Aini bersama dengan Zain kembali ke rumah tanpa Aisha. Keduanya turut berbahagia karena Aisha akhirnya memilih untuk melanjutkan perjodohan itu."Semoga Aisha beneran cocok ya sama laki-laki itu. Siapa namanya?""Rizal. Ganteng ya dia?""Ganteng mana sama aku?" Zain melirik Aini sekilas. Bibirnya merekah manakala mendapati Aini tengah menatapnya tak berkedip."Ganteng Rizal," balas Aini dengan ekor mata tak lepas dari wajah yang tengah mengemudi di sebelahnya.Zain membelalakkan matanya. Wajahnya cemberut seketika."Tapi banyakan Mas," lanjut Aini lagi. Ia terkekeh setelahnya.Senyum di wajah Zain makin melebar. Satu tangannya mengusap punggung tangan Aini yang sejak tadi ia letakkan di atas pangkuannya."Kita ke Ibu?" tawar Zain. Ia rindu kampung halamannya. Rindunya pada makam sang ibunda sudah menggunung karena akhir-akhir ini ia disibukkan dengan urusan kafe."Boleh. Kemarin Ara kasih kabar, kalau ibu mau adain syukuran di rumah. Sekalian kita ke sana aja, gimana?""Boleh. Ibu pas
"Aini pulang dulu ya, Bu?" pamit Aini pada Bu Fatimah. Ia meraih tangan yang tak lagi mulus itu untuk dicium takdzim."Hati-hati, Nak. Sering-seringlah main ke sini, biar Ibu ngga perlu nahan rindu." Bu Fatimah menahan tangan Aini untuk tidak menjauh. Mata yang sudah dipenuhi garis penuaan itu tampak sendu menatap wanita berkerudung di depannya."Insya Allah Ibu. Punya suami berasal dari desa yang sama, insyaallah lebih mudah untuk kami datang berkunjung karena memiliki rindu yang sama di kampung ini. Terutama rindu pada Ibu.""Kita bikin jadwal kunjungan rutin aja ya?" celetuk Zain. Ia yang juga menganggap Bu Fatimah sebagai orang tuanya sendiri turut merasakan kasih sayang yang diberi Bu Fatimah pada istri dan anaknya."Boleh, Mas. Biar kita bisa datang teratur. Ngga kayak sekarang, suka molor gini.""Boleh, nanti Mas kosongkan waktu tiap weekend atau hari lainnya untuk datang berkunjung."Aini mengangguk senang. Betapa bahagianya bisa bertemu orang tua yang sudah membesarnya disela
"Akhirnya kamu beneran jadi milikku," ucap Zain sambil memeluk Aini dalam dekapannya. Keduanya sedang berdiri menghadap jendela kaca yang ada di kamar utama, kamar yang sudah disiapkan Zain untuk Aini.Aini menyambut pelukan Zain dengan menggenggam erat jemari kekar yang terselip di sela-sela jarinya. Ia sedang menikmati hangat tubuh lelaki yang telah lama memiliki hatinya yang hampa."Makasih ya, kamu sudah bersedia menjadi pendamping hidupku setelah ini.""Sama-sama, Mas. Aku juga makasih Mas mau menjadi ayah sambung untuk Adzania.""Sudah lama Mas menganggapnya sebagai anak Mas sendiri."Aini mengurai pelukannya, lalu membalikkan badannya berhadapan dengan laki-laki yang sejak tadi memeluknya. Ia menatap wajah yang sedang penuh dengan gairah itu dengan tatapan sendu. Sebuah rasa yang sama yang selama ini ia tutupi rapat di dalam diri.Jari Zain terulur ke arah dagu milik wanita yang ada di depannya, lalu mengangkatnya sedikit hingga pandangan keduanya beradu. Wajahnya mendekat, men
Bab 1 "Mas Hisyam," lirih Aini tak percaya. Dadanya tiba-tiba saja berdenyut nyeri saat melihat gambar dalam layar ponsel yang ada di sebelah wadah kecil berisi urine miliknya. Benda pipih hasil tes kehamilan itu jatuh ke lantai saat mata Aini makin jelas mengamati sebuah rekaman video singkat yang dikirim oleh seseorang. Uluran tangan Hisyam menyentuh ujung bibir perempuan di depannya dalam video tersebut membuat dadanya bak dihantam palu godam. Udara yang bebas dalam ruangan kamar yang lumayan besar itu tiba-tiba terasa sulit untuk dihirup oleh hidungnya. "Tak mungkin begini," lirih Aini. Ia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Pikiran baik masih terus menusuk-nusuk pikirannya karena tak mau percaya dengan video tersebut. "Ngga mungkin! Mas Hisyam ngga mungkin selingkuh!" gumam Aini lagi. Ia segera mengetik pesan balasan untuk pengirim video tersebut. Aini Aku ngga percaya. Ini pasti cuma temenan aja. Aisha Ngga percaya ya sudah, kamu boleh datang untuk memastikann
"Mas, dengarkan penjelasanku dulu," teriak Aini lantang. Ia berusaha meraih lengan suaminya tetapi Hisyam menggeser badannya. Hisyam memalingkan wajahnya dari hadapan Aini. Sakit hati dan kecewa berjejalan dalam hatinya. Ia tak tahu harus bahagia atau bersedih."Ngga perlu menjelaskan. Foto itu sudah membuktikan semuanya." Zahra menyahuti. Ia tak mau membiarkan Hisyam luluh akan ucapan Aini."Ayo, Mas. Kita pergi saja," ajak Zahra kemudian. Ia memeluk lengan Hisyam dengan eratnya dan menggandengnya menuju mobilnya terparkir.Seulas senyum miring terbit dari bibir Zahra yang kemerahan. Hatinya bersorak penuh kemenangan. Usahanya dan kesabarannya akhirnya membuahkan hasil.Aini menunduk sambil menikmati hujan tangis di wajahnya. Betapa suami yang dicintainya tega membiarkannya dalam keadaan seperti ini. Laki-laki yang mengambil alih tanggung jawab dari keluarganya kini telah ingkar akan janji setia yang diucapkannya semasa ijab dulu.Langkah Aini gontai meninggalkan tempatnya terduduk.
Bab 3"Ibu, tolong percaya pada Aini. Aini tidak mungkin melakukan hal keji itu. Janin ini darah daging Aini dengan Mas Hisyam." Aini meraih pergelangan kaki Bu Laras. Ia berharap hati Bu Laras luluh dan mau memaafkan serta memberinya kesempatan sekali lagi. Tidak ada yang dimiliki oleh Aini selain keluarga dari suaminya. Ia yang berasal dari panti asuhan merasa memiliki keluarga sempurna saat menjalin hubungan dengan Hisyam. Lelaki baik yang mau menerima keadaannya sebagai gadis yatim piatu. Sayangnya laki-laki itu mudah dihasut akan kabar yang belum jelas kebenarannya.Namun kini, bayangan kisah hidupnya yang malang tengah mengancam masa depan janin yang dikandungnya. Aini tidak mau anaknya merasakan hal yang sama seperti dirinya.Bu Laras terdiam melihat Aini yang terus memohon padanya. Hati dan pikirannya sedang berperang untuk menolong menantu yang sudah disayangi layaknya anaknya sendiri."Maafkan Aini, Bu," lirih Aini lagi."Maafkan Ibu, Aini. Ibu hanya bisa memberimu kesempat
Bab 4"Ibu kenapa?" tanya Aini panik saat melihat tubuh Bu Laras sudah tak sadarkan diri.Hisyam dan Zahra pun turut berlarian menghampiri sumber suara itu."Ibu kenapa, Dek?" Suara Hisyam membuat Aini yang sudah berada di depan Bu Laras segera menoleh. Binar matanya menyiratkan rasa cemas yang teramat."Ngga tau, Mas. Ibu jatuh sendiri," balas Aini sambil berusaha mengangkat lehernya hendak dipeluk."Tunggu, jangan dipeluk begitu. Biarkan saja tergeletak." Hisyam berjalan mendekati tubuh ibunya. Ia memeriksa denyut nadi di lengan dan lehernya. "Telepon rumah sakit aja, Mas," ucap Zahra yang turut mengikuti langkah Hisyam masuk ke dalam rumahnya."Ah ya, kamu benar. Cepat ambil ponselnya!" titah Hisyam. Ia lantas dibantu Aini membawa tubuh Bu Laras ke dalam kamar sambil menunggu ambulan datang.Tubuh Bu Laras yang sudah tak sadarkan diri itu dibaringkan di atas tempat tidur di kamar Bu Laras. Hisyam berjalan mondar-mandir sambil melipat tangannya di pinggang sambil menunggu datangnya
Bab 5 Suasana rumah sakit mendadak sunyi saat dokter mengabarkan kondisi Bu Laras makin memburuk. Operasi yang dilakukan tidak membuat kondisinya makin baik, tetapi malah makin membuat kondisi pasien drop. Hisyam berjalan mondar mandir di depan ruang ICU. Hati dan pikirannya sedang kacau. Bagaimana tidak, nasib rumah tangganya sedang diujung tanduk sementara ibunya tiba-tiba mendapatkan musibah. Wanita yang ia sayangi, yang seharusnya menjadi penguat saat dirinya sedang terombang-ambing masalah malah turut menderita seperti ini. Hisyam bak kehilangan satu sayapnya untuk terbang mengarungi samudera kehidupan. Aini duduk di kursi tunggu sambil menunduk. Hatinya diliputi rasa bersalah karena sedikit banyak musibah ini terjadi setelah dirinya bertengkar dengan Hisyam. Bahkan untuk duduk di dekat suaminya saja Aini tak punya nyali. "Maafkan aku, Mas," lirih Aini. Linangan air matanya tak membuat Hisyam menoleh sedikitpun. "Memberimu maaf pun tak membuat Ibu kembali seperti sedia kala.