Dikta mengerjapkan kedua matanya perlahan ketika cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah tirai di dalam kamar jatuh tepat mengenai wajah tampannya. Ternyata sekarang sudah hampir jam enam, pantas saja matahari sudah bersinar lumayan terang. Dikta pun segera bangun lalu mendudukkan diri di atas tempat tidur. Kamar yang didominasi cat berwarna putih ini terasa sangat asing baginya. Padahal dia sudah menghabiskan separuh hidupnya di dalam kamar ini. Dia terpaksa pergi dari rumah ini semenjak pertiakaian yang terjadi di antara dirinya dan sang kakak dan melupapan semua kenangan buruk yang pernah dia alami di sini.Dikta menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya setelah itu beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Selang beberapa menit kemudian dia keluar dari kamar mandi hanya memakai handuk yang menutupi tubuh bagian bawahnya kemudian memilih baju yang ada di lemari.Dikta tanpa sadar tersenyum ketika melihat bajunya yang tersusun rapi di lemari. Ternyata mama tirinya
Dikta kembali terdiam. Lagi-lagi dia merasa tidak pantas sebab dia anak yang terlahir dari pernikahan yang tidak sah. Lagi pula ayahnya masih mempunyai anak yang lain. Dikta yakin sekali Adi pasti akan semakin membencinya jika menerima tawaran tersebut."Kenapa Ayah tidak memberikan posisi ini ke Kak Adi?"Januar urung menyesap teh-nya, lalu menatap Dikta dengan alis terangkat sebelah. Seolah-olah bertanya mengapa Dikta melontarkan pertanyaan tersebut pada dirinya.Dikta membetulkan posisi duduknya agar merasa lebih nyaman sebelum bicara, "Kak Adi juga dokter. Semua orang juga tahu betapa hebatnya Kak Adi ketika menyelematkan pasiennya di meja operasi. Dikta rasa ... Kak Adi pantas menduduki posisi tersebut.""Jadi menurutmu begitu?"Dikta mengangguk polos. Entah kenapa ekspresi pria berusia 28 tahun itu terlihat sangat menggemaskan sekarang membuat Januar tidak tahan untuk terkekeh pelan.Januar sangat menyayangi Dikta, bahkan mungkin melebihi rasa sayangnya pada Adi. Bukan tanpa ala
Mercedes Benz G65 itu melesat cepat membelah jalanan Ibu Kota. Mata si pengemudi memang tertuju pada jalanan yang ada di hadapan, tapi pikirannya sedang melayang ke mana-mana.Masih terekam jelas di ingatan Dikta kata-kata yang terlontar dari mulut sang kakak. Bukan satu dua kali Adi menyebut dirinya sebagai anak pembawa sial, bahkan anak haram. Kata-kata itu sudah dia dapatkan semenjak tinggal di rumah ayahnya. Namun, rasa sakitnya masih tetap sama. Rasanya sungguh menyesakkan hingga membuat jantungnya terasa seperti terbelah.Dikta menarik napas dalam-dalam untuk mengurangi sesak yang menghimpit di dalam dadanya. Air mata ... terlihat menggenang di kedua pelupuk matanya.Dikta pernah berjanji kalau dia tidak akan menangis lagi. Dia sudah berjanji pada Aluna kalau dia akan menjadi Dikta yang lebih hebat dan lebih kuat dari sebelumnya.Akan tetapi dia kembali jatuh sekali lagi. Jatuh karena kata-kata Adi yang begitu menyakiti hati. Biasanya Aluna selalu ada di sampingnya ketika dia me
Tubuh Risa menegang, aroma wine yang menguar dari mulut Dikta tercium dengan jelas di indra penciumannya. Aromanya sangat memabukkan sekaligus membuat jantungnya berdebar.Entah kenapa Dikta malah terlihat sangat tampan di matanya sekarang dengan rambut yang sedikit basah dan acak-acakan.Apa dia baru saja memuji kalau Dikta tampan?Risa tersentak setelah menyadari apa yang baru saja dia pikirkan. Dia pun cepat-cepat mendorong Dikta agar menyingkir dari atas tubuhnya. Namun, Dikta tidak mau bergerak. Pria itu malah menenggelamkan wajah di lehernya."Huft!" Risa menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Rasanya dia ingin sekali menampar Dikta karena sudah mencium bibirnya sembarangan. Akan tetapi di lain sisi dia juga menyadari kalau Dikta pasti tidak sadar ketika melakukannya."Dokter minggir!" Risa mencoba mendorong Dikta agar menyingkir dari atas tubuhnya karena sumpah demi apa pun tubuh Dikta sangat berat. Lagi pula posisi ini membuatnya merasa sangat tidak nyaman. Embus
Napas Zean terengah, dia menarik udara sebanyak mungkin untuk memasok oksigen ke dalam paru-parunya. Pria dengan tinggi 183cm itu langsung meluncur ke rumah Dikta setelah bangun tidur. Dia bahkan masih memakai piyama yang dipakainya semalam.Bukan tanpa alasan mengapa Zean datang ke rumah Dikta pagi-pagi sebab sahabat baiknya itu bisa melakukan hal di luar nalar ketika mabuk.Zean masih ingat dengan jelas dia dan Dikta pernah mabuk bersama ketika masih koas. Stres akibat tugas yang menumpuk membuat mereka memutuskan untuk mencari hiburan dengan pergi ke kelab malam. Dia dan Dikta hanya minum sambil berbagi keluh kesah betapa sulitnya menjalani koas karena Dikta kurang suka turun ke lantai dansa. Padahal banyak perempuan berpakaian kurang bahan yang menggoda mereka.Sialnya Dikta malah salah masuk ke toilet perempuan saat ingin buang air kecil. Sahabatnya itu bahkan nyaris diamuk pengunjung yang ada di sana. Untung saja dia berhasil menyelamatkan Dikta.Zean pikir masalahnya sudah berh
Audy hitam itu melaju kencang membelah jalanan ibu kota. Risa mencoba fokus mengendarai mobilnya meskipun pikirannya sedang melayang ke mana-mana. Tanpa sadar Risa menggigit bibir bagian bawahnya ketika ciumannya dan Dikta semalam kembali melintas di ingatannya.Risa akui Dikta seorang pencium yang handal. Dia bahkan sempat terbuai dengan ciuman pria itu. Apa lagi bibir Dikta terasa begitu lembut."Ish! Aku mikirin apa, sih?" Risa tanpa sadar menggelengkan kepala cepat untuk mengusir pikirannya barusan.Lima belas menit kemudian, dia akhirnya tiba di kantor Rangga.Risa menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan sebelum turun dari mobilnya. Risa sebenarnya malas sekali bertemu dengan Rangga. Emosinya selalu naik setiap kali dia berada di dekat mantan suaminya itu. Namun, dia berusaha keras untuk meredam emosinya.Risa menuju lift khusus pegawai seperti biasa. Beberapa pasang mata menatapnya dengan pandangan tidak suka, terutama karyawan perempuan. Mereka pasti iri karena Rangg
Lonsdaleite, sebuah kafe bernuansa klasik yang berada di pinggir kota. Kafe tersebut berada di dalam sebuah gang yang lumayan sempit dan sulit dilalui kendaraan beroda empat. Bagi pengunjung yang ingin datang ke Lonsdaleite harus berjalan kaki sekitar lima menit agar bisa tiba di sana.Dikta menghirup aroma melati dari secangkir teh hangat yang ada di genggamannya setelah itu menyesapnya dengan perlahan. Dikta biasanya selalu memesan Iced Americno jika datang ke Lonsdaleite Cafe. Namun entah kenapa dia kali ini memesan secangkir teh hangat, mungkin karena cuacanya sekarang agak sedikit mendung."Sudah lama sekali, ya?"Dikta menatap gadis berambut cokelat yang duduk di hadapannya dengan alis terangkat sebelah. Gadis itu bernama Amora—adik kandung Aluna. Mereka tidak sengaja bertemu ketika dia mengunjungi makam kekasihnya itu."Ya, kurang lebih empat tahun mungkin," jawab Dikta.Amora adalah adik tingkat Dikta saat kuliah. Gadis itu selama empat tahun ini tinggal di luar pulau untuk me
Risa senyum-senyum tidak jelas melihat seikat bunga matahari yang Dikta berikan pada dirinya. Berulang-ulang kali dia baca kalimat yang tertulis di kertas berwarna kuning tersebut."I'm sorry. Pradikta Januar." Risa terkekeh pelan. Ada perasaan bahagia yang sulit untuk dia jelaskan. Meski sederhana, Risa seolah-olah merasa kalau Dikta benar-benar tulus meminta maaf pada dirinya."Aku kenapa, sih?" Risa tanpa sadar memukul kepalanya sendiri setelah menyadari kalau tingkahnya aneh sekali. Padahal dia bukan pertama kali ini mendapat bunga dari seorang lelaki. Sebelum menikah, Rangga dulu sering sekali memberinya bunga. Akan tetapi entah mengapa sekarang rasanya sangat berbeda.Risa meletakkan bunga tersebut di atas meja, setelah itu beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum otaknya memikirkan hal yang tidak-tidak tentang Dikta.Selesai mandi Risa langsung turun ke bawah untuk menyiapkan makan malam. Sepasang iris hitamnya seketika membulat ketika melihat Dikta yang sedang