Share

Bab 4

"Kamu butuh uang berapa untuk membeli kasur itu, Nak Dina? ini mungkin tidak banyak, tapi tolong pijitin bapak dulu ya badan bapak rasanya pegal-pegal sekali." Pak Wahyu menyodorkan dua lembar uang kertas berwarna merah dan satu lembar berwarna biru, tapi katanya aku harus memijit dulu tubuh lelaki paruh baya, yang berstatus bapak kandung kakak ipar ku itu.

"Maaf Dina tidak bisa melakukan itu, Pak. Saya bukan mahram Bapak, lagi pula saya bukan peminta-minta jadi tidak perlu Bapak memberikan uang itu kepada saya. Saya hanya meminta hak saya dan ibu kepada Kak Inggit karena abang saya mengamanahkan nafkah untuk kami dipegang oleh anak Bapak itu."

"Healah sok-sokan menolak kamu tuh, Din. Sombong sekali! Toh apa yang diberikan Gagas kepada anak saya itu sepenuhnya hak Inggit, sudah bagus Inggit masih memberikanmu tempat tinggal dan makan dirumah ini secara cuma-cuma." Cibir pak Wahyu, matanya tak berkedip menatap ke arahku tajam, bagaikan elang yang tengah mengincar mangsanya.

Sadar usahaku ini hanya membuang-buang waktu, aku pergi meninggalkan ruang keluarga. Daripada aku harus membuang-buang energi menghadapi keluarga toxic yang bisa membuat moodku ambyar seketika. Aku beranjak kembali ke kamar, lalu menjemur kasur seperti perintah Ibu tadi.

Kulihat Ibu sudah bersiap-siap hendak pergi mengaji, Ibuku begitu cantik dan anggun. Wanita penyabar yang begitu penuh kasih, walaupun terhadap orang yang memperlakukannya kurang baik sekalipun.

"Din, ibu berangkat dulu, ya. Hati-hati di rumah, jangan selalu membantah apa yang kakak iparmu katakan, malu jika nanti terjadi keributan di depan orang tuanya!" Pesan ibu sebelum berangkat ke pengajian.

Aku tak mengiyakan atau membantah perkataan Ibuku, ku ambil tangan Ibu lalu kucium takzim.

Setelah Ibu berangkat, aku mengambil ponselku lalu berusaha menghubungi bang Gagas, semoga saja dia sedang tidak sibuk agar aku bisa membicarakan semua ulah ajaib istrinya itu.

("Assalamualaikum, Dek. Ada apa, di rumah semua baik-baik saja, kan? kok tumben telpon?") rentetan pertanyaan dari abangku begitu sambungan telpon ku, diangkatnya.

("Wa'alaikumussalam, Bang. Alhamdulillah kami di sini baik-baik semua, Abang sendiri bagaimana di sana sehat, Bang? Pekerjaan Abang lancar?")

("Alhamdulillah lancar, Dek. Tapi sebenarnya abang sudah jenuh kerja jauh dari keluarga, InsyaAllah mungkin dalam waktu dekat abang akan pulang dan membuka usaha saja di sana,")

("Alhamdulillah kalau begitu, Bang. Dina senang sekali mendengarnya, dengan Abang ada di rumah jadi Abang bisa mengenal lebih jauh seperti apa wanita yang Abang jadikan istri saat ini.")

("Maksudnya bagaimana, Dek?") tanya bang Gagas terdengar penasaran.

("Ah tidak, Bang, tidak apa-apa. Ya sudah kalau begitu Dina tutup dulu telponnya ya, Bang. Dina tunggu kedatangan Abang secepatnya ke rumah kita.")

Setelah Bang Gagas menjawab salamku, langsung kumatikan sambungan telponnya. Aku tidak jadi mengatakan kebenaran tentang bagaimana sebenarnya perlakuan istrinya kepada kami, setelah ku pikir-pikir aku tak ingin memberatkan pikiran Bang Gagas dengan hal-hal seperti ini, biarlah nanti Abangku melihat kenyataannya sendiri tanpa harus aku yang membeberkannya.

*******

Sekitar pukul lima sore aku baru sampai rumah, karena tadi aku ada jadwal kuliah siang, begitu sampai diambang pintu tercium bau harum masakan yang tengah dimasak Ibu, benar saja setelah kulihat Ibu sedang berkutat dengan sayuran dan juga bumbu-bumbu di dapur seorang diri, sedangkan kakak ipar juga orang tuanya tidak terlihat batang hidungnya sama sekali.

"Bu, kemana yang lain kenapa Ibu mengerjakan semuanya sendiri?"

"Tadi kakak mu mengajak mereka keluar sebentar, katanya ada yang mau di beli. Sudah makan, Nduk? ayok duduklah kamu pasti lelah, biar ibu siapkan makanan buat kamu ya, Nak." Ucap Ibuku mengalihkan pembicaraan.

"Bu, tadi bang Gagas bilang ke Dina di telpon katanya mau berhenti kerja, terus mau buka usaha saja di sini, Bu." Ucapku sambil menggeser kursi yang terletak di sebelah meja makan.

Karena begitu lapar, aku langsung saja mengambil nasi serta lauk yang sudah Ibu siapkan, rasanya lemas kaki ini terasa gemetar sampai ke tulang-tulang.

Aku tak pernah membawa uang saku saat kuliah semenjak keuangan dipegang kak Inggit, heran aku kenapa kakak iparku itu pelitnya sampai ke ubun-ubun, padahal di dalam uang yang dia pegang ada hak aku dan Ibu, Abangku memberikan semua untuk dia kelola bukan untuk dikuasai seorang diri. Ah tapi yang namanya hati sudah termakan rasa serakah, jadilah hak orang pun diembat tak perduli itu punya siapa yang penting dirinya senang dan makmur.

"Apa Gagas sudah bilang sama istrinya tentang rencananya itu, Din?"

"Belum, Bu. Jangan diberitahu dulu katanya biar jadi surprise untuk kak Inggit nanti." Kilahku. Aku tak lagi banyak cakap, ku habiskan segera nasi yang tinggal beberapa sendok di piring lalu mencucinya.

"Bu mungkin aku juga akan mencari pekerjaan sampingan untuk tambah-tambah biaya kuliah, Bu. Semenjak keuangan dipegang kak Inggit, aku sulit untuk meminta jatah bekal kuliahku padanya, kak Inggit selalu beralasan agar aku berhemat, padahal ibu tahu sendiri keperluanku banyak saat ini, belum lagi untuk bensin. Kalau aku tidak kerja rasa-rasanya akan berat untuk kedepannya nanti, Bu."

"Jangan to, Nduk. Nanti kulaihmu bisa terganggu kalau waktumu terbagi juga dengan pekerjaan, biar nanti ibu bicara dengan Inggit ya, Nduk. Tapi ibu harap kamu sabar janga terbawa emosi jika sedang berbicara dengan kakak iparmu!"

"Bagaimana aku tidak emosi, Bu. Kan ibu tahu sendiri, seperti apa perangai kak Inggit,"

"Memangnya seperti apa perangaiku, Din?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status