Keesokan harinya, aku pergi ke sebuah salon kecantikan untuk merawat diri, sengaja aku membawa satu karyawan butik untuk menjaga Kayla di sana. Suatu hari aku pasti bertemu dengan Mas Riko. Mungkin di persidangan atau di tempat lain. Saat itu aku harus sudah terlihat cantik, aku harus bisa membuktikan bahwa tanpa dirinya aku bisa lebih baik. Dan jika terawat aku juga bisa lebih cantik dari Alin.Teringat saat malam tadi malam aku membalas pesannya, aku bilang ada kemungkinan kunci itu terjatuh di halaman atau mungkin masuk ke got. Kita lihat saja, apa dia percaya dengan ucapanku. Paling dia akan menyuruh tukang sapu keliling untuk turun ke got. Padahal kunci serepnya sudah aku simpan di tempat bumbu. Jika tidak ditemukan juga, itu artinya mereka tidak pernah masuk dapur.Puas memanjakan diri di salon, aku mengajak Kayla dan Ira-karyawan yang kupercaya menjaga Kayla-ke sebuah restoran yang cukup bagus. Agak canggung juga, karena selama menikah dengan mas Riko, dapat dihitung dengan jar
Sesuai dengan janji Mbak Tika, keesokan harinya di jam makan siang dia mengajak bertemu di restoran yang tak jauh dari butik. Alasannya supaya aku tidak terlalu jauh pergi, di samping ribet dengan Kayla juga saat ini aku belum punya kendaraan sendiri. Lantaran jarak yang dekat dengan butik, aku sampai duluan di tempat itu. Sengaja kupilih tempat di dekat jendela supaya bisa leluasa melihat keluar. Selang beberapa menit sebuah mobil berwarna merah memasuki area restoran, awalnya aku biasa saja, kupikir itu pelanggan lain. Namun ketika kutahu siapa yang keluar dari mobil tersebut, aku memicing lantaran ternyata mobil itu dikendarai oleh Mbak Tika. Setahuku, Mbak Tika punya mobil satu yang kemarin digunakan untuk mengantarku ke butik. Mobil berwarna putih yang sudah lama dia beli. Apa mungkin Mbak Tika membeli mobil baru dengan menggunakan uang ... Lagi pula, biasanya Mbak Tika kalau mau membeli sesuatu memberitahu aku, tapi perihal mobil ini aku sama sekali tidak tahu."Maaf Lis, lam
"Katakan, Lis, kamu dapat uang dari mana hingga bisa memberi Ibu uang sebanyak itu setiap bulannya?" Tanpa basa-basi Mas Riko menyerangku dengan pertanyaan itu begitu sambungan telepon terhubung."Kamu tidak perlu tahu, Mas. Toh selama ini kamu tidak mau tahu apa yang terjadi padaku, apa yang aku butuhkan dan apa yang kurang di rumah kita.""Berarti selama ini kamu sudah selingkuh? Melakukan banyak hal tanpa sepengetahuanku?""Lalu apa bedanya dengan Mas Riko? Memberikan apa saja yang diinginkan oleh Alin sementara Mas mengekang kebutuhanku. Memintaku berhemat sementara kamu berfoya-foya dengan wanita itu. Melarangku berpenghasilan sementara kamu cari wanita yang punya penghasilan dan malah memuji-mujinya bisa merawat diri karena banyak uang.""Tetap saja kamu salah karena melakukan banyak hal di belakangku. Sekarang katakan uang dari mana itu?""Kamu tidak perlu tahu, yang jelas selama ini aku bisa memenuhi kebutuhan Ibumu juga kebutuhanku. Sekarang selamat menikmati hidup tanpa aku,
Hingga pulang ke kontrakan, aku masih belum percaya kalau dalam waktu singkat dan bersamaan aku sudah memiliki mobil dan rumah yang bagus. Apalagi orang yang mempersiapkannya adalah Mbak Tika yang sempat aku curigai. Ini kuanggap sebagai buah dari kesabaranku selama menikah dengan Mas Riko yang tidak banyak melawan. Sekarang aku harus fokus bagaimana caranya aku harus bisa membuat Mas Riko menyesal. Sebenarnya tinggal menunggu waktu saja, sebab rencana sudah kususun dan sudah aku praktekan satu persatu. Ibarat bom waktu yang sudah kusetel hanya tinggal menunggu bum saja.Sepintas mungkin Alin akan merasa beruntung karena sudah berhasil merebut Mas Riko dariku. Untuk sementara dia boleh perbangga hati, tapi tunggu saja satu atau dua minggu lagi dia akan menyesal menikahi pria itu kecuali dia punya stok kesabaran yang banyak sepertiku. ***Pagi harinya setelah mengabari karyawan butik, aku pun berkemas. Menjelang siang ini Mbak Tika berjanji akan mengantarku ke rumah baru sekalian mem
Akhirnya tanpa bicara lagi aku membawakan belanjaan Ibu berbaju merah tersebut. Padahal paper bag bertuliskan Elisa Boutique itu hanya berisi dua potong pakaian yang kalau dia bawa sendiri pun tidak akan berat dan tidak akan membuatnya ribet. Oh ya, butik ini memang bertajuk namaku, dulu Ibu menggunakan namaku ketika beliau merintis usaha butik ini. Tapi namanya juga pelanggan kita wajib memperlakukannya seperti seorang ratu. Meskipun ratu yang cerewet lebih tepatnya. Sekilas kulirik Gina yang menggeleng kecil sambil tersenyum miris melihat sikap Ibu tersebut terhadapku. Tidak mengapa aku dianggapnya karyawan baru karena memang aku belum tahu apa-apa tentang detail butik ini, harga satu potong gamis best seller pun aku tidak tahu. "Saya sudah lama menjadi langganan butik ini. Dari sejak saya muda, sewaktu butik ini masih dipegang oleh perintisnya." Tanpa diminta si Ibu menjelaskan sesuatu, sambil menunduk aku hanya tersenyum, mungkin yang Ibu maksud itu adalah Ibuku.Sampai di luar,
"Iya, Ma. Sebentar." Joan menoleh sebentar lalu kembali menatapku."El .... ""Nanti aku hubungi kamu, Jo." Aku memotong kalimat Joan sebab tidak enak pada Bu Anita."Aku tunggu, ya.""Ya." Aku mengangguk untuk meyakinkan pria ini."Oke, makasih sebelumnya. Aku permisi." Joan masih menatapku. Aku pun mengangguk sekali lagi.Beberapa detik kemudian punggung lebar itu menghilang di balik pintu butik, aku pun sontak menjatuhkan bahu."Kenapa Bu Lisa tidak terus terang pada Bu Anita?" Pertanyaan Gina mengakhiri lamunanku."Aku tidak suka membanggakan diri. Apalagi butik ini hanya warisan, bukan hasil kerjanya kerasku. Jadi apa yang bisa aku banggakan?" Aku tersenyum miring."Supaya beliau tidak seenaknya saja menyuruh Ibu.""Memangnya benar dia pelanggan butik ini?""Iya, Bu Anita itu terbilang sering datang ke sini. Meskipun dia termasuk pelanggan yang rewel tapi lumayan sering belanjanya. Mayan lah, udah gitu tiap-tiap ke sini selalu diantar anaknya. Jadi kita bisa cuci mata," ucap Gin
"Sejak kapan kamu di sana?""Sejak kamu turun dari go-jek," jawabnya dengan senyum jail."Kamu ....?""Kamu, sih, ingkar janji. Katanya mau menghubungi aku, tapi tidak ada juga. Tadi aku tungguin kamu di depan butik dan akhirnya aku buntuti sampai sini. Ini bukan rumah Mbak Tika 'kan?""Ini rumah .... ""Boleh aku masuk? Enggak enak kalau kita ngomong di pinggir jalan."Setelah berpikir sejenak, akhirnya aku mempersilahkan Joan masuk. Benar juga yang dia katakan, laki-laki dan perempuan dewasa ngobrol di pinggir jalan nanti bisa mengundang perhatian warga. Meskipun jalanan komplek ini memang sepi.Kayla aku serahkan pada Mbak Tuti untuk diurus. Aku sendiri membawa minuman dan cemilan untuk disuguhkan pada Joan."Jadi benar, kamu sama Riko sedang tidak baik-baik saja?" tanya Joan begitu aku menjatuhkan bobot di atas sofa.Aku menghela nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan Joan. Masalahku dengan Mas Riko memang tidak ingin aku ceritakan pada siapapun. Walau bagaimana kegagalan rumah
Dua hari kemudian, aku memutuskan untuk menemui Ibunya Mas Riko. Aku terus kepikiran lantaran belum berpamitan pada beliau. Dengan menggunakan taksi, pagi-pagi sekali aku berangkat. Sengaja aku tidak memakai mobilku lantaran belum bisa menyetir. Selain itu, aku tidak mau terlihat pamer di depan Ibunya Mas Riko. Selama perjalanan Kayla begitu senang mendengar kami akan mengunjungi Neneknya. Selama ini Kayla memang dekat dengan Ibunya Mas Riko, aku sering mengunjunginya berdua dengan Kayla tanpa Mas Riko. Selain itu ibu juga terbilang sering mengunjungi kami. Begitu turun dari taksi, Ibu menyambutku dengan sebuah pelukan. Tidak seperti biasanya beliau memelukku sambil menangis. Aku mengerti, mungkin karena beliau mengetahui kalau hubunganku dengan Mas Riko berakhir."Kamu itu menantu yang baik, Lis. Ibu tidak habis pikir, kenapa Riko sampai tega menyia-nyiakanmu.""Lisa baik di mata Ibu, tapi tidak di mata Mas Riko, Bu. Sekarang dia sudah menemukan wanita yang sesuai dengan seleranya.