Seminggu sudah aku menjadi istrinya Mas Joan. Tapi kebahagiaan sebagai pengantin baru yang sesungguhnya tidak aku dapatkan. Mas Joan ternyata tidak menyentuhku di malam pengantin kami. Begitupun malam-malam selanjutnya, bahkan tidur pun memunggungi. Ketika kami pulang dari hotel tempat resepsi diadakan saat itu. Kami baru saja memasuki kamar ketika Mas Joan mengajakku berbicara serius."Kamu tahu 'kan, pernikahan ini terjadi atas keinginan Mama. Jadi aku harap kamu juga mengerti kalau aku belum bisa menjadi suami seperti yang diinginkan," ucapnya datar tanpa menatapku.Aku terperanjat mendengar pernyataan pria yang sudah resmi menjadi suamiku itu. Kupikir karena Mas Joan sudah menyetujui rencana Mama Anita, maka pria ini akan menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya."Kalau Mas Joan tidak menginginkan pernikahan ini, kenapa Mas menyetujui rencana Mama? Padahal aku lebih baik ditolak daripada dinikahi tapi tidak dianggap.""Kamu jangan salah paham, Ka. Aku bukan tidak mengingink
Timbul pertanyaan, jika Mas Joan tidak mengundangnya karena tahu dia mantan kakak iparku, berarti ada kemungkinan Mas Joan saling kenal dengan Mas Riko. Teringat saat lamaran tempo hari, Mas Joan pergi berdua dengan Mas Riko dengan alasan ingin berbicara secara pribadi.Aku Jadi curiga, apa di antara mereka ada urusan yang tidak aku ketahui."Tidak apa-apa, Bu. Meskipun saya tidak diundang, yang penting sekarang saya tahu kalau Reka sudah menjadi menantu Ibu. Saya ikut senang, karena Reka mendapatkan keluarga yang pasti menyayanginya." Mbak Lisa tersenyum sambil mengusap perutnya. Meskipun ada kekecewaan tergambar di wajahnya, tapi wanita yang super sabar itu menutupinya dengan senyuman."Oh ya, kalian kenal di mana?" Mama Anita memberikan pertanyaan yang membuat aku bingung untuk menjawabnya.Aku saling pandang dengan Mbak Lisa. Ragu untuk menjawab karena khawatir Mbak Lisa tidak mau membuka masa lalunya."Reka ini ... mantan adik ipar saya." Akhirnya Mbak Lisa yang memberikan jawaba
RikoPonsel kuletakkan di atas meja di ruang tamu. Baru saja Reka menelponku sambil sesekali terisak. Adik perempuanku itu ternyata sudah mengetahui tentang masa lalu Joan juga perasaan pria itu pada Lisa. "Kenapa Mas Riko tidak bilang sama aku kalau Mas Joan itu mantan pacarnya Mbak Lisa?"Aku tak bisa berkata-kata ketika pertanyaan itu terlontar dari bibir adikku dengan lembut tapi penuh penekanan."Mas!? Mas Riko tahu 'kan kalau Mas Joan itu mantan pacar Mbak Lisa?" Reka mengulang pertanyaannya karena aku tidak menjawab."Bukan. Mereka tidak pernah berhubungan. Tapi Joan memang cinta sama Lisa.""Jadi Mas tahu tentang itu? Dan cintanya masih ada sampai sekarang. Itulah yang membuat aku tidak enak sebagai istri. Kenapa tidak bilang sama aku?""Mas tidak mau mematahkan kebahagiaan kalian. Melihat ibu begitu berbinar, Mas sangat senang.""Tapi pada akhirnya aku sakit hati, Mas! Mengetahui masih ada nama wanita lain di hati suamiku. Itu yang membuat aku jadi istri yang tak berguna.""
Aku turun dari ojek tepat di depan rumah Pak Narto. Benar saja, di sini sedang ada pesta hajatan. Tapi pesta apa? Bukankah anak Pak Narto hanya Yesi yang belum menikah. Atau ... jangan-jangan yang dikhawatirkan Ibu benar. Yesi menikah dengan orang lain karena tidak ada kejelasan dariku. Pantas saja gadis itu tidak membalas pesanku apalagi mengangkat teleponku.Lututku lemas seketika. Tubuhku terasa ringan, kaki seakan tidak berpijak di bumi. Ingin bertanya pada orang yang berlalu lalang tapi aku tak sanggup mendengar jawaban mereka. "Gimana, Mas, mau balik lagi atau tidak?" tanya tukang ojek yang tadi kusuruh menunggu."Ya Mas, kita balik saja ke terminal." Aku bersiap untuk naik kembali ke atas motor."Bener, nih, gak jadi kondangan?" Entah ingin memastikan atau sekedarnya kepo, Mas tukang ojek bertanya lagi sebelum aku duduk di belakangnya."Iya, bener, Mas. Ayo!"Hilang sudah harapanku untuk mendapatkan Yesi. Ternyata Ibu benar, masalah itu jangan dibiarkan terlalu-larut. Buktinya
"Tiap hari, menu di meja makan, ini terus, sangat membosankan! Apa tidak ada lauk yang lain selain tempe dan tahu?!" Mas Riko bangkit sambil menggebrak meja. "Tapi uang yang Mas beri hanya mampu untuk membeli tahu dan tempe." Aku mencoba untuk membela diri."Aku sudah kasih uang seratus ribu untuk satu minggu. Kalau menunya seperti ini terus besok aku turunkan jadi lima puluh ribu!""Apalagi uang segitu Mas, satu hari saja mana cukup!""Kamu itu jadi istri harus pandai atur keuangan. Pandai bersyukur, jadi benalu saja banyak maunya," ucapnya seraya bangkit dan meninggalkan meja makan dalam keadaan emosi.Aku tertegun, berusaha menenangkan hati, uang nafkah seratus ribu seminggu saja diungkit, sedangkan kemarin aku menemukan bon di kantong kemejanya, berbelanja jutaan rupiah entah untuk siapa.Itu adalah salah satu percakapan kami satu bulan yang lalu. Setiap hari memang selalu ada saja yang diributkan oleh Mas Riko. Kurang inilah, kurang itulah, semua harus sesuai dengan keinginannya
Setelah berada di dalam taksi, air mata yang sedari tadi aku tahan akhirnya keluar juga. Kali ini aku membiarkannya membasahi pipiku. Toh tidak ada yang melihatnya, Kayla sedang anteng dengan mainan yang sengaja aku berikan padanya sementara Pak sopir juga fokus ke jalan. Selama lima tahun aku mencoba bertahan. Awal menikah sikap Mas Riko memang sangat manis padaku, meskipun saat itu dia sudah perhitungan dengan uang. Aku tidak pernah meminta lebih sebab aku tahu Mas Riko harus menyicil rumah ini. Saat jabatannya naik dan otomatis gajinya pun naik Mas Riko menambah cicilan mobil. Aku juga masih tidak banyak menuntut. Rumah dan mobil juga aku ikut menikmatinya.Namun ketika suatu hari aku mengetahui jumlah gaji yang diterima setiap bulannya tidak sama dengan yang dia katakan padaku. Aku mulai bertanya-tanya digunakan untuk apa uang itu sebenarnya. Apalagi saat itu kebutuhan rumah tangga juga meningkat dengan lahirnya Kayla. Aku pernah meminta tambahan uang untuk membeli susu anak sema
Mendengar itu Mbak Tika menjatuhkan bahunya. Sebenarnya wanita itu tidak harus kaget mendengar berita ini, lantaran aku sudah menceritakan padanya jika suatu saat kemungkinan ini akan terjadi. Dia juga sudah tahu apa yang terjadi dengan rumah tanggaku dan Mas Riko.Akan tetapi, kenapa Mbak Tika terlihat seperti tidak senang mendengar aku berencana untuk berpisah dengan mas Riko. Atau jangan-jangan dia akan merasa terbebani dengan kedatanganku?"Mbak .... ?""Ah iya, Lis. Mbak sih terserah kamu saja. Toh, yang menjalani rumah tangga itu kamu. Nyaman atau tidaknya rumah tangga itu kamu yang merasakan," sahut Mbak Tika sambil menggerakkan tangannya menyuruhku duduk."Iya, Mbak, aku sudah mencoba bertahan. Kalau masalah keuangan aku juga tidak pernah mempermasalahkannya. Selama ini aku hidup dari uang penghasilan butik. Tapi yang membuatku memutuskan untuk pergi adalah Mas Riko sudah terang-terangan membagi cintanya.""Mbak mengerti, Lis, sekarang kamu mau tinggal di mana?" Aku tersentak
Dia memang ke butik, tapi kenapa tidak memberitahu Mas Adnan kalau dia sedang mengantarku. Setelah penolakannya ketika aku bermaksud menumpang di rumahnya, sekarang Mbak Tika membuat teka-teki lagi dengan tidak jujur kepada Mas Ardan maksud dan tujuannya berada di butik ini. Soal pesanan itu mungkin saja benar, karena aku sama sekali tidak tahu menahu. Tapi apa salahnya Mbak Tika memberitahu suaminya itu kalau aku pulang dan dia akan menyerahkan butik ini padaku."Ayo, Lis. Mbak kenalkan kamu pada karyawan-karyawan butik," kata Mbak Tika setelah dia selesai melakukan panggilan telepon dengan Mas Ardan. Kami pun berjalan ke arah pintu masuk butik yang jujur saja aku jarang sekali mendatanginya.Mbak Tika memperkenalkan aku pada para karyawan yang jumlahnya lima orang. Butik ini memang terbilang besar lantaran dulu Ibuku mengelolanya dengan baik. Setelah Ibu tiada aku sempat mengelola beberapa bulan sebelum akhirnya aku bertemu dengan Mas Riko dan satu bulan kemudian kami menikah. Pert