Bab 8"Sha," panggil Khalid saat Aisha sedang mengambil barang di dalam gudang.Urung membawa barang tersebut, Aisha menoleh ke arah Khalid. Ia berjalan dengan tergesa, khawatir atasannya itu membutuhkan sesuatu yang urgen."Iya, Pak?" Aisha berujar setelah memangkas jarak. "Saya boleh tanya sama kamu?" tanya Khalid ragu. "Soal?""Aini."Aisha tersenyum kecil. Ia berjalan untuk lebih dekat dengan Khalid yang sedang duduk di sudut ruangan. Sebuah tumpukan kardus menjadi sasarannya untuk meletakkan berat tubuhnya yang ringan itu."Ada masalah apa dengan Aini?" tanya Khalid langsung. Ia tak mau basa-basi sebab takut Aisha akan seperti Aini tadi. Laki-laki yang di name tag nya bertuliskan Khalid Aditya itu tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang datang dengan tidak sengaja."Bapak kok tiba-tiba tanya begitu?""Kemarin saya bertemu dengan Aini di rumah sakit. Tampaknya sebuah pertengkaran terjadi dan suaminya menunjuk ke arah saya dengan penuh amarah. Saya jadi merasa tidak enak. Khawatir
Bab 9"Ai, jangan murung aja dong. Jalan aja yuk?" ajak Aisha sore itu. Sepulang kerja, Aini lebih banyak murung di dalam kamarnya. Ia meringkuk di atas kasur sambil menikmati kesedihannya sendiri."Enggak, ah. Aku tidur aja." Aini menjawab usai mengubah posisi tidurnta menjadi berhadapan dengan Aisha. Melihat wajah Aini yang memberenggut membuat dahi Aisha mengernyit penuh tanya."Eh bumil ngga boleh sedih loh! Ini anak yang kamu idamkan sejak dulu kan? Jadi jangan membuat usahamu sia-sia hanya karena meraka tidak menghargai usaha kamu untuk mendapatkan anak ini. Percaya deh, suatu saat Mas Hisyam akan bertekuk lutut memohon ampunan kamu untuk bisa kembali menjadi ayah anak ini kembali.""Kamu ngomong apa! Mana ada!" Aini melengos, meskipun sebenarnya ia juga memiliki harapan yang sama."Beneran! Percaya aku deh! Nyesel tuh pasti dia nanti. Tuduhan dia ngga beralasan soalnya. Asal aja main percaya omongan perempuan itu.""Tapi sebenarnya sudah lama aku merasakan ada yang tidak beres
Bab 10"Waah, sebuah kebetulan yang menyenangkan bisa bertemu kamu di sini," ucap pemilik pantulan di cermin itu. Aini melengos. Hendak pergi, tapi ia sudah terlanjur basah bertemu di sini. Dengan sangat terpaksa Aini meladeni sapaan perempuan yang telah berhasil memporak-porandakan rumah tangganya."Sudah move on rupanya. Senang sekali bisa berjumpa denganmu di sini," sambung perempuan itu lagi sambil menatap Aini dengan senyuman meremehkan."Move on dong. Buat apa bersedih kehilangan orang yang tidak bisa menghargai darah dagingnya sendiri," sahut Aini cepat. Tanpa menunggu jawabannya, Aini pergi dari ruangan toilet khusus perempuan.Aini berjalan tergesa menuju meja tempat Aisha duduk. Ia membanting badannya dengan keras di kursinya."Kenapa sih?" tanya Aisha kaget melihat perubahan ekspresi Aini. Saat sebelum pergi, wajahnya biasa saja tetapi setelah kembali wajah ayu itu berubah murung."Aku ketemu Zahra di toilet.""Zahra? Sama siapa?" tanya Aisha sambil melirik kanan dan kirin
Bab 11"Bodoh!" desis Aisha sambil berdiri dari tempatnya duduk. Ia mengambil tasnya dan menggenggam tali tas itu. Urung melangkah, Aisha tak mau kehilangan kesempatan yang pas untuk mengeluarkan segala kesal dalam hatinya pada lelaki yang menyakiti hati sahabatnya.Ucapan Aisha itu makin menambah kobaran emosi dalam dada Hisyam. Ia tak terima disebut bodoh oleh sahabat istrinya itu."Jaga mulutmu!" pekik Hisyam tak terima. Kobaran amarah terpancar jelas dari dua bola matanya."Yang harusnya dijaga itu sikapmu! Sudah dapat istri baik hati yang lagi hamil anak kamu malah kamu selingkuhin!" cecar Aisha tak mau kalah. Ia seolah mendapatkan kesempatan untuk meluapkan kekesalannya selama ini."Tutup mulutmu!" desis Hisyam lagi. Wajahnya sudah merah padam mendengar celoteh Aisha yang makin tak karuan."Apa?!! Demi wanita macam begini kamu korbanin istri yang baik hati! Menyesal baru tau rasa kamu!" sengit Aisha tak mau kalah. Kemudian ia pergi dari hadapan Hisyam. Kakinya sedikit berlari un
Bab 12"Aku takut mau bilang ke Pak Khalid soal ini," ucap Aini ragu. Ia berjalan sedikit melambat dari langkah Aisha. Sejak dalam perjalanan, kepalanya tak henti memikirkan soal ini."Takut kenapa?" tanya Aisha. Ia mundur untuk mensejajarkan langkahnya dengan Aini. Matanya menatap wajah Aini yang tampak bingung dengan alis mengerut."Apa pantas kalau aku meminta bantuan pada laki-laki yang dituduh menjadi selingkuhanku oleh Mas Hisyam?""Kamu selingkuh atau enggak kan dia ngga mau tau? Yang dia tau cuma ada foto itu, tapi penjelasannya bagaimana dia ngga mau dengar. Biar aja kamu minta tolong sama Pak Khalid, toh Mas Hisyam sudah masa bodoh denganmu!""Tapi aku takut mau ngomongnya," balas Aini cemas."Apa aku yang bilang sama dia?" usul Aisha cepat."Jangan." Tangan Aini reflek memegang lengan Aisha, khawatir sahabatnya itu akan bertindak asal tanpa persetujuannya lebih dulu."Ya sudah, bilang sendiri." Tanpa memperdulikan reaksi Aini, Aisha pergi meninggalkannya.Aini terdiam sesaa
Bab 13"Mau cari yang seperti apa lagi kamu?" ujar Bu Airin saat Khalid baru saja menolak sebuah foto yang disodorkan olehnya. Berulang kali ia memberikan foto gadis anak temannya atau kenalannya pada sang putra, tetapi selalu saja berakhir dengan kalimat "Khalid belum siap".Khalid terduduk dengan pandangan lurus ke depan. Ia ragu untuk mengungkapkan bahwa ia sudah memiliki seorang pujaan hati. Sayangnya, perempuan itu sudah menikah.Beberapa tahun lalu saat perempuan itu masih single, Khalid terlalu lama mengulur waktu untuk mengungkapkan rasanya. Dengan alasan belum mapan, ia selalu menunda mengatakan isi hatinya pada perempuan itu. Dan setelah mendengar kabar bahwa perempuan itu baru saja menerima pinangan laki-laki lain, barulah Khalid merasa menyesal.Laki-laki yang sudah menolak banyak gadis itu akhirnya merasa putus harapan. Ia tak mudah membuka hati untuk perempuan lain. Jika diberi pilihan, ia lebih memilih untuk tetap hidup sendiri dengan dunianya. Dengan anak-anak yatim ya
"Makasih ya, Pak atas bantuannya. Saya harap perceraian ini tidak memakan waktu yang lama," ucap Hisyam pada pengacaranya. Berkas-berkas untuk melengkapi pengajuan perceraian sudah diserahkan kepada pengacaranya itu untuk dibawa ke pengadilan agama."Biasanya kalau sudah sepakat untuk bercerai, tidak akan memakan waktu lama. Apalagi kalau sama-sama tidak menghadiri sidang.""Baiklah, biar Bapak saja yang urus.""Baik. Saya permisi kalau begitu. Nanti akan saya kabari kalau ada sesuatu yang perlu Bapak ketahui," ujar pengacara itu. Ia berdiri dari tempatnya duduk dan pergi segera setelah bersalaman dengan Hisyam.Hisyam menatap punggung pengacara yang bergerak menjauh itu dengan tatapan nanar. Dalam hatinya yang terdalam, ia tidak pernah berpikiran untuk seperti ini. Tetapi fakta yang ia dapatkan membuatnya murka dan mau tak mau terpaksa melakukan ini."Biar aku saja yang bekerja. Kamu di rumah saja," ucap Hisyam kala ia meminta Aini untuk berhenti dari tempatnya bekerja. Keduanya seda
"Secepat itu Mas Hisyam mengajukan cerai," ucap Aini lirih. Ia merasa masih belum bisa percaya dengan ini semua. "Sabar, Nak," balas ibu kos dengan tatapan iba. Ia tak berani banyak bicara karena Aini jarang keluar kamar jika bukan urusan bekerja. "Makasih, Bu.""Buat dia menyesal, Ai. Jangan lemah." Aisha menimpali. "Kadang aku marah dengan Mas Hisyam, kadang pula aku masih tak percaya, bahkan sempat terbersit ingin memperbaiki pernikahan yang sudah porak-poranda ini. Tapi dengan datangnya surat ini, aku harus membuang jauh-jauh harapan itu. Mas Hisyam secepat itu melupakan semua yang sudah kita lewati bersama." Aini berujar dengan suara bergetar."Perempuan itu emang racun. Dia licik, Ai!!" desis Aisha."Ibu tidak paham dengan ucapan kalian, tapi sepemahaman Ibu, pernikahan itu jika dicampuri oleh orang ketiga maka tidak akan bisa bertahan lama. Apalagi jika salah satu dari pasangan itu memberi ruang. Sekuat apapun satu pihak untuk mempertahankan, akan kalah dengan kehadiran oran