“Fahri itu suamimu!”
“Bang Fahri juga anak Ibu, bukannya Ibu yang selalu bilang kalau anak lelaki adalah milik ibunya sampai kapanpun? Lalu kenapa bukan Ibu yang turun tangan membantu Bang Fahri?” paparku sembari membuang pandangan.
Kedua mataku sakit karena harus melihat orang-orang ini. Entah sejak kapan … mereka sudah berganti pakaian mewah, memakai perhiasan yang kutebak palsu semuanya, bahkan menyemprot minyak wangi sampai hidungku jadi gatal.
Apalagi Ninik yang sudah seperti gadis India saja. Dia memakai pakaian yang mirip dengan sari India, lalu headpiece di kepala serta anting yang besar.
Bang Fahri yang mendengar hal itu gegas berdiri. Tubuhnya tegang, matanya membola. Dia menatap lurus ke arah pintu, lalu mengepalkan kedua tangan.Di belakangnya, Ninik menundukkan muka. Dia tidak mampu berkutik meski hanya sedetik.Wajah cantiknya yang berpoles riasan juga tidak mampu menutupi betapa gelisahnya dia saat ini. Bahkan saat hendak berdiri dari sofa, Ninik goyah, hampir saja dirinya rubuh ke samping.“Enak saja kamu, Ninik! Ini tugasmu jagain anak-anak. Aku sudah bilang, aku tidak sempat mengurus anak-anak, jadi kukirimkan uang nafkah mereka tiap bulan. Tapi kemarin aku ngalah karena kukira kamu beneran kesulitan dan sakit, rupanya kamu ngec
“Rencana?” Aku bergidik ngeri.Kuulas senyum ke arah Ninik. Perempuan itu sudah bersimbah air mata, riasan cantiknya rusak tidak berupa, bahkan rambutnya yang disanggul juga mulai tidak berbentuk. Dibanding pengantin, Ninik lebih mirip depresi.“Kamu sengaja ngelakuin ini semua biar aku dan Bang Fahri tidak jadi nikah, kan?” pekiknya meski ketiga anaknya ada bersamanya. “Tega kamu, Riska!”“Tega? Aku tega gimana, Ninik? Kamu mau nuduh aku gagalin pernikahan kalian, tapi kalian sudah nikah,” balasku dengan suara yang lembut.
“Apa, Bang?” Aku tercengang mendengar permintaan Bang Fahri.Pria itu bergeming. Tubuhnya hanya condong padaku, padahal di sekitarnya ada orang lain yang mulai memperhatikan. Entah itu Ninik, kerabatnya, atau mungkin ibu mertua dan Salma. Aku tidak begitu yakin, karena saat ini seluruh tubuhku hanya tertaut pada Bang Fahri.“Iya. Riska, kamu kembali ke kamar kita, ya? Abang izinkan kamu untuk tinggal di sana lagi. Nanti, Ninik yang akan menetap di kamar itu,” ujarnya seraya menunjuk kamar belakang yang beberapa malam ini kutempati dengan ujung mata.Seketika aku tergelak. Perut ini tergelitik mendengar konyolnya perkataan Bang Fahri. Ap
Kutatap Ninik lalu Bang Fahri. Pria itu malah berjalan ke arahku.“Iya, Dek. Iya … aku tidak akan menjual rumah ini. Aku juga akan pindah ke kamar belakang, jadi kamu jangan marah-marah lagi, ya?” bujuknya seraya mengangkat tangan.Bang Fahri hendak menyentuhku, tapi buru-buru aku mundur. Seluruh tubuh ini jijik, tidak lagi ingin disentuh oleh pria sepertinya.“Sudah, aku tidak mau dengar apa-apa.”Kudorong Bang Fahri agar jarak membentang di antara kami. Kemudian, sorot mata jatuh pada Salma yang kini melirik. Akhirnya, dia tertari
Kuabaikan mereka, kepalaku bisa sakit parah jika terus bertahan di rumah. Tapi, melihat mereka mulai bertengkar satu sama lain dan berdebat begini, membuatku sedikit senang. Ninik sudah tidak lagi jadi idaman ibu mertua, dan Bang Fahri yang selalu mengira dirinya paling hebat itu pusing tujuh keliling karena tertimbun hutang.Kuputuskan untuk keluar usai menghubungi Bang Zul. Kami akan bertemu, membahas beberapa hal dan merencanakan sesuatu. Saat matahari meninggi, aku tiba di sebuah restoran. Dari kejauhan, kulihat punggung pria itu. Dia sedang berkutat dengan laptop dan gawai seorang diri.“Aku sudah datang, Bang.”Senyumku merekah, melihat Bang Zul yang kebingungan, sedikitpun aku tidak bisa mengungkiri kalau aku bahagia dengan kejadian kemarin. Bang Fahri yang kaget dan kesal, ibu mertua yang tertipu serta Ninik yang kini diperlakukan seperti pembantu.Bukankah ini baru permulaan? Tapi rasanya sudah sangat mendebarkan.“Duduk di sini Ris. Aku bau! Habis ngecek pasokan daging di Gu
Kulihat dia berusaha menggapai tangan Bang Fahri beberapa kali. Namun, belum sempat tergenggam, Ninik langsung ditolak dengan kasar.Aku tidak mengerti kenapa sikap Bang Fahri begitu kasar, padahal kemarin dia masih tenang. Bahkan sampai tega menolak sentuhan dari Perempuan itu. Seingatku, sebelum mereka menikah, beberapa kali kudapati keduanya bermesraan, bahkan berciuman setiap kali ada kesempatan. Meski tahu aku melihat, keduanya tidak menujukkan penyesalan.Lantas, kenapa begitu mudah berubah?“Jangan banyak bicara, Nik! Aku cinta sama Nik yang kemarin, bukan Ninik anak tiga, si penipu dan pendusta.” Bang Fahri berteriak. Urat-urat di balik kulit lehernya tercetak.“Bang, kamu ini kelewatan banget, ya? Aku datang ke sini karena kamu yang janji bakalan jadiin aku istri yang paling bahagia di dunia ini. Kamu bilang, aku bebas melakukan apapun yang aku mau, asalkan aku hidup sama k
“Kamu selalu menjawabku, Ris! Kamu itu memang tidak bisa diajak bicara, sudah rendah pendidikannya, rendah juga etikanya.”“Ya memang sudah sewajarnya, Nik. Aku ini istri pertamanya Bang Fahri, sedangkan kamu istri kedua yang bahkan dinikahinya siri, tidak punya buku nikah dan pengakuan dari negara. Tahu kan bedanya? Ya jelas aku tidak bisa diajak bicara, apa lagi sama perempuan yang ngarepin suami orang lain,” balasku kembali dengan seutas senyum yang mengembang.Wajah Ninik sudah seperti buah tomat, bahkan dia mengepalkan tangan, entah ingin meninju atau mungkin mencakarku. Tapi, aku lekas membuat jarak dengannya agar tidak sampai terluka jika dia memang menyerang. Masalah bisa jadi makan melebar kalau aku tidak hati-hati. Mengguyurnya dengan air bak sudah cukup untuk saat ini, aku tidak boleh bertindak gegabah dan berakhir menyesal.Setahuku, Ninik perempuan licik dan banyak akal. Aku tidak bol
Aku puas sekali hari ini. Wajah kesal Ninik, rasa malu ibu mertua dan Bang Fahri, semuanya masih terekam di kepala. Mereka pantas mendapatkannya mengingat apa yang sudah mereka lakukan padaku selama ini.Syukurlah, pelan-pelan aku bisa mengontrol diri agar tidak tertekan oleh mereka. Aku juga bisa membalas Ningsih dan ibu mertua hingga mereka ngacir pergi begitu saja.Aku tersenyum tanpa henti sambil mengendarai motor, sampai akhirnya tiba di sebuah supermarket yang paling dekat dengan rumah. Niat hati membeli camilan dan susu untuk kunikmati malam nanti sambil memeriksa hasil keliling tadi.“Aku bisa bantu kamu untuk urus semuanya, Ris. Kalau kamu suka peternakan ini, kita bisa minta harga terbaik. Sapi-sapinya juga bagus, bisa langsung masuk ke pabrik begitu peternakan ini kamu beli!” Ucapan Bang Zul di akhir pertemuan kami tadi membuat hatiku kian berbunga.Alangkah indahnya jika
Aku puas sekali hari ini. Wajah kesal Ninik, rasa malu ibu mertua dan Bang Fahri, semuanya masih terekam di kepala. Mereka pantas mendapatkannya mengingat apa yang sudah mereka lakukan padaku selama ini.Syukurlah, pelan-pelan aku bisa mengontrol diri agar tidak tertekan oleh mereka. Aku juga bisa membalas Ningsih dan ibu mertua hingga mereka ngacir pergi begitu saja.Aku tersenyum tanpa henti sambil mengendarai motor, sampai akhirnya tiba di sebuah supermarket yang paling dekat dengan rumah. Niat hati membeli camilan dan susu untuk kunikmati malam nanti sambil memeriksa hasil keliling tadi.“Aku bisa bantu kamu untuk urus semuanya, Ris. Kalau kamu suka peternakan ini, kita bisa minta harga terbaik. Sapi-sapinya juga bagus, bisa langsung masuk ke pabrik begitu peternakan ini kamu beli!” Ucapan Bang Zul di akhir pertemuan kami tadi membuat hatiku kian berbunga.Alangkah indahnya jika
“Kamu selalu menjawabku, Ris! Kamu itu memang tidak bisa diajak bicara, sudah rendah pendidikannya, rendah juga etikanya.”“Ya memang sudah sewajarnya, Nik. Aku ini istri pertamanya Bang Fahri, sedangkan kamu istri kedua yang bahkan dinikahinya siri, tidak punya buku nikah dan pengakuan dari negara. Tahu kan bedanya? Ya jelas aku tidak bisa diajak bicara, apa lagi sama perempuan yang ngarepin suami orang lain,” balasku kembali dengan seutas senyum yang mengembang.Wajah Ninik sudah seperti buah tomat, bahkan dia mengepalkan tangan, entah ingin meninju atau mungkin mencakarku. Tapi, aku lekas membuat jarak dengannya agar tidak sampai terluka jika dia memang menyerang. Masalah bisa jadi makan melebar kalau aku tidak hati-hati. Mengguyurnya dengan air bak sudah cukup untuk saat ini, aku tidak boleh bertindak gegabah dan berakhir menyesal.Setahuku, Ninik perempuan licik dan banyak akal. Aku tidak bol
Kulihat dia berusaha menggapai tangan Bang Fahri beberapa kali. Namun, belum sempat tergenggam, Ninik langsung ditolak dengan kasar.Aku tidak mengerti kenapa sikap Bang Fahri begitu kasar, padahal kemarin dia masih tenang. Bahkan sampai tega menolak sentuhan dari Perempuan itu. Seingatku, sebelum mereka menikah, beberapa kali kudapati keduanya bermesraan, bahkan berciuman setiap kali ada kesempatan. Meski tahu aku melihat, keduanya tidak menujukkan penyesalan.Lantas, kenapa begitu mudah berubah?“Jangan banyak bicara, Nik! Aku cinta sama Nik yang kemarin, bukan Ninik anak tiga, si penipu dan pendusta.” Bang Fahri berteriak. Urat-urat di balik kulit lehernya tercetak.“Bang, kamu ini kelewatan banget, ya? Aku datang ke sini karena kamu yang janji bakalan jadiin aku istri yang paling bahagia di dunia ini. Kamu bilang, aku bebas melakukan apapun yang aku mau, asalkan aku hidup sama k
Kuabaikan mereka, kepalaku bisa sakit parah jika terus bertahan di rumah. Tapi, melihat mereka mulai bertengkar satu sama lain dan berdebat begini, membuatku sedikit senang. Ninik sudah tidak lagi jadi idaman ibu mertua, dan Bang Fahri yang selalu mengira dirinya paling hebat itu pusing tujuh keliling karena tertimbun hutang.Kuputuskan untuk keluar usai menghubungi Bang Zul. Kami akan bertemu, membahas beberapa hal dan merencanakan sesuatu. Saat matahari meninggi, aku tiba di sebuah restoran. Dari kejauhan, kulihat punggung pria itu. Dia sedang berkutat dengan laptop dan gawai seorang diri.“Aku sudah datang, Bang.”Senyumku merekah, melihat Bang Zul yang kebingungan, sedikitpun aku tidak bisa mengungkiri kalau aku bahagia dengan kejadian kemarin. Bang Fahri yang kaget dan kesal, ibu mertua yang tertipu serta Ninik yang kini diperlakukan seperti pembantu.Bukankah ini baru permulaan? Tapi rasanya sudah sangat mendebarkan.“Duduk di sini Ris. Aku bau! Habis ngecek pasokan daging di Gu
Kutatap Ninik lalu Bang Fahri. Pria itu malah berjalan ke arahku.“Iya, Dek. Iya … aku tidak akan menjual rumah ini. Aku juga akan pindah ke kamar belakang, jadi kamu jangan marah-marah lagi, ya?” bujuknya seraya mengangkat tangan.Bang Fahri hendak menyentuhku, tapi buru-buru aku mundur. Seluruh tubuh ini jijik, tidak lagi ingin disentuh oleh pria sepertinya.“Sudah, aku tidak mau dengar apa-apa.”Kudorong Bang Fahri agar jarak membentang di antara kami. Kemudian, sorot mata jatuh pada Salma yang kini melirik. Akhirnya, dia tertari
“Apa, Bang?” Aku tercengang mendengar permintaan Bang Fahri.Pria itu bergeming. Tubuhnya hanya condong padaku, padahal di sekitarnya ada orang lain yang mulai memperhatikan. Entah itu Ninik, kerabatnya, atau mungkin ibu mertua dan Salma. Aku tidak begitu yakin, karena saat ini seluruh tubuhku hanya tertaut pada Bang Fahri.“Iya. Riska, kamu kembali ke kamar kita, ya? Abang izinkan kamu untuk tinggal di sana lagi. Nanti, Ninik yang akan menetap di kamar itu,” ujarnya seraya menunjuk kamar belakang yang beberapa malam ini kutempati dengan ujung mata.Seketika aku tergelak. Perut ini tergelitik mendengar konyolnya perkataan Bang Fahri. Ap
“Rencana?” Aku bergidik ngeri.Kuulas senyum ke arah Ninik. Perempuan itu sudah bersimbah air mata, riasan cantiknya rusak tidak berupa, bahkan rambutnya yang disanggul juga mulai tidak berbentuk. Dibanding pengantin, Ninik lebih mirip depresi.“Kamu sengaja ngelakuin ini semua biar aku dan Bang Fahri tidak jadi nikah, kan?” pekiknya meski ketiga anaknya ada bersamanya. “Tega kamu, Riska!”“Tega? Aku tega gimana, Ninik? Kamu mau nuduh aku gagalin pernikahan kalian, tapi kalian sudah nikah,” balasku dengan suara yang lembut.
Bang Fahri yang mendengar hal itu gegas berdiri. Tubuhnya tegang, matanya membola. Dia menatap lurus ke arah pintu, lalu mengepalkan kedua tangan.Di belakangnya, Ninik menundukkan muka. Dia tidak mampu berkutik meski hanya sedetik.Wajah cantiknya yang berpoles riasan juga tidak mampu menutupi betapa gelisahnya dia saat ini. Bahkan saat hendak berdiri dari sofa, Ninik goyah, hampir saja dirinya rubuh ke samping.“Enak saja kamu, Ninik! Ini tugasmu jagain anak-anak. Aku sudah bilang, aku tidak sempat mengurus anak-anak, jadi kukirimkan uang nafkah mereka tiap bulan. Tapi kemarin aku ngalah karena kukira kamu beneran kesulitan dan sakit, rupanya kamu ngec
“Fahri itu suamimu!”“Bang Fahri juga anak Ibu, bukannya Ibu yang selalu bilang kalau anak lelaki adalah milik ibunya sampai kapanpun? Lalu kenapa bukan Ibu yang turun tangan membantu Bang Fahri?” paparku sembari membuang pandangan.Kedua mataku sakit karena harus melihat orang-orang ini. Entah sejak kapan … mereka sudah berganti pakaian mewah, memakai perhiasan yang kutebak palsu semuanya, bahkan menyemprot minyak wangi sampai hidungku jadi gatal.Apalagi Ninik yang sudah seperti gadis India saja. Dia memakai pakaian yang mirip dengan sari India, lalu headpiece di kepala serta anting yang besar.