Sisa Cahaya di Jalan Gelap

Sisa Cahaya di Jalan Gelap

last updateLast Updated : 2025-09-19
By:  JI_MILUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
7Chapters
7views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Ratri, seorang perempuan muda, pernah punya rumah tangga bahagia bersama suaminya. Namun, sejak sang suami hilang entah kemana dan meninggalkannya bersama anak kecil yang harus ia besarkan, hidupnya berubah drastis. Tekanan ekonomi membuat Ratri terpaksa memilih jalan yang tidak pernah ia bayangkan: menjadi pekerja seks. Setiap malam ia menjual tubuhnya di balik gemerlap lampu jalan, tapi setiap fajar ia menangis dalam doa. Di balik dosa yang ia lakukan, hatinya terus berbisik—mengingat Tuhan, menyesali diri, dan berharap ada jalan pulang. Novel ini bercerita tentang pergulatan batin seorang perempuan yang berada di persimpangan: antara kebutuhan hidup dan panggilan iman, antara luka masa lalu dan harapan masa depan. Meski jalannya gelap, ia terus mencari sisa cahaya untuk kembali menemukan dirinya yang sejati.

View More

Chapter 1

DUDUK DI PINGGIR JALAN

Malam itu, jalanan berderet lampu kuning redup, berpendar di antara asap knalpot dan bayangan bangunan tua. Di pinggir trotoar, Ratri duduk bersandar pada tiang lampu yang catnya sudah mengelupas. Gaun pendek berwarna merah menyala membalut tubuhnya, kontras dengan dingin angin malam yang menusuk kulit. Sepasang high heels murahan menahan berat tubuhnya yang lelah, tapi ia tetap tersenyum tipis—senyum yang sudah terlatih, meski jauh dari tulus.

Wajah Ratri cantik, begitu cantik hingga orang asing takkan pernah menyangka ia hanyalah seorang perempuan yang setiap malam menjajakan diri. Bedak tipis menutupi letih yang bersembunyi di bawah matanya. Lipstik merah terang seolah ingin menutupi pahit yang tak pernah bisa ia ceritakan.

Ia menunduk, memandangi deretan kendaraan yang melintas. Beberapa pria melambatkan laju motor atau mobilnya, menoleh sekilas, lalu pergi. Ada yang kembali, menurunkan kaca jendela dan melemparkan lirikan yang sarat maksud. Ratri sudah hafal semua bahasa tubuh itu; ada yang menawar dengan pandangan, ada pula yang hanya melihatnya sebagai bayangan.

Di hatinya, perasaan getir kembali menyeruak. Beginikah caranya aku bertahan hidup? pikirnya. Tapi ia tak punya pilihan. Sejak ayahnya meninggal dan ibunya sakit-sakitan, beban rumah tangga jatuh di pundaknya. Pekerjaan di pabrik yang dulu ia harapkan hilang begitu saja, digantikan surat pemutusan kerja. Dan kini, jalan gelap inilah yang jadi tempat ia mencari sesuap nasi.

Seorang pria paruh baya dengan mobil hitam berhenti tak jauh darinya. Ratri menarik napas panjang, lalu berdiri, menegakkan tubuhnya. Ia merapikan gaun, menyiapkan senyum palsu, dan melangkah perlahan mendekat.

Mobil hitam itu berhenti tepat di depan Ratri. Kaca jendela perlahan diturunkan, memperlihatkan wajah seorang pria paruh baya berperut buncit, mengenakan kemeja licin yang masih menyisakan aroma parfum mahal. Tatapannya liar, menyapu tubuh Ratri dari ujung kaki hingga ke bibirnya.

“Hai, nona cantik,” sapanya dengan senyum miring. Suaranya berat, penuh nafsu terselubung. “Berapa permalam?”

Ratri menegakkan bahu, meski hatinya ingin lari jauh dari pandangan itu. Dengan suara datar yang sudah terbiasa ia ucapkan, ia menjawab,

“Satu juta.”

Pria itu terdiam sejenak, lalu menyeringai. “Mahal juga. Tapi… untuk wajah secantikmu, sepertinya sepadan.”

Ratri menarik sudut bibirnya, menampilkan senyum tipis—senyum yang sebenarnya tak pernah lahir dari hatinya. Tangannya gemetar sedikit, tapi ia menyembunyikannya dengan merapikan rambut panjang yang tergerai di bahunya.

Dalam benaknya, ia mendengar bisikan kecil, Seandainya aku bisa berkata tidak… seandainya aku punya jalan lain. Namun lidahnya kelu, karena bayangan ibunya yang sakit dan hutang yang menumpuk kembali menjerat.

“Naiklah,” pria itu menepuk kursi kosong di sampingnya. Lampu mobil menyinari wajah Ratri, menampakkan kecantikan yang tak kalah dari model majalah, meski hatinya penuh luka.

Ratri melangkah pelan. Setiap hentakan high heels di aspal terasa seperti palu yang memukul nuraninya. Tapi ia tahu, malam ini sama seperti malam-malam sebelumnya: ia harus menjual tubuhnya agar bisa bertahan hidup.

Ratri membuka pintu mobil perlahan, lalu duduk di kursi penumpang. Bau parfum bercampur dengan aroma rokok segera menyergap hidungnya. Pintu ditutup, dan seketika dunia luar terasa terputus—tinggal ada ia, pria itu, dan jalan gelap yang membentang.

Pria paruh baya itu menoleh, menatap wajah Ratri lekat-lekat. Jemarinya gemuk, sarat cincin emas, mengetuk-ngetuk setir.

“Namamu siapa?” tanyanya, nada suara separuh menggoda, separuh menguji.

“Ratri.” Suara itu keluar lirih, tapi cukup jelas.

“Ratri…” ia mengulang dengan senyum penuh arti. “Cantik, pas sekali dengan wajahmu. Malam ini aku ingin kau menemaniku lama. Bukan hanya… urusan ranjang, kau paham maksudku?”

Ratri menunduk, jantungnya berdebar. Ia sudah sering mendengar permintaan seperti itu. Lelaki bukan hanya mencari tubuh, tapi juga ilusi—teman curhat, telinga yang mendengar, bahkan bayangan istri yang setia.

“Selama kau sanggup membayar, aku bisa jadi apa saja,” ujarnya datar, meski di dalam hatinya ia ingin muntah mendengar kalimat itu.

Pria itu terkekeh, lalu menyalakan mesin mobil. “Suka sekali aku dengan jawabanmu.”

Lampu jalan bergulir satu per satu di kaca depan, meninggalkan bayangan samar di wajah Ratri. Ia menempelkan kening ke jendela, memandangi malam yang semakin larut. Dalam hatinya, ia berbisik lirih, hampir tak terdengar bahkan untuk dirinya sendiri: Ya Allah, sampai kapan aku harus begini?

Mobil itu melaju, menembus kegelapan, membawa Ratri pada malam panjang yang sekali lagi harus ia jalani.

Mobil berhenti di depan sebuah hotel kelas menengah. Gedung itu berdiri di antara deretan ruko yang sudah tutup, dengan lampu neon yang menyala temaram. Pria paruh baya itu turun lebih dulu, lalu melirik Ratri sambil menepuk pundaknya.

“Ayo, cantik. Malam ini kita nikmati waktu.”

Ratri menarik napas dalam, lalu turun. High heels-nya mengetuk lantai marmer lobi hotel. Para resepsionis yang sudah terbiasa melihat pemandangan semacam itu hanya melirik sekilas, lalu kembali sibuk dengan layar komputer.

Sesampainya di kamar, pria itu menjatuhkan tubuhnya di ranjang. Dasi dan kemeja mewahnya ia lemparkan begitu saja ke kursi. Ia menyalakan rokok, menghembuskan asap ke udara, lalu menatap Ratri dengan pandangan merendahkan.

“Cantik wajahmu, Ratri… tapi sayang sekali. Seharusnya kau bisa jadi istri pejabat, atau model majalah. Bukan…,” ia terkekeh sinis, “bukan barang murahan yang bisa dibeli siapa saja.”

Kata-kata itu menusuk tajam, tapi Ratri hanya diam. Tangannya sibuk membuka tas kecil, mengeluarkan parfum tubuh, seolah tak mendengar hinaan itu.

Pria itu bangkit, berjalan mendekat, lalu mencengkeram dagu Ratri. “Kau tahu, aku selalu heran. Kenapa perempuan sepertimu rela menjual diri? Tidak malu?”

Ratri menatapnya, matanya jernih tapi dingin. “Malu itu sudah lama hilang, Pak. Yang tersisa hanya kebutuhan hidup. Kalau semua bisa ditukar dengan uang, maka aku hanya menjual apa yang aku punya.”

Sejenak pria itu terdiam, lalu tertawa terbahak-bahak. “Jawaban yang bagus. Kau memang sudah terbiasa.”

Ratri menahan perih yang menyelinap di dadanya. Ia tahu kata-kata lelaki itu benar—ia sudah terbiasa. Terbiasa dihina, terbiasa diremehkan, terbiasa dipandang rendah. Tapi setiap hinaan hanya ia telan bulat-bulat, karena bayangan ibunya yang sakit dan utang yang menumpuk selalu lebih besar dari rasa sakit hatinya.

Di dalam kamar hotel itu, Ratri tersenyum tipis, meski jiwanya retak sedikit demi sedikit. Ia belajar tegar, sebab tegar adalah satu-satunya cara untuk tetap hidup.

Ratri berdiri di depan ranjang, melepaskan satu per satu pakaiannya. Gerakannya cepat, dingin, tanpa ada sedikit pun gairah. Ia hanya ingin waktu berlalu lebih singkat. Baginya, tubuh bukan lagi milik pribadi, melainkan barang dagangan yang dipertukarkan dengan uang.

Pria itu tersenyum puas, ikut menanggalkan kemeja dan celananya. Matanya berbinar, seakan sedang memperoleh hadiah mewah.

“Begitu, cantik… ya, cepatlah. Kau memang tahu cara membuat pria tergila-gila,” ucapnya dengan nada merendahkan.

Ratri hanya diam. Matanya kosong, menatap titik acak di dinding kamar, berusaha melupakan kenyataan yang sedang ia jalani. Dalam kepalanya, ia menghitung: menit demi menit, detik demi detik, sampai semua selesai.

Ketika pria itu meraih tubuhnya, Ratri menahan napas. Ada rasa perih yang mengiris batinnya, tapi wajahnya tetap tanpa ekspresi. Ia belajar menjadi patung: tanpa suara, tanpa perasaan.

Secepatnya… aku hanya ingin semua ini segera selesai, batinnya berbisik.

Di luar jendela kamar, lampu jalan masih menyala remang. Dunia berjalan seperti biasa, seakan tak ada yang peduli pada seorang perempuan bernama Ratri—yang di balik kecantikannya, tengah berjuang menukar harga diri demi bisa bertahan hidup.

Waktu berjalan lambat. Setiap detik terasa seperti beban yang harus ditanggung. Ratri berusaha tidak memikirkan apa pun, hanya menunggu saat ketika semuanya usai.

Dan akhirnya, momen itu datang. Pria paruh baya itu terbaring lelah, sementara napasnya masih memburu. Ia meraih dompet dari saku celana, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu dan melemparnya begitu saja ke meja samping ranjang.

“Itu untukmu. Jangan minta lebih. Sudah cukup mahal aku membayar barang sepertimu,” ujarnya dengan nada angkuh.

Ratri duduk perlahan, lalu meraih gaunnya. Ia berpakaian dengan hati-hati, tidak menoleh sedikit pun pada pria itu. Tatapannya kosong, hanya sesekali melirik uang di meja. Uang itu bukan sekadar lembaran, melainkan tiket untuk bertahan satu hari lagi—untuk membeli obat ibunya, untuk sekedar menaruh beras di meja makan.

Setelah selesai merapikan diri, Ratri mengambil uang tersebut. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena senang, melainkan karena getir. Setiap lembar yang ia genggam terasa seperti luka baru yang menempel di hatinya.

Tanpa banyak kata, ia berjalan menuju pintu. Sebelum keluar, ia menoleh sekilas pada pria itu yang kini sibuk menyalakan rokok. Lalu ia melangkah pergi, meninggalkan kamar yang penuh dengan sisa aroma rokok dan parfum murahan.

Malam di luar hotel masih sama: jalanan sunyi, lampu redup, dan dingin yang menusuk. Ratri berdiri sejenak di depan pintu masuk, menarik napas panjang. Ia menatap uang di tangannya, lalu berbisik lirih kepada diri sendiri,

“Ini bukan yang kuinginkan… tapi ini satu-satunya jalan agar aku bisa hidup.”

Dengan langkah pelan, ia berjalan kembali ke arah jalan tempat ia biasa berdiri. Malam masih panjang, dan mungkin masih ada pria lain yang akan datang.

Namun di lubuk hati terdalam, Ratri masih menyimpan satu harapan kecil—sisa cahaya yang tak pernah benar-benar padam di tengah jalan gelap yang ia lalui.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
7 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status