghis ke arahku.

Segera kugendong bayiku yang mulai nangis lagi dan segera kutenangkan. Entah ke mana sosok Mas Marvin, aku tak menjumpainya lagi. Mungkin, sedang tidur di rumah ibu.

****

Air mataku, entah kenapa meleleh tak terundang.

Lama – lama aku juga Lelah jika seperti ini, mengurus bayi sendiri dan terus ditekan dengan banyak tuntutan. Harusnya mereka paham, ini adalah pengalaman pertamaku menjadi ibu, aku butuh adaptasi dan mereka harus membantu dan mensuportku.

Ah, percuma jika terus mendumal sendirian seperti ini. Yang ada, hatiku semakin nyesek dibuatnya.

Anakku sudah tidur nyenyak dalam gendongan, agar tidak terbangun dan tidurnya maksimal akhirnya kuputuskan menggendongnya lebih lama agar tidurnya semakin pulas.

Sebenarnya, saat – saat seperti ini harus kupergunakan untuk istirahat juga. Tapi, aku teringat satu hal. Mas Marvin menyuruhku mencuci kemeja bata kesukaannya, karena akan dipakai lagi besok.

Akhirnya, kubaringkan anakku di kamar, gegas kulakukan pekerjaan mencuciku sebelum Aghis terbangun lagi.

Seperti biasa, sebelum membasahi baju kotor suamiku, aku selalu mengecek saku celana mau pun atasan, sangat takut jika ada barang penting yang tidak sengaja basah dan fatal akibatnya. Mas Marvin pasti akan marah besar.

“Tuh kan, ada flasdisk di saku celana, untung aku cek dulu,” gumamku bangga berhasil menyelamatkan barang kecil sejuta manfaat milik mas Marvin.

Aku kembali merogoh saku bagian kanan celananya, dan menemukan sebuah kertas dalam genggaman. Kertas yang ditemukan di saku pun juga tidak boleh kuabaikan, bagaimana jika ternyata itu dokumen atau catatan penting?

Kuambil kertas itu, dan memastikan apa tulisannya.

“Citra Wangi Beauty,” ucapku membaca judul kertas. Ternyata, kwitansi pembayaran dari salah satu toko kosmetik.

Apa? Toko kosmetik? Kenapa mas Marvin ke toko kosmetik?

Kubaca dengan jeli, rentetan daftar barang yang dibeli ada lip cream, pensil alis dan aneka skincare yang semuanya bermerek skincare mahal. Totalnya hampil satu setengah juta. Keningku semakin mengernyit, kenapa mas Marvin membeli skincare sebanyak ini? Untuk siapa? Tidak mungkin suamiku memaiak lipstick bukan?  

Sementara, aku sendiri juga tidak merasa memesannya dan tidak pernah memakai skincare dan aneka kosmetik semenjak resign dari tempatku bekerja. Kondisiku yang hamil membuatku menyetop segala pemakaian bahan kimia agar tidak berpengaruh kepada bayiku.

Toh, sekarang aku juga tidak punya uang banyak untuk membeli aneka skincare dan produk kosmetik mahal seperti dulu.

Aku masih bergeming menerka – nerka. Aku jadi curiga, tapi tidak mungkin berpikir yang tidak – tidak. Karena mas Marvin yang kukenal selama ini tergolong pria yang tidak neko – neko.

“Ah, mungkin hanya titipan orang, atau punya Sinta,” gumamku menenangkan batin. Sinta adalah adik terakhir mas Marvin.

“Dek, buatin kopi aku!” suruh mas Marvin yang tiba – tiba muncul batang hidungnya. Sejak kapan dia ada di rumah? Udah kelar ngambeknya?

“Bentar mas, mau nyuci baju kamu,” jawabku

“Kamu jangan kebiasaan dong dek, selalu saja menunda pas kusuruh!” Protesnya kemudian.

Aku kembali bergeming menatap suamiku. Kenapa sikapnya semakin seperti anak kecil saja. Tidak pernah mau mengerti keadaanku.

“Buat sendiri nggak bisa, Mas?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status