Share

Bab 3 : Bertemu Nurah dan Sasmita

Malik menimbang-nimbang informasi yang baru didengarnya. Adil Pras sudah membuat surat wasiat.

Apakah cukup biasa untuk pengusaha kampung membuat surat wasiat di usia yang masih aktif? Mungkin ekspektasi Malik yang terlalu meremehkan.

Orang-orang kampung yang cukup berharta biasanya telah duluan membagi harta ke anak-anaknya saat masih sehat dalam usia yang sudah lanjut. Tapi almarhum Adil melibatkan notaris dan usianya pun terbilang muda.

Mengingat perkawinan dengan Nurah telah tercatat, kemungkinan surat wasiat tersebut memberi keuntungan terhadap Nurah. Atau malah mungkin saja tidak ada warisan baginya. Ilbi melanjutkan ceritanya.

“Mengenai racun potas yang ditemukan di gudang rumah Adil, ternyata juga ditemukan racun yang sama setidaknya milik dua orang lain saksi di TKP. Dan mereka berdua adalah peternak ikan."

"Potasium Sianida setahuku memang masih digunakan peternak untuk membersihkan hama sebelum kolam diberi bibit ikan baru," timpal Malik.

"Tapi Nurah mengaku tidak tahu menahu tentang adanya racun tersebut dan tak bisa menjelaskan mengapa ada racun potas di gudang dengan kemasan satu kilo yang telah tersisa nyaris separuhnya.”

“Sampai separuhnya sudah dipakai?” Mata Malik membulat. “Apa yang telah dilakukan dengan racun yang terambil? Bukankah kandungan racun di minuman bandrek tidak sampai satu gram?"

“Tersisa sekitar empat ratus gram tepatnya. Bisa saja korban Adil Pras yang memang memakainya untuk keperluan kebun, meski beberapa pekerjanya tak bisa memastikan apakah mereka pernah melihat sendiri Adil memakainya untuk mengusir hama.”

“Jadi saat ini polisi memastikan apakah istri korban punya kesempatan untuk mengambil sedikit racun. Jika melihat sumber racun itu di dalam tumbler Saba jelas si pemilik adalah targetnya. Sementara ikut terbunuhnya Adil kemungkinan besar di luar rencana si pembunuh dan murni kecelakaan, ” kata Malik yang mulai merasa jiwa pencari jejaknya meluap-luap.

"Kau benar. Kita harus mendengar keterangan Nurah atau saksi lainnya."

Mereka pun segera berangkat menggunakan motor masing-masing. Mereka tiba di kantor Polsek Stabat selang lima puluh menit perjalanan.

Bangunan kantor polisi yang tepat di pinggir lalu lintas jalan Medan Aceh tersebut nyaris tidak menyediakan halaman parkir untuk mobil.

Kendaraan motor terparkir berjejer di sela jalan besar dan bangunan Polsek memanjang dengan teras menuju ruangan di dalam.

Malik dan Ilbi menaruh motor di pinggir jalan meski ada dua motor yang diparkir di teras dan tersisa slot yang cukup untuk dua motor matik ramping.

Namun jelas dua motor tersebut milik petugas dilihat dari platnya dan tak mungkin mereka lancang memarkirkan kendaraan di sana.

Mereka masuk ke ruang tunggu setelah Ilbi bercakap sebentar dengan sepupu jauhnya di resepsionis. Di satu jejeran kursi mereka bertemu dengan Nurah yang sedang menunggu giliran diperiksa.

Ilbi memperkenalkan diri mereka berdua serta mengucapkan bela sungkawa atas kematian suaminya dan dalam rangka apa mereka kemari. Nurah mengangguk dan mengatakan bahwa Pak Hito juga sudah memberitahunya tentang kedatangan anggotanya.

Ia jelas lebih cantik dari foto yang ditampilkan di portal. Wajahnya berbentuk oval dengan hidung mancung. Memakai kemeja wanita navy dan celana panjang linen hitam dengan rambut yang dijepit ke belakang dengan jedai krem. Tanpa perhiasan apapun melekat.

Terlihat klasik dan sederhana mengingat sang almarhum suami seorang tokai. Ada kesan wanita matang dibalik kemudaannya.

"Pak Hito sudah mengatakan tentang tim yang akan memberi pendampingan kepada saya,” ujarnya dengan tenang dan melirik satu-satu dua lelaki di depannya.

Ilbi kemudian mengeluarkan ponsel dan meminta nomor kontak Nurah. Lalu juga meminta Nurah menyimpan nomor Malik.

Malik sendiri sedikit gugup di depan janda agen pengepul sawit tersebut dan Malik tidak suka akan hal itu.

Ia tak boleh terditraksi akan kecantikan perempuan ini. Malik terus mengingatkan diri sendiri atas salah satu pemilik sidik jari pada tumbler beracun Saba adalah Nurah.

Lalu hitungan menit kemudian salah satu petugas lain dari ruangan sebelah memanggil nama Nurah.

“Saya advokat dari saksi Ibu Nurah,” Ilbi memajukan diri dan bicara. Petugas yang masih muda tersebut mengedarkan pandangannya satu persatu pada tiga orang di hadapannya.

"Untuk pemeriksaan kali ini saksi yang akan memberi keterangan belum didampingi kuasa hukum,” ujarnya dengan suara berat yang kurang cocok dengan penampilan mudanya.

“Oh, begitu.” Ilbi beralih pada Nurah.” Kami akan keluar dulu. Kau tak perlu ragu-menjawab. Mungkin kami akan keluar sebentar, jika ada apa-apa hubungi salah satu dari kami.”

“Tak usah khawatir,” ucapnya lugas.

Mereka menuju pintu keluar dan selagi mereka melewati para saksi lain yang juga ikut menunggu sesosok wanita muncul dari pintu masuk.

Dialah istri mendiang Saba sekaligus mantan istri Adil. Deskripsi dari portal berita yang sempat dibaca Malik sekali lagi memang sesuai.

Meski terlihat sudah memasuki kepala empat namun kemenawanan masih tampak pada Sasmita. Tak kalah kasual dan klasik dengan Nurah, ia juga memakai kemeja wanita dusty pink dan celana kulot coklat.

Mengikat rambut dengan scrunchies yang juga coklat dan menyampirkan tas di bahu. Dengan tinggi badan sama seperti Nurah kira-kira seratus enam puluhan senti.

Ia kemudian mengambil tempat kosong setelah Nurah berlalu dan terlihat sedikit melirik mereka berdua.

"Apa yang akan kita lakukan selanjutnya?” tanya Malik begitu mereka di teras.

Ilbi membuka G****e Map. “Pemeriksaan saksi mungkin akan memakan waktu lama. Bagaimana kalau kita duduk dulu di kedai roti. Kebetulan tadi aku sarapan sedikit.” Ilbi menunjuk arah selatan.

Sesampai mereka di kedai yang ditempuh cuma dengan waktu tiga menit berjalan kaki. Ilbi memesan roti srikaya dan kopi Sidikalang panas. Malik lebih memilih minum teh tarik.

Begitu pesanan datang Ilbi langsung melahap rotinya dengan semangat. Membuat Malik berujar,” Pelan-pelan, kau ini sedikit sarapan atau malah tidak sarapan sama sekali sih?”

“Tidak menyangka ya, kedai kecil begini rotinya dibuat sendiri dan enak, kau tak mau mencobanya?” Ilbi mengangkat roti bantal berselai dekat ke wajah Malik. Malik menggeleng dan memundurkan wajah.

“Srikayanya gurih dan sangat manis. Jadi dioles sedikit saja langsung terasa,” gumamnya masih dengan gaya lahap memasukkan roti ke mulut.

“Aku dulu bisa dibilang kekurangan makan kalau sedang menyelidiki seseorang. Tidak ada jenis makanan yang membuatku berselera selama misiku belum tuntas. Apalagi kalau apa yang kukerjakan mandek atau gagal, paling aku makan supaya tidak pingsan.”

Alis Ilbi naik sebelah sambil melirik Malik yang menyeruput tehnya.

“Bagaimana dengan kasus kali ini? Sejujurnya aku merasa pendekatan kepolisian atas perkara ini agak lamban. Atau mungkin mereka tak ingin terburu-buru bertindak. Yah, walaupun ini baru menjadi hari ketiga polisi melakukan investigasi.”

Malik mendengus. “Tergantung bagaimana keterangan dari masing-masing manusia yang berada di posko. Aku sangat penasaran dengan kronologi berdasarkan orang yang langsung berada di tempat kejadian.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status