Share

Bab 5

Author: Bemine
last update Last Updated: 2025-04-13 10:58:40

“Riska, kamu kenapa ada di sini?” Bang Zul menghampiriku. Rambutnya terlihat kusut, ada kantong mata yang besar di wajahnya, juga kulit muka yang sedikit kusam. Bang Zul kelelahan! 

“Bang, a-aku minta maaf sudah datang mencarimu,” jawabku dengan suara gemetar. Tapi, jika memang Bang Zul bisa membantu, akan kutanggalkan rasa malu.

“Ceritakan, Riska! Apa yang terjadi denganmu? Kenapa kamu begini?” Bang Zul khawatir. Dia mengitariku dengan sorot mata, dari ujung kepala hingga kaki. 

Bisa dipahami. Seluruh benda yang ada di badanku benar-benar kumal dan menyedihkan, jauh berbeda dengan seorang Riska saat tinggal di desa. Apalagi wajahku–

“Kita bicara di ruang rapat saja, ya? Kebetulan di sana kosong.” 

“Maaf, ya Bang?” lirihku. Rasa getir itu tidak hilang meski sudah bertemu dengan Bang Zul.

Bang Zul tidak menjawab, dia memimpin jalan untukku dan Burman. Aku duduk, mengisi salah satu kursi saat kami masuk ke ruang rapat yang berukuran sedang . Bang Zul memasang wajah bingung, sedikit gelisah hingga dua alisnya bertautan. Dia lekas duduk di sampingku, lalu Burman di sisi satunya.

“Burman, bawakan kami minum, ya? Sekalian makan siang untukku dan Riska. Pesan saja di warung biasa,” ujar Bang Zul yang membuat Burman lekas undur diri.

Burman pergi, tinggallah aku sendiri dengan pria ini. Dalam-dalam aku menundukkan wajah. Sungguh, seluruh tubuhku tidak mampu berkutik. Dari mana harus kumulai kisah memalukan ini? Bagaimana kuceritakan padanya kalau aku dikhianati Bang Fahri dan sendirian di sini?

“Kenapa, Ris? Apa yang terjadi?”

Aku menegak ludah, sulit sekali untuk bercerita. Tapi, kuberanikan diri. Bang Zul mungkin bisa membantu, atau setidaknya mencarikan jalan keluar dari permasalahan ini. Aku butuh seseorang yang bisa menahanku dari depan, belakang, kiri dan kanan.

“Bang Fahri ….” Lidahku kian kelu. Aku malu sekali dengan nasib ini. Sudah keras kepala menikahi Bang Fahri, meninggalkan desa dan merantau dengannya, sekarang malah diperlakukan dengan hina. Orang-orang desa yang mendengarnya pasti akan menertawaiku dan ayah, bahkan menghina status janda di usia muda, juga mencibir soal aku yang ingin jadi istri seorang dokter.

“Pria itu berkhianat? Sudah kuduga!” sahut Bang Zul yang membuatku terpana, sebab aku belum bercerita padanya.

Seketika air mata mengucur di pipi. Aku menangis tanpa suara. Mungkin aku bisa bersikap keras dan tegar di depan Bang Fahri dan keluarganya, tapi aku tetap terluka. Aku sakit hati dengan semua cacian yang mereka lontarkan padaku.

Bang Zul hanya memerhatikan, dia memberiku waktu sampai semua kisah itu mengalir tanpa henti dari bibir ini.

“Kalau begitu ceraikan saja bajingan itu, Ris. Kenapa bertahan dengannya? Apa kamu tidak dengar buruknya sikap Fahri di puskesmas dulu? Dia juga–”

“Tapi, kalau dilepas sekarang, mereka akan terlalu bahagia, Bang. Aku dibuatnya menderita selama ini, Bang. Semua janji Bang Fahri dulu pada ayah, semuanya dusta!” aduku padanya sembari mengepalkan tangan. 

Bang Zul diam lagi, dia terlihat berpikir.  

“Apa yang bisa kubantu, Ris?” tanya pria itu kemudian. Sikapnya masih seperti dulu, selalu berusaha mengayomiku.

Hatiku seketika menghangat, Bang Zul menawarkan bantuan sebelum aku meminta. 

“Pertama, jangan beri tahu ayahku, Bang.” Aku berkata. Seketika ia langsung tampak tidak setuju.

“Ris–”

“Bang, jangan. Aku tidak ingin melakukannya. Ayah dan istrinya sedang bahagia. Mereka baru saja punya anak Perempuan, Bang. Jangan rusak kebahagiaan mereka,” jelasku penuh harap.

Bang Zul malah menghela napas. Pria itu tidak sepakat denganku. Hanya saja, alasanku cukup kuat untuk itu. Ayah benar-benar sedang menikmati masa-masa indah ini, begitu juga dengan ibu tiriku. 

Jika mereka tahu apa yang terjadi, aku khawatir senyum mereka akan sirna. Aku juga tidak ingin pulang ke desa karena dibuang oleh Bang Fahri,. Kalau aku harus kembali ke desa, akan aku lakukan setelah membuang pria itu.

“Kali ini saja, hanya sebentar. Aku punya rencana untuk Bang Fahri dan Ninik, Bang. Setidaknya sampai waktu itu, tolong bantu aku dan jangan hubungi ayah di desa,” pintaku lagi. “Aku tidak tega kalau pulang dalam keadaan hancur, Ayah akan bersedih dan menyalahkan dirinya sendiri. Kalaupun aku pulang nanti, aku ingin datang dalam keadaan terbaik.”

“Fahri dan keluarganya belum tahu soal hidupmu yang sebenarnya?” terka Bang Zul.

Aku menggeleng. “Belum, Bang. Dan aku tidak berniat memberi tahu mereka.”

Bang Zul mengangguk. “Jangan sampai mereka tahu. Biarkan saja dulu.” 

“Tentu, Bang.”

Senyum Bang Zul merekah tipis. Tidak berapa lama Burman kembali dengan makan siang pesanan Bang Zul.

“Makanlah, kamu akan butuh banyak tenaga.”

Pria ini memang tidak bersih dan putih seperti Bang Fahri, tapi tubuhnya besar dan tampak kokoh. Kulitnya sawo matang dan raut  wajahnya tegas nan maskulin, tampak seperti sudah ditempa kerasnya hidup berkali-kali.

Sampai detik ini dia adalah pria paling baik yang kukenal, setelah Ayah.

Meskipun aku sempat sedikit sakit hati ketika dia tiba-tiba pergi merantau tanpa mengabari, kini hubungan kami cukup baik setelah ia kembali menjalin silaturahmi dengan ayahku. Meski begitu, setiap kali aku bertanya pada Bang Zul ataupun ayah, mereka enggan menjawab. 

Makan siang kami diiring dengan pembicaraan tentang rencanaku untuk membalas Bang Fahri dan keluarganya.

“Kalau gitu, aku pamit dulu, Bang. Tidak enak berlama-lama, Bang Zul pasti punya banyak pekerjaan.” Aku bertutur seraya bangkit dari sofa.

“Mau kuantar, Ris?”

“Aku menggeleng. “Aku bawa motor, Bang.”

Ia mengangguk. Sepintas, pria itu tampak ragu. 

“Ris?” panggil Bang Zul kemudian. 

Kutolehkan wajah. Pandangan kami bertemu.

“Maaf. Jika saja waktu itu aku tidak pergi, kamu pasti tidak akan mengalami hal ini.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 175

    Setelah keluar dari klinik dokter, perasaan syok bercampur kebahagiaan masih menyelimuti kami berdua. Bang Zul sesekali mengusap keningnya, dan aku masih sering melamun, membayangkan tiga bayi mungil di dalam perutku. Rasanya seperti mimpi. Selama ini kami hanya membayangkan satu atau dua anak, tapi ini... tiga sekaligus."Jadi, kamu mau kita langsung ke desa atau bagaimana, Dek?" tanya Bang Zul, memecah keheningan saat mobil melaju di jalanan kota. Pria itu melirikku.Aku berpikir sejenak. Aku tahu Ayah dan Ibu Tiri pasti akan sangat senang mendengar kabar ini. Tapi..."Bagaimana kalau kita pulang dulu, Bang? Kita bereskan barang-barang, lalu nanti sore atau besok pagi kita ke desa. Abang juga kan harus ke pabrik lagi." Aku merasa perutku sedikit tidak nyaman dan ingin segera beristirahat di rumah. Ada rasa mual yang tiba-tiba menyeruak saat mobil melaju. "Oke, kalau begitu kita pulang saja dulu, ya," jawab Bang Zul, mengangguk setuju. "Apa kamu mau belanja perlengkapan bayi?""Eh?

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 174

    Pagi itu, aku terbangun dengan perasaan berdebar. Semalam aku nyaris tidak bisa tidur, terus memikirkan hasil tes kehamilan yang akhirnya garis dua setelah sekian lama. Bang Zul sudah bangun lebih dulu, dan saat aku keluar dari kamar, pria itu sedang menyiapkan teh hangat."Sudah siap, Dek?" tanyanya, senyumnya cerah seperti matahari pagi. "Abang sudah booking dokter kandungan yang bagus. Kita berangkat sekarang saja biar tidak terlalu siang."Aku mengangguk, masih merasa sedikit melayang. Antara bahagia dan tidak percaya. Kami sarapan dengan cepat, Bi Sumi masak nasi goreng super lezat, tapi aku terlalu bersemangat hingga tidak bisa makan banyak..Lalu Bang Zul menuntunku ke garasi, membantuku naik ke mobil. Diiringi lambaian tangan dari Bi Sumi serta doa dan harapan yang membuncah, Bang Zul melajukan mobilnya menuju rumah sakit swasta di pusat kota. Sepanjang perjalanan, kami tidak banyak bicara, namun genggaman tangan Bang Zul di tanganku cukup untuk menyampaikan semua perasaannya

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 173

    Hari-hari berlalu dalam pusaran kesibukan yang menyenangkan. Rumah Bang Zul di kota menjadi markas utamaku, tempatku belajar, beristirahat, dan merancang masa depan bersama suamiku. Setiap pagi adalah ritual baru; menikmati sarapan lezat yang disiapkan Bi Sumi, lalu bergegas ke kampus untuk menyelami dunia agribisnis. Bang Zul, meski jadwalnya padat di pabrik dan peternakan, selalu meluangkan waktu untuk mengantarku jika searah dengan dengannya, atau bahkan rela berputar agar bisa mengantarkanku sampai ke kampus."Hati-hati di jalan, Sayang," pesannya setelah Bang Zul menurunkanku di depan gedung kampus. "Kalau ada apa-apa, langsung telepon Abang. Kalau kamu senggang, kita makan siang berdua, ya?"“Jangan, Abang! Kan jauh kalau harus ke sini lagi. Nanti malam makan di rumah saja, ya?” balasku sembari membenarkan letak tali tas di pundak. Bang Zul mengerutkan kening, sungguh menggemaskan sekali melihat pria bertubuh besar dan tinggi itu ngambek. Aku bukannya tidak menghargai suami, t

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 172

    Kehidupan di rumah Bang Zul, yang kini juga menjadi rumahku, adalah hal yang membutuhkan banyak adaptasi. Rumah minimalis modern itu begitu nyaman, dengan desain yang estetik dan fungsional.Bang Zul memang sudah menyiapkan segalanya dengan sangat baik: dapur lengkap dengan peralatan canggih, ruang kerja yang nyaman, dan Bi Sumi, asisten rumah tangga yang sigap dan ramah.Awalnya, aku merasa sedikit canggung. Selama ini, aku terbiasa melakukan segala sesuatu sendiri, mengurus rumah, dan bahkan memasak untuk diri sendiri. Kini, semua kebutuhan rumah tangga sudah diurus dengan baik oleh Bi Sumi, aku hanya perlu bersikap manis dan elegan sebagai seorang Nyonya Zul."Dek, kamu tidak perlu repot-repot di dapur, biar Bi Sumi saja yang menyiapkan sarapan," kata Bang Zul pagi ini, dia melihatku buru-buru ke dapur, ingin membantu Bi Sumi yang sedang memasak sarapan sendirian.Aroma harum dan gurih menyeruak, menyentak nafsu makanku hingga ke pucuk kepala. Aku ingin tahu masakan apalagi yang d

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 171

    Setelah obrolan intens dengan Toni, dan beberapa teman lain yang kini menatapku dengan tatapan berbeda, bukan lagi tatapan kasihan, penghinaan, merasa diri mereka lebih hebat, melainkan sebuah tatapan tidak percaya, iri serta benci.Kata-kata Toni adalah tamparan telak bagi mereka yang meremehkanku. Aku tahu, sekarang mereka akan berpikir dua kali sebelum melontarkan komentar sinis. Perasaan lega membuncah di dadaku. Aku telah menghadapi ketakutan terbesarku, dan aku tidak jatuh.“Aku enggak suka ikut reuni, isinya enggak jauh-jauh dari pamer dan sombong, Ris!” papar Toni di tengah lengkingan suara musik yang diputar.Aku menoleh sedikit padanya, lalu pada MC yang masih membacakan rowndown acara. Sebenarnya, acara seperti ini akan sangat bermanfaat andai tidak dilapisi kegiatan adu gengsi dan gaya seperti yang sedang dilakukan oleh Yasmin, Bagas dan teman-teman lainnya.“Ini reuni pertama kamu setelah tamat SMA, ya?” tanya Toni lagi.“Ya, begitulah.”Lalu, Toni diam. Aku mengira dia k

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 170

    "Astaga, Riska! Kamu kok masih kurus saja sih? Padahal kan sudah nikah lagi," ucapnya, nadanya jelas menyindir. Matanya menyusuri penampilanku dari atas sampai bawah, seolah menilaiku dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Katanya sudah jadi janda, terus nikah lagi sama cowok dari kampungmu, ya? Aduh, kasihan sekali. Makanya, dulu itu jangan pilih-pilih suami. Dokter kok dilepasin."Aku tersenyum tipis, mencoba mengabaikan sindirannya. Aku tidak ingin terpancing emosi. "Halo, Yasmin. Kabarku baik. Alhamdulillah. Kamu sendiri bagaimana?"Yasmin mengibaskan rambutnya yang panjang, bangga. "Oh, Alhamdulillah, lancar jaya. Suamiku punya butik besar di kota provinsi, cabangnya sudah di mana-mana. Aku juga sudah punya anak dua, lucu-lucu, sudah sekolah semua." Dia menyeringai, seolah sengaja ingin memamerkan kehidupannya yang sempurna. "Kamu kok datang sendirian? Mana suamimu? Kamu jangan begitu, Ris! Walaupun suamimu orang kampung yang enggak jelas kerjanya, tapi dia tetap suamimu... ka ...

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status