“Riska, kamu kenapa ada di sini?” Bang Zul menghampiriku. Rambutnya terlihat kusut, ada kantong mata yang besar di wajahnya, juga kulit muka yang sedikit kusam. Bang Zul kelelahan!
“Bang, a-aku minta maaf sudah datang mencarimu,” jawabku dengan suara gemetar. Tapi, jika memang Bang Zul bisa membantu, akan kutanggalkan rasa malu.
“Ceritakan, Riska! Apa yang terjadi denganmu? Kenapa kamu begini?” Bang Zul khawatir. Dia mengitariku dengan sorot mata, dari ujung kepala hingga kaki.
Bisa dipahami. Seluruh benda yang ada di badanku benar-benar kumal dan menyedihkan, jauh berbeda dengan seorang Riska saat tinggal di desa. Apalagi wajahku–
“Kita bicara di ruang rapat saja, ya? Kebetulan di sana kosong.”
“Maaf, ya Bang?” lirihku. Rasa getir itu tidak hilang meski sudah bertemu dengan Bang Zul.
Bang Zul tidak menjawab, dia memimpin jalan untukku dan Burman. Aku duduk, mengisi salah satu kursi saat kami masuk ke ruang rapat yang berukuran sedang . Bang Zul memasang wajah bingung, sedikit gelisah hingga dua alisnya bertautan. Dia lekas duduk di sampingku, lalu Burman di sisi satunya.
“Burman, bawakan kami minum, ya? Sekalian makan siang untukku dan Riska. Pesan saja di warung biasa,” ujar Bang Zul yang membuat Burman lekas undur diri.
Burman pergi, tinggallah aku sendiri dengan pria ini. Dalam-dalam aku menundukkan wajah. Sungguh, seluruh tubuhku tidak mampu berkutik. Dari mana harus kumulai kisah memalukan ini? Bagaimana kuceritakan padanya kalau aku dikhianati Bang Fahri dan sendirian di sini?
“Kenapa, Ris? Apa yang terjadi?”
Aku menegak ludah, sulit sekali untuk bercerita. Tapi, kuberanikan diri. Bang Zul mungkin bisa membantu, atau setidaknya mencarikan jalan keluar dari permasalahan ini. Aku butuh seseorang yang bisa menahanku dari depan, belakang, kiri dan kanan.
“Bang Fahri ….” Lidahku kian kelu. Aku malu sekali dengan nasib ini. Sudah keras kepala menikahi Bang Fahri, meninggalkan desa dan merantau dengannya, sekarang malah diperlakukan dengan hina. Orang-orang desa yang mendengarnya pasti akan menertawaiku dan ayah, bahkan menghina status janda di usia muda, juga mencibir soal aku yang ingin jadi istri seorang dokter.
“Pria itu berkhianat? Sudah kuduga!” sahut Bang Zul yang membuatku terpana, sebab aku belum bercerita padanya.
Seketika air mata mengucur di pipi. Aku menangis tanpa suara. Mungkin aku bisa bersikap keras dan tegar di depan Bang Fahri dan keluarganya, tapi aku tetap terluka. Aku sakit hati dengan semua cacian yang mereka lontarkan padaku.
Bang Zul hanya memerhatikan, dia memberiku waktu sampai semua kisah itu mengalir tanpa henti dari bibir ini.
“Kalau begitu ceraikan saja bajingan itu, Ris. Kenapa bertahan dengannya? Apa kamu tidak dengar buruknya sikap Fahri di puskesmas dulu? Dia juga–”
“Tapi, kalau dilepas sekarang, mereka akan terlalu bahagia, Bang. Aku dibuatnya menderita selama ini, Bang. Semua janji Bang Fahri dulu pada ayah, semuanya dusta!” aduku padanya sembari mengepalkan tangan.
Bang Zul diam lagi, dia terlihat berpikir.
“Apa yang bisa kubantu, Ris?” tanya pria itu kemudian. Sikapnya masih seperti dulu, selalu berusaha mengayomiku.
Hatiku seketika menghangat, Bang Zul menawarkan bantuan sebelum aku meminta.
“Pertama, jangan beri tahu ayahku, Bang.” Aku berkata. Seketika ia langsung tampak tidak setuju.
“Ris–”
“Bang, jangan. Aku tidak ingin melakukannya. Ayah dan istrinya sedang bahagia. Mereka baru saja punya anak Perempuan, Bang. Jangan rusak kebahagiaan mereka,” jelasku penuh harap.
Bang Zul malah menghela napas. Pria itu tidak sepakat denganku. Hanya saja, alasanku cukup kuat untuk itu. Ayah benar-benar sedang menikmati masa-masa indah ini, begitu juga dengan ibu tiriku.
Jika mereka tahu apa yang terjadi, aku khawatir senyum mereka akan sirna. Aku juga tidak ingin pulang ke desa karena dibuang oleh Bang Fahri,. Kalau aku harus kembali ke desa, akan aku lakukan setelah membuang pria itu.
“Kali ini saja, hanya sebentar. Aku punya rencana untuk Bang Fahri dan Ninik, Bang. Setidaknya sampai waktu itu, tolong bantu aku dan jangan hubungi ayah di desa,” pintaku lagi. “Aku tidak tega kalau pulang dalam keadaan hancur, Ayah akan bersedih dan menyalahkan dirinya sendiri. Kalaupun aku pulang nanti, aku ingin datang dalam keadaan terbaik.”
“Fahri dan keluarganya belum tahu soal hidupmu yang sebenarnya?” terka Bang Zul.
Aku menggeleng. “Belum, Bang. Dan aku tidak berniat memberi tahu mereka.”
Bang Zul mengangguk. “Jangan sampai mereka tahu. Biarkan saja dulu.”
“Tentu, Bang.”
Senyum Bang Zul merekah tipis. Tidak berapa lama Burman kembali dengan makan siang pesanan Bang Zul.
“Makanlah, kamu akan butuh banyak tenaga.”
Pria ini memang tidak bersih dan putih seperti Bang Fahri, tapi tubuhnya besar dan tampak kokoh. Kulitnya sawo matang dan raut wajahnya tegas nan maskulin, tampak seperti sudah ditempa kerasnya hidup berkali-kali.
Sampai detik ini dia adalah pria paling baik yang kukenal, setelah Ayah.
Meskipun aku sempat sedikit sakit hati ketika dia tiba-tiba pergi merantau tanpa mengabari, kini hubungan kami cukup baik setelah ia kembali menjalin silaturahmi dengan ayahku. Meski begitu, setiap kali aku bertanya pada Bang Zul ataupun ayah, mereka enggan menjawab.
Makan siang kami diiring dengan pembicaraan tentang rencanaku untuk membalas Bang Fahri dan keluarganya.
“Kalau gitu, aku pamit dulu, Bang. Tidak enak berlama-lama, Bang Zul pasti punya banyak pekerjaan.” Aku bertutur seraya bangkit dari sofa.
“Mau kuantar, Ris?”
“Aku menggeleng. “Aku bawa motor, Bang.”
Ia mengangguk. Sepintas, pria itu tampak ragu.
“Ris?” panggil Bang Zul kemudian.
Kutolehkan wajah. Pandangan kami bertemu.
“Maaf. Jika saja waktu itu aku tidak pergi, kamu pasti tidak akan mengalami hal ini.”
Acara aqiqah di desa berlalu dengan semarak. Meskipun ada bisik-bisik yang kurang menyenangkan, kebahagiaan kami tidak sedikit pun tergoyahkan. Dukungan Ayah dan Ibu Tiri, ditambah kehadiran Bang Zul yang selalu menjadi perisai untukku dan anak-anak, membuatku merasa lengkap, tidak kurang meski hanya sedikit. Kami menghabiskan beberapa hari lagi di desa, membiarkan para kakek-nenek puas menggendong cucu-cucu mereka, sebelum akhirnya kembali ke kota.Kembali ke rumah, rutinitas baru langsung menyapa. Dengan tiga bayi di rumah, suasana tidak pernah sepi. Tangisan, rengekan, suara tawa, semua bercampur aduk menjadi melodi kehidupan yang indah.Beruntungnya aku memiliki Bi Sumi dan ketiga baby sitter profesional yang Bang Zul datangkan. Mereka bekerja dengan sangat sigap, memastikan kebutuhan para bayi terpenuhi dan rumah tetap teratur.Jangan tanya biayanya! Aku yakin Bang Zul harus merogok kocek tiga kali lipat dibanding biasanya setiap bulan. Tapi, tidak sekalipun pria itu mengeluh!Ak
"Bang... ini berlebihan sekali!" bisikku padanya saat kami memasuki rumah. "Satu saja sudah mahal, ini langsung tiga! Kita tidak perlu sebanyak ini, Bang. Aku bisa mengurus anak-anak sendiri, kok."Bang Zul menuntunku menuju ranjang di kamar utama yang sudah diatur senyaman mungkin, lengkap dengan bantal-bantal empuk dan selimut hangat."Tidak ada yang berlebihan, Dek. Kamu baru saja melewati masa sulit. Kamu harus fokus pada pemulihanmu. Anak-anak ini butuh perawatan ekstra karena mereka kembar tiga. Abang tidak mau kamu terlalu lelah atau jatuh sakit lagi." Bang Zul duduk di tepi ranjang, menatapku serius, kedua tangannya menggenggam tanganku. "Pokoknya, Abang mau kamu sehat dan baik-baik saja. Kamu mengerti? Istirahatlah. Biarkan mereka yang mengurus semuanya. Ini perintah Abang, bukan cuma permintaan."Aku hanya bisa menghela napas, takjub dengan keputusan Bang Zul. Dia selalu saja melakukan hal-hal di luar dugaanku, selalu memprioritaskan kesehatanku.Aku tahu berapa biaya untuk
Aku membuka mata perlahan. Langit-langit putih rumah sakit yang steril menyambut pandanganku. Samar-samar kudengar suara mesin infus di samping ranjang, ritmis dan menenangkan. Seluruh tubuhku terasa lemah, nyeri di bagian perut masih sangat terasa, namun rasa pusing hebat yang kemarin kurasakan sudah jauh berkurang. Sebuah kelegaan membanjiri diriku. Aku berhasil melewati ini. Aku selamat.Sebuah gerakan kecil di samping ranjang membuatku menoleh. Bang Zul duduk di kursi lipat, wajahnya tampak sangat lelah dengan kantung mata menghitam, namun matanya memancarkan kelegaan luar biasa saat melihatku sadar. Bang Zul langsung sigap menggenggam tanganku."Dek... kamu sudah sadar?" Suaranya serak, seperti menahan tangis. Bang Zul mengecup punggung tanganku berulang kali.Aku mengangguk lemah, berusaha tersenyum. "Bang... anak-anak kita bagaimana?"Senyum lebar merekah di wajahnya, mengalahkan segala kelelahan. Diusapnya keningku yang berpeluh walau ruangan luas ini berpendingin udara."Alha
Perjalanan ke rumah sakit terasa seperti neraka. Setiap kontraksi yang menghantam membuatku menggigit bibir hingga perih, berusaha menahan suara. Bang Zul terus menoleh ke belakang, khawatir dengan aku yang tidak bisa menahan rasa sakit ini. Seperti, tubuhku dirobek menjadi dua bagian."Sabar ya, Dek. Sebentar lagi sampai. Kamu kuat, Sayang. Demi anak-anak kita," suaranya bergetar, lebih dari biasanya. Aku tahu dia juga panik.Akhirnya, mobil berhenti di depan IGD rumah sakit. Tanpa menunggu, Bang Zul langsung menggendongku lagi keluar dari mobil, menerobos keramaian menuju pintu masuk. Ayah, Ibu Tiri, dan Bi Sumi mengikuti di belakang, wajah mereka semua dipenuhi kecemasan."Dokter! Suster! Istri saya mau melahirkan! Kembar tiga!" teriak Bang Zul, suaranya lantang, menarik perhatian para petugas medis.Beberapa perawat dan seorang dokter jaga segera menghampiri kami dengan ranjang dorong. "Segera bawa ke ruang bersalin!" perintah dokter. Aku dipindahkan ke ranjang, dan para perawat m
Kabar kehamilan kembar tiga membawa kebahagiaan tidak terhingga, namun juga menjadi kenyataan baru yang menantang. Dokter Arini yang Bang Zul pilih sebagai dokterku telah menjelaskan bahwa kehamilan ini akan jauh lebih berat daripada kehamilan tunggal. Aku harus ekstra hati-hati, menjaga asupan nutrisi, dan sangat membatasi aktivitas fisik. Bang Zul menjadi sangat protektif, bahkan lebih dari sebelumnya."Dek, Abang sudah siapkan supir pribadi untukmu. Jadi kamu tidak perlu naik taksi online lagi," katanya pagi ini saat aku menemaninya sarapan di meja. "Pokoknya, jangan sampai kamu kecapekan. Kalau ada apa-apa, langsung bilang Abang atau Bi Sumi, ya."Aku mengangguk patuh, merasa beruntung memiliki suami seperti Bang Zul. Dia benar-benar memastikan semua kebutuhanku terpenuhi, bahkan hal-hal kecil sekalipun. Bi Sumi juga sangat perhatian, selalu menyiapkan makanan bergizi dan mengingatkanku untuk beristirahat.Semester terakhir kuliahku adalah ujian sesungguhnya. Perutku mulai membesa
Setelah keluar dari klinik dokter, perasaan syok bercampur kebahagiaan masih menyelimuti kami berdua. Bang Zul sesekali mengusap keningnya, dan aku masih sering melamun, membayangkan tiga bayi mungil di dalam perutku. Rasanya seperti mimpi. Selama ini kami hanya membayangkan satu atau dua anak, tapi ini... tiga sekaligus."Jadi, kamu mau kita langsung ke desa atau bagaimana, Dek?" tanya Bang Zul, memecah keheningan saat mobil melaju di jalanan kota. Pria itu melirikku.Aku berpikir sejenak. Aku tahu Ayah dan Ibu Tiri pasti akan sangat senang mendengar kabar ini. Tapi..."Bagaimana kalau kita pulang dulu, Bang? Kita bereskan barang-barang, lalu nanti sore atau besok pagi kita ke desa. Abang juga kan harus ke pabrik lagi." Aku merasa perutku sedikit tidak nyaman dan ingin segera beristirahat di rumah. Ada rasa mual yang tiba-tiba menyeruak saat mobil melaju. "Oke, kalau begitu kita pulang saja dulu, ya," jawab Bang Zul, mengangguk setuju. "Apa kamu mau belanja perlengkapan bayi?""Eh?