Share

Bab 4

last update Last Updated: 2024-02-06 08:49:22

"Kamu butuh uang berapa untuk membeli kasur itu, Nak Dina? ini mungkin tidak banyak, tapi tolong pijitin bapak dulu ya badan bapak rasanya pegal-pegal sekali." Pak Wahyu menyodorkan dua lembar uang kertas berwarna merah dan satu lembar berwarna biru, tapi katanya aku harus memijit dulu tubuh lelaki paruh baya, yang berstatus bapak kandung kakak ipar ku itu.

"Maaf Dina tidak bisa melakukan itu, Pak. Saya bukan mahram Bapak, lagi pula saya bukan peminta-minta jadi tidak perlu Bapak memberikan uang itu kepada saya. Saya hanya meminta hak saya dan ibu kepada Kak Inggit karena abang saya mengamanahkan nafkah untuk kami dipegang oleh anak Bapak itu."

"Healah sok-sokan menolak kamu tuh, Din. Sombong sekali! Toh apa yang diberikan Gagas kepada anak saya itu sepenuhnya hak Inggit, sudah bagus Inggit masih memberikanmu tempat tinggal dan makan dirumah ini secara cuma-cuma." Cibir pak Wahyu, matanya tak berkedip menatap ke arahku tajam, bagaikan elang yang tengah mengincar mangsanya.

Sadar usahaku ini hanya membuang-buang waktu, aku pergi meninggalkan ruang keluarga. Daripada aku harus membuang-buang energi menghadapi keluarga toxic yang bisa membuat moodku ambyar seketika. Aku beranjak kembali ke kamar, lalu menjemur kasur seperti perintah Ibu tadi.

Kulihat Ibu sudah bersiap-siap hendak pergi mengaji, Ibuku begitu cantik dan anggun. Wanita penyabar yang begitu penuh kasih, walaupun terhadap orang yang memperlakukannya kurang baik sekalipun.

"Din, ibu berangkat dulu, ya. Hati-hati di rumah, jangan selalu membantah apa yang kakak iparmu katakan, malu jika nanti terjadi keributan di depan orang tuanya!" Pesan ibu sebelum berangkat ke pengajian.

Aku tak mengiyakan atau membantah perkataan Ibuku, ku ambil tangan Ibu lalu kucium takzim.

Setelah Ibu berangkat, aku mengambil ponselku lalu berusaha menghubungi bang Gagas, semoga saja dia sedang tidak sibuk agar aku bisa membicarakan semua ulah ajaib istrinya itu.

("Assalamualaikum, Dek. Ada apa, di rumah semua baik-baik saja, kan? kok tumben telpon?") rentetan pertanyaan dari abangku begitu sambungan telpon ku, diangkatnya.

("Wa'alaikumussalam, Bang. Alhamdulillah kami di sini baik-baik semua, Abang sendiri bagaimana di sana sehat, Bang? Pekerjaan Abang lancar?")

("Alhamdulillah lancar, Dek. Tapi sebenarnya abang sudah jenuh kerja jauh dari keluarga, InsyaAllah mungkin dalam waktu dekat abang akan pulang dan membuka usaha saja di sana,")

("Alhamdulillah kalau begitu, Bang. Dina senang sekali mendengarnya, dengan Abang ada di rumah jadi Abang bisa mengenal lebih jauh seperti apa wanita yang Abang jadikan istri saat ini.")

("Maksudnya bagaimana, Dek?") tanya bang Gagas terdengar penasaran.

("Ah tidak, Bang, tidak apa-apa. Ya sudah kalau begitu Dina tutup dulu telponnya ya, Bang. Dina tunggu kedatangan Abang secepatnya ke rumah kita.")

Setelah Bang Gagas menjawab salamku, langsung kumatikan sambungan telponnya. Aku tidak jadi mengatakan kebenaran tentang bagaimana sebenarnya perlakuan istrinya kepada kami, setelah ku pikir-pikir aku tak ingin memberatkan pikiran Bang Gagas dengan hal-hal seperti ini, biarlah nanti Abangku melihat kenyataannya sendiri tanpa harus aku yang membeberkannya.

*******

Sekitar pukul lima sore aku baru sampai rumah, karena tadi aku ada jadwal kuliah siang, begitu sampai diambang pintu tercium bau harum masakan yang tengah dimasak Ibu, benar saja setelah kulihat Ibu sedang berkutat dengan sayuran dan juga bumbu-bumbu di dapur seorang diri, sedangkan kakak ipar juga orang tuanya tidak terlihat batang hidungnya sama sekali.

"Bu, kemana yang lain kenapa Ibu mengerjakan semuanya sendiri?"

"Tadi kakak mu mengajak mereka keluar sebentar, katanya ada yang mau di beli. Sudah makan, Nduk? ayok duduklah kamu pasti lelah, biar ibu siapkan makanan buat kamu ya, Nak." Ucap Ibuku mengalihkan pembicaraan.

"Bu, tadi bang Gagas bilang ke Dina di telpon katanya mau berhenti kerja, terus mau buka usaha saja di sini, Bu." Ucapku sambil menggeser kursi yang terletak di sebelah meja makan.

Karena begitu lapar, aku langsung saja mengambil nasi serta lauk yang sudah Ibu siapkan, rasanya lemas kaki ini terasa gemetar sampai ke tulang-tulang.

Aku tak pernah membawa uang saku saat kuliah semenjak keuangan dipegang kak Inggit, heran aku kenapa kakak iparku itu pelitnya sampai ke ubun-ubun, padahal di dalam uang yang dia pegang ada hak aku dan Ibu, Abangku memberikan semua untuk dia kelola bukan untuk dikuasai seorang diri. Ah tapi yang namanya hati sudah termakan rasa serakah, jadilah hak orang pun diembat tak perduli itu punya siapa yang penting dirinya senang dan makmur.

"Apa Gagas sudah bilang sama istrinya tentang rencananya itu, Din?"

"Belum, Bu. Jangan diberitahu dulu katanya biar jadi surprise untuk kak Inggit nanti." Kilahku. Aku tak lagi banyak cakap, ku habiskan segera nasi yang tinggal beberapa sendok di piring lalu mencucinya.

"Bu mungkin aku juga akan mencari pekerjaan sampingan untuk tambah-tambah biaya kuliah, Bu. Semenjak keuangan dipegang kak Inggit, aku sulit untuk meminta jatah bekal kuliahku padanya, kak Inggit selalu beralasan agar aku berhemat, padahal ibu tahu sendiri keperluanku banyak saat ini, belum lagi untuk bensin. Kalau aku tidak kerja rasa-rasanya akan berat untuk kedepannya nanti, Bu."

"Jangan to, Nduk. Nanti kulaihmu bisa terganggu kalau waktumu terbagi juga dengan pekerjaan, biar nanti ibu bicara dengan Inggit ya, Nduk. Tapi ibu harap kamu sabar janga terbawa emosi jika sedang berbicara dengan kakak iparmu!"

"Bagaimana aku tidak emosi, Bu. Kan ibu tahu sendiri, seperti apa perangai kak Inggit,"

"Memangnya seperti apa perangaiku, Din?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 103

    "Dek ijinkan aku menjadi lelaki yang akan menggantikan Zaidan di hatimu, ijinkan aku menjadi ayah dari anakmu. Aku berjanji akan selalu membahagiakan kalian selama hidupku." Ucap lelaki itu sambil menatap padaku lekat.Lain sekali dengan Mas Zaidan, jangankan menatapku seperti itu hanya sekadar melirik pun ia begitu takut sepertinya. Ah memang keduanya begitu berbeda, laki-laki itu begitu soleh juga taat pada perintah agamanya, namun kini beliau telah tiada hanya menyisakan sesak di dada karena aku ditinggalkan pas lagi sayang-sayangnya.Lain lagi dengan laki-laki petakilan yang kini berada didepanku, walaupun di mataku dia seolah begitu slebor dan tak bisa menjaga pandangannya dari lawan jenis, namun aku tak tahu kedalaman hatinya seperti apa. Aku tak bisa menilai orang hanya dari covernya saja, asal kulihat jelek, berarti dia jelek. Tidak seperti itu juga, setiap manusia itu punya kekurangan dan kelebihannya tersendiri termasuk juga Mas Yaseer, namun entah kenapa hati ini tak bisa

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 102

    "Sudah ya, biarkan Zaidan istirahat dengan tenang di sana, agar langkahnya tidak berat untuk pulang menuju dunia keabadian."Aku akhirnya mengangguk mengiyakan kata-kata Bang Gagas, memang benar yang ia katakan, walau bagaimanapun aku harus mengikhlaskan kepergiannya suka ataupun tidak, semua kenyataan itu tak bisa lagi dipungkiri kebenarannya."Lalu bagaimana keadaan Uti saat ini, Bang?""Keadaan adiknya masih kritis saat ini, Dek. Kecelakaan itu begitu parah, bersyukurlah Allah masih menjaga dan melindungi mu. Entah amalan apa yng telah kamu lakukan sampai Allah begitu menyayangimu, Dek."Aku hanya terdiam mendengar penuturan Bang Gagas, dalam pikiranku hanya ada mereka berdua saat ini laki-laki yang telah pergi meninggalkanku untuk selamanya dan juga sahabatku Uti yang kini tengah kritis. Bagaimana aku akan mengatakan padanya nanti jika Mas Zaidan telah pergi lebih dulu meninggalkan kami saat ini."Bang, antar aku melihat Uti sekarang!" Pintaku pada Bang Gagas.Tanpa membantah Bang

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 101

    Ketika baru saja hendak terlelap kulirik Ibu terburu-buru keluar dari kamar, tapi kulihat Jingga masih di kereta bayinya terlelap tak merasa terganggu, sekali pun berada di rumah sakit dengan keadaan yang kurang nyaman. Mau kemana Ibu, kenapa beliau begitu terburu-buru? kulihat juga wajahnya begitu sendu seolah menyimpan sesuatu dariku saat ini.Ah ingin rasanya aku mengejarnya keluar, tapi bagaimana caranya kakiku saat ini sulit untuk sekedar ku geser saja. Lalu jika pun aku bisa keluar memakai kursi roda, bagaimana dengan Jingga siapa yang akan menjaganya di sini, sementara aku pergi mengejar Ibuku keluar."Suster bisa bantu saya keluar, saya ingin melihat keadaan calon suami saya suster. Saya mohon bantu saya kali ini saja." Mohon Ku, ketika ada suster datang hendak memeriksa keadaanku saat ini."Tapi, saya harus iz—""Jangan meminta izin pada siapapun, Sus! Saya yang akan bertanggung jawab jika ada apa-apa nanti, saya mohon bantu saya sus."Akhirnya dengan sedikit terpaksa suster

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 100

    "Dek, kamu sudah sadar? bagaimana keadaanmu sekarang?""Bagaimana keadaan Uti juga Mas Zaidan, Bang?" tanpa menjawab pertanyaan kakak ku, aku malah lebih ingin tahu bagaimana keadaan calon suami juga sahabatku Uti.Apakah mereka baik-baik saja sama sepertiku saat ini, atau malah sebaliknya?Bang Zaidan malah diam saja tanpa menjawab pertanyaanku, dia malah saling bertatapan dengan Ibu, seolah mengisyaratkan sesuatu."Bang ...! Kenapa tidak menjawab pertanyaanku, bagaimana keadaan Mas Zaidan juga Uti sekarang, apakah mereka baik-baik saja? jawablah jangan membuatku penasaran, Bang!" Bentakku kesal. "Bu ...! Apakah Ibu tahu bagaimana keadaan mereka sekarang?"Kembali kutanyakan pada Ibu, karena Abangku malah terus saja diam tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya, untuk menjawab pertanyaanku.Karena mereka tetap saja diam membisu tak juga menjawab pertanyaanku, kupaksakan bangun walaupun kepala terasa berdenyut nyeri, namun saat hendak mengangkat kedua kakiku aku merasakan hal yan

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 99

    Kubuka mata perlahan, mengerjap-ngerjapkan kelopaknya karena silau oleh cahaya yang masuk kedalam iris mataku.Terbangun di hamparan padang rumput berwarna hijau, terasa teduh walaupun sinar mentari menyinari bumi.Kumpulan bunga liar kulihat begitu indah dengan warna-warni yang rupawan, membuat siapa pun betah berlama-lama menatapnya.Kutolehkan kepala kekiri dan kanan mencari siapa saja yang berada didekat sana, namun nihil tak kutemukan seorang pun dipadang rumput itu selain diriku sendiri.Beranjak bangun lalu melangkah pergi mencari, barang kali ada satu manusia yang bisa kutemui. Setelah berjalan beberapa waktu, akhirnya kulihat siluet orang yang tidak begitu asing dipenglihatanku, ya itu Mas zaidan calon suamiku. Namun mau kemana dia? berjalan maju tanpa menoleh sedikit pun padaku."Mas ... Mas Zaidan ...! Tunggu Dina, Mas!" Teriakku penuh harap.Akhirnya Mas Zaidan menoleh juga, wajahnya terlihat teduh seulas senyum hangat ia berikan padaku. Namun tak sepatah kata pun keluar d

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 98

    Tiga Hari Jingga di rawat di rumah sakit, setelah memastikan tubuhnya benar-benar sehat akhirnya kami bisa membawanya pulang, Alhamdulillah dibalik ujian itu ada hikmah yang terselip begitu indah. Perlakuan Bang Gagas pada anakku itu kembali hangat. Terlihat sekali rasa sayangnya bertambah berkali-kali lipat, tak terpikir lagi dikepalanya untuk menyerahkan Jingga kepanti asuhan, atau pikiran buruk lainnya apapun itu dan itu teramat sangat ku syukuri.Segala doa dan harapanku telah Allah kabulkan, betapa besar kasih sayang-Mu pada umat mu ini ya Rabb. Karena Allah yang maha membolak-balikkan hati manusia, maka mudah baginya untuk melakukan hal itu jika memang Allah berkehendak.Kini setiap pagi sebelum ke kantor Bang Gagas selalu menyempatkan diri bermain dulu dengan Jingga walau sebentar saja. Pulang dari kantor pun tak pernah telat, katanya dia selalu rindu dengan anak gadisnya ini, MasyaAllah sungguh kuasa Allah begitu besar.Tok ...Tok ...Tok ..."Assalamualaikum."Hari minggu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status