LOGINHujan mengguyur kota dengan derasnya pagi itu, menelusup ke setiap celah jendela kantor, seolah ingin ikut menjadi saksi bisu dari hati yang mulai berubah arah. Liora duduk di meja kerjanya, menatap layar kosong laptop yang entah mengapa tidak mampu ia isi. Tangannya menggerakkan mouse, membuka folder baru berjudul Titik Balik. Ia belum tahu apa isinya nanti, tapi ia tahu bahwa sesuatu dalam dirinya telah berubah sejak pertemuan terakhir dengan Rayden.
Dan tentu saja, sejak percakapan lembutnya dengan Mikael di atap gedung sore itu. Mata lelaki itu, tenang namun menyala. Kalimat-kalimatnya sederhana, tapi menyentuh. Liora tidak ingat kapan terakhir kali ada seseorang yang berbicara padanya dengan kehangatan seperti itu tanpa penghakiman, tanpa maksud tersembunyi. Tak lama kemudian, Amara masuk ke ruangannya, membawa dua cangkir kopi dan senyum yang... entah kenapa tampak tulus hari ini. "Kau tampak berbeda pagi ini," ujar Amara sambil menyodorkan cangkir. "Beda gimana?" "Lebih ringan. Lebih... utuh." Liora tersenyum samar. "Mungkin aku mulai memaafkan diriku sendiri." Amara mengangguk pelan. Mereka diam sesaat, membiarkan suara hujan mengambil alih percakapan. Tapi Amara, seperti biasa, tidak bisa diam terlalu lama. "Kau tahu, ketika pertama kali aku membaca puisi-puisimu, aku tidak yakin kau bisa berdiri di atas luka-lukamu. Tapi sekarang aku lihat sendiri... kau bahkan bisa menari di atasnya." "Menari? Itu terlalu puitis." "Tapi bukankah kau penulis puitis?" balas Amara dengan senyum mengejek kecil. Liora tertawa. Tawa pertama yang lepas tanpa beban sejak sekian lama. Mungkin benar. Mungkin luka-luka yang tidak dibasuh, malah jadi pelita. Sore harinya, tanpa rencana, Liora berjalan ke taman kota. Tangannya meremas jaket di genggaman. Udara dingin, tapi tidak menusuk. Ia hanya ingin berjalan, atau mungkin berharap bisa bertemu seseorang. Dan ternyata, takdir memang sedang bekerja lembur hari ini. "Liora?" Suara itu datang dari sisi lain jalan. Liora menoleh. Rayden. Dia berdiri dengan payung hitam, mengenakan hoodie abu-abu yang sudah agak basah di bagian pinggir. Mata mereka bertemu. Sekilas. Tapi cukup untuk menghentikan dunia selama beberapa detik. "Kau sedang ingin ke mana?" tanya Rayden, melangkah mendekat. "Nggak tahu. Hanya ingin jalan. Kau?" "Sama." Keheningan kembali menggantung di antara mereka. Hujan jadi latar, dan jalanan menjadi panggung dari bab yang belum selesai. "Aku membaca salah satu tulisanmu... yang berjudul Bersamaku atau Tidak dengan yang Lain." Rayden berkata perlahan. "Waktu itu aku belum mengerti. Tapi sekarang aku... aku mulai mengerti." Liora menunduk, menggigit bibir bawahnya. "Sudah terlalu lama, Rayden. Aku bahkan tidak yakin aku masih perempuan yang sama." "Tapi aku yakin... masih ada bagian dari kita yang belum selesai." Rayden mendekat. "Aku tidak minta kita kembali. Aku hanya ingin kau tahu... aku menyesal." Liora mengangkat wajahnya. Mata mereka bertemu sekali lagi. Ada badai, ada luka, tapi juga ada ketenangan baru. "Terima kasih," ucap Liora pelan. "Tapi aku juga belajar, tidak semua cerita harus selesai dengan bersama. Kadang... berdamai saja sudah cukup." Rayden tersenyum getir. "Kau benar." Mereka berdiri di sana, di tengah hujan yang seakan menghapus masa lalu, membasuh jalan agar bisa dilalui dengan langkah yang lebih ringan. Malam itu, Liora duduk di apartemennya, jendela terbuka lebar. Lampu kota berkilau seperti bintang yang berjatuhan dari langit. Ia membuka laptop, menulis di folder Titik Balik. “Kadang cinta tidak harus memiliki. Kadang cinta hanya butuh dihargai, diakui, dan dilepas dengan tenang. Aku pernah mencintaimu, dan itu nyata. Tapi aku juga mencintai diriku sendiri sekarang. Dan itu lebih penting.” Ia menutup laptopnya, merebahkan kepala ke sofa. Teleponnya berdering. Nama Mikael muncul di layar. Dengan senyum kecil, Liora menjawab. Suaranya lembut, nyaris seperti bisikan. "Hai. Kau tahu... aku ingin cerita sesuatu." Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Liora bercerita bukan untuk menumpahkan luka, tapi untuk berbagi harapan.Malam itu, di kantor kecil mereka, lampu-lampu hangat menyinari meja panjang penuh dokumen, laptop, dan catatan-catatan. Hujan deras di luar seakan menambah ketegangan, tapi di dalam ruangan, suasana lebih panas: ini adalah malam perencanaan terakhir sebelum aksi dimulai. Liora duduk di tengah, membuka dokumen yang dikirim Clara. Mikael menatap layar laptop, jari-jari siap mengetik setiap instruksi. Clara, meski lelah, duduk di samping dengan mata tajam dan penuh konsentrasi. “Baik,” Liora membuka pembicaraan, “dokumen ini memberi kita titik masuk yang jelas. Kita tahu aliran uang, siapa yang terlibat, dan lokasi perusahaan cangkang. Sekarang, kita harus menentukan siapa melakukan apa.” Mikael menatap mereka berdua. “Clara akan tetap masuk sebagai mata-mata di Eterna. Semua bukti akan terus dia kirim ke kita secara terenkripsi. Dia juga harus memperhatikan siapa pun yang mencurigakan tidak hanya Rayden, tapi juga staf yang mungkin bagian dari jaringan.” Clara mengangguk, meski
Pagi itu, udara Jakarta terasa lembap. Clara berdiri di depan gedung Eterna Global Trading, detak jantungnya berpacu kencang. Gedung kaca tinggi itu memantulkan sinar matahari pagi, seolah menantang keberaniannya. Ia mengenakan blazer hitam sederhana, rambut diikat rapi, dan tas kerja tipis yang menyembunyikan alat-alat pengawasan dari Mikael. Di tangannya, resume lamanya yang sudah dimodifikasi. Ia menelan ludah. “Ini dia, titik awalnya,” bisiknya pelan. Clara memasuki lobi gedung dengan langkah mantap, meskipun seluruh tubuhnya bergetar. Petugas keamanan menatapnya sebentar, lalu mengangguk ketika melihat ID palsu yang sudah disiapkan Mikael. “Selamat pagi, Bu Clara,” sapa petugas, seolah tak menaruh curiga. Clara menahan napas, tersenyum tipis. “Selamat pagi.” Setiap langkah di lantai marmer itu terasa seperti berjalan di atas kaca tipis. Ia tahu, satu kesalahan kecil bisa membuatnya terdeteksi Rayden atau orang-orang yang bekerja untuknya. Pertemuan dengan Tim HR Cla
Malam itu kantor Liora tidak seperti biasanya. Lampu-lampu masih menyala, layar komputer berderet penuh angka, dan tumpukan dokumen berserakan. Mikael duduk di depan monitor dengan kemeja yang sudah kusut. Jemarinya menari cepat di atas keyboard, wajahnya serius penuh konsentrasi. Clara duduk di kursi sebelah, masih menggenggam secangkir kopi yang sudah dingin. Sementara Liora berdiri di dekat jendela, menatap keluar seolah mencari jawaban dari kegelapan kota. “Jejak uang ini tidak mudah diikuti,” gumam Mikael, matanya tak lepas dari layar. “Rayden menggunakan beberapa rekening bayangan, semuanya lewat perusahaan cangkang.” “Bisakah kau tembus?” tanya Liora, nadanya tegas namun ada sedikit getaran. Mikael mengangguk kecil. “Aku sudah melewati dua lapis. Tapi ada sesuatu yang aneh. Rekening ini terhubung bukan hanya ke Rayden, tapi ke sebuah nama besar yang… jujur saja, tidak kusangka.” Clara mendekat, penasaran. “Siapa, Pak Mikael?” Mikael menekan enter, lalu sebuah nama m
Malam itu, ruang rapat kantor Liora terasa lebih tegang daripada biasanya. Hanya ada tiga orang di sana: Liora, Mikael, dan Clara. Di luar, hujan deras mengguyur kota, seakan menyembunyikan segala percakapan yang terjadi di dalam. Clara duduk dengan wajah pucat, kedua tangannya menggenggam erat secangkir kopi yang sudah dingin. Ia tahu, sekali salah langkah, hidupnya bisa hancur. Tapi ia juga tahu, ini adalah kesempatan terakhir untuk menebus kesalahannya. “Clara,” suara Liora tenang tapi tegas, “kalau kau benar-benar ingin menebus semuanya, maka kau harus siap mengambil risiko yang sama besar dengan yang aku ambil.” Clara mengangguk cepat. “Aku siap, Bu. Aku tidak mau terus hidup di bawah ancaman Rayden.” Mikael menggeser laptopnya ke arah Clara. Di layar, muncul catatan komunikasi digital. “Kau bilang Rayden menghubungimu lewat pesan terenkripsi. Apakah kau masih menyimpannya?” Clara menarik napas panjang, lalu mengeluarkan ponselnya. “Aku simpan semuanya. Aku tidak berani
Malam masih panjang ketika Rayden duduk di ruang kantornya yang hanya diterangi lampu meja. Asap rokok tipis mengepul di udara. Di depannya terbentang laporan keuangan dan sejumlah dokumen yang ia peroleh dengan cara yang tidak bersih. Matanya menyipit, penuh amarah bercampur obsesi. “Kalau kata-katamu bisa membuat orang mencintaimu, Liora, maka aku akan tunjukkan betapa rapuhnya dunia yang kau bangun.” Rayden mengetik pesan di ponselnya kepada seorang pengusaha yang dikenal licik, bernama Adrian Halberd. “Aku punya tawaran. Kita buat Liora terlihat terlibat dalam penggelapan dana proyek. Aku siapkan dokumennya, kau mainkan kontakmu di media. Kau dapat bagian, aku dapat kehancurannya.” Balasan datang singkat, penuh persetujuan: “Kau selalu tahu cara membuat orang jatuh, Rayden. Anggap selesai.” Rayden tersenyum tipis, dingin. “Kali ini, Liora tidak akan bisa lari.” Sementara itu, Liora dan Mikael duduk di sebuah kafe kecil yang jarang diketahui orang. Hujan turun lembu
Pagi itu, notifikasi ponsel Liora tak berhenti berbunyi. Pesan, mention, dan email masuk seperti badai. Ia baru saja menyalakan televisi ketika berita pagi menayangkan headline yang membuat jantungnya berhenti sejenak: “Masa Lalu Kelam Liora Terungkap: Keluarga Sendiri Menyalahkannya atas Kejadian Tragis.” Gambar wajahnya terpampang besar di layar. Narasi berita itu seakan-akan menguliti dirinya hidup-hidup: kisah masa kecil, bagaimana ia pernah dituduh sebagai penyebab penderitaan ayahnya, dan bagaimana keluarganya lebih sering menyalahkan daripada merangkul. Semua itu rahasia yang ia simpan begitu dalam, yang hanya sedikit orang tahu kini diumbar ke dunia. Tangannya gemetar memegang remote. Pandangannya kabur, udara seakan hilang dari paru-parunya. “Tidak…” suaranya nyaris tak terdengar. Mikael yang baru masuk ke ruang tamu langsung menatap layar, lalu berbalik ke arahnya. “Lior—” Air mata jatuh, bukan karena malu, tapi karena luka lama yang dipaksa terbuka kembali.







