Geligi Najwa mulai saling beradu. Kenapa semua kumpulan manusia-manusia ini seolah telah kehilangan urat malu mereka?"Wa... kok malah melamun? Jadi, bagaimana, Sayang? Kamu setuju kan, sama idenya Ibu?"Bian menyentuh pelan telapak tangan Najwa. Dia ikut membujuk Najwa supaya wanita itu bisa menurut seperti biasa pada dirinya dan juga sang Ibu."Tenang saja! Mas akan mengelola uang kamu dengan sebaik-baiknya, Sayang. Nggak akan Mas gunakan selain untuk keperluan rumah, biaya berobat Ibu dan juga uang belanja dan jajan buat kamu dan juga Salma.""Dasar manusia-manusia tak tahu malu!" desis Najwa sembari menyentak tangannya kasar dari genggaman Bian."Najwa...," lirih Bian tak percaya."Bicara apa kamu?" tanya Bu Jannah dengan mata melotot."Aku bilang... kalian manusia yang tidak tahu malu!" ucap Najwa mengulang perkataannya."Kamu... Kamu...," Bu Jannah kehabisan kata-kata. Hanya telunjuknya yang mengacung gemetar ke arah Najwa."Enak sekali kalian mau mengatur uangku. Memangnya, kal
"Wa, Mas boleh tidur sama kamu nggak, malam ini?" tanya Bian.Ya, malam ini dia akan melancarkan aksinya. Dia harus menemukan sertifikat tanah warisan Najwa dan juga mencuri uang yang berada didalam rekening wanita yang masih sah menjadi istrinya itu."Maaf, Mas. Nggak bisa," tolak Najwa dingin.Ia berpegangan pada gagang pintu kamar yang sengaja hanya ia buka setengah."Kenapa? Kamu masih istriku, Wa. Dosa, kalau kamu menolak keinginan suami," tukas Bian yang kembali membawa agama demi melancarkan niat jahatnya."Orang yang berzina pun juga berdosa, Mas! Apalagi, disaat mereka masih memiliki pasangan sah masing-masing," balas Najwa tak mau kalah."Wa... hanya sekedar tidur saja. Mas cuma rindu sama kamu dan juga suasana kamar kita. Mas janji nggak akan meminta hak Mas kalau kamu memang belum siap.""Tetap nggak bisa, Mas. Maaf! Jangankan untuk disentuh kamu lagi, sekadar berdekatan saja... rasanya aku belum sanggup. Tubuh kamu dipenuhi sama wanginya Salma. Dan itu, membuat aku merasa
Tok! Tok! Tok!Bian mengetuk pintu kamar Najwa. Tak berselang lama, Najwa pun membuka pintu dengan kepala yang menyembul dari balik pintu yang hanya terbuka sedikit."Nih, HP kamu!" ucap Bian lesu seraya menyerahkan ponsel milik Najwa.Najwa menerimanya kemudian tersenyum. "Terimakasih, Mas!""Emmm," sahut Bian tak bersemangat. "Mas beneran nggak boleh tidur di sini?" tanyanya dengan tampang memelas."Maaf, aku masih butuh waktu.""Tapi, Wa...,"Brak!Sebelum kata-kata Bian selesai, Najwa sudah lebih dulu menutup kembali pintu kamarnya. Bian yang masih berdiri diluar tampak terlihat kesal lalu meninju udara yang kosong."Mas? Gimana?"Saat Bian memasuki kamar, dengan cepat Salma langsung bangkit dan menghampiri sang suami."Gagal," jawab Bian seraya terduduk lesu di ujung ranjang."Gagal gimana, maksudnya?""Ya, gagal. Sertifikat tanah Kakek Najwa nggak ada di kamar. Saldo rekening punya dia juga kosong. Isinya cuma lima belas ribu. Apa yang mau diambil?" sungut Bian emosi sambil meng
"Entahlah!" jawab Najwa seraya mengendikkan bahunya."Kalaupun ditipu, kan yang rugi cuma aku, Mas! Bukan kamu atau keluarga kamu," lanjut Najwa dengan senyuman sebelum berlari kecil keluar dari halaman rumah.Bian semakin gelisah. Bagaimana jika Najwa memang benar-benar ditipu? Bagaimana jika uang sang istri dibawa kabur oleh Pak Kirno? Lalu, kelanjutan rencana Bian akan seperti apa kedepannya?"Gawat!!! Udah makin telat ini!" keluh Bian panik saat melihat jam di pergelangan tangannya.Segera lelaki itu mengeluarkan motor Supra getar peninggalan sang Ayah yang selama ini diam menghuni garasi. Kondisinya memang agak berdebu namun mesinnya ternyata masih bagus. Dengan kendaraan roda dua itu, Bian segera menuju ke kantor sebelum hal yang dia takutkan akan benar-benar terjadi. Dipecat.****"Salma!!! Makanan Ibu mana? Salma!! Ibu lapar!" teriak Bu Jannah seperti biasa.Perutnya sudah keroncongan sedari tadi. Akan tetapi, is
Najwa begitu senang menikmati wajah terkejut Salma. Biarkan, madunya itu semakin tertekan. Salma harus tahu, bahwa menjadi yang kedua, adalah kesalahan terbesar yang pernah dia lakukan seumur hidup."Mbak, tunggu! Mbak mau kemana?" tanya Salma."Ke kamar. Aku mau mandi," jawab Najwa.Salma tersenyum sambil mendekati Najwa. Wajahnya tampak memelas, seolah menginginkan sesuatu."Aku boleh pinjem uang Mbak Najwa, nggak?""Buat apa?" tanya Najwa datar."Aku lapar, Mbak. Belum makan."Sebelah alis Najwa tampak terangkat."Kok bisa? Memangnya, Mas Bian nggak ninggalin uang buat kamu?"Tertunduk, wanita yang memutuskan menjadi yang kedua dalam rumah tangga Najwa itu menggeleng pelan. "Nggak, Mbak," jawabnya lesu.Mata Salma sudah memerah. Ia hampir menangis karena terpaksa merendahkan harga diri dihadapan wanita yang selama ini telah ia remehkan hanya demi sesuap nasi. Demi bertahan hidup, apapun rela Salma lakukan termasuk memohon seperti ini pada rivalnya."Tolong, Mbak! Aku lapar. Setidak
Bian panik mendengar suara tangis Ibunya. Lelaki itu tak bisa tenang ditempat duduknya saat ini."Kenapa, Bu? Bilang sama Bian, ada apa?"Tangis itu masih terdengar kencang diseberang sana.[Huhuhu... istrimu, Nak! Tega sekali dia memberi makan Ibu dengan batu. Sakit hati Ibu diperlakukan begini. Memangnya, Ibu ini apa?]"Apa?" Bian menggeram marah.[Pulang, Nak! Ibumu kelaparan di rumah putranya sendiri. Huhuhu...]Bian kalap. Begitu panggilan terputus, ponsel itu lekas dia masukkan ke saku celana kemudian menyambar tas kerja yang ia letakkan diatas meja."Eh, mau kemana?" tanya Deden sambil menahan bahu Bian yang hendak berdiri."Mau pulang. Gue mau bikin perhitungan sama istri gue. Berani-beraninya, dia ngasih nyokap gue batu buat dimakan. Padahal, nyokap gue udah kelaparan banget.""Hah?" Deden terperangah. "Bini Lo yang mana, nih?"Bian tampak berpikir sejenak. "Najwa," tebaknya yakin.
Najwa tersenyum menyambut tamunya. Ya, hari ini dia ada janji dengan mantan suami Salma, yaitu Ahmad. Dan, disinilah mereka sekarang. Duduk berhadapan di tengah keramaian sebuah kafe yang cukup terkenal, tak jauh dari daerah tempat tinggal Najwa."Terimakasih untuk informasi yang selama ini sudah Mas Ahmad berikan. Berkat semua itu, saya berhasil menyadari bahwa selama ini saya sudah berkorban sia-sia untuk orang yang salah."Ahmad tersenyum. Sama seperti Najwa, dia pun dikhianati oleh pasangannya."Saya juga nggak mungkin bilang, seandainya bukan Mbak Najwa duluan yang menghubungi saya," timpal Ahmad. "Jadi... apa kabar mereka?"Najwa tersenyum sungging. "Sepertinya agak buruk.""Maksudnya?""Finansial mereka sedang berantakan. Mas Bian bahkan sudah tak punya uang lagi untuk memberi makan istri dan Ibunya sampai bulan depan.""Kenapa bisa begitu?" tanya Ahmad dengan alis berkerut. "Bukannya ... Bian itu kaya? Kata Salma, Bian bahkan sudah punya rumah dan mobil sendiri. Berbeda jauh
"Ayo, kenapa diam saja? Balas kata-kataku, Najwa! Bukankah kamu sangat pandai berdebat akhir-akhir ini?" desak Bian sambil mendorong bahu Najwa hingga wanita itu melangkah mundur.Najwa masih belum mau membuka suara. Hanya sepasang matanya yang dihiasi kaca-kaca tipis itu yang menatap Bian tak kalah nyalangnya."Kalau punya mulut itu, dipake, Najwa! Ayo, jawab pertanyaan ku! Kenapa kamu memberi Ibuku batu untuk dimakan? Kenapa?" teriak Bian dengan keras tepat didepan wajah Najwa."Apa kamu sengaja ingin menghinaku? Iya?" lanjut Bian emosi.Karena Najwa masih terus membisu, telapak tangan Bian pun reflek terangkat. Niatnya, ingin menampar mulut Najwa."Cukup! Berhenti!" lirih Najwa dengan suara penuh penekanan.Tangan Bian terhenti di udara. Lelaki itu menelan ludah, saat menatap mata Najwa yang begitu tajam menantang matanya."Aku peringatkan padamu, Mas! Jika kamu berani menyakiti fisikku sekali lagi, maka aku nggak akan segan-segan untuk melaporkan kamu ke polisi!""Argghhh!!!" Bian