Share

Bab 5

Tiba-tiba saja Kak Inggit sudah berada di belakangku, kulihat beberapa paperbag di tangannya sepertinya dia sudah mengajak orang tuanya shoping, terlihat dari begitu gembiranya orang tua Kak Inggit yang baru saja tiba menyusulnya masuk ke dalam rumah, dengan tentengan berbagai paperbag bertuliskan barang-barang yang harganya ku taksir lumayan menguras kantong.

"Kakak habis belanja banyak kelihatannya, Kakak belikan juga kasur buat Ibuku?" tanpa menjawab pertanyaannya, aku malah balik bertanya sambil mendelik memperhatikan gayanya dari atas rambut sampai ujung kaki, yang berdandan wah seperti seorang selebriti cetar membahana.

Kak Inggit melengos, bukannya menjawab pertanyaanku dia malah melangkah menuju kulkas lalu mengambil minuman dingin kemudian menenggaknya hingga tandas.

"Kak ...!"

"Apa sih, Dina? tidak usah mengeraskan suaramu padaku, aku tidak tuli!" Bentaknya tak mau kalah.

"Ya habis, kakak kutanya bukannya menjawab malah cuek seperti tak perduli. Apakah kakak membelikan kasur, untuk Ibu? secara itu penting buatku, kakak lihatkan kulit Ibu sudah penuh ruam, kasihan Ibu jadi tidak tenang tidurnya karena itu pasti gatal sekali, Kak." Papar ku yang sudah bosan dengan tindakan arogan kakak iparku itu.

"Ya memang aku tak perduli," desisnya sambil berlalu, lewat disampingku. "Sudah kubilang Ibu seperti itu bukan karena kasur yang ditidurinya, tapi karena Ibu itu jorok coba tanya sehari berapa kali dia mandi!"

Aku mendengus mendengar jawabannya sungguh membuatku naik darah, emosiku sudah kembali naik ke ubun-ubun, rasanya sudah tak dapat ditolerir lagi sikap Kak Inggit yang meremehkan Ibuku.

Kak Inggit pergi begitu saja, tak dihiraukan aku yang masih belum selesai bicara dengannya, kalau bisa dilihat secara kasat mata mungkin sudah keluar tanduk dari kepalaku ini, saking kesalnya aku dengan sikap acuh istri dari kakakku satu-satunya itu.

"Dina, Nduk sudah! Ibu tidak apa-apa kok, Nduk. Ini juga sudah mendingan lagian tadi kasurnya kan sudah kamu jemur lagi, Nduk. Seprainya sudah ibu ganti yang baru juga, lihat ini kulit ibu sudah tak terlalu gatal." Ibu mengasongkan tangan supaya aku melihatnya.

Ku raih tangan renta itu, lalu kucium takzim, "Bisakah aku sekuat dan sesabar Ibu? kenapa Ibu begitu baik seperti ini walaupun mereka sudah bersikap seolah tak menghargaimu, Bu."

"Jangan pernah membalas api dengan api, Nduk. Itu hanya akan menambah apinya menjadi semakin besar, tapi siramlah sedikit-sedikit dengan air walaupun tak bisa langsung memadamkan api yang berkobar, tapi lama-lama api itu akan padam juga, Din."

Ibu memelukku lalu membelai surai hitamku lembut, kurasakan mata sudah tergenang tak kuasa melihat tubuh renta itu penuh derita, di usia senja yang seharusnya bertabur bahagia dengan datangnya ia seorang menantu yang sudah lama ditunggu.

Adzan subuh terdengar mengalun merdu dari surau di sebrang jalan, membangunkan jiwa-jiwa yang tengah terlena dalam buaian mimpi. Kusibak selimut yang seolah membelai dan merayu supaya aku melanjutkan nyamannya tidur dalam lelapku.

Ku bantu Ibu yang tengah mengaduk nasi goreng untuk sarapan pagi ini, keringat terlihat bercucuran dari dahinya. Sedangkan orang tua Kak Inggit sendiri tak pernah sekalipun kulihat mereka membantu mengerjakan pekerjaan rumah, atau bahkan sekedar membantu Ibu memasak makanan untuk mereka juga.

"Ibu istirahatlah, biar Dina yang teruskan."

"Tidak usah, Din. Ini hanya tinggal sedikit lagi, kamu bersiap-siap saja sana, bukankah hari ini ada kuliah pagi."

Aku mengangguk mengiyakan, "Tapi Ibu kelihatan lelah, Bu. Ini juga lihatlah kulit Ibu malah tambah meradang begini, nanti kita kedokteran saja ya, Bu."

Ibu hanya tersenyum menanggapi perkataanku seolah tak ada beban sama sekali dalam pundaknya, padahal aku sudah sangat khawatir jika penyakit kulit itu malah akan semakin menyebar ke seluruh tubuhnya.

"Sudah sana siap-siap, habis itu kita sarapan sama-sama, ya!"

"Tapi nanti kita periksa ke dokter setelah Dina pulang kuliah ya, Bu. Dina gak mau kalau sampai penyakit kulit itu bertambah parah, Bu."

"Iya-iya, Cah ayu." Jawab ibu mengulum senyum padaku.

Jam di dinding sudah menunjukan pukul tujuh lewat lima belas menit, waduh aku bisa terlambat nanti mana jam pertama kuliahku hari ini dosennya lumayan killer, bisa-bisa aku tak dikasihnya masuk kalau kesiangan.

Bergegas aku beranjak menuju kamar mandi, jurus mandi kilat rasanya sangat tepat untukku saat ini, kupakai celana hitam semata kaki dengan atasan tunik warna biru tua, lalu kupakai pasmina dengan warna senada, kuraih tas dan juga laptop berisi tugas yang harus diserahkan hari ini, tak ingin terlambat bergegas aku menuju meja makan untuk sarapan bersama Ibuku.

"Mas, tolong kirimin uang lagi ya, Mas. Uang peganganku sudah menipis."

Kudengar suara Kak Inggit tengah berbicara lewat sambungan telpon, terdengar dia meminta uang lagi untuk di transfr abangku padahal setahuku uang yang diberikan bang Gagas sebelum dia berangkat berlayar saja lumayan besar sekitar lima puluh juta, dan itupun seharusnya mencakup biaya kuliahku, tapi nyatanya Kak Inggit tak memberikan hakku sebagaimana mestinya.

"Iya tapi uangnya sudah semakin menipis, Mas. Mas kan tahu keperluan adikmu kuliah itu sangat banyak, dan lagi adikmu itu terlalu sok jadi orang, uang ongkos sama bekalnya saja tak mau jika dikasih secukupnya, terkadang dia minta lebih katanya untuk mentraktir teman-temannya, membuatku pusing tujuh keliling, Mas."

Lanjutnya lagi yang secara tak sengaja kudengar, aku menghela napas kasar. Besar sekali kebohongan kakak iparku ini, kapan aku meminta ongkos dan bekal untuk pergi kuliah padanya, yang ada semua uang yang Bang Gagas berikan malah dipakai poya-poya olehnya, juga dipakai untuk menyenangkan keluarganya sendiri sedangkan aku dan Ibu tak sekalipun merasakan jatah yang seharusnya diberikan, selain hanya makanan yang kami makan itupun terkadang sisa makan Kak Inggit dan orang tuanya sendiri.

"Kapan aku meminta jatah lebih untuk mentraktir teman-temanku, Kak?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status