LOGINPagi itu, langit Jakarta masih diliputi sisa mendung semalam. Tapi bagi Liora, hari itu berbeda. Ia bangun lebih awal, memilih gaun sederhana berwarna krem, dan mematut dirinya di depan cermin. Ada sesuatu dalam pantulan dirinya yang membuatnya diam sejenak bukan karena ia merasa cantik, tapi karena ia merasa cukup.
Mikael menjemputnya pukul sembilan pagi. Mobilnya berhenti tepat di depan kosan kecil tempat Liora tinggal. Ia turun dengan setangkai bunga lili putih di tangan. "Buat kamu," ucap Mikael, suaranya lembut. Liora menerima bunga itu dengan senyum tak terbiasa. "Lili?" "Iya. Katanya bunga ini simbol dari awal baru." Di dalam mobil, keduanya tak banyak bicara. Tapi keheningan itu bukan keheningan yang canggung justru terasa nyaman, seolah mereka sedang membaca halaman yang sama tanpa harus mengucapkan kata. Galeri Nasional hari itu tidak terlalu ramai. Mikael membawa Liora langsung ke salah satu ruangan paling dalam, tempat pameran lukisan bertema "Memoar yang Tersisa" berlangsung. "Aku ingin kamu lihat ini," katanya. Di depan mereka terbentang lukisan setinggi hampir dua meter. Sebuah lanskap hutan dengan percikan warna merah muda dan biru di antara rimbunnya hijau. "Waktu aku melukis ini, aku pikir tentang kamu. Tentang seseorang yang pernah hilang di tengah belantara rasa takutnya sendiri, tapi akhirnya bisa keluar dengan warna yang tidak hilang." Liora menatap lukisan itu dalam diam. Hatinya berdesir. Ada sesuatu dalam sapuan warna itu yang membuatnya merasa seperti pulang ke dirinya sendiri. "Kamu tahu, Mik... kadang aku takut membuka ruang untuk orang baru, karena setiap yang masuk pasti membawa luka baru juga." "Aku tidak janji untuk tidak membuat kamu kecewa. Tapi aku janji untuk tidak pernah sengaja melukai kamu." Liora menoleh. Tatapan Mikael penuh keyakinan, tapi tidak memaksa. Dan saat itu, ia tahu lelaki ini bukan seseorang yang ingin menaklukkan, tapi menemani. Sore hari, mereka duduk di bangku taman di belakang galeri. Hujan kembali turun, tapi kali ini hanya gerimis kecil. "Apa kamu masih menyimpan tulisan itu?" tanya Mikael tiba-tiba. "Yang mana?" "Puisi yang kamu tulis waktu kamu patah hati." Liora tertawa kecil. "Itu banyak. Mana yang kamu maksud?" "Yang ini." Mikael membuka catatan di ponselnya dan mulai membacakan: “Aku menyimpan bekasmu di jemariku, bahkan setelah hujan menghapus yang lainnya. Tapi jangan salah sangka aku bukan menunggu, hanya belajar menerima.” Liora terdiam. Suara Mikael merasuk seperti denting piano di malam sepi. "Kamu hafal itu?" "Itu puisi favoritku. Karena di sana, kamu jujur. Dan aku jatuh cinta pada kejujuran itu." Mata Liora terasa panas. Tapi ia tidak menangis. Kali ini, ia hanya membiarkan perasaannya muncul tanpa ditahan. "Aku belum tahu ke mana semua ini akan membawa kita. Tapi hari ini... aku merasa tidak sendiri. Dan itu sudah cukup." Mikael meraih tangannya perlahan. "Hari ini kamu tidak sendiri. Besok juga tidak. Kalau kamu izinkan." Dan di antara gerimis, di tengah kota yang tak pernah berhenti bergerak, Liora dan Mikael duduk dalam diam yang penuh makna. Luka-luka itu mungkin tak akan pernah benar-benar hilang, tapi mereka mulai sembuh dengan cara paling sederhana: ditemani. Pagi itu, Liora duduk di teras kecil kosannya, menatap halaman yang basah oleh hujan semalam. Secangkir kopi hitam mengepul di genggamannya, tapi pikirannya entah di mana. Sudah seminggu sejak ia dan Mikael menghabiskan waktu di galeri itu. Dan sejak saat itu, semuanya menjadi tenang… hampir terlalu tenang. Ia tak tahu kenapa, tapi ada semacam gemuruh samar dalam dirinya. Seperti seseorang sedang mengetuk pintu masa lalu yang telah lama ia tutup rapat. Ponselnya bergetar. Nama yang muncul di layar membuatnya terdiam beberapa detik. Rayden. Liora tidak mengangkatnya. Ia hanya menatap layar itu hingga panggilan terputus dengan sendirinya. Lalu, muncul pesan. “Bisakah kita bertemu? Aku tahu aku tidak berhak. Tapi aku harus bicara.” Ia meletakkan ponsel itu di meja tanpa membalas. Tapi hati dan pikirannya tak bisa berhenti bertanya mengapa sekarang? Apa yang ingin Rayden bicarakan setelah semua luka yang ditinggalkannya? Hari berganti siang. Liora kembali ke kantor untuk menyiapkan revisi konsep seperti yang Amara minta. Ia sibuk menata narasi visual untuk klien besar, tapi pikirannya terus melayang. Kata-kata Rayden terpantul-pantul dalam benaknya seperti gema. Malamnya, Liora duduk di kamarnya dengan laptop terbuka. Ia mencoba menulis sesuatu untuk proyek itu, namun huruf-huruf di layar hanya membentuk kalimat-kalimat kosong. Lalu, tanpa sadar, jemarinya menulis nama: Rayden. Dan bersamaan dengan itu, kenangan itu kembali seperti slide lama yang diputar ulang saat mereka berdiri di bawah hujan pertama, saat Rayden pertama kali menggenggam tangannya, dan saat ia ditinggalkan tanpa penjelasan. Keesokan harinya, Liora membuat keputusan. Ia membalas pesan Rayden dan menyetujui untuk bertemu. Bukan karena ia belum move on, tapi karena ada bagian dari dirinya yang butuh penutupan. Bukan luka yang terbuka kembali, tapi luka yang ingin dikenali, diakui, lalu dibiarkan sembuh sepenuhnya. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil dekat taman kota, tempat dulu mereka sering menghabiskan sore bersama. Rayden sudah duduk lebih dulu, mengenakan kemeja abu-abu dan jaket kulit yang membuatnya tampak seperti dulu… tapi tidak benar-benar sama. Liora duduk di seberangnya tanpa banyak kata. Rayden membuka percakapan dengan pelan, "Terima kasih udah mau datang. Aku nggak yakin kamu akan membalas." "Aku juga nggak yakin kenapa aku membalas," jawab Liora jujur. "Tapi aku ingin tahu… kenapa sekarang?" Rayden menatapnya, lama. Matanya menyimpan rasa bersalah yang tak bisa disembunyikan. "Karena aku lihat kamu di pameran Mikael. Kamu kelihatan bahagia. Tapi juga… kelihatan bukan kamu yang dulu. Aku sadar… aku pernah jadi bagian dari perubahan itu." Liora menarik napas dalam. "Aku bukan lagi Liora yang dulu, Ray. Dan kamu tidak bisa datang kembali seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa." "Aku tahu. Aku datang bukan untuk memperbaiki atau meminta kembali. Aku cuma ingin jujur. Bahwa aku pergi karena pengecut. Karena aku takut jatuh cinta pada seseorang yang bisa membuat aku kehilangan kendali atas diriku sendiri." Kata-katanya menusuk. Tapi bukan karena pahit. Karena terlalu lama ditahan. "Dan kamu pikir dengan menghilang tanpa penjelasan, itu lebih baik?" "Tidak. Tapi itu yang kupilih. Dan aku salah." Liora menunduk, mengaduk sendok kecil dalam cangkir tehnya. "Dulu aku pikir, aku nggak cukup. Tapi sekarang aku tahu, bukan aku yang kurang, kamu aja yang belum siap." Mereka duduk dalam keheningan sesaat. Lalu Rayden berkata pelan, "Aku senang kamu bisa bilang itu. Artinya kamu udah sembuh." Liora tersenyum kecil. "Belum sepenuhnya. Tapi aku sudah tidak menunggu kamu lagi." Setelah pertemuan itu, Liora berjalan sendirian di taman kota. Udara dingin menggigit, tapi hatinya hangat. Ia merasa seperti baru saja menutup satu bab besar dalam hidupnya. Ketika ia tiba di depan gerbang kosan, Mikael berdiri di sana, menunggunya. "Kamu habis dari mana?" tanyanya lembut. "Menutup masa lalu," jawab Liora jujur. "Aku ketemu Rayden." Mikael tidak terlihat terkejut. Ia hanya mengangguk perlahan. "Dan?" "Aku pulang sebagai Liora yang baru." Mikael tersenyum. "Selamat datang kembali." Ia meraih tangan Liora, menggenggamnya hangat. Dan malam itu, di antara lampu jalanan dan suara motor yang berlalu lalang, Liora tahu cinta yang tumbuh tidak selalu datang dari awal yang sempurna. Kadang ia tumbuh dari reruntuhan, tapi tetap mekar dengan indah.Sudah lewat tengah malam ketika Liora baru sadar dia belum makan apa pun sejak pagi. Lampu ruangannya masih nyala, meski listrik sempat beberapa kali turun karena hujan yang terus mengguyur sejak sore. Mikael masih di ruang server, sementara Clara duduk di pojok ruangan, menatap layar yang kosong. Matanya sayu, tapi tangannya masih memegang ponsel, seolah takut melewatkan sesuatu. Liora menatapnya. “Lo belum tidur lagi?” Clara menggeleng. “Nggak bisa. Setiap kali gue merem, yang kebayang cuma muka Rayden waktu terakhir kali kita kerja bareng. Tatapan dia waktu itu... beda, Li. Gue masih inget banget.” Liora menarik napas pelan. “Gue tahu. Tapi sekarang bukan waktunya mikirin masa lalu. Dia udah mulai nyerang. Kita harus siap.” “Gue capek, Li,” kata Clara lirih. “Lo tahu nggak, setiap hari gue bangun dengan perasaan kayak... semua ini nggak akan selesai.” Liora menatapnya lama, lalu mendekat. “Denger, Clara. Gue nggak janji semuanya bakal baik-baik aja. Tapi gue janji sat
Malam itu udara Cisarua dingin menusuk.Lampu di dalam rumah Rayden redup, hanya satu bohlam di ruang tamu yang masih menyala.Di meja, tumpukan dokumen berantakan, berserakan dengan botol minuman yang sudah hampir kosong.Rayden duduk diam.Matanya sembab, tapi pikirannya masih penuh perhitungan.Setiap detik, dia menatap layar laptopnya, menunggu sesuatu yang bahkan dia sendiri nggak yakin masih ada.Tiba-tiba, suara ketukan di pintu terdengar pelan.Satu kali. Dua kali. Lalu berhenti.Rayden berdiri dengan langkah berat. “Siapa?”Suara dari luar jawab singkat, “Orang lama, Den.”Rayden buka pintu perlahan. Di luar berdiri seseorang yang dulu pernah kerja untuknya, Rafi anak muda yang pernah dia tolong, tapi kemudian memilih keluar karena muak dengan cara Rayden bekerja.“Lo ngapain ke sini?” tanya Rayden datar.Rafi menatap dia lama. “Lo masih punya waktu buat nyelamatin diri, Den. Jangan terusin ini.”Rayden ketawa kecil, pahit. “Nyelamatin diri? Dari siapa? Dari mereka? Dari ora
Sudah seminggu sejak malam itu di gudang.Rayden menghilang, tapi kabarnya masih ada di mana-mana. Nama yang dulunya ditakuti sekarang cuma disebut dengan nada waspada bukan hormat, tapi takut karena nggak tahu dia bakal ngelakuin apa selanjutnya.Liora jarang bicara. Dia datang ke kantor tiap pagi, buka komputer, kerja, tapi matanya nggak pernah benar-benar fokus.Di meja seberang, Mikael sering nyoba mulai percakapan, tapi selalu berhenti di tengah.Hari itu, Clara datang lebih pagi dari biasanya.Rambutnya diikat, matanya masih bengkak. Dia nggak nyapa siapa pun, cuma langsung buka map besar di tangannya.“Lo harus liat ini,” katanya pelan ke Liora.Liora nyari posisi duduk, lalu buka map itu.Di dalamnya ada laporan bank, tanda tangan palsu, dan data transfer yang aneh.“Dari mana lo dapet ini?” tanya Liora.“Dari orang gue di bagian audit internal,” jawab Clara. “Rayden mindahin dana proyek ke rekening atas nama perusahaan kosong. Jumlahnya gede banget.”Mikael nyengir miris. “Di
Udara malam itu berat, seperti mengandung sesuatu yang mau pecah tapi nahan diri.Kota masih hidup, tapi Liora ngerasa semuanya bergerak lebih cepat dari yang seharusnya.Telepon berdering tanpa henti, pesan datang bertubi-tubi laporan, kabar, potongan berita yang semua punya satu nama di dalamnya: Rayden.Mikael nyampe ke apartemennya jam sebelas lewat.Mukanya kusut, kemejanya lecek, napasnya berat. Dia nggak langsung duduk, cuma berdiri di depan meja makan yang penuh map dan laptop.“Dia mulai gila, Li,” katanya akhirnya. “Dia ngejar semua orang, bahkan anak buahnya sendiri.”Liora masih menatap layar di depannya, jari-jarinya berhenti di atas keyboard.“Apa maksud lo?”“Dia datengin orang-orang kepercayaannya satu-satu. Nanya siapa yang ngasih bocoran data. Nggak ada yang jawab. Sekarang dua orang hilang. Nggak tahu ke mana.”Liora nunduk pelan, napasnya pelan tapi dalam. “Dia udah kehabisan cara.”Mikael jalan ke jendela, buka tirai sedikit. Di luar, hujan turun halus, tapi kons
Udara Jakarta pagi itu berat. Langit mendung, tapi nggak hujan. Suasana di kantor terasa aneh kayak semua orang tahu ada sesuatu yang lagi berubah, tapi nggak ada yang mau ngomong.Liora datang tanpa suara. Rambutnya diikat seadanya, wajahnya datar, tapi matanya capek banget.Mikael udah di ruangannya, lagi buka laporan keuangan proyek. Begitu Liora masuk, dia langsung nutup layar.“Dia mulai main kasar,” kata Mikael tanpa basa-basi.Liora duduk, naruh tas di lantai. “Kali ini apa?”“Semua supplier yang kerja sama sama kita dapet surat dari Rayden. Dia ancam mereka buat cabut.”Liora ngangguk pelan, tanpa ekspresi.“Berapa yang udah mundur?”“Tiga. Mungkin lima lagi nyusul kalau kita nggak gerak cepat.”Liora diam sebentar. “Dia udah nyiapin ini lama.”“Gue tahu,” sahut Mikael. “Tapi yang aneh, dia terlalu cepat. Biasanya dia lebih sabar dari ini.”Liora ngelirik. “Mungkin karena dia tahu waktunya nggak banyak.”Mikael nggak jawab, tapi wajahnya berubah.Beberapa hari kemudian, Rayde
Hujan tetap turun, seperti rutinitas yang tak mau dilanggar. Jalanan lengang, lampu-lampu neon di kejauhan berkedip samar, dan angin membawa bau tanah basah masuk ke sela-sela pintu kaca kantor. Di dalam, hanya satu lampu meja yang menyala, melemparkan lingkaran hangat ke meja kerja penuh kertas.Liora duduk tegak, pandangannya tetap pada layar laptop yang menampilkan daftar nama dan nomor akun. Jarum jam di dinding menunjuk larut, tapi waktu rasanya melambat. Dia menutup sebuah file, membukanya lagi, mengecek ulang satu per satu dokumen legal yang baru saja dikirimkan ulang ke sistem. Semua berlabel atas nama Rayden.Tiga hari lalu mereka menemukan folder itu — bukti bahwa seseorang mengakses server mereka tepat saat rapat kedap-kedip terakhir. Tiga hari lalu, mereka tahu ada yang mengintip. Hari ini, fakta yang lebih pahit hadir: orang yang pernah mereka kenal, yang pernah mereka bantu dan juga caci, kembali dengan otoritas yang membuat mereka kehilangan pijakan.Kopinya dingin. Lio







