“Dasar kampungan, udik, bau sapi!” Ibu mertua kemudian mencerca. “Ternyata sejak dulu itu kamu memang berniat mempermalukan anakku ya!? Kamu harusnya bisa bertingkah lebih elit, Ris! Lihat Ninik, lihat juga Fahri … harusnya kamu tiru mereka, bukannya malah makin jauh dari standar. Kamu itu dinikahi dokter, Ris. Kamu kira semua orang bisa jadi istri dokter, hah?”
Aku menggigit bibir, menahan luapan emosiku dan menghela napas dalam-dalam.
“Bu, berhenti menghinaku.” Aku bersuara dengan intonasi yang lebih tegas kemudian.
“Kenapa? Tidak terima!?” Ibu mertua berteriak. Beliau menunjuk dadanya. “Fahri, kenapa juga kamu harus menikah dengan perempuan kampung ini, dan bukannya cari wanita beradab di kota, hah? Lihat sekarang! Memang kalau orang kampung, harusnya tetap di kampung saja!”
Aku memejamkan mata. Suara ibu mertua membuatku mual. Semuanya membuat isi perutku bergejolak, seolah-olah diaduk dari dalam. Namun, aku tetap bertahan sampai akhirnya aku mengatakan:
“Ibu, sudah. Terserah saja,” ucapku dingin. “Jika memang Bang Fahri dan Ninik mau menikah, silakan. Tapi, sebagai istri Bang Fahri, Ninik harus mengambil alih semua tugasku. Itu saja.”
Setelah mengatakan itu, aku bangkit berdiri.
“Apa maksudmu, Riska?” Ibu mertua mengernyit padaku. Suaranya yang melengking tadi menurun tajam.
Tapi, bibir ini malas menjelaskan untuk sekarang. Lebih baik, kutegaskan sekali lagi pada Bang Fahri, “Setelah ini, semua tugas-tugas di rumah ini jadi milik Ninik, Bang. Aku tidak mau peduli lagi. Sebagai istri barumu, sudah sepantasnya dia mengurusi kamu dan rumah ini, bukan?”
Biar nanti mereka tahu gimana susahnya aku mengurus Bang Fahri dan Ibu mertua yang banyak gaya itu selama ini! Jika Ninik ingin hidup dengan Bang Fahri, sekalian saja semua bebannya kuberikan padanya. Jangan hanya mau enaknya dan berleha-leha.
“Tapi Ninik itu–”
“Aku juga mau bekerja lagi, Bang,” kataku lagi. Suaraku terdengar stabil dan tegas, menyembunyikan getar perasaan sakit hati di baliknya. “Aku tidak akan repot-report ikut kerja bakti atau apa pun seperti hari ini, hanya demi menaikkan derajat kamu di lingkungan sini. Agar kamu lebih diterima. Biar itu jadi tugas Ninik saja, Bang.”
Aku menarik napas dalam-dalam.
“Kalau dua syarat itu disetujui, aku akan mengizinkan Bang Fahri dan Ninik menikah.”
Bang Fahri mengernyit. “Kamu masih istriku, Ris. Kamu tidak bisa lepas tangan dari semuanya.”
“Aku bisa bantu ajari Ninik, Bang,” ucapku, lalu melirik ke arah Ninik. “Ya?”
Ekspresi Ninik berubah sesuai harapan. Dia sangat terkejut, manik matanya membola hingga terlihat menakutkan. Apa dia datang ke sini dengan bayangan ingin hidup enak serta memperalatku? Enak saja.
“Kamu mau kerja apa sih di kota? Di sini tidak ada kandang sapi,” ucap Bang Fahri lagi dengan nada mencemooh. “Sudahlah, mending kamu di rumah saja. Jangan sok begini. Toh kamu cuma tamatan SMA, kan?”
“Itu biar jadi urusanku, Bang.”
Kata-kataku tegas, membuat Bang Fahri terperangah. Kutebak dia tidak pernah menyangka hal ini akan terjadi. Dia mengira kalau aku hanyalah perempuan dungu, bodoh dan polos yang bisa dipermainkan olehnya.
Saat menuntut madu, mungkin dia menduga kalau aku hanya akan menangis, memohon, dan merengek padanya.
Memang, aku juga tidak ingin menjanda terlalu cepat.
Ayah akan sangat bersedih jika tahu apa yang terjadi denganku di sini. Itu berarti aku mengecewakan beliau.
Ayah belum lama menikah dengan teman lama ibu, mereka dikaruniai anak perempuan saat usia ayah sudah di atas lima puluh tahun. Tentu saja mereka sangat gembira, mengingat selama ini ibu tiriku hanya punya anak laki-laki dan selalu mengeluh kesepian. Tidak pantas rasanya kuhancurkan kebahagiaan mereka dengan kabar ini.
Jadi biarlah, kuselesaikan dulu persoalan ini.
“Ya sudah, biarkan saja, Fahri. Paling penting kamu dan Ninik bisa nikah, tidak akan ada yang menghalangi!” jelas ibu mertua lagi.
Bang Fahri masih tampak keberatan. Namun, aku buru-buru menambahi, “Tidak ada ruginya, Bang. Daripada aku pergi ke rumah sakit dan mengatakan pada semuanya.”
Aku melihat suamiku itu tampak marah, tapi tidak mengatakan apa pun selama beberapa saat. Mungkin egonya terluka, saat aku ternyata bisa memberikan tuntutan.
Setelah beberapa saat, dia mengangguk. “Oke. Hanya dua syarat itu, kan?”
“Iya.” Aku bangkit berdiri. “Kalau begitu, aku permisi dulu.”
Aku pergi ke kamar dan merebahkan diriku di tempat tidur.
Pandanganku bertaut dengan plafon, lalu lampu yang mulai redup di tengahnya.
Hidup orang tidak ada yang tahu. Tadi pagi, aku berangkat keluar rumah untuk meninggikan posisi suamiku di lingkungan elit ini. Aku bersedia bekerja fisik, bahkan disuruh-suruh. Semua agar Bang Fahri bisa diterima lebih baik di sini, tidak digosipkan ataupun dirugikan barang sedikit pun.
Namun, balasannya, pria itu justru ingin menikah lagi.
Alasannya pun karena aku dianggap tidak layak dan mempermalukan dirinya yang merupakan seorang dokter.
Tidak terasa, air mataku mencuri celah di sudut. Merembes kuat tidak tertahankan. Bibirku bergetar, aku menangis dalam diam, menahan diri untuk tidak bersuara.
Bukan karena aku kehilangan suami. Melainkan karena aku salah memilih sosok itu. Apalagi jika mengingat bahwa ayahku sudah memperingatkan beberapa kali soal Bang Fahri, tapi tidak kudengarkan. Aku pikir, sebagai dokter yang dihormati di masyarakat membuktikan bahwa Bang Fahri adalah orang baik.
Ternyata aku salah. Dua hal itu tidak ada hubungannya. Pria itu justru menghinaku habis-habisan, begitu pula ibu mertuaku. Hanya karena aku bukan orang kota yang terawat.
Namun, tenang. Aku tidak akan membiarkan orang-orang itu menyakiti ataupun menghinaku lagi. Tunggu saja tanggal mainnya. Aku akan membuat kalian menyesal.
***
“Bagus ya! Jadi perempuan, jadi istri bukannya bangun pagi, tapi malah malas-malasan!”
Omelan itu menyapaku begitu aku keluar dari kamar. Di ruang makan, semuanya sedang duduk mengelilingi meja, sedang menyantap makanan yang sepertinya merupakan makanan dari aplikasi pesan antar.
Aku mengabaikan ucapan ibu mertuaku dan menoleh ke Bang Fahri untuk berkata, “Bang, hari ini aku ada acara di luar.”
“Mau ke mana kamu?” tanya Bang Fahri. “Aku hari ini kerja. Rumah siapa yang urus?”
“Rumah tidak akan ke mana-mana ditinggal sehari, Bang,” balasku. “Lagi pula, kan ada Ninik dan yang lain. Aku mau cari kerja.”
Seketika meja itu meledak oleh tawa.
“Kamu serius, Ris?” tanya Bang Fahri. “Mau cari kerja apa pakai ijasah SMA kamu? Cleaning service?”
Acara aqiqah di desa berlalu dengan semarak. Meskipun ada bisik-bisik yang kurang menyenangkan, kebahagiaan kami tidak sedikit pun tergoyahkan. Dukungan Ayah dan Ibu Tiri, ditambah kehadiran Bang Zul yang selalu menjadi perisai untukku dan anak-anak, membuatku merasa lengkap, tidak kurang meski hanya sedikit. Kami menghabiskan beberapa hari lagi di desa, membiarkan para kakek-nenek puas menggendong cucu-cucu mereka, sebelum akhirnya kembali ke kota.Kembali ke rumah, rutinitas baru langsung menyapa. Dengan tiga bayi di rumah, suasana tidak pernah sepi. Tangisan, rengekan, suara tawa, semua bercampur aduk menjadi melodi kehidupan yang indah.Beruntungnya aku memiliki Bi Sumi dan ketiga baby sitter profesional yang Bang Zul datangkan. Mereka bekerja dengan sangat sigap, memastikan kebutuhan para bayi terpenuhi dan rumah tetap teratur.Jangan tanya biayanya! Aku yakin Bang Zul harus merogok kocek tiga kali lipat dibanding biasanya setiap bulan. Tapi, tidak sekalipun pria itu mengeluh!Ak
"Bang... ini berlebihan sekali!" bisikku padanya saat kami memasuki rumah. "Satu saja sudah mahal, ini langsung tiga! Kita tidak perlu sebanyak ini, Bang. Aku bisa mengurus anak-anak sendiri, kok."Bang Zul menuntunku menuju ranjang di kamar utama yang sudah diatur senyaman mungkin, lengkap dengan bantal-bantal empuk dan selimut hangat."Tidak ada yang berlebihan, Dek. Kamu baru saja melewati masa sulit. Kamu harus fokus pada pemulihanmu. Anak-anak ini butuh perawatan ekstra karena mereka kembar tiga. Abang tidak mau kamu terlalu lelah atau jatuh sakit lagi." Bang Zul duduk di tepi ranjang, menatapku serius, kedua tangannya menggenggam tanganku. "Pokoknya, Abang mau kamu sehat dan baik-baik saja. Kamu mengerti? Istirahatlah. Biarkan mereka yang mengurus semuanya. Ini perintah Abang, bukan cuma permintaan."Aku hanya bisa menghela napas, takjub dengan keputusan Bang Zul. Dia selalu saja melakukan hal-hal di luar dugaanku, selalu memprioritaskan kesehatanku.Aku tahu berapa biaya untuk
Aku membuka mata perlahan. Langit-langit putih rumah sakit yang steril menyambut pandanganku. Samar-samar kudengar suara mesin infus di samping ranjang, ritmis dan menenangkan. Seluruh tubuhku terasa lemah, nyeri di bagian perut masih sangat terasa, namun rasa pusing hebat yang kemarin kurasakan sudah jauh berkurang. Sebuah kelegaan membanjiri diriku. Aku berhasil melewati ini. Aku selamat.Sebuah gerakan kecil di samping ranjang membuatku menoleh. Bang Zul duduk di kursi lipat, wajahnya tampak sangat lelah dengan kantung mata menghitam, namun matanya memancarkan kelegaan luar biasa saat melihatku sadar. Bang Zul langsung sigap menggenggam tanganku."Dek... kamu sudah sadar?" Suaranya serak, seperti menahan tangis. Bang Zul mengecup punggung tanganku berulang kali.Aku mengangguk lemah, berusaha tersenyum. "Bang... anak-anak kita bagaimana?"Senyum lebar merekah di wajahnya, mengalahkan segala kelelahan. Diusapnya keningku yang berpeluh walau ruangan luas ini berpendingin udara."Alha
Perjalanan ke rumah sakit terasa seperti neraka. Setiap kontraksi yang menghantam membuatku menggigit bibir hingga perih, berusaha menahan suara. Bang Zul terus menoleh ke belakang, khawatir dengan aku yang tidak bisa menahan rasa sakit ini. Seperti, tubuhku dirobek menjadi dua bagian."Sabar ya, Dek. Sebentar lagi sampai. Kamu kuat, Sayang. Demi anak-anak kita," suaranya bergetar, lebih dari biasanya. Aku tahu dia juga panik.Akhirnya, mobil berhenti di depan IGD rumah sakit. Tanpa menunggu, Bang Zul langsung menggendongku lagi keluar dari mobil, menerobos keramaian menuju pintu masuk. Ayah, Ibu Tiri, dan Bi Sumi mengikuti di belakang, wajah mereka semua dipenuhi kecemasan."Dokter! Suster! Istri saya mau melahirkan! Kembar tiga!" teriak Bang Zul, suaranya lantang, menarik perhatian para petugas medis.Beberapa perawat dan seorang dokter jaga segera menghampiri kami dengan ranjang dorong. "Segera bawa ke ruang bersalin!" perintah dokter. Aku dipindahkan ke ranjang, dan para perawat m
Kabar kehamilan kembar tiga membawa kebahagiaan tidak terhingga, namun juga menjadi kenyataan baru yang menantang. Dokter Arini yang Bang Zul pilih sebagai dokterku telah menjelaskan bahwa kehamilan ini akan jauh lebih berat daripada kehamilan tunggal. Aku harus ekstra hati-hati, menjaga asupan nutrisi, dan sangat membatasi aktivitas fisik. Bang Zul menjadi sangat protektif, bahkan lebih dari sebelumnya."Dek, Abang sudah siapkan supir pribadi untukmu. Jadi kamu tidak perlu naik taksi online lagi," katanya pagi ini saat aku menemaninya sarapan di meja. "Pokoknya, jangan sampai kamu kecapekan. Kalau ada apa-apa, langsung bilang Abang atau Bi Sumi, ya."Aku mengangguk patuh, merasa beruntung memiliki suami seperti Bang Zul. Dia benar-benar memastikan semua kebutuhanku terpenuhi, bahkan hal-hal kecil sekalipun. Bi Sumi juga sangat perhatian, selalu menyiapkan makanan bergizi dan mengingatkanku untuk beristirahat.Semester terakhir kuliahku adalah ujian sesungguhnya. Perutku mulai membesa
Setelah keluar dari klinik dokter, perasaan syok bercampur kebahagiaan masih menyelimuti kami berdua. Bang Zul sesekali mengusap keningnya, dan aku masih sering melamun, membayangkan tiga bayi mungil di dalam perutku. Rasanya seperti mimpi. Selama ini kami hanya membayangkan satu atau dua anak, tapi ini... tiga sekaligus."Jadi, kamu mau kita langsung ke desa atau bagaimana, Dek?" tanya Bang Zul, memecah keheningan saat mobil melaju di jalanan kota. Pria itu melirikku.Aku berpikir sejenak. Aku tahu Ayah dan Ibu Tiri pasti akan sangat senang mendengar kabar ini. Tapi..."Bagaimana kalau kita pulang dulu, Bang? Kita bereskan barang-barang, lalu nanti sore atau besok pagi kita ke desa. Abang juga kan harus ke pabrik lagi." Aku merasa perutku sedikit tidak nyaman dan ingin segera beristirahat di rumah. Ada rasa mual yang tiba-tiba menyeruak saat mobil melaju. "Oke, kalau begitu kita pulang saja dulu, ya," jawab Bang Zul, mengangguk setuju. "Apa kamu mau belanja perlengkapan bayi?""Eh?