Share

Bab 3

Penulis: Bemine
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-19 19:47:14

“Dasar kampungan, udik, bau sapi!” Ibu mertua kemudian mencerca. “Ternyata sejak dulu itu kamu memang berniat mempermalukan anakku ya!? Kamu harusnya bisa bertingkah lebih elit, Ris! Lihat Ninik, lihat juga Fahri … harusnya kamu tiru mereka, bukannya malah makin jauh dari standar. Kamu itu dinikahi dokter, Ris. Kamu kira semua orang bisa jadi istri dokter, hah?”

Aku menggigit bibir, menahan luapan emosiku dan menghela napas dalam-dalam.

“Bu, berhenti menghinaku.” Aku bersuara dengan intonasi yang lebih tegas kemudian.

“Kenapa? Tidak terima!?” Ibu mertua berteriak. Beliau menunjuk dadanya. “Fahri, kenapa juga kamu harus menikah dengan perempuan kampung ini, dan bukannya cari wanita beradab di kota, hah? Lihat sekarang! Memang kalau orang kampung, harusnya tetap di kampung saja!”

Aku memejamkan mata. Suara ibu mertua membuatku mual. Semuanya membuat isi perutku bergejolak, seolah-olah diaduk dari dalam. Namun, aku tetap bertahan sampai akhirnya aku mengatakan:

“Ibu, sudah. Terserah saja,” ucapku dingin. “Jika memang Bang Fahri dan Ninik mau menikah, silakan. Tapi, sebagai istri Bang Fahri, Ninik harus mengambil alih semua tugasku. Itu saja.”

Setelah mengatakan itu, aku bangkit berdiri.

“Apa maksudmu, Riska?” Ibu mertua mengernyit padaku. Suaranya yang melengking tadi menurun tajam.

Tapi, bibir ini malas menjelaskan untuk sekarang. Lebih baik, kutegaskan sekali lagi pada Bang Fahri, “Setelah ini, semua tugas-tugas di rumah ini jadi milik Ninik, Bang. Aku tidak mau peduli lagi. Sebagai istri barumu, sudah sepantasnya dia mengurusi kamu dan rumah ini, bukan?”

Biar nanti mereka tahu gimana susahnya aku mengurus Bang Fahri dan Ibu mertua yang banyak gaya itu selama ini! Jika Ninik ingin hidup dengan Bang Fahri, sekalian saja semua bebannya kuberikan padanya. Jangan hanya mau enaknya dan berleha-leha.

“Tapi Ninik itu–”

“Aku juga mau bekerja lagi, Bang,” kataku lagi. Suaraku terdengar stabil dan tegas, menyembunyikan getar perasaan sakit hati di baliknya. “Aku tidak akan repot-report ikut kerja bakti atau apa pun seperti hari ini, hanya demi menaikkan derajat kamu di lingkungan sini. Agar kamu lebih diterima. Biar itu jadi tugas Ninik saja, Bang.”

Aku menarik napas dalam-dalam.

“Kalau dua syarat itu disetujui, aku akan mengizinkan Bang Fahri dan Ninik menikah.”

Bang Fahri mengernyit. “Kamu masih istriku, Ris. Kamu tidak bisa lepas tangan dari semuanya.”

“Aku bisa bantu ajari Ninik, Bang,” ucapku, lalu melirik ke arah Ninik. “Ya?”

Ekspresi Ninik berubah sesuai harapan. Dia sangat terkejut, manik matanya membola hingga terlihat menakutkan. Apa dia datang ke sini dengan bayangan ingin hidup enak serta memperalatku? Enak saja.

“Kamu mau kerja apa sih di kota? Di sini tidak ada kandang sapi,” ucap Bang Fahri lagi dengan nada mencemooh. “Sudahlah, mending kamu di rumah saja. Jangan sok begini. Toh kamu cuma tamatan SMA, kan?”

“Itu biar jadi urusanku, Bang.” 

Kata-kataku tegas, membuat Bang Fahri terperangah. Kutebak dia tidak pernah menyangka hal ini akan terjadi. Dia mengira kalau aku hanyalah perempuan dungu, bodoh dan polos yang bisa dipermainkan olehnya. 

Saat menuntut madu, mungkin dia menduga kalau aku hanya akan menangis, memohon, dan merengek padanya.

Memang, aku juga tidak ingin menjanda terlalu cepat. 

Ayah akan sangat bersedih jika tahu apa yang terjadi denganku di sini. Itu berarti aku mengecewakan beliau. 

Ayah belum lama menikah dengan teman lama ibu, mereka dikaruniai anak perempuan saat usia ayah sudah di atas lima puluh tahun. Tentu saja mereka sangat gembira, mengingat selama ini ibu tiriku hanya punya anak laki-laki dan selalu mengeluh kesepian. Tidak pantas rasanya kuhancurkan kebahagiaan mereka dengan kabar ini.

Jadi biarlah, kuselesaikan dulu persoalan ini.

“Ya sudah, biarkan saja, Fahri. Paling penting kamu dan Ninik bisa nikah, tidak akan ada yang menghalangi!” jelas ibu mertua lagi. 

Bang Fahri masih tampak keberatan. Namun, aku buru-buru menambahi, “Tidak ada ruginya, Bang. Daripada aku pergi ke rumah sakit dan mengatakan pada semuanya.”

Aku melihat suamiku itu tampak marah, tapi tidak mengatakan apa pun selama beberapa saat. Mungkin egonya terluka, saat aku ternyata bisa memberikan tuntutan.

Setelah beberapa saat, dia mengangguk. “Oke. Hanya dua syarat itu, kan?”

“Iya.” Aku bangkit berdiri. “Kalau begitu, aku permisi dulu.”

Aku pergi ke kamar dan merebahkan diriku di tempat tidur. 

Pandanganku bertaut dengan plafon, lalu lampu yang mulai redup di tengahnya. 

Hidup orang tidak ada yang tahu. Tadi pagi, aku berangkat keluar rumah untuk meninggikan posisi suamiku di lingkungan elit ini. Aku bersedia bekerja fisik, bahkan disuruh-suruh. Semua agar Bang Fahri bisa diterima lebih baik di sini, tidak digosipkan ataupun dirugikan barang sedikit pun.

Namun, balasannya, pria itu justru ingin menikah lagi.

Alasannya pun karena aku dianggap tidak layak dan mempermalukan dirinya yang merupakan seorang dokter.

Tidak terasa, air mataku mencuri celah di sudut. Merembes kuat tidak tertahankan. Bibirku bergetar, aku menangis dalam diam, menahan diri untuk tidak bersuara.

Bukan karena aku kehilangan suami. Melainkan karena aku salah memilih sosok itu. Apalagi jika mengingat bahwa ayahku sudah memperingatkan beberapa kali soal Bang Fahri, tapi tidak kudengarkan. Aku pikir, sebagai dokter yang dihormati di masyarakat membuktikan bahwa Bang Fahri adalah orang baik.

Ternyata aku salah. Dua hal itu tidak ada hubungannya. Pria itu justru menghinaku habis-habisan, begitu pula ibu mertuaku. Hanya karena aku bukan orang kota yang terawat.

Namun, tenang. Aku tidak akan membiarkan orang-orang itu menyakiti ataupun menghinaku lagi. Tunggu saja tanggal mainnya. Aku akan membuat kalian menyesal.

***

“Bagus ya! Jadi perempuan, jadi istri bukannya bangun pagi, tapi malah malas-malasan!”

Omelan itu menyapaku begitu aku keluar dari kamar. Di ruang makan, semuanya sedang duduk mengelilingi meja, sedang menyantap makanan yang sepertinya merupakan makanan dari aplikasi pesan antar.

Aku mengabaikan ucapan ibu mertuaku dan menoleh ke Bang Fahri untuk berkata, “Bang, hari ini aku ada acara di luar.”

“Mau ke mana kamu?” tanya Bang Fahri. “Aku hari ini kerja. Rumah siapa yang urus?”

“Rumah tidak akan ke mana-mana ditinggal sehari, Bang,” balasku. “Lagi pula, kan ada Ninik dan yang lain. Aku mau cari kerja.”

Seketika meja itu meledak oleh tawa.

“Kamu serius, Ris?” tanya Bang Fahri. “Mau cari kerja apa pakai ijasah SMA kamu? Cleaning service?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Nova Silvia
aku suka karakter mu ris,,,bantai ris
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
laki meetua lakor iblis
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 151

    Setibanya di rumah setelah insiden di rumah sakit, suasana di antara kami lebih hangat dan akrab dari sebelumnya. Aku dan Ayah duduk di ruang keluarga, ditemani Ibu Tiri serta ketiga saudara tiriku, kami menikmati makan siang yang lezat bersama-sama. Aku menceritakan dengan detail bagaimana Bang Fahri kalang kabut merebut foto-foto itu dari orang-orang, bagaimana orang-orang berbisik dan menertawakannya. Bahkan rekan dokternya sendiri tertawa paling keras. Ibu Tiri dan ketiga anak-anaknya terbahak-bahak mendengar ceritaku. Tawa mereka pecah, memenuhi ruangan yang tadinya senyap oleh kelelahan. "Rasakan dia! Karma memang tidak pernah salah alamat!" seru istri Ayah sambil mengusap air mata tawanya. "Dia kira, dirinya paling pintar, ternyata bisa juga dipermalukan!"Saudara-saudara tiriku ikut menimpali dengan berbagai ejekan. "Wajahnya merah padam tadi, Bu! Mati kutu manusia sombong itu!" kata Abang sulungku, tertawa geli. Aku ikut tersenyum tipis, merasakan sedikit kelegaan dari taw

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 150

    Malam itu, setelah drama pengusiran Bang Fahri dan keluarganya, suasana rumahku berangsur tenang. Tangisanku tidak henti-hentinya di pelukan ibu Tiriku, sebuah tangisan lega yang meluruhkan semua beban yang kupikul sendirian selama ini. Aku membenamkan wajah di bahunya, menghirup aroma khas perempuan yang kini mengisi posisi almarhumah ibu, merasakan kehangatan yang telah lama kurindukan. Ayahku, dengan wajah lelah namun penuh tekad, sedang berbicara serius dengan Pak RT di ruang tamu. Setelah beberapa waktu, Pak RT pamit pulang, raut wajahnya masih menunjukkan kegelisahan. Ayah kembali menghampiriku, duduk di sampingku yang masih bersandar di bahu Ibu Tiri. "Riska," katanya, suaranya lembut, "Pak RT bilang, Fahri dan keluarganya datang ke rumahnya. Mereka minta bantuan, merasa didzalimi karena diusir dari sini."Aku mendongak, menatap Ayah. Tidak percaya dengan semua yang kudengar. "Lalu?"Ayah menghela napas. "Pak RT tidak bisa bantu banyak. Warga sudah sangat marah dengan mere

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 149

    Meski sudah terpuruk di halaman rumah, Ibu Mertua masih mencoba membela dirinya. Wajahnya yang basah oleh air mata dan debu tampak penuh dendam, terutama padaku."Ini rumah anakku! Kalian tidak bisa begini! Riska ini pezina! Dia main api dengan laki-laki lain! Harusnya kalian bersyukur, kami masih mau menerimanya!"Tidak mau kalah, Ninik bangkit tertatih, matanya melotot tajam ke arahku. "Betul! Riska ini pelacur! Dia berzina dengan Bang Zul! Bahkan dia jual diri di luar sana! Makanya dia punya banyak uang untuk beli peternakan itu! Dia membeli dengan uang haram!" Cercaan itu meluncur deras, menusuk-nusuk telingaku, menggores hatiku yang baru saja dingin dan tenang. Kata-kata Ninik yang menuduhku jual diri dan mengatai uangku haram, sebuah tuduhan keji yang jauh melampaui batas, sontak membuat suasana yang sudah tegang semakin memanas. Tiba-tiba, dari dalam rumah, terdengar derap langkah cepat. Sesosok perempuan muncul dari ambang pintu, wajahnya memerah padam karena marah. Dia adal

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 148

    Motorku melaju pelan saat memasuki pagar rumah. Malam sudah larut, dan suasana kompleks perumahan tampak tenang. Hal inilah yang kuharapkan, jauh dari tatapan penuh penghinaan dari para tetangga, serta pertanyaan yang tidak pernah mau mendengar penjelasan.Aku bahkan belum memarkir motorku, sebab perasaanku langsung berombak tidak menentu. Setelah beberapa langkah, aku terdiam cukup lama di depan rumah. Sebab, aku merasa heran melihat dua buah mobil berjejer di halaman rumahku.Mobil-mobil itu tidak asing, salah satunya adalah mobil pikap yang biasa dipakai di peternakan desa, dan satu lagi adalah mobil mewah yang asing untukku. Jantungku berdesir. Aku tidak tahu kenapa ada mobil yang tidak asing di halamanku.Sebuah firasat muncul seiring dengan ayunan kaki menuju rumah. Apa ini? Kenapa ada mobil Ayah di rumah? Apa Ayah yang datang?Aku melangkah mendekat, rasa penasaran mengalahkan rasa lelah dan takutku.Lalu, semuanya terjawab saat aku sudah masuk ke halaman.Dari dalam rumah, ter

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 147

    Aku menatap kosong ke arah jalan, mataku masih saja terpaku pada siluet Bang Fahri dan Ninik yang berboncengan mesra di motor, semakin menjauh hingga akhirnya menghilang dari pandangan.Pemandangan itu bagai belati yang menusuk, seolah membenarkan semua dugaanku. Mereka berdua seperti menunjukkan kalau mereka adalah dalang di balik semua kekacauan ini, lalu hidup bahagia setelah menghancurkan hidupku.Dadaku begitu sesak, amarah membakar dan kekesalan menumpuk di kepala. Aku benar-benar tidak tahan lagi dengan mereka."Kak Nah, mereka... mereka pelakunya, kan?" bisikku, suaraku tercekat. Entah harus bagaimana lagi, tapi aku ingin Kak Nah berkata iya.Kak Nah mengangguk, rahangnya mengeras. "Sudah jelas, Riska. Mereka yang merencanakan ini semua." Kak Nah mengusap bahuku. "Tapi sekarang, kita harus fokus. Apa yang akan kamu lakukan? Apa kamu punya ide?"Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Otakku berputar mencari jalan keluar. Kejadian semalam yang masih membuat lututk

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 146

    Aku melawan dengan sekuat tenaga, mengumpulkan semua amarah dan rasa putus asa yang menghimpitku. Aku tidak akan membiarkan mereka mengambil alih hidupku lagi. Tidak akan pernah. Namun, satu melawan empat adalah pertarungan yang sia-sia. Tenagaku terkuras, tubuhku yang sudah lelah akibat kejadian di pondok dan penggerebekan itu terasa semakin berat. Meskipun aku berhasil melayangkan beberapa tendangan dan dorongan, mereka terus mendesak, seperti ombak yang tidak ada habisnya. Akhirnya, dengan napas terengah-engah dan air mata yang kembali membasahi pipi, aku menyerah. Aku mundur beberapa langkah, membiarkan Bang Fahri dan yang lainnya menerobos masuk ke dalam rumahku. Mereka melangkah dengan angkuh, seolah-olah merekalah pemilik sah rumah ini. Sebuah senyum kemenangan tipis terukir di bibir Ninik dan Ibu Mertua. Bang Fahri hanya menatapku dengan sorot mata puas. Aku tidak lagi melawan. Aku membiarkan mereka sesuka hati menguasai ruang tamuku. Aku hanya berbalik, melangkah

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status