Suasana riuh dari balik ruang VIP restoran Italian yang dipenuhi tanda tawa dan lemparan argumen kekanakan dari dua keluarga yang saat ini sedang melakukan temu kangen. Terlebih ungkapan laki-laki kecil dengan gelagat dewasa itu sangat menggelikan untuk Lily yang berada di sampingnya.
"Aku akan segera tumbuh dewasa, menjadi pria keren yang melamarmu dengan caraku. Aku yakin kamu tidak akan menolak sweety."
Lily memincingkan matanya, tatapan itu lebih ke arah kejengahan. "Sean, berhenti sok dewasa dan berbicara omong kosong," pintanya dengan nada dingin.
Ya, bocah cilik yang menjelma sebagai roman picisan itu adalah Sean. Sepeti yang sudah-sudah, laki-laki terlewat tampan itu sudah sangat kebal medapat bantahan kasar dan tatapan sedingin kutub utara dar
Semakin penasaran nggak nih?
Sore berganti malam, langit yang semula menguning pun jadi semakin temaram. Cahaya yang selalu diagungkan Dunia menghilang dalam sekejap mata. Seperti hatinya yang saat ini lara karena kebodohannya. Jika ditanya kenapa—penyesalan—selalu datang diakhir. Maka, satu suku kata itu tidak akan pernah terlahir. Seperti Vee, bermodal otak dangkal, mengambil keputusan tanpa akal. Lalu, apa yang dilakukan pria itu? Apakah usahanya sudah mencapai titik temu? Jawabannya belum sepenuhnya. Nyatanya pria itu saat ini hanya mengumpat dengan sumpah serapahnya. Keabsahan yang baru saja dilempar tepat di depannya memberikan efek yang membuatnya seakan mati rasa. Perasaan benci yang selama ini ditumbuh
Rose mengoyak isi etalase dengan matanya. Sembari tersenyum, sorotnya menatap berbagai kue yang sudah di desain sangat indah di dalam sana. Hari ini, Rose akan membelikan kue khusus untuk Lily; seperti biasa, mencari kue dengan coklat yang menumpah ruah diatasnya. Beruntung, hari ini sangat banyak stok yang sesuai kriteria kesukaan putrinya. Tempat ini begitu sunyi dengan musik lirih mengiringi. Suasana hati Rose sangat buruk jika melihat dari kilat matanya. Hidupnya terusik lagi dengan hanya melihat Vee yang beberapa kali berhadapan langsung di depan matanya. Mengingat lagi, dua hari yang lalu saat Jaeko menerima telefon dari Vee dengan raut mengawatirkan juga membuat Rose kalang kabut memikirkan. Berbagai spekulasi mengerubung tidak jelas dalam benaknya. Ingin acuh namun jujur wanita itu tidak bisa.
Bar malam di kota Jakarta yang terkenal rupanya tak begitu berbeda seperti delapan tahun yang lalu. Kenzo, pemilik sekaligus bartender di dalamnya tampak masih mempesona bahkan lebih dengan otot sempurna di setiap lengannya. Penari latar yang menggoda dengan lengkungan tubuh yang sedikit terbuka, menampakan belahan dada yang sintal membuat berbinar pria mata keranjang. Vee, meskipun kurang belaian atau mungkin memang tidak pernah terbelai tak akan mudah terlena dengan kepiawaian gadis jalang. Di membenci wanita seperti itu, mengingatkan pada Rose yang diduganya dulu memiliki peringai yang sama seperti wanita liar dengan minuman memabukkan—tapi tidak dengan sekarang. Secara sadar Vee mengakui salah menilai dan menyesal. "Aku ingin meminta bantuanmu." "Woyo, miliader sepertimu meminta bantuanku, Bang. Apa aku tidak salah dengar," jawab Kenzo diiringi bercanda. "Mau minum apa dulu. Aku beri gratis karena sudah lama kau tidak mampir kesini," t
Apapun itu jika sudah menjadi bangkai maka akan mengeluarkan bau yang teramat busuk. Bayangkan jika hidup dengan bangkai dalam satu radar yang sama; mungkinkah akan bertahan dengan sengatan yang menyekatkan penciuman, atau bisakah menahan tampang menjijikannya. Vee Kanesh Bellamy; pria itu menganggap Zara yang tak lebih dari hewan yang telah membusuk dengan lalat mengerubung di sekelilingnya; mungkin lebih pantas juga dibuang untuk dijadikan makanan hewan karnivora atau omnivora yang lebih membutuhkan. Namun, anggapan hanyalah anggapan saja jika itu adalah Vee, ia tidak akan pernah memperlakukan Zara sebagai hewan. Vee masih punya akal dan hati nurani juga. Memilih angkat kaki dari rumah megah ini daripada repot-repot menyeret Zara untuk dibuang ke jalanan. "Vee, kau bercanda 'kan!" protes Zara sembari meronta seperti orang gila. Vee melipat tangan dibawah dada, menatap lurus Zara yang tengah bergetar dengan tangan kanan memegang selembar kertas
"Lily, kau pulang dengan siapa?" tanya Sean saat tubuh mereka berdua sudah ada di pelataran Sekolah. Cuaca sangat terik menjelang jarum jam menuju angka satu lebih lima menit di siang hari. Sean yang sudah akan pulang dengan Jaeko lantas menyempatkan untuk mengobrol sejenak sembari menunggu ayahnya mengambil mobil dari garasi. "Aku jalan kaki ke Rumah Sakit seperti biasa, Sean. Mungkin main sebentar di arena skateboard dekat taman," jawab Lily. Gadis itu juga menunjukkan papan skate yang sudah digapit antara lengan dan pinggang. "Apa aku boleh ikut?" Lily menegakkan jari telunjuknya dan menggoyangkan kekanan dan kekiri. "Tidak boleh," tolak Lily. "Kau harus
Jarum jam menunjukkan pukul dua belas malam, namun Vee masih belum beranjak dari duduknya di ruangan kerja. Pria itu lantas melepas kaca mata yang membingkai wajahnya. Vee tersenyum geli saat mengingat pertemuannya dengan Lily yang tak terduga ternyata tahu jika ia ayahnya. Perasaan gembira sontak merubung hatinya, harinya total berubah menjadi sempurna meski Rose saja mungkin masih belum bisa memaafkannya. Berbicara tentang mantan kekasih sekaligus ibu dari putrinya itu. Vee tidak tahu harus berbuat apa. Malu untuk menunjukkan muka, tapi terlalu rindu juga. Pantaskah Vee untuk dimaafkan? Pria itu mengaku jika dirinya patut dihukum saja. Penyesalan memang selalu datang di akhir, jika takdir hidupnya seperti ini, Vee hanya ingin meminta satu hal, biarkan dia membahagiakan putrinya di sisa akhir hidupnya, kalau bisa Rose sebagai bonusnya. Ngelunjak! Ya biarkan saja! Orang bebas punya pikiran seperti apa. Vee malu
Bagaimana rasanya setelah diabaikan, dibuang lalu dipungut kembali. Setelah akal mampu menerima meskipun tak ada kejelasan sejak dulu, Rose masih merasakan sakit yang sama, sakit saat dirinya harus berjuang sendiri untuk membesarkan anak-anaknya, harus kehilangan seorang putranya tanpa adanya Vee yang seharusnya bersama mereka. Rose bukan sampah yang tak berharga, bahkan dirinya adalah sebuah berlian yang harus dijaga. "Kau tidak waras, tuan Vee." Rose sudah tersungut emosi, matanya memerah dengan amarah yang membuncah. Mudah sekali bagi Vee untuk mengatakan hal konyol seperti itu. "Aku masih sangat waras, aku sehat dan aku sadar mengatakannya," jawab Vee penuh penekanan. Pria itu serius, sangat serius sampai nekat meninggalkan rasa malunya untuk disimpan rapi di rumah. Rose membuang muka kesamping seraya mengangkat tangannya keudara, sangat tidak mengerti akal Vee yang sudah lebih dari orang gila yang berlarian di jalanan menunjukkan tubuh bugilnya.
Bola mata bulat dengan iris coklat itu mengedip lucu, kepalanya mendongak menoleh ke kiri dan ke kanan. Tubuh yang hanya memiliki tinggi satu meter lebih sedikit itu sedang berdiri diantara dua manusia dewasa yang diketahuinya adalah Mommy dan Daddynya. "Lily bingung nih, mau tanya apa ya?" ucapnya dengan jari meremat boneka Tata yang ada didekapnya; pemberian Candra Uncle tempo hari saat ulang tahunnya. Rose pun Vee tak kalah bingung dong, justru mereka yang sedang kalang kabut memutar otak mencari alasan. Ya salah sendiri, pagi-pagi sudah ribut saja, tidak sadarkah masih ada Lily dirumah? Mungkin saja gadis itu terbangun dari tidurnya karena ulah mereka. Lily tak mendapatkan jawaban. "Emh. Uncle, selamat pagi, awal yang bagaimana ya, sedikit mengejutkan. Tapi, Lily tidak penasaran," ungkap gadis itu dengan cengirannya. Sengaja bikin Daddy gugup nih ceritanya. Sedangkan Vee yang disa