“Yang penting halal, Bang,” balasku sekenanya, tidak berniat memberikan penjelasan lebih lanjut.
“Ya sudah, sana, sana. Tapi awas ya kalo kamu pulang bau air pel!”
Aku tidak menanggapi itu dan berbalik pergi, sementara cemoohan tadi disambut tawa oleh yang lainnya. Ingin rasanya langsung mengusir manusia-manusia itu. Tergoda pula aku menggugat cerai Bang Fahri. Namun, setelah mereka menghinaku sedemikian rupa, aku pun enggan.
Baik itu Ninik yang bersedia menjadi madu, Bang Fahri yang membawa Ninik ke sini, serta ibu mertua dan Salma, mereka harus merasakan penderitaan karena telah meremehkan gadis desa tamatan SMA sepertiku!
Aku memacu motor seken yang kami beli saat pindah ke kota di jalanan, meluncur hingga sampai di sebuah pabrik pengolahan daging yang letaknya lebih dari setengah jam dari rumah. Nyaris berada di pinggiran kota.
Setelah motorku berhenti, aku memarkirkan motor di luar gerbang tinggi yang seperti dipilin dari kawat lalu menghampiri pos sekuriti. Di sana, seorang pria paruh baya langsung menemuiku. Pria itu menatap dari ujung kepala hingga kaki, merasa heran melihat seseorang muncul tanpa izin.
“Ada keperluan apa, Neng?” tanya pria itu dengan suara keras.
Aku terentak, namun tidak gentar. Genggaman tanganku mengerat pada tali tas.
“Maaf, Pak … saya cari Pak Zul! Katanya dia kerja di sini,” jelasku.
Pria itu langsung mengernyit. Mendengarku menyebut nama Bang Zul, dia malah berpaling muka, melirik rekannya yang sedang makan siang di pos jaga.
“Siapa? Zul apa? Di sini banyak yang namanya Zul.” Pria itu menjawab dengan suaranya yang keras. “Apa sudah bikin janji, Neng? Tidak bisa masuk kalau asal datang, ini pabrik, ada aturannya.”
Aku lekas menggelengkan kepala, kurang yakin bagaimana menjelaskan Zul yang mana.
Pria yang kucari adalah teman lamaku di desa dulu. Dia sempat bekerja di bawah naungan ayah, sebelum merantau ke kota setelah lulus SMP. Beberapa tahun yang lalu, ia kembali lagi ke desa untuk silaturahmi dengan ayah, rupanya temanku itu sudah sukses di kota. Terlihat dari sepatu dan arloji yang ia gunakan.
Sayang sekali sebelumnya kami putus kontak, jadi dia tidak bisa datang ke pernikahanku dengan Bang Fahri. Namun, setelah kepulangannya kemarin, pria yang dulunya pegawai kepercayaan ayahku itu mengatakan padaku kalau ia kini ada di kota ini. Kebetulan, aku pun menyampaikan kalau Bang Fahri mengajakku pindah ke kota juga.
Jadilah teman lamaku itu menawariku bantuan, kalau suatu saat aku butuh. Atas nama bantuan ayahku padanya dulu.
Dan sekarang, aku membutuhkan bantuannya untuk mendukungku.
“Siapa namanya, Neng? Malah geleng-geleng.” Fokusku kembali saat sekuriti di hadapan kembali bertanya.
“Eh, Zulfahmi, Pak!” jawabku lantang. Tidak mungkin ada banyak Zulfahmi di pabrik ini, kan? Aku berharap dengan peluh yang membanjiri kening. “Orangnya tinggi, kulitnya agak cokelat, rahangnya tegas dan agak pendiam. Oh iya, rambutnya hitam dan mengkilap.” Kujelaskan pada pria itu ciri-ciri Bang Zul.
“Eneng mau ketemu Zul yang ….”
“Riska? Ini Riska?” Kudengar sebuah suara memanggil namaku. Ternyata, berasal dari kerumunan besar pegawai pabrik yang keluar. Mereka berhamburan saat sekuriti yang satu lagi membuka gerbang, lalu para pekerja itu menyebar ke banyak tempat yang kusebutkan tadi.
Beberapa di antara mereka terus berbisik, melirik dan penasaran dengan apa yang membuatku datang ke sini di siang hari. Beberapa juga acuh, sibuk dengan dunia mereka sendiri.
“Riska?”
Aku tersadar siapa pemilik suara itu saat ia muncul di depanku. Burman! Dia Burman, rekan Bang Zul yang selalu mengekorinya kemana pun. Pria yang senang bercanda, polos dan baik hatinya itu masih mengenaliku. Meski disiram cahaya sepanas ini, aku juga mengenali sosoknya yang jenaka itu.
Burman menghampiriku dengan wajah gembira. Dia berpakaian jauh berbeda dibanding para pekerja yang lain. Burman memakai baju safari dua saku berwarna cokelat, rambutnya klimis, memakai jam tangan dan sepatu kulit. Saat berdiri di depanku, aroma wangi dari tubuh Burman tersapu angin.
“Burman, Bang Zul ada di sini, kan?” desakku cepat. Aku tidak punya banyak waktu.
Burman sempat bingung. Saat sekuriti mencegatnya, pria itu berkata, “Aku kenal dia, Pak. Dia ini teman baiknya Pak Zul. Aku bisa jamin soal Riska. Tenang saja!”
Sekuriti itu menggangguk. Akhirnya aku dibiarkan masuk berkat jaminan yang diucapkan oleh Burman. Pria itu meminta agar aku mengikutinya usai mendengar jika aku datang untuk bertemu dengan Bang Zul.
“Jadi, kamu mau ketemu Bang Zul? Kenapa tidak telepon dulu supaya ditungguin, Ris?” tanyanya sembari memimpin langkah.
Tidak ada yang salah dengan ucapannya itu, aku sendiri kalang kabut hingga tidak ingat untuk mengabari Bang Zul lebih dulu, malah langsung kabur ke sini dan kepanasan begini.
Burman membawaku masuk, menembus gerbang tinggi yang tadinya tidak bisa kulewati, lalu masuk ke dalam pabrik, berpapasan langsung dengan begitu banyak pegawai yang baru saja istirahat siang.
Ukuran pabrik ini cukup besar, kutaksir ada ribuan karyawan yang bekerja. Mereka menggiling daging sapi dan ayam, membuat olahan seperti sosis, kornet dan nugget, lalu dikemas dalam berbagai ukuran.
Burman malah menjelaskan sistem yang sedang berjalan di pabrik, seolah-olah kami sedang melakukan kunjungan. Dia terlihat bangga, sangat bangga, terus memuji Bang Zul dan sederet prestasi yang didapatkan oleh pria itu.
Namun, ocehan itu terpaksa berhenti saat kami tidak sengaja berpapasan dengan seorang pria yang memakai topi dan sepatu safety. Tubuhnya tinggi tegap, dan wajahnya tampak maskulin.
Dia memandang ke arah kami, lalu mengernyitkan kening saat melihatku.
“Riska? Ada apa dengan penampilanmu?”
Ya itulah Bang Zul. Penyelamatku.
Acara aqiqah di desa berlalu dengan semarak. Meskipun ada bisik-bisik yang kurang menyenangkan, kebahagiaan kami tidak sedikit pun tergoyahkan. Dukungan Ayah dan Ibu Tiri, ditambah kehadiran Bang Zul yang selalu menjadi perisai untukku dan anak-anak, membuatku merasa lengkap, tidak kurang meski hanya sedikit. Kami menghabiskan beberapa hari lagi di desa, membiarkan para kakek-nenek puas menggendong cucu-cucu mereka, sebelum akhirnya kembali ke kota.Kembali ke rumah, rutinitas baru langsung menyapa. Dengan tiga bayi di rumah, suasana tidak pernah sepi. Tangisan, rengekan, suara tawa, semua bercampur aduk menjadi melodi kehidupan yang indah.Beruntungnya aku memiliki Bi Sumi dan ketiga baby sitter profesional yang Bang Zul datangkan. Mereka bekerja dengan sangat sigap, memastikan kebutuhan para bayi terpenuhi dan rumah tetap teratur.Jangan tanya biayanya! Aku yakin Bang Zul harus merogok kocek tiga kali lipat dibanding biasanya setiap bulan. Tapi, tidak sekalipun pria itu mengeluh!Ak
"Bang... ini berlebihan sekali!" bisikku padanya saat kami memasuki rumah. "Satu saja sudah mahal, ini langsung tiga! Kita tidak perlu sebanyak ini, Bang. Aku bisa mengurus anak-anak sendiri, kok."Bang Zul menuntunku menuju ranjang di kamar utama yang sudah diatur senyaman mungkin, lengkap dengan bantal-bantal empuk dan selimut hangat."Tidak ada yang berlebihan, Dek. Kamu baru saja melewati masa sulit. Kamu harus fokus pada pemulihanmu. Anak-anak ini butuh perawatan ekstra karena mereka kembar tiga. Abang tidak mau kamu terlalu lelah atau jatuh sakit lagi." Bang Zul duduk di tepi ranjang, menatapku serius, kedua tangannya menggenggam tanganku. "Pokoknya, Abang mau kamu sehat dan baik-baik saja. Kamu mengerti? Istirahatlah. Biarkan mereka yang mengurus semuanya. Ini perintah Abang, bukan cuma permintaan."Aku hanya bisa menghela napas, takjub dengan keputusan Bang Zul. Dia selalu saja melakukan hal-hal di luar dugaanku, selalu memprioritaskan kesehatanku.Aku tahu berapa biaya untuk
Aku membuka mata perlahan. Langit-langit putih rumah sakit yang steril menyambut pandanganku. Samar-samar kudengar suara mesin infus di samping ranjang, ritmis dan menenangkan. Seluruh tubuhku terasa lemah, nyeri di bagian perut masih sangat terasa, namun rasa pusing hebat yang kemarin kurasakan sudah jauh berkurang. Sebuah kelegaan membanjiri diriku. Aku berhasil melewati ini. Aku selamat.Sebuah gerakan kecil di samping ranjang membuatku menoleh. Bang Zul duduk di kursi lipat, wajahnya tampak sangat lelah dengan kantung mata menghitam, namun matanya memancarkan kelegaan luar biasa saat melihatku sadar. Bang Zul langsung sigap menggenggam tanganku."Dek... kamu sudah sadar?" Suaranya serak, seperti menahan tangis. Bang Zul mengecup punggung tanganku berulang kali.Aku mengangguk lemah, berusaha tersenyum. "Bang... anak-anak kita bagaimana?"Senyum lebar merekah di wajahnya, mengalahkan segala kelelahan. Diusapnya keningku yang berpeluh walau ruangan luas ini berpendingin udara."Alha
Perjalanan ke rumah sakit terasa seperti neraka. Setiap kontraksi yang menghantam membuatku menggigit bibir hingga perih, berusaha menahan suara. Bang Zul terus menoleh ke belakang, khawatir dengan aku yang tidak bisa menahan rasa sakit ini. Seperti, tubuhku dirobek menjadi dua bagian."Sabar ya, Dek. Sebentar lagi sampai. Kamu kuat, Sayang. Demi anak-anak kita," suaranya bergetar, lebih dari biasanya. Aku tahu dia juga panik.Akhirnya, mobil berhenti di depan IGD rumah sakit. Tanpa menunggu, Bang Zul langsung menggendongku lagi keluar dari mobil, menerobos keramaian menuju pintu masuk. Ayah, Ibu Tiri, dan Bi Sumi mengikuti di belakang, wajah mereka semua dipenuhi kecemasan."Dokter! Suster! Istri saya mau melahirkan! Kembar tiga!" teriak Bang Zul, suaranya lantang, menarik perhatian para petugas medis.Beberapa perawat dan seorang dokter jaga segera menghampiri kami dengan ranjang dorong. "Segera bawa ke ruang bersalin!" perintah dokter. Aku dipindahkan ke ranjang, dan para perawat m
Kabar kehamilan kembar tiga membawa kebahagiaan tidak terhingga, namun juga menjadi kenyataan baru yang menantang. Dokter Arini yang Bang Zul pilih sebagai dokterku telah menjelaskan bahwa kehamilan ini akan jauh lebih berat daripada kehamilan tunggal. Aku harus ekstra hati-hati, menjaga asupan nutrisi, dan sangat membatasi aktivitas fisik. Bang Zul menjadi sangat protektif, bahkan lebih dari sebelumnya."Dek, Abang sudah siapkan supir pribadi untukmu. Jadi kamu tidak perlu naik taksi online lagi," katanya pagi ini saat aku menemaninya sarapan di meja. "Pokoknya, jangan sampai kamu kecapekan. Kalau ada apa-apa, langsung bilang Abang atau Bi Sumi, ya."Aku mengangguk patuh, merasa beruntung memiliki suami seperti Bang Zul. Dia benar-benar memastikan semua kebutuhanku terpenuhi, bahkan hal-hal kecil sekalipun. Bi Sumi juga sangat perhatian, selalu menyiapkan makanan bergizi dan mengingatkanku untuk beristirahat.Semester terakhir kuliahku adalah ujian sesungguhnya. Perutku mulai membesa
Setelah keluar dari klinik dokter, perasaan syok bercampur kebahagiaan masih menyelimuti kami berdua. Bang Zul sesekali mengusap keningnya, dan aku masih sering melamun, membayangkan tiga bayi mungil di dalam perutku. Rasanya seperti mimpi. Selama ini kami hanya membayangkan satu atau dua anak, tapi ini... tiga sekaligus."Jadi, kamu mau kita langsung ke desa atau bagaimana, Dek?" tanya Bang Zul, memecah keheningan saat mobil melaju di jalanan kota. Pria itu melirikku.Aku berpikir sejenak. Aku tahu Ayah dan Ibu Tiri pasti akan sangat senang mendengar kabar ini. Tapi..."Bagaimana kalau kita pulang dulu, Bang? Kita bereskan barang-barang, lalu nanti sore atau besok pagi kita ke desa. Abang juga kan harus ke pabrik lagi." Aku merasa perutku sedikit tidak nyaman dan ingin segera beristirahat di rumah. Ada rasa mual yang tiba-tiba menyeruak saat mobil melaju. "Oke, kalau begitu kita pulang saja dulu, ya," jawab Bang Zul, mengangguk setuju. "Apa kamu mau belanja perlengkapan bayi?""Eh?