Share

Bab 5

last update Last Updated: 2024-02-06 08:49:52

Tiba-tiba saja Kak Inggit sudah berada di belakangku, kulihat beberapa paperbag di tangannya sepertinya dia sudah mengajak orang tuanya shoping, terlihat dari begitu gembiranya orang tua Kak Inggit yang baru saja tiba menyusulnya masuk ke dalam rumah, dengan tentengan berbagai paperbag bertuliskan barang-barang yang harganya ku taksir lumayan menguras kantong.

"Kakak habis belanja banyak kelihatannya, Kakak belikan juga kasur buat Ibuku?" tanpa menjawab pertanyaannya, aku malah balik bertanya sambil mendelik memperhatikan gayanya dari atas rambut sampai ujung kaki, yang berdandan wah seperti seorang selebriti cetar membahana.

Kak Inggit melengos, bukannya menjawab pertanyaanku dia malah melangkah menuju kulkas lalu mengambil minuman dingin kemudian menenggaknya hingga tandas.

"Kak ...!"

"Apa sih, Dina? tidak usah mengeraskan suaramu padaku, aku tidak tuli!" Bentaknya tak mau kalah.

"Ya habis, kakak kutanya bukannya menjawab malah cuek seperti tak perduli. Apakah kakak membelikan kasur, untuk Ibu? secara itu penting buatku, kakak lihatkan kulit Ibu sudah penuh ruam, kasihan Ibu jadi tidak tenang tidurnya karena itu pasti gatal sekali, Kak." Papar ku yang sudah bosan dengan tindakan arogan kakak iparku itu.

"Ya memang aku tak perduli," desisnya sambil berlalu, lewat disampingku. "Sudah kubilang Ibu seperti itu bukan karena kasur yang ditidurinya, tapi karena Ibu itu jorok coba tanya sehari berapa kali dia mandi!"

Aku mendengus mendengar jawabannya sungguh membuatku naik darah, emosiku sudah kembali naik ke ubun-ubun, rasanya sudah tak dapat ditolerir lagi sikap Kak Inggit yang meremehkan Ibuku.

Kak Inggit pergi begitu saja, tak dihiraukan aku yang masih belum selesai bicara dengannya, kalau bisa dilihat secara kasat mata mungkin sudah keluar tanduk dari kepalaku ini, saking kesalnya aku dengan sikap acuh istri dari kakakku satu-satunya itu.

"Dina, Nduk sudah! Ibu tidak apa-apa kok, Nduk. Ini juga sudah mendingan lagian tadi kasurnya kan sudah kamu jemur lagi, Nduk. Seprainya sudah ibu ganti yang baru juga, lihat ini kulit ibu sudah tak terlalu gatal." Ibu mengasongkan tangan supaya aku melihatnya.

Ku raih tangan renta itu, lalu kucium takzim, "Bisakah aku sekuat dan sesabar Ibu? kenapa Ibu begitu baik seperti ini walaupun mereka sudah bersikap seolah tak menghargaimu, Bu."

"Jangan pernah membalas api dengan api, Nduk. Itu hanya akan menambah apinya menjadi semakin besar, tapi siramlah sedikit-sedikit dengan air walaupun tak bisa langsung memadamkan api yang berkobar, tapi lama-lama api itu akan padam juga, Din."

Ibu memelukku lalu membelai surai hitamku lembut, kurasakan mata sudah tergenang tak kuasa melihat tubuh renta itu penuh derita, di usia senja yang seharusnya bertabur bahagia dengan datangnya ia seorang menantu yang sudah lama ditunggu.

Adzan subuh terdengar mengalun merdu dari surau di sebrang jalan, membangunkan jiwa-jiwa yang tengah terlena dalam buaian mimpi. Kusibak selimut yang seolah membelai dan merayu supaya aku melanjutkan nyamannya tidur dalam lelapku.

Ku bantu Ibu yang tengah mengaduk nasi goreng untuk sarapan pagi ini, keringat terlihat bercucuran dari dahinya. Sedangkan orang tua Kak Inggit sendiri tak pernah sekalipun kulihat mereka membantu mengerjakan pekerjaan rumah, atau bahkan sekedar membantu Ibu memasak makanan untuk mereka juga.

"Ibu istirahatlah, biar Dina yang teruskan."

"Tidak usah, Din. Ini hanya tinggal sedikit lagi, kamu bersiap-siap saja sana, bukankah hari ini ada kuliah pagi."

Aku mengangguk mengiyakan, "Tapi Ibu kelihatan lelah, Bu. Ini juga lihatlah kulit Ibu malah tambah meradang begini, nanti kita kedokteran saja ya, Bu."

Ibu hanya tersenyum menanggapi perkataanku seolah tak ada beban sama sekali dalam pundaknya, padahal aku sudah sangat khawatir jika penyakit kulit itu malah akan semakin menyebar ke seluruh tubuhnya.

"Sudah sana siap-siap, habis itu kita sarapan sama-sama, ya!"

"Tapi nanti kita periksa ke dokter setelah Dina pulang kuliah ya, Bu. Dina gak mau kalau sampai penyakit kulit itu bertambah parah, Bu."

"Iya-iya, Cah ayu." Jawab ibu mengulum senyum padaku.

Jam di dinding sudah menunjukan pukul tujuh lewat lima belas menit, waduh aku bisa terlambat nanti mana jam pertama kuliahku hari ini dosennya lumayan killer, bisa-bisa aku tak dikasihnya masuk kalau kesiangan.

Bergegas aku beranjak menuju kamar mandi, jurus mandi kilat rasanya sangat tepat untukku saat ini, kupakai celana hitam semata kaki dengan atasan tunik warna biru tua, lalu kupakai pasmina dengan warna senada, kuraih tas dan juga laptop berisi tugas yang harus diserahkan hari ini, tak ingin terlambat bergegas aku menuju meja makan untuk sarapan bersama Ibuku.

"Mas, tolong kirimin uang lagi ya, Mas. Uang peganganku sudah menipis."

Kudengar suara Kak Inggit tengah berbicara lewat sambungan telpon, terdengar dia meminta uang lagi untuk di transfr abangku padahal setahuku uang yang diberikan bang Gagas sebelum dia berangkat berlayar saja lumayan besar sekitar lima puluh juta, dan itupun seharusnya mencakup biaya kuliahku, tapi nyatanya Kak Inggit tak memberikan hakku sebagaimana mestinya.

"Iya tapi uangnya sudah semakin menipis, Mas. Mas kan tahu keperluan adikmu kuliah itu sangat banyak, dan lagi adikmu itu terlalu sok jadi orang, uang ongkos sama bekalnya saja tak mau jika dikasih secukupnya, terkadang dia minta lebih katanya untuk mentraktir teman-temannya, membuatku pusing tujuh keliling, Mas."

Lanjutnya lagi yang secara tak sengaja kudengar, aku menghela napas kasar. Besar sekali kebohongan kakak iparku ini, kapan aku meminta ongkos dan bekal untuk pergi kuliah padanya, yang ada semua uang yang Bang Gagas berikan malah dipakai poya-poya olehnya, juga dipakai untuk menyenangkan keluarganya sendiri sedangkan aku dan Ibu tak sekalipun merasakan jatah yang seharusnya diberikan, selain hanya makanan yang kami makan itupun terkadang sisa makan Kak Inggit dan orang tuanya sendiri.

"Kapan aku meminta jatah lebih untuk mentraktir teman-temanku, Kak?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rosilawaty Waktu
Dina lapor sama abangmu bhw inggit tak pernah memberikan uang jajan dan uang kuliah dia hanya pakai berfoya-foya sama orang tuanya, sms saja krn klau di tlpon nanti dia dengar
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 103

    "Dek ijinkan aku menjadi lelaki yang akan menggantikan Zaidan di hatimu, ijinkan aku menjadi ayah dari anakmu. Aku berjanji akan selalu membahagiakan kalian selama hidupku." Ucap lelaki itu sambil menatap padaku lekat.Lain sekali dengan Mas Zaidan, jangankan menatapku seperti itu hanya sekadar melirik pun ia begitu takut sepertinya. Ah memang keduanya begitu berbeda, laki-laki itu begitu soleh juga taat pada perintah agamanya, namun kini beliau telah tiada hanya menyisakan sesak di dada karena aku ditinggalkan pas lagi sayang-sayangnya.Lain lagi dengan laki-laki petakilan yang kini berada didepanku, walaupun di mataku dia seolah begitu slebor dan tak bisa menjaga pandangannya dari lawan jenis, namun aku tak tahu kedalaman hatinya seperti apa. Aku tak bisa menilai orang hanya dari covernya saja, asal kulihat jelek, berarti dia jelek. Tidak seperti itu juga, setiap manusia itu punya kekurangan dan kelebihannya tersendiri termasuk juga Mas Yaseer, namun entah kenapa hati ini tak bisa

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 102

    "Sudah ya, biarkan Zaidan istirahat dengan tenang di sana, agar langkahnya tidak berat untuk pulang menuju dunia keabadian."Aku akhirnya mengangguk mengiyakan kata-kata Bang Gagas, memang benar yang ia katakan, walau bagaimanapun aku harus mengikhlaskan kepergiannya suka ataupun tidak, semua kenyataan itu tak bisa lagi dipungkiri kebenarannya."Lalu bagaimana keadaan Uti saat ini, Bang?""Keadaan adiknya masih kritis saat ini, Dek. Kecelakaan itu begitu parah, bersyukurlah Allah masih menjaga dan melindungi mu. Entah amalan apa yng telah kamu lakukan sampai Allah begitu menyayangimu, Dek."Aku hanya terdiam mendengar penuturan Bang Gagas, dalam pikiranku hanya ada mereka berdua saat ini laki-laki yang telah pergi meninggalkanku untuk selamanya dan juga sahabatku Uti yang kini tengah kritis. Bagaimana aku akan mengatakan padanya nanti jika Mas Zaidan telah pergi lebih dulu meninggalkan kami saat ini."Bang, antar aku melihat Uti sekarang!" Pintaku pada Bang Gagas.Tanpa membantah Bang

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 101

    Ketika baru saja hendak terlelap kulirik Ibu terburu-buru keluar dari kamar, tapi kulihat Jingga masih di kereta bayinya terlelap tak merasa terganggu, sekali pun berada di rumah sakit dengan keadaan yang kurang nyaman. Mau kemana Ibu, kenapa beliau begitu terburu-buru? kulihat juga wajahnya begitu sendu seolah menyimpan sesuatu dariku saat ini.Ah ingin rasanya aku mengejarnya keluar, tapi bagaimana caranya kakiku saat ini sulit untuk sekedar ku geser saja. Lalu jika pun aku bisa keluar memakai kursi roda, bagaimana dengan Jingga siapa yang akan menjaganya di sini, sementara aku pergi mengejar Ibuku keluar."Suster bisa bantu saya keluar, saya ingin melihat keadaan calon suami saya suster. Saya mohon bantu saya kali ini saja." Mohon Ku, ketika ada suster datang hendak memeriksa keadaanku saat ini."Tapi, saya harus iz—""Jangan meminta izin pada siapapun, Sus! Saya yang akan bertanggung jawab jika ada apa-apa nanti, saya mohon bantu saya sus."Akhirnya dengan sedikit terpaksa suster

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 100

    "Dek, kamu sudah sadar? bagaimana keadaanmu sekarang?""Bagaimana keadaan Uti juga Mas Zaidan, Bang?" tanpa menjawab pertanyaan kakak ku, aku malah lebih ingin tahu bagaimana keadaan calon suami juga sahabatku Uti.Apakah mereka baik-baik saja sama sepertiku saat ini, atau malah sebaliknya?Bang Zaidan malah diam saja tanpa menjawab pertanyaanku, dia malah saling bertatapan dengan Ibu, seolah mengisyaratkan sesuatu."Bang ...! Kenapa tidak menjawab pertanyaanku, bagaimana keadaan Mas Zaidan juga Uti sekarang, apakah mereka baik-baik saja? jawablah jangan membuatku penasaran, Bang!" Bentakku kesal. "Bu ...! Apakah Ibu tahu bagaimana keadaan mereka sekarang?"Kembali kutanyakan pada Ibu, karena Abangku malah terus saja diam tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya, untuk menjawab pertanyaanku.Karena mereka tetap saja diam membisu tak juga menjawab pertanyaanku, kupaksakan bangun walaupun kepala terasa berdenyut nyeri, namun saat hendak mengangkat kedua kakiku aku merasakan hal yan

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 99

    Kubuka mata perlahan, mengerjap-ngerjapkan kelopaknya karena silau oleh cahaya yang masuk kedalam iris mataku.Terbangun di hamparan padang rumput berwarna hijau, terasa teduh walaupun sinar mentari menyinari bumi.Kumpulan bunga liar kulihat begitu indah dengan warna-warni yang rupawan, membuat siapa pun betah berlama-lama menatapnya.Kutolehkan kepala kekiri dan kanan mencari siapa saja yang berada didekat sana, namun nihil tak kutemukan seorang pun dipadang rumput itu selain diriku sendiri.Beranjak bangun lalu melangkah pergi mencari, barang kali ada satu manusia yang bisa kutemui. Setelah berjalan beberapa waktu, akhirnya kulihat siluet orang yang tidak begitu asing dipenglihatanku, ya itu Mas zaidan calon suamiku. Namun mau kemana dia? berjalan maju tanpa menoleh sedikit pun padaku."Mas ... Mas Zaidan ...! Tunggu Dina, Mas!" Teriakku penuh harap.Akhirnya Mas Zaidan menoleh juga, wajahnya terlihat teduh seulas senyum hangat ia berikan padaku. Namun tak sepatah kata pun keluar d

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 98

    Tiga Hari Jingga di rawat di rumah sakit, setelah memastikan tubuhnya benar-benar sehat akhirnya kami bisa membawanya pulang, Alhamdulillah dibalik ujian itu ada hikmah yang terselip begitu indah. Perlakuan Bang Gagas pada anakku itu kembali hangat. Terlihat sekali rasa sayangnya bertambah berkali-kali lipat, tak terpikir lagi dikepalanya untuk menyerahkan Jingga kepanti asuhan, atau pikiran buruk lainnya apapun itu dan itu teramat sangat ku syukuri.Segala doa dan harapanku telah Allah kabulkan, betapa besar kasih sayang-Mu pada umat mu ini ya Rabb. Karena Allah yang maha membolak-balikkan hati manusia, maka mudah baginya untuk melakukan hal itu jika memang Allah berkehendak.Kini setiap pagi sebelum ke kantor Bang Gagas selalu menyempatkan diri bermain dulu dengan Jingga walau sebentar saja. Pulang dari kantor pun tak pernah telat, katanya dia selalu rindu dengan anak gadisnya ini, MasyaAllah sungguh kuasa Allah begitu besar.Tok ...Tok ...Tok ..."Assalamualaikum."Hari minggu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status