"Wah enaknya sekarang kamu sudah tidak perlu lagi mengontrak rumah, Nak." Terdengar ucapan bu Arum ibunya Kak Inggit. Begitu sampai di rumah kami. Matanya menoleh ke kiri dan kanan memperhatikan seisi ruangan rumah.
"Iya dong, Bu. Mas Gagas kan memberikan rumah ini untuk aku, istri kesayangannya." Sahut Kak Inggit membual.Aku hanya mencebik mendengar apa yang iparku katakan, enak saja dia mengaku-ngaku kalau rumah ini untuknya, dia sama sekali tidak menghargai aku juga ibuku sebagai tuan rumah yang sebenarnya."Ayok Bu, kita ngobrol-ngobrol di ruang keluarga, Inggit sudah kangen sama Ibu dan Bapak."Kak Inggit pergi begitu saja, diikuti oleh orang tuanya begitu mereka selesai makan. Mereka bahkan meninggalkan meja makan dalam keadaan yang berantakan, tak ada basa-basi sama sekali untuk membantu ibuku membereskan barang-barang sisa makan barusan. Tanganku terkepal, rasanya sabar ku yang setipis tisu dibagi delapan ini sudah luluh lantak tak tersisa, namun lagi-lagi ibu menggenggam jemariku dengan menggelengkan kepalanya seraya tersenyum hangat memberikan suntikan semangat padaku."Yok bantu ibu, membereskan meja makannya!""Pantas saja anaknya seperti itu, orang tuanya saja malah membiarkan anaknya berlaku seenak jidat, dasar tak ada akhlak!" Ketusku."Hus jangan bicara begitu, tidak enak jika mereka mendengarnya, Nduk. Walau bagaimanapun mereka tetaplah tamu yang harus kita muliakan di rumah ini."Dengan wajah merenggut, terpaksa aku menuruti ibu untuk kemudian membereskan meja makan, lalu mencuci piring-piring bekas makan barusan."Sekali-kali tegur Kak Inggit, Bu, biar dia tak terus-terusan menyepelekan kita. Dia pikir kita ini babu apa di rumah ini!"Ocehku setelah semua pekerjaan membereskan dapur selesai. "Lagian ini tuh rumah kita, bang Gagas membangun rumah ini dari jerih payahnya untuk bernaung ibu di hari tua. Seenaknya saja kak Inggit mengaku-ngaku, memangnya kapan bang Gagas memberikan rumah ini padanya, heh dasar pembohong!""Sudah to, Nduk. Jangan terus-terusan menggerutu, sabar tidak baik loh marah-marah terus nanti ayune hilang." Rayu Ibu. Begitulah Ibuku terkadang aku begitu heran dengan beliau, bisa sesabar dan sebaik itu jadi manusia. Ah memang Ibuku yang terbaik, itulah kenapa aku selalu merasa tak tega jika Ibu harus mendapatkan perlakuan yang seenaknya dari menantunya sendiri, padahal kurang baik apa Ibu memperlakukannya selama ini.Sudah satu minggu orang tua kak Inggit menginap dirumahku, tapi belum ada tanda-tanda mereka mau kembali pulang ke kampungnya juga, apakah mereka tidak berpikir jika tuan rumah merasa tidak nyaman dengan kehadiran mereka, kok rasa-rasanya jika kuperhatikan mereka malah semakin menikmati tinggal dirumahku ini."Bu, kenapa kulit Ibu merah-merah begini? setahu Dina kemarin-kemarin tidak ada, Bu."Kulihat banyak bintik-bintik merah pada kulit Ibu dan sepertinya itu terasa gatal dan mengganggu, buktinya Ibu terlihat tidak nyaman dan terus menggaruk kulitnya yang seperti ruam pada anak bayi. "Entahlah, Din. Mungkin ini karena alergi Ibu kambuh,""Tidak mungkin karena alergi, Bu, Ibu kan tidak memakan makanan yang membuat alergi Ibu meradang. Ini pasti karena kasur lapuk itu, sudah Dina bilang kasur itu lama teronggok di gudang sudah tidak layak untuk dipakai lagi, Bu. Walaupun kita alasi pakai seprai bersih, tetap saja di dalamnya pasti banyak kuman penyakit bersarang yang bisa menimbulkan penyakit untuk kulit kita.""Sudah to, Nduk. Nanti juga sembuh sendiri, biar ibu taburi pakai bedak anti gatal saja, nanti tolong di jemur lagi ya Nduk, kasurnya! Ibu ada pengajian di rumah bu Rt siang ini."Aku hanya mengangguk sebagai jawaban, lalu beranjak pergi keluar kamar, aku berniat untuk meminta uang kepada Kak Inggit untuk sekedar membelikan Ibu kasur baru walaupun ukurannya kecil tidak apa-apa, karena toh sejak pindah di kamar belakang aku tidak tidur di kasur, selain ukurannya kecil aku juga tak mau tidur di kasur yang sudah puluhan tahun tak dipakai, Ibuku saja yang tak mengindahkan perkataanku, sampai akhirnya beliau sekarang terkena penyakit kulit akibat tidur di kasur lapuk itu."Kak, minta uang dong untuk membeli kasur baru buat, ibu. Yang kecil juga tidak apa-apa, kasihan kulit ibu banyak bintik-bintik merah yang bikin badan ibu gatal-gatal."Kak Inggit yang terlihat tengah menikmati buah bersama Bu Arum hanya mendelik, lalu melanjutkan kembali menikmati buah segar dalam pangkuannya seolah meremehkan perkataanku barusan."Kak, kakak dengar, kan?" sentak ku kesal."Heh Dina, buat apa sih kamu itu beli-beli kasur baru segala? kan sudah kubilang sayang uangnya! Kulit ibu gatal-gatal pasti bukan karena kasur itu, palingan juga itu karena ibu jorok, jadi kulitnya gatal-gatal seperti itu.""Jangan asal bicara, Kak. Selama ini ibu tak pernah terkena penyakit kulit seperti sekarang, itu terjadi sejak ibu tidur di kasur lapuk dari gudang itu.""Alasan saja kamu, Din! Buktinya kamu baik-baik saja, bukannya kamu juga tidur berdua ibu selama ini, pasti kamu berbohong agar mendapatkan uang untuk poya-poya bersama teman-teman kuliahmu kan?" tuduh kak Inggit sungguh tak masuk akal.Astagfirullah terbuat dari apa hati wanita ini, bisa-bisanya dia menuduhku seenak dengkulnya, dia pikir jika aku memang berniat korupsi uang untuk membeli kasur, apakah cukup untuk dipakai poya-poya? sempit sekali pemikirannya, itulah jika seorang manusia yang rakus terhadap harta yang bukan haknya, dalam pikirannya pasti akan selalu timbul prasangka negatif terhadap orang lain."Dek ijinkan aku menjadi lelaki yang akan menggantikan Zaidan di hatimu, ijinkan aku menjadi ayah dari anakmu. Aku berjanji akan selalu membahagiakan kalian selama hidupku." Ucap lelaki itu sambil menatap padaku lekat.Lain sekali dengan Mas Zaidan, jangankan menatapku seperti itu hanya sekadar melirik pun ia begitu takut sepertinya. Ah memang keduanya begitu berbeda, laki-laki itu begitu soleh juga taat pada perintah agamanya, namun kini beliau telah tiada hanya menyisakan sesak di dada karena aku ditinggalkan pas lagi sayang-sayangnya.Lain lagi dengan laki-laki petakilan yang kini berada didepanku, walaupun di mataku dia seolah begitu slebor dan tak bisa menjaga pandangannya dari lawan jenis, namun aku tak tahu kedalaman hatinya seperti apa. Aku tak bisa menilai orang hanya dari covernya saja, asal kulihat jelek, berarti dia jelek. Tidak seperti itu juga, setiap manusia itu punya kekurangan dan kelebihannya tersendiri termasuk juga Mas Yaseer, namun entah kenapa hati ini tak bisa
"Sudah ya, biarkan Zaidan istirahat dengan tenang di sana, agar langkahnya tidak berat untuk pulang menuju dunia keabadian."Aku akhirnya mengangguk mengiyakan kata-kata Bang Gagas, memang benar yang ia katakan, walau bagaimanapun aku harus mengikhlaskan kepergiannya suka ataupun tidak, semua kenyataan itu tak bisa lagi dipungkiri kebenarannya."Lalu bagaimana keadaan Uti saat ini, Bang?""Keadaan adiknya masih kritis saat ini, Dek. Kecelakaan itu begitu parah, bersyukurlah Allah masih menjaga dan melindungi mu. Entah amalan apa yng telah kamu lakukan sampai Allah begitu menyayangimu, Dek."Aku hanya terdiam mendengar penuturan Bang Gagas, dalam pikiranku hanya ada mereka berdua saat ini laki-laki yang telah pergi meninggalkanku untuk selamanya dan juga sahabatku Uti yang kini tengah kritis. Bagaimana aku akan mengatakan padanya nanti jika Mas Zaidan telah pergi lebih dulu meninggalkan kami saat ini."Bang, antar aku melihat Uti sekarang!" Pintaku pada Bang Gagas.Tanpa membantah Bang
Ketika baru saja hendak terlelap kulirik Ibu terburu-buru keluar dari kamar, tapi kulihat Jingga masih di kereta bayinya terlelap tak merasa terganggu, sekali pun berada di rumah sakit dengan keadaan yang kurang nyaman. Mau kemana Ibu, kenapa beliau begitu terburu-buru? kulihat juga wajahnya begitu sendu seolah menyimpan sesuatu dariku saat ini.Ah ingin rasanya aku mengejarnya keluar, tapi bagaimana caranya kakiku saat ini sulit untuk sekedar ku geser saja. Lalu jika pun aku bisa keluar memakai kursi roda, bagaimana dengan Jingga siapa yang akan menjaganya di sini, sementara aku pergi mengejar Ibuku keluar."Suster bisa bantu saya keluar, saya ingin melihat keadaan calon suami saya suster. Saya mohon bantu saya kali ini saja." Mohon Ku, ketika ada suster datang hendak memeriksa keadaanku saat ini."Tapi, saya harus iz—""Jangan meminta izin pada siapapun, Sus! Saya yang akan bertanggung jawab jika ada apa-apa nanti, saya mohon bantu saya sus."Akhirnya dengan sedikit terpaksa suster
"Dek, kamu sudah sadar? bagaimana keadaanmu sekarang?""Bagaimana keadaan Uti juga Mas Zaidan, Bang?" tanpa menjawab pertanyaan kakak ku, aku malah lebih ingin tahu bagaimana keadaan calon suami juga sahabatku Uti.Apakah mereka baik-baik saja sama sepertiku saat ini, atau malah sebaliknya?Bang Zaidan malah diam saja tanpa menjawab pertanyaanku, dia malah saling bertatapan dengan Ibu, seolah mengisyaratkan sesuatu."Bang ...! Kenapa tidak menjawab pertanyaanku, bagaimana keadaan Mas Zaidan juga Uti sekarang, apakah mereka baik-baik saja? jawablah jangan membuatku penasaran, Bang!" Bentakku kesal. "Bu ...! Apakah Ibu tahu bagaimana keadaan mereka sekarang?"Kembali kutanyakan pada Ibu, karena Abangku malah terus saja diam tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya, untuk menjawab pertanyaanku.Karena mereka tetap saja diam membisu tak juga menjawab pertanyaanku, kupaksakan bangun walaupun kepala terasa berdenyut nyeri, namun saat hendak mengangkat kedua kakiku aku merasakan hal yan
Kubuka mata perlahan, mengerjap-ngerjapkan kelopaknya karena silau oleh cahaya yang masuk kedalam iris mataku.Terbangun di hamparan padang rumput berwarna hijau, terasa teduh walaupun sinar mentari menyinari bumi.Kumpulan bunga liar kulihat begitu indah dengan warna-warni yang rupawan, membuat siapa pun betah berlama-lama menatapnya.Kutolehkan kepala kekiri dan kanan mencari siapa saja yang berada didekat sana, namun nihil tak kutemukan seorang pun dipadang rumput itu selain diriku sendiri.Beranjak bangun lalu melangkah pergi mencari, barang kali ada satu manusia yang bisa kutemui. Setelah berjalan beberapa waktu, akhirnya kulihat siluet orang yang tidak begitu asing dipenglihatanku, ya itu Mas zaidan calon suamiku. Namun mau kemana dia? berjalan maju tanpa menoleh sedikit pun padaku."Mas ... Mas Zaidan ...! Tunggu Dina, Mas!" Teriakku penuh harap.Akhirnya Mas Zaidan menoleh juga, wajahnya terlihat teduh seulas senyum hangat ia berikan padaku. Namun tak sepatah kata pun keluar d
Tiga Hari Jingga di rawat di rumah sakit, setelah memastikan tubuhnya benar-benar sehat akhirnya kami bisa membawanya pulang, Alhamdulillah dibalik ujian itu ada hikmah yang terselip begitu indah. Perlakuan Bang Gagas pada anakku itu kembali hangat. Terlihat sekali rasa sayangnya bertambah berkali-kali lipat, tak terpikir lagi dikepalanya untuk menyerahkan Jingga kepanti asuhan, atau pikiran buruk lainnya apapun itu dan itu teramat sangat ku syukuri.Segala doa dan harapanku telah Allah kabulkan, betapa besar kasih sayang-Mu pada umat mu ini ya Rabb. Karena Allah yang maha membolak-balikkan hati manusia, maka mudah baginya untuk melakukan hal itu jika memang Allah berkehendak.Kini setiap pagi sebelum ke kantor Bang Gagas selalu menyempatkan diri bermain dulu dengan Jingga walau sebentar saja. Pulang dari kantor pun tak pernah telat, katanya dia selalu rindu dengan anak gadisnya ini, MasyaAllah sungguh kuasa Allah begitu besar.Tok ...Tok ...Tok ..."Assalamualaikum."Hari minggu