Share

Bab 5

Author: Bemine
last update Last Updated: 2025-04-13 10:58:40

“Ninik, kalau kamu ngebayangin calon suamimu itu hebat seperti omongan calon ibu mertuamu, kamu salah besar!” ucapku bahkan tanpa membalik badan ke arah Ninik.

Melihat wajah mereka, hatiku bergejolak. Aku belum puas. Sekarang, jelas semuanya, alasan kenapa Bang Fahri jadi rajin main gawai saat pulang bekerja, alasan kenapa dia rajin telepon orang tuanya, sampai kenapa uang bulananku yang sedikit jadi makin sedikit darinya. Ternyata, dia sedang mempersiapkan bom untuk meruntuhkan kebahagiaanku.

“Ris, cukup! Aku tidak suka kalau kamu begini.”

Tapi, aku menutup telinga dari Bang Fahri. “Urus Bang Fahri sendiri karena kamu ingin sekali jadi istrinya sampai masuk ke dalam rumah tangga orang lain. Mulai dari makannya, rumah tangganya, pekerjaannya, juga kedua orang yang membawamu itu. Itu juga kalau kamu sanggup, tapi kalau tidak ya terserah saja, aku tidak perduli,” ledekku sambil berlalu.

Aku bangkit dari ranjang, mengambil tas dan gawai, memakai jilbab bergo, lalu langsung menyambar dompet.

Dari arah belakang, berbagai cercaan tertuju padaku. Baik ibu mertua atau Salma, mereka terus-terusan meminta penjelasan dari Bang Fahri. Berbagai umpatan, bahkan tuduhan juga mereka arahkan untukku, membuatku mengepalkan tangan, menghela napas dan memejamkan kedua mata.

Aku ingin berhenti dan mengusir mereka, tapi rasanya terlalu mudah. Ninik yang bersedia menjadi madu, Bang Fahri yang membawa Ninik ke sini, serta ibu mertua dan Salma, mereka harus merasakan penderitaan karena telah meremehkan gadis desa tamatan SMA sepertiku!

Meski harus menahan diri untuk tidak mengamuk dan bersikap rendahan, nyatanya sepanjang perjalanan kedua mata dan pipiku basah. Aku menangis tidak karuan, untungnya helm dengan kaca gelap membantu menyembunyikan ini semua.

Memacu motor seken yang kami beli saat pindah ke kota, aku meluncur hingga sampai di sebuah pabrik pengolahan daging, letaknya lebih dari setengah jam dari rumah. Tidak ada rumah di sekitarnya, hanya pabrik besar, dua warung makan, satu warung kelontong dan warung kopi. Wajar saja, ini sudah di pinggiran kota.

Aku memarkirkan motor di luar gerbang tinggi yang seperti dipilin dari kawat. Di pos sekuriti, seorang pria paruh baya langsung menemuiku. Pria itu menatap dari ujung kepala hingga kaki, merasa heran melihat seseorang muncul tanpa izin.

“Ada keperluan apa, Neng?” tanya pria itu dengan suara keras.

Aku terentak, namun tidak gentar. Genggaman tanganku mengerat pada tali tas. Di dalam pabrik besar ini, di suatu tempat yang entah di mana, ada Bang Zul. Pria dari desa yang selalu menjadi penolongku. Saat pindah ke sini, aku sudah memberitahu padanya kalau kini kami tinggal di kota yang sama.

“Maaf, Pak … saya cari Pak Zul! Katanya dia kerja di sini,” jelasku.

Pria itu langsung mengernyit. Mendengarku menyebut nama Bang Zul, dia malah berpaling muka, melirik rekannya yang sedang makan siang di pos jaga.

“Siapa? Zul apa? Di sini banyak yang namanya Zul. Apa sudah bikin janji, Neng? Tidak bisa masuk kalau asal datang, ini pabrik, ada aturannya.” Pria itu menjelaskan dengan suaranya yang keras.

Aku lekas menggelengkan kepala. Bagaimana caranya kujelaskan pada pria ini? Sejujurnya, aku juga tidak tahu jelas apa posisi Bang Zul di pabrik ini. Selama kami bertemu di desa, Bang Zul banyak bertanya soal diriku, hidupku, kegiatanku, dia juga malas menjawab jika aku bertanya apa pekerjaan di kota dan apa yang dilakukannya di pabrik penggilingan daging sebesar ini. Tapi, dilihat dari jam serta sepatunya, kuyakin posisi Bang Zul cukup besar.

“Siapa namanya, Neng? Malah geleng-geleng.” Pria itu menuntut.

“Zulfahmi, Pak!” jawabku lantang. Tidak mungkin ada banyak Zulfahmi di pabrik ini, kan? Aku berharap dengan peluh yang membanjiri kening.

“Zulfahmi ada tiga, Neng. Kepala produksi, Sopir truk dan Pimpinan! Zulfahmi yang mana yang Neng cari?” jawab pria itu lagi.

Di bawah terik panas ini, aku harus dihadapkan pada kenyataan yang sangat pahit. Ternyata, nama Zulfahmi sangat pasaran di kota. Ada tiga orang dengan nama yang sama, bekerja di Perusahaan yang sama. Sungguh luar biasa. Sekarang, apa yang harus aku lakukan?

“Pak, orangnya tinggi, kulitnya agak cokelat, rahangnya tegas dan agak pendiam. Oh iya, rambutnya hitam dan mengkilap.” Kujelaskan pada pria itu ciri-ciri Bang Zul.

“Eneng mau ketemu Zul yang ….”

“Riska? Ini Riska?” Kudengar sebuah suara memanggil namaku. Ternyata, berasal dari kerumunan besar pegawai pabrik yang keluar. Mereka berhamburan saat sekuriti yang satu lagi membuka gerbang, lalu para pekerja itu menyebar ke banyak tempat yang kusebutkan tadi.

Beberapa di antara mereka terus berbisik, melirik dan penasaran dengan apa yang membuatku datang ke sini di siang hari. Beberapa juga acuh, sibuk dengan dunia mereka sendiri.

“Riska?”

Aku tersadar saat pemilik suara itu muncul di depanku. Burman! Dia Burman, rekan Bang Zul yang selalu mengekorinya kemana pun. Pria yang senang bercanda, polos dan baik hatinya itu masih mengenaliku. Meski disiram cahaya sepanas ini, aku juga mengenali sosoknya yang jenaka itu.

Burman menghampiriku dengan wajah gembira. Dia berpakaian jauh berbeda dibanding para pekerja yang lain. Burman memakai baju safari dua saku berwarna cokelat, rambutnya klimis, memakai jam tangan dan sepatu kulit. Saat berdiri di depanku, aroma wangi dari tubuh Burman tersapu angin.

“Burman, Bang Zul ada di sini, kan?” desakku cepat. Aku tidak punya banyak waktu.

Burman sempat bingung. Saat sekuriti mencegatnya, pria itu berkata, “Aku kenal dia, Pak. Dia ini teman baiknya Pak Zul. Aku bisa jamin soal Riska. Tenang saja!”

Sekuriti itu menggangguk. Akhirnya aku dibiarkan masuk berkat jaminan yang diucapkan oleh Burman. Pria itu meminta agar aku mengikutinya usai mendengar jika aku datang untuk bertemu dengan Bang Zul.

“Jadi, kamu mau ketemu Bang Zul? Kenapa tidak telepon dulu supaya ditungguin, Ris?” tanyanya sembari memimpin langkah.

Tidak ada yang salah dengan ucapannya itu, aku sendiri kalang kabut hingga tidak ingat untuk mengabari Bang Zul lebih dulu, malah langsung kabur ke sini dan kepanasan begini.

Burman membawaku masuk, menembus gerbang tinggi yang tadinya tidak bisa kulewati, lalu masuk ke dalam pabrik, berpapasan langsung dengan begitu banyak pegawai yang baru saja istirahat siang. Ada yang memakai seragam buruh, ada juga yang memakai setelan kantoran, bahkan ada yang memakai kaos oblong, celana longgar dan topi. Semuanya berpakaian sesuai dengan posisi masing-masing. Tapi, Burman tidak berhenti di kelompok ini, berarti Bang Zul bukan supir truk pabrik.

Saat aku masuk, ukuran pabrik ini cukup besar, kutaksir ada ribuan karyawan yang bekerja. Mereka menggiling daging sapi dan ayam, membuat olahan seperti sosis, kornet dan nugget, lalu dikemas dalam berbagai ukuran.

Burman malah menjelaskan system yang sedang berjalan di pabrik, seolah-olah kami sedang melakukan kunjungan. Dia terlihat bangga, sangat bangga, terus memuji Bang Zul dan sederet prestasi yang didapatkan oleh pria itu.

Namun, ocehan itu terpaksa berhenti saat kami tidak sengaja berpapasan dengan seorang pria yang memakai topi dan sepatu safety. Dia memandang ke arah kami, lalu mengernyitkan kening. “Kenapa kamu di sini, Ris?”

Ya itulah Bang Zul.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 6

    Tapi, Burman hanya tertawa kecil melihat kekagetan Bang Zul.“Bang, lihat siapa yang datang?” ucap Burman. “Aku ketemu dia di depan gerbang.”Pria yang dipanggil itu menatap lamat, lalu tatapan kami bertemu. Aku tidak percaya jika pria yang selalu kutemui di desa bisa bekerja di pabrik sebesar ini. Bahkan pakaiannya bagus, keren, dia terlihat jauh lebih berwibawa dibanding terakhir kali kami bertemu.Saat di desa dulu, aku sering bertemu dengannya, bermain dan bekerja di peternakan bersama. Bang Zul pria rajin, ulet, sangat disenangi Ayah. Sampai, dia tiba-tiba pergi tanpa kabar, tanpa berpamitan. Lalu, kembali ke desa sebentar sebelum kemudian kembali ke kota.“Riska?” Bang Zul memanggil namaku. “Riska, kamu kenapa ada di sini?” Bang Zul menghampiriku. Rambutnya terlihat kusut, ada kantong mata yang besar di wajahnya, juga kulit muka yang sedikit kusam. Bang Zul kelelahan!“Bang, a-aku minta maaf sudah datang mencarimu,” jawabku dengan suara gemetar. Tapi, jika memang Bang Zul bisa

    Last Updated : 2025-04-13
  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 7

    “Ris, kamu dari mana saja?”Baru kulangkahkan kaki ke dalam rumah, suara bariton itu menyambut diriku. Padahal, tubuh ini Lelah bermandikan peluh, aroma keringat hingga matahari juga menempel di baju dan jilbab. Ditambah lagi, tiba-tiba saja Bang Zul mengajakku dan Burman makan malam, jadinya aku pulang dalam keadaan perut kenyang.“Ris, kamu ini gimana, sih? Kami belum makan malam!” sambung Perempuan lain yang kini serupa dengan mak lampir.Jilbabnya entah ke mana, hingga rambut putihnya terbang kemana-mana. Ibu mertuaku berdiri di belakang Bang Fahri, menatapku berang. Sedangkan Salma masih santai di sofa memainkan gawai, lalu Ninik juga duduk di sebelah gadis muda itu- bak ratu.“Apanya yang gimana, Bu?” Aku membalas, kuayunkan kedua kaki hingga melewati Salma dan Ninik.“Kami belum makan gara-gara kamu keluar sampai malam. Masih mau ngelak juga kamu, hah?” seru ibu mertua. Mereka sudah berani membentakku padahal baru beberapa saat di sini. Kutebak, mereka denial dengan kenyataan ya

    Last Updated : 2025-04-13
  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 8

    Namun, saat keluar dari kamar, aku hanya melihat kabut gelap di seluruh penjuru rumah. Seolah-olah ada sesuatu yang sedang di bakar.“Astagfirullah!” pekikku sembari menahan napas dan mengipas tangan di depan muka.Kabut hitam itu rupanya asap, sangat pekat dan menyesakkan. Entah apa yang telah terjadi hingga seluruh rumah jadi begini.Aku teringat jika sesaat lalu Ninik diminta untuk memasak. Lalu, kuarahkan tujuan menuju dapur dengan perasaan tidak karuan, bahkan Bang Fahri di belakang kuabaikan seperti tidak terlihat.Benar saja, saat aku tiba di dapur, kudapati Ninik sedang mencolek-colek wajan berasap dengan sutil. Dia meringis beberapa kali, kemudian mencolek lagi.“Apa yang kamu lakukan, Ninik? Kamu mau bakar rumah ini?” jeritku.Tanpa pikir panjang, aku berlari ke arahnya kemudian mematikan kompor yang menyala. Ninik sedang menggoreng telur di dalam minyak gosong karena api yang terlalu besar.“Apa lagi, aku lagi masak telur!” sahutnya. Perempuan itu masih mencolek-colek minya

    Last Updated : 2025-05-02
  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 9

    Begitulah semuanya berlalu dengan lambat dan sakit. Dua hari menjelang pernikahan Bang Fahri dengan Ninik, aku kenyang jadi buah bibir Masyarakat. Mereka menyalahkanku yang tidak pandai mengurus diri, tidak modis dan hanya berpakaian sederhana, sampai akhirnya pria itu memilih menikahi Ninik. Tapi sekalipun begitu, aku tidak pernah menundukkan kepala, kutelan bulat-bulat semuanya sebelum Bang Fahri dan Ninik menikah.Aku sudah keluar sejak siang, mengendarai motor, seorang diri. Semua ini demi menghindari pertikaian di rumah yang tidak berkesudahan, tentunya untuk melindungi mentalku sendiri.“Beneran kamu bakal diam saja, Ris?” Salah satu Perempuan yang jadi teman baru di kota itu berbicara lantang saat aku muncul di warungnya.Kak Nah- begitulah beliau dipanggil. Semua orang tahu kisah cintanya yang bertepuk sebelah tangan di masa lalu. Bahkan saat kuperlihatkan foto keluargaku, beliau bilang ingin jadi istri Ayah andai belum menikah. “Biarkan saja, Kak. Aku sudah tidak peduli lag

    Last Updated : 2025-05-03
  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 10

    “Ris, aku belum selesai bicara!” tahannya dengan intonasi yang tidak jelas.Saat aku berbalik, mulut Bang Fahri dipenuhi mi instan, bahkan ada yang menggelantung keluar dari bibirnya. Entah kenapa Bang Fahri jadi semakin menyedihkan. Ke mana perginya harga dirinya yang tinggi itu?“Kenapa lagi, Bang? Aku mau keluar, mau masak makan malam!” sahutku sembari mencebik.“Itu, Ris … ibu bilang kamu punya banyak uang. Kamu sering keluar akhir-akhir ini, mungkin sudah dapat kerja dan digaji. Bisa enggak uangnya buat aku dulu? Biaya nikah belum cukup, Ris.”“Hah?” Aku memekik sampai urat di leherku bermunculan.Menyesal sekali aku bersikap baik pada pria itu. Apa dia mengira kalau aku sudah melunak saat seluruh perasaanku dicabik-cabik olehnya sesuka hati?“Iya, transfer saja ya, Ris? Ibu bilang, kamu lagi pegang banyak duit. Aku butuh sedikit lagi buat tambah seserahan, bayar catering dan dekor. Enggak banyak, Ris … barang delapan juta lagi,” jelas Bang Fahri yang membuatku mengepalkan tangan

    Last Updated : 2025-05-04
  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 11

    “Fahri itu suamimu!”“Bang Fahri juga anak Ibu, bukannya Ibu yang selalu bilang kalau anak lelaki adalah milik ibunya sampai kapanpun? Lalu kenapa bukan Ibu yang turun tangan membantu Bang Fahri?” paparku sembari membuang pandangan.Kedua mataku sakit karena harus melihat orang-orang ini. Entah sejak kapan … mereka sudah berganti pakaian mewah, memakai perhiasan yang kutebak palsu semuanya, bahkan menyemprot minyak wangi sampai hidungku jadi gatal.Apalagi Ninik yang sudah seperti gadis India saja. Dia memakai pakaian yang mirip dengan sari India, lalu headpiece di kepala serta anting yang besar.

    Last Updated : 2025-05-05
  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 12

    Bang Fahri yang mendengar hal itu gegas berdiri. Tubuhnya tegang, matanya membola. Dia menatap lurus ke arah pintu, lalu mengepalkan kedua tangan.Di belakangnya, Ninik menundukkan muka. Dia tidak mampu berkutik meski hanya sedetik.Wajah cantiknya yang berpoles riasan juga tidak mampu menutupi betapa gelisahnya dia saat ini. Bahkan saat hendak berdiri dari sofa, Ninik goyah, hampir saja dirinya rubuh ke samping.“Enak saja kamu, Ninik! Ini tugasmu jagain anak-anak. Aku sudah bilang, aku tidak sempat mengurus anak-anak, jadi kukirimkan uang nafkah mereka tiap bulan. Tapi kemarin aku ngalah karena kukira kamu beneran kesulitan dan sakit, rupanya kamu ngec

    Last Updated : 2025-05-06
  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 13

    “Rencana?” Aku bergidik ngeri.Kuulas senyum ke arah Ninik. Perempuan itu sudah bersimbah air mata, riasan cantiknya rusak tidak berupa, bahkan rambutnya yang disanggul juga mulai tidak berbentuk. Dibanding pengantin, Ninik lebih mirip depresi.“Kamu sengaja ngelakuin ini semua biar aku dan Bang Fahri tidak jadi nikah, kan?” pekiknya meski ketiga anaknya ada bersamanya. “Tega kamu, Riska!”“Tega? Aku tega gimana, Ninik? Kamu mau nuduh aku gagalin pernikahan kalian, tapi kalian sudah nikah,” balasku dengan suara yang lembut.

    Last Updated : 2025-05-06

Latest chapter

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 19

    Aku puas sekali hari ini. Wajah kesal Ninik, rasa malu ibu mertua dan Bang Fahri, semuanya masih terekam di kepala. Mereka pantas mendapatkannya mengingat apa yang sudah mereka lakukan padaku selama ini.Syukurlah, pelan-pelan aku bisa mengontrol diri agar tidak tertekan oleh mereka. Aku juga bisa membalas Ningsih dan ibu mertua hingga mereka ngacir pergi begitu saja.Aku tersenyum tanpa henti sambil mengendarai motor, sampai akhirnya tiba di sebuah supermarket yang paling dekat dengan rumah. Niat hati membeli camilan dan susu untuk kunikmati malam nanti sambil memeriksa hasil keliling tadi.“Aku bisa bantu kamu untuk urus semuanya, Ris. Kalau kamu suka peternakan ini, kita bisa minta harga terbaik. Sapi-sapinya juga bagus, bisa langsung masuk ke pabrik begitu peternakan ini kamu beli!” Ucapan Bang Zul di akhir pertemuan kami tadi membuat hatiku kian berbunga.Alangkah indahnya jika

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 18

    “Kamu selalu menjawabku, Ris! Kamu itu memang tidak bisa diajak bicara, sudah rendah pendidikannya, rendah juga etikanya.”“Ya memang sudah sewajarnya, Nik. Aku ini istri pertamanya Bang Fahri, sedangkan kamu istri kedua yang bahkan dinikahinya siri, tidak punya buku nikah dan pengakuan dari negara. Tahu kan bedanya? Ya jelas aku tidak bisa diajak bicara, apa lagi sama perempuan yang ngarepin suami orang lain,” balasku kembali dengan seutas senyum yang mengembang.Wajah Ninik sudah seperti buah tomat, bahkan dia mengepalkan tangan, entah ingin meninju atau mungkin mencakarku. Tapi, aku lekas membuat jarak dengannya agar tidak sampai terluka jika dia memang menyerang. Masalah bisa jadi makan melebar kalau aku tidak hati-hati. Mengguyurnya dengan air bak sudah cukup untuk saat ini, aku tidak boleh bertindak gegabah dan berakhir menyesal.Setahuku, Ninik perempuan licik dan banyak akal. Aku tidak bol

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 17

    Kulihat dia berusaha menggapai tangan Bang Fahri beberapa kali. Namun, belum sempat tergenggam, Ninik langsung ditolak dengan kasar.Aku tidak mengerti kenapa sikap Bang Fahri begitu kasar, padahal kemarin dia masih tenang. Bahkan sampai tega menolak sentuhan dari Perempuan itu. Seingatku, sebelum mereka menikah, beberapa kali kudapati keduanya bermesraan, bahkan berciuman setiap kali ada kesempatan. Meski tahu aku melihat, keduanya tidak menujukkan penyesalan.Lantas, kenapa begitu mudah berubah?“Jangan banyak bicara, Nik! Aku cinta sama Nik yang kemarin, bukan Ninik anak tiga, si penipu dan pendusta.” Bang Fahri berteriak. Urat-urat di balik kulit lehernya tercetak.“Bang, kamu ini kelewatan banget, ya? Aku datang ke sini karena kamu yang janji bakalan jadiin aku istri yang paling bahagia di dunia ini. Kamu bilang, aku bebas melakukan apapun yang aku mau, asalkan aku hidup sama k

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 16

    Kuabaikan mereka, kepalaku bisa sakit parah jika terus bertahan di rumah. Tapi, melihat mereka mulai bertengkar satu sama lain dan berdebat begini, membuatku sedikit senang. Ninik sudah tidak lagi jadi idaman ibu mertua, dan Bang Fahri yang selalu mengira dirinya paling hebat itu pusing tujuh keliling karena tertimbun hutang.Kuputuskan untuk keluar usai menghubungi Bang Zul. Kami akan bertemu, membahas beberapa hal dan merencanakan sesuatu. Saat matahari meninggi, aku tiba di sebuah restoran. Dari kejauhan, kulihat punggung pria itu. Dia sedang berkutat dengan laptop dan gawai seorang diri.“Aku sudah datang, Bang.”Senyumku merekah, melihat Bang Zul yang kebingungan, sedikitpun aku tidak bisa mengungkiri kalau aku bahagia dengan kejadian kemarin. Bang Fahri yang kaget dan kesal, ibu mertua yang tertipu serta Ninik yang kini diperlakukan seperti pembantu.Bukankah ini baru permulaan? Tapi rasanya sudah sangat mendebarkan.“Duduk di sini Ris. Aku bau! Habis ngecek pasokan daging di Gu

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 15

    Kutatap Ninik lalu Bang Fahri. Pria itu malah berjalan ke arahku.“Iya, Dek. Iya … aku tidak akan menjual rumah ini. Aku juga akan pindah ke kamar belakang, jadi kamu jangan marah-marah lagi, ya?” bujuknya seraya mengangkat tangan.Bang Fahri hendak menyentuhku, tapi buru-buru aku mundur. Seluruh tubuh ini jijik, tidak lagi ingin disentuh oleh pria sepertinya.“Sudah, aku tidak mau dengar apa-apa.”Kudorong Bang Fahri agar jarak membentang di antara kami. Kemudian, sorot mata jatuh pada Salma yang kini melirik. Akhirnya, dia tertari

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 14

    “Apa, Bang?” Aku tercengang mendengar permintaan Bang Fahri.Pria itu bergeming. Tubuhnya hanya condong padaku, padahal di sekitarnya ada orang lain yang mulai memperhatikan. Entah itu Ninik, kerabatnya, atau mungkin ibu mertua dan Salma. Aku tidak begitu yakin, karena saat ini seluruh tubuhku hanya tertaut pada Bang Fahri.“Iya. Riska, kamu kembali ke kamar kita, ya? Abang izinkan kamu untuk tinggal di sana lagi. Nanti, Ninik yang akan menetap di kamar itu,” ujarnya seraya menunjuk kamar belakang yang beberapa malam ini kutempati dengan ujung mata.Seketika aku tergelak. Perut ini tergelitik mendengar konyolnya perkataan Bang Fahri. Ap

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 13

    “Rencana?” Aku bergidik ngeri.Kuulas senyum ke arah Ninik. Perempuan itu sudah bersimbah air mata, riasan cantiknya rusak tidak berupa, bahkan rambutnya yang disanggul juga mulai tidak berbentuk. Dibanding pengantin, Ninik lebih mirip depresi.“Kamu sengaja ngelakuin ini semua biar aku dan Bang Fahri tidak jadi nikah, kan?” pekiknya meski ketiga anaknya ada bersamanya. “Tega kamu, Riska!”“Tega? Aku tega gimana, Ninik? Kamu mau nuduh aku gagalin pernikahan kalian, tapi kalian sudah nikah,” balasku dengan suara yang lembut.

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 12

    Bang Fahri yang mendengar hal itu gegas berdiri. Tubuhnya tegang, matanya membola. Dia menatap lurus ke arah pintu, lalu mengepalkan kedua tangan.Di belakangnya, Ninik menundukkan muka. Dia tidak mampu berkutik meski hanya sedetik.Wajah cantiknya yang berpoles riasan juga tidak mampu menutupi betapa gelisahnya dia saat ini. Bahkan saat hendak berdiri dari sofa, Ninik goyah, hampir saja dirinya rubuh ke samping.“Enak saja kamu, Ninik! Ini tugasmu jagain anak-anak. Aku sudah bilang, aku tidak sempat mengurus anak-anak, jadi kukirimkan uang nafkah mereka tiap bulan. Tapi kemarin aku ngalah karena kukira kamu beneran kesulitan dan sakit, rupanya kamu ngec

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 11

    “Fahri itu suamimu!”“Bang Fahri juga anak Ibu, bukannya Ibu yang selalu bilang kalau anak lelaki adalah milik ibunya sampai kapanpun? Lalu kenapa bukan Ibu yang turun tangan membantu Bang Fahri?” paparku sembari membuang pandangan.Kedua mataku sakit karena harus melihat orang-orang ini. Entah sejak kapan … mereka sudah berganti pakaian mewah, memakai perhiasan yang kutebak palsu semuanya, bahkan menyemprot minyak wangi sampai hidungku jadi gatal.Apalagi Ninik yang sudah seperti gadis India saja. Dia memakai pakaian yang mirip dengan sari India, lalu headpiece di kepala serta anting yang besar.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status