Aku semakin kesal dengan hasil musyawarah tadi sore, benar – benar Mas Marvin langsung terpengaruh begitu saja dengan ucapan mbak Iza dan ibu mertua. Malam ini, Aghis tidak diperkenankan memakai pampers oleh suamiku, dan apa yang terjadi?
Sejak sore dia menangis tak berhenti, sebab risih dengan kain basah yang harus diganti setiap kali bayiku buang air kecil. Tidurnya jadi tak nyenyak dan dia semakin rewel.
Aku belum istirahat sejak pagi, ibu Mas Marvin melarangku tidur siang karena ‘pamali’ katanya. Sementara, sore pun aku tidak berani tidur sebab ada mbak iza dan ibu mertua di rumahku. Mereka akan berkomentar yang tidak – tidak jika melihatku tidur sementara, bayiku tidak ada yang menjaga.
Sangat miris bukan? Harusnya, setelah melahirkan seorang ibu harus memaksimalkan istirahat. Karena akan mempercepat pemulihan dan juga bisa berpengaruh terhadap derasnya ASI. Tapi mau bagaimana lagi, support sistemku alias mas bojo juga tidak peduli dengan apa yang sedang kualami.
“Mas, gantiin jaga’in Aghis dong, aku mau tidur sebentar,” pintaku kepada Mas Marvin yang selojoran memainkan gawainya.
Mas Marvin hanya melirikku sekilas, dan kembali menatap layer ponselnya.
“Mas, kamu dengerin aku kan?” karena kesabaranku semakin terkuras dengan sikap suami yang tidak memahami keadaanku sekarang, terpaksa aku protes kepadanya.
“Furika, coba dong pahami aku, seharian aku kerja cariin kamu uang, masak kamu nyuruh aku gendong Aghis, sekarang waktuku istirahat!” protes Aghis mendengus kesal.
Seharian bekerja? Lalu bagaimana dengan aku? Memasak sejak subuh, mencuci dan nyetrika malam hari dan begadang nidurin Aghis bayi mungil kesayanganku, apa aku tidak perlu istirahat?
Bahuku sampai terasa nyeri linu – linu lantaran berjam – jam menggendong bayiku. Ah, aku Lelah mengeluh.
“Aku juga capek mas, seharian ngurus Aghis,” balasku membela diri.
“Capek ngurus Aghis?”
“Oh, jadi bener ya kata ibu, ternyata kamu malas ngurus anak kita, begitu?:” Mas Marvin berdiri dari duduknya menatapku mulai emosi.
Sakit hati aku mendengar ucapan suamiku. Kenapa dia semakin seenaknya saja? Apa Mas Marvin tidak pernah berfikir bahwa melakukan semua aktivitas di rumah juga melelahkan? Apalagi, aku di rumah saja tidak ada hiburan di rumah ini selain televisi. Tidak ada teman yang mengajak bersenda gurau.
“Mas, jangan gampang terpengaruh omongan ibu dong, aku Cuma minta kamu jagain anak kita sebentar, aku belum tidur sejak semalam..” terpaksa kucoba menjelaskan kepada Mas Marvin.
“Benar – benar kamu Furika, sekarang kamu malah ngatain ibuku,” cecar Mas Marvin. Diambilnya dengan paksa Aghis yang kugendong, gegas melenggangkan kaki entah pergi ke mana. Tanpa meninggalkan banyak kata.
****
Karena benar – benar sangat Lelah, aku tidak memperdulikan apa yang dikatakan Mas Marvin tadi dan segera merebahkan tubuh di sofa. 24 jam lebih tidak tidur, membuatku langsung terlelap nyenyak. Tubuhku terasa lebih rilek dan enakan.
“Furika! Kamu bener – bener ya!”
Bentakan itu, sontak membuatku kaget. Tidak sampai lima menit aku terlelap tiba – tiba dibangunkan begitu saja dengan suara cempereng.
Dengan malas kubuka mata, dan sosok itu sudah berdiri di depanku dengan tampang sewotnya.
“Suamimu capek – capek seharian kerja, malah kamu suruh momong!” Hardiknya lagi sambil menggendong bayiku.
“Ibu,” lirihku membangkitkan tubuh payahku terduduk.
“Marvin itu capek, harus istirahat karena besok kerja, urus anakmu sendiri ya!” ucapnya ngomel – ngomel sembari mengulurkan Aghis ke arahku.
Segera kugendong bayiku yang mulai nangis lagi dan segera kutenangkan. Entah ke mana sosok Mas Marvin, aku tak menjumpainya lagi. Mungkin, sedang tidur di rumah ibu.
****
Air mataku, entah kenapa meleleh tak terundang.
Lama – lama aku juga Lelah jika seperti ini, mengurus bayi sendiri dan terus ditekan dengan banyak tuntutan. Harusnya mereka paham, ini adalah pengalaman pertamaku menjadi ibu, aku butuh adaptasi dan mereka harus membantu dan mensuportku.
Ah, percuma jika terus mendumal sendirian seperti ini. Yang ada, hatiku semakin nyesek dibuatnya.
Anakku sudah tidur nyenyak dalam gendongan, agar tidak terbangun dan tidurnya maksimal akhirnya kuputuskan menggendongnya lebih lama agar tidurnya semakin pulas.
Sebenarnya, saat – saat seperti ini harus kupergunakan untuk istirahat juga. Tapi, aku teringat satu hal. Mas Marvin menyuruhku mencuci kemeja bata kesukaannya, karena akan dipakai lagi besok.
Akhirnya, kubaringkan anakku di kamar, gegas kulakukan pekerjaan mencuciku sebelum Aghis terbangun lagi.
Seperti biasa, sebelum membasahi baju kotor suamiku, aku selalu mengecek saku celana mau pun atasan, sangat takut jika ada barang penting yang tidak sengaja basah dan fatal akibatnya. Mas Marvin pasti akan marah besar.
“Tuh kan, ada flasdisk di saku celana, untung aku cek dulu,” gumamku bangga berhasil menyelamatkan barang kecil sejuta manfaat milik mas Marvin.
Aku kembali merogoh saku bagian kanan celananya, dan menemukan sebuah kertas dalam genggaman. Kertas yang ditemukan di saku pun juga tidak boleh kuabaikan, bagaimana jika ternyata itu dokumen atau catatan penting?
Kuambil kertas itu, dan memastikan apa tulisannya.
“Citra Wangi Beauty,” ucapku membaca judul kertas. Ternyata, kwitansi pembayaran dari salah satu toko kosmetik.
Apa? Toko kosmetik? Kenapa mas Marvin ke toko kosmetik?
Kubaca dengan jeli, rentetan daftar barang yang dibeli ada lip cream, pensil alis dan aneka skincare yang semuanya bermerek skincare mahal. Totalnya hampil satu setengah juta. Keningku semakin mengernyit, kenapa mas Marvin membeli skincare sebanyak ini? Untuk siapa? Tidak mungkin suamiku memaiak lipstick bukan?
Sementara, aku sendiri juga tidak merasa memesannya dan tidak pernah memakai skincare dan aneka kosmetik semenjak resign dari tempatku bekerja. Kondisiku yang hamil membuatku menyetop segala pemakaian bahan kimia agar tidak berpengaruh kepada bayiku.
Toh, sekarang aku juga tidak punya uang banyak untuk membeli aneka skincare dan produk kosmetik mahal seperti dulu.
Aku masih bergeming menerka – nerka. Aku jadi curiga, tapi tidak mungkin berpikir yang tidak – tidak. Karena mas Marvin yang kukenal selama ini tergolong pria yang tidak neko – neko.
“Ah, mungkin hanya titipan orang, atau punya Sinta,” gumamku menenangkan batin. Sinta adalah adik terakhir mas Marvin.
“Dek, buatin kopi aku!” suruh mas Marvin yang tiba – tiba muncul batang hidungnya. Sejak kapan dia ada di rumah? Udah kelar ngambeknya?
“Bentar mas, mau nyuci baju kamu,” jawabku
“Kamu jangan kebiasaan dong dek, selalu saja menunda pas kusuruh!” Protesnya kemudian.
Aku kembali bergeming menatap suamiku. Kenapa sikapnya semakin seperti anak kecil saja. Tidak pernah mau mengerti keadaanku.
“Buat sendiri nggak bisa, Mas?”
"Kamu jangan kebiasaan dong dek, selalu saja menunda pas kusuruh!” protes Mas Marvin kemudian.Aku kembali bergeming menatap suamiku. Kenapa sikapnya semakin seperti anak kecil saja. Tidak pernah mau mengerti keadaanku.“Buat sendiri nggak bisa mas?”Mas Marvin malah merengut mendengarkan pertanyaanku.“Iya deh, aku buatin kopi, tapi jagain Aghis di kamar ya nanti takutnya dia terbangun.” Akhirnya gegas kubuatkan kopi secepat kilat. Hatiku masih dirundung penasaran dengan temuan kwitansi belanja tadi.Haruskah aku tanyakan kepada suamiku? Tapi, bagaimana jika dia marah pas kutanyai?Kopi sudah kuseduh, sesuai takaran yang mas Marvin mau. Tidak terlalu manis dan kental. Kusuguhkan di atas meja rias. Terlihat mas Marvin malah asyik main HP, tidak memperhatikan bayiku sama sekali.“Mas, ini kopinya,” ucapku berbasa – basi.“Hem…” jawabnya tanpa menoleh. Sangat terlihat focus dengan benda persegi Panjang digenggaman. Bukannya malah terima kasih.Aku mendekat, menduduki kursi rias di samp
“Iya kan benar apa kataku? Kamu kerjaannya Cuma ongkang – ongkang aja, mana bisa ngasilin duit,” ujar ibu mertuaku ketus. Lirikan mautnya selalu berhasil membuatku meremaskan tangan menahan kesal.Aku hanya bisa mendengus saja jika sudah begini. Menghina dan merendahkan, apa tidak ada kalimat lain yang bisa ia ucapkan kepadaku? Kentara banget ibu mertuaku ini kalau memang tidak suka kepadaku.“Ya sudah, ibu balik ke rumah dulu, urus anakmu dengan baik.” Akhirnya wanita paruh baya itu melangkahkan kaki meninggalkanku berpelukan dengan damai usai kepergiannya.“Huft, sabar – sabar,” ucapku mengelus dada.*** Malam menjelang, sudah lama kumenanti sejak Mas Marvin berangkat kerja pagi tadi. Sesuai janjinya, suamiku itu akan membawakan oleh – oleh yang kuidamkan. “Skincare”. Sudah lama tak kubeli barang itu untuk sekedar merawat kulit wajahku yang semakin terasa kering ini.Dan seperti biasanya, kuintip dari jendela kamar, Mas Marvin melangkahkan kaki menuju rumah kami dengan menenteng ta
Andaikan aku masih bekerja, aku tidak akan minta – minta seperti ini kepada suamiku. Apalagi hanya sekedar membeli skincare dan kosmetik. Borong setoko pun aku bisa membelinya. Sejak semalam, hatiku masih dirundung kesal dan nelangsa. Gini banget jadi ibu rumah tangga. Yang tidak pernah dihargai, selalu dituntut dan selalu disalahkan.Ruang gerakku hanya sebatas di rumah saja, mengurus anak tanpa ada yang menggantikan, mengurus keperluan rumah tanpa boleh ada yang salah, dan selalu kekurangan uang karena tidak bisa mencari pemasukan sendiri.“Furika! Kamu ngapain bengong, ayo ke rumah ibu, ada tamu!”Ibu mertuaku memanggilku dengan nada terburu – buru.“Tapi anakku bu?”“Anakmu kan tidur, tinggal saja bentar!” ocehnya memaksa.“Nggak bisa bu, kasihan sendirian di rumah, kalua anaknya bangun terus nangis gimana?” protesku berusaha membela diri.Mana tega aku meninggalkan bayi kecilku sendirian di rumah. Bukannya aku lebay ya!“Halah, alasan! Cepet gendong anakmu, buatkan minuman tamuk
“sudah jam setengah sepuluh malam, tapi mas belum pulang, perutku lapar sekali.”Aku hanya bisa merintih menahan lapar sambal mengelus perutku yang semakin terasa perih saja. Mungkin asam lambungku naik sebab terlalu sering telat makan dan kuabaikan begitu saja. Rasanya pengen mual dan kepala kliyengan.Anakku sudah tidur pulas sejak sore tadi, sementara aku tidak bisa tidur karena perutku yang terus menjerit keroncongan. Sementara di rumah tidak ada makanan sama sekali.Penantianku akhirnya tidak sampai lama. Mas Marvin dan ibu mertua akhirnya sudah pulang. Dari luar terdengar sebuah mobil terparkir di teras samping, dan aku yakin itu adalah mobil Giandra yang mengantarkan ibu mertua, mas marvin dan kakak ipar usai acara makan – makan di restoran.Iya. Makan – makan! Mereka enak – enakan menikmati makan enak tanpa mengajakku. Dengan alasan, anakku masih bayi dan tidak boleh di bawa ke mana – mana.Begitu nelangsanya aku menyaksikan mereka dari balik jendela kamar, namun apa boleh bua
"Dulu ibu bisa mengurus tiga anak sekaligus padahal jadi janda, sedangkan kamu mengurus satu anak saja nggak becus!"Lontaran kalimat pedas itu kembali menyembur dari mulut ibu mertua. Bukannya menguatkan aku yang benar - benar rapuh karena buah hatiku terkapar dengan selang infus, tak hentinya wanita tua itu terus menyalahkanku."Istrimu memang nggak becus Marvin, untung saja Aghis tidak parah.""Jika ibu kemari hanya untuk marah - marah teriak -teriak saja, lebih baik pulang," ucapku sedikit memberanikan diri."Kamu ngusir ibumu? Lihatlah Marvin, istrimu makin hari makin kurang ajar. Tak tahu terima kasih dijenguk malah mengusirku.""Furika, tolonglah jangan memancing keributan," sahut Mas Marvin yang meraih pundak ibu dan mangusapnya.Bukannya menenangkanku, mas Marvin lagi - lagi berpihak kepada mak lampir."Biaya rumah sakit kan mahal, kamu mampu bayar semua?" Sentak ibu lagi sambil melengos.Aku tak berkomentar memilih meninggalkan suami dan ibu mertua di luar ruangan dan meneng
"Kenapa mas Marvin menikah lagi? Apa kurangku mas? Kenapa nggak kita bicarakan dulu?"Seperti dugaanku, Isyani Giandra adalah wanita yang akan menjadi istri kedua suamiku. Isyani beserta keluarga sudah datang di rumah kami, sementara penghulu masih dalam perjalanan.Isyani memutuskan melangsungkan akad nikah di rumah mas Marvin dan seminggu kemudian diboyong ke kota untuk resepsi di rumah orangtuanya. Begitu adat di sini.Mas Marvin hanya memandangku dengan muka tak nafsu, malah sibuk menata kerah baju.Padahal sejak tadi aku menangis maraung - raung, namun tak diindahkan."Mas jawab pertanyaanku!" Sedikit kutinggikan suaraku karena aku semakin gemas.Ingin sekali aku mengacak - ngacak muka pria tak tahu malu sepertinya, sayangnya gerakku terbatas karena sedang menggendong Aghis."Apaan sih dek, berisik tauk!""Apa katamu berisik? Kamu mau aku berteriak lebih kencang lagi?" ancamku sambil terisak."Furika! Ini bukan hutan, pelankan suaramu!" Ibu mertua memasuki kamar tanpa diundang, l
"Apa?""Aku ingin mengajarimu menjadi istri yang baik, biar mas Marvin makin cinta sama kamu.""Maksudnya mbak?"Kuseret Isyani yang kebetulan tengah bangkit berdiri dari meja makan. Wanita itu begitu pasrah saat kutarik tangannya.Kemudian, kami memasuki kamar mas Marvin. Isyani nampak kebingungan dengan tingkahku."Masukkan dompet, hp dan buku catatan ke dalam tas ini."Suruhku menyodorkan tas berwarna coklat kepada Isyani. Wanita itu manut aja tanpa keberatan."Cek apa ada barang penting yang belum masuk di tas kerja mas Marvin, kalau sudah. Bawa dasi, jaket, kaus kaki dan sepati serta tas ini ke ruang tengah. Kasihkan ke mas Marvin.""Cuma gini aja mbak?""Tidak, masih banyak hal -hal yang bisa bikin mas Marvin tambah cuinta sama kamu, ntar mbak ajarin.""Ribet banget mau kerja barang mas banyak banget sih," keluh Isyani sambil memunguti barang - barang yang kumaksud."Nggak papa ribet, nanti lama - lama akan terbiasa kok sayang, makasih yah sudah merawat mas." Mas Marvin menyungg
"Benar - benar kelewatan Marvin, sudah menelantarkanmu menduakanmu juga? Astaga, manusia berhati jahat ternyata."Terlihat wajah marah Irzam setelah mendengsrkan panjang ceritaku. Ah, kenapa dia yang emosi ya? Aku jadi heran."Kamu jangan diam saja Furi, mendingan kamu balas dia, bikin dia menyesal.""Makannya, aku ingin kerja dan buktikan bahwa aku bisa berdiri sendiri tanpa uluran tangannya, aku lelah ibunya terus merendahkanku seolah aku hanya beban untuk anaknya.""Oke, aku ada bisnis yang bisa kamu jalankan, kebetulan aku biuh tim marketing, kalau kamu berhadil 80% keuntungan bisa kamu ambil.""80% itu banyak Irzam, kebanyakan!""Nggak masalah, kalau perlu bikin mereka bersujud kepadamu lagi," ujar Irzham tersenyum jahat, namun akupun mengikuti tingkahnya."Iya, benar katamu.""Oke kita bahas di telepon saja, dan sembunyikan pekerjaanmu dari suami dan keluarganya sampaii waktu yang telat bisa kamu tunjukan..""Lah? emang kenapa harus disembunyiin? bukannya aku harus tunjukan kala