Share

bab 10

Author: Senja
last update Last Updated: 2025-08-03 16:45:30

Pagi itu, langit Jakarta masih diliputi sisa mendung semalam. Tapi bagi Liora, hari itu berbeda. Ia bangun lebih awal, memilih gaun sederhana berwarna krem, dan mematut dirinya di depan cermin. Ada sesuatu dalam pantulan dirinya yang membuatnya diam sejenak bukan karena ia merasa cantik, tapi karena ia merasa cukup.

Mikael menjemputnya pukul sembilan pagi. Mobilnya berhenti tepat di depan kosan kecil tempat Liora tinggal. Ia turun dengan setangkai bunga lili putih di tangan.

"Buat kamu," ucap Mikael, suaranya lembut.

Liora menerima bunga itu dengan senyum tak terbiasa. "Lili?"

"Iya. Katanya bunga ini simbol dari awal baru."

Di dalam mobil, keduanya tak banyak bicara. Tapi keheningan itu bukan keheningan yang canggung justru terasa nyaman, seolah mereka sedang membaca halaman yang sama tanpa harus mengucapkan kata.

Galeri Nasional hari itu tidak terlalu ramai. Mikael membawa Liora langsung ke salah satu ruangan paling dalam, tempat pameran lukisan bertema "Memoar yang Tersisa" berlangsung.

"Aku ingin kamu lihat ini," katanya.

Di depan mereka terbentang lukisan setinggi hampir dua meter. Sebuah lanskap hutan dengan percikan warna merah muda dan biru di antara rimbunnya hijau.

"Waktu aku melukis ini, aku pikir tentang kamu. Tentang seseorang yang pernah hilang di tengah belantara rasa takutnya sendiri, tapi akhirnya bisa keluar dengan warna yang tidak hilang."

Liora menatap lukisan itu dalam diam. Hatinya berdesir. Ada sesuatu dalam sapuan warna itu yang membuatnya merasa seperti pulang ke dirinya sendiri.

"Kamu tahu, Mik... kadang aku takut membuka ruang untuk orang baru, karena setiap yang masuk pasti membawa luka baru juga."

"Aku tidak janji untuk tidak membuat kamu kecewa. Tapi aku janji untuk tidak pernah sengaja melukai kamu."

Liora menoleh. Tatapan Mikael penuh keyakinan, tapi tidak memaksa. Dan saat itu, ia tahu lelaki ini bukan seseorang yang ingin menaklukkan, tapi menemani.

Sore hari, mereka duduk di bangku taman di belakang galeri. Hujan kembali turun, tapi kali ini hanya gerimis kecil.

"Apa kamu masih menyimpan tulisan itu?" tanya Mikael tiba-tiba.

"Yang mana?"

"Puisi yang kamu tulis waktu kamu patah hati."

Liora tertawa kecil. "Itu banyak. Mana yang kamu maksud?"

"Yang ini." Mikael membuka catatan di ponselnya dan mulai membacakan:

“Aku menyimpan bekasmu di jemariku, bahkan setelah hujan menghapus yang lainnya. Tapi jangan salah sangka aku bukan menunggu, hanya belajar menerima.”

Liora terdiam. Suara Mikael merasuk seperti denting piano di malam sepi.

"Kamu hafal itu?"

"Itu puisi favoritku. Karena di sana, kamu jujur. Dan aku jatuh cinta pada kejujuran itu."

Mata Liora terasa panas. Tapi ia tidak menangis. Kali ini, ia hanya membiarkan perasaannya muncul tanpa ditahan.

"Aku belum tahu ke mana semua ini akan membawa kita. Tapi hari ini... aku merasa tidak sendiri. Dan itu sudah cukup."

Mikael meraih tangannya perlahan. "Hari ini kamu tidak sendiri. Besok juga tidak. Kalau kamu izinkan."

Dan di antara gerimis, di tengah kota yang tak pernah berhenti bergerak, Liora dan Mikael duduk dalam diam yang penuh makna. Luka-luka itu mungkin tak akan pernah benar-benar hilang, tapi mereka mulai sembuh dengan cara paling sederhana: ditemani.

Pagi itu, Liora duduk di teras kecil kosannya, menatap halaman yang basah oleh hujan semalam. Secangkir kopi hitam mengepul di genggamannya, tapi pikirannya entah di mana. Sudah seminggu sejak ia dan Mikael menghabiskan waktu di galeri itu. Dan sejak saat itu, semuanya menjadi tenang… hampir terlalu tenang.

Ia tak tahu kenapa, tapi ada semacam gemuruh samar dalam dirinya. Seperti seseorang sedang mengetuk pintu masa lalu yang telah lama ia tutup rapat.

Ponselnya bergetar. Nama yang muncul di layar membuatnya terdiam beberapa detik.

Rayden.

Liora tidak mengangkatnya. Ia hanya menatap layar itu hingga panggilan terputus dengan sendirinya. Lalu, muncul pesan.

“Bisakah kita bertemu? Aku tahu aku tidak berhak. Tapi aku harus bicara.”

Ia meletakkan ponsel itu di meja tanpa membalas. Tapi hati dan pikirannya tak bisa berhenti bertanya mengapa sekarang? Apa yang ingin Rayden bicarakan setelah semua luka yang ditinggalkannya?

Hari berganti siang. Liora kembali ke kantor untuk menyiapkan revisi konsep seperti yang Amara minta. Ia sibuk menata narasi visual untuk klien besar, tapi pikirannya terus melayang. Kata-kata Rayden terpantul-pantul dalam benaknya seperti gema.

Malamnya, Liora duduk di kamarnya dengan laptop terbuka. Ia mencoba menulis sesuatu untuk proyek itu, namun huruf-huruf di layar hanya membentuk kalimat-kalimat kosong. Lalu, tanpa sadar, jemarinya menulis nama:

Rayden.

Dan bersamaan dengan itu, kenangan itu kembali seperti slide lama yang diputar ulang saat mereka berdiri di bawah hujan pertama, saat Rayden pertama kali menggenggam tangannya, dan saat ia ditinggalkan tanpa penjelasan.

Keesokan harinya, Liora membuat keputusan. Ia membalas pesan Rayden dan menyetujui untuk bertemu. Bukan karena ia belum move on, tapi karena ada bagian dari dirinya yang butuh penutupan. Bukan luka yang terbuka kembali, tapi luka yang ingin dikenali, diakui, lalu dibiarkan sembuh sepenuhnya.

Mereka bertemu di sebuah kafe kecil dekat taman kota, tempat dulu mereka sering menghabiskan sore bersama. Rayden sudah duduk lebih dulu, mengenakan kemeja abu-abu dan jaket kulit yang membuatnya tampak seperti dulu… tapi tidak benar-benar sama.

Liora duduk di seberangnya tanpa banyak kata.

Rayden membuka percakapan dengan pelan, "Terima kasih udah mau datang. Aku nggak yakin kamu akan membalas."

"Aku juga nggak yakin kenapa aku membalas," jawab Liora jujur. "Tapi aku ingin tahu… kenapa sekarang?"

Rayden menatapnya, lama. Matanya menyimpan rasa bersalah yang tak bisa disembunyikan.

"Karena aku lihat kamu di pameran Mikael. Kamu kelihatan bahagia. Tapi juga… kelihatan bukan kamu yang dulu. Aku sadar… aku pernah jadi bagian dari perubahan itu."

Liora menarik napas dalam. "Aku bukan lagi Liora yang dulu, Ray. Dan kamu tidak bisa datang kembali seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa."

"Aku tahu. Aku datang bukan untuk memperbaiki atau meminta kembali. Aku cuma ingin jujur. Bahwa aku pergi karena pengecut. Karena aku takut jatuh cinta pada seseorang yang bisa membuat aku kehilangan kendali atas diriku sendiri."

Kata-katanya menusuk. Tapi bukan karena pahit. Karena terlalu lama ditahan.

"Dan kamu pikir dengan menghilang tanpa penjelasan, itu lebih baik?"

"Tidak. Tapi itu yang kupilih. Dan aku salah."

Liora menunduk, mengaduk sendok kecil dalam cangkir tehnya. "Dulu aku pikir, aku nggak cukup. Tapi sekarang aku tahu, bukan aku yang kurang, kamu aja yang belum siap."

Mereka duduk dalam keheningan sesaat. Lalu Rayden berkata pelan, "Aku senang kamu bisa bilang itu. Artinya kamu udah sembuh."

Liora tersenyum kecil. "Belum sepenuhnya. Tapi aku sudah tidak menunggu kamu lagi."

Setelah pertemuan itu, Liora berjalan sendirian di taman kota. Udara dingin menggigit, tapi hatinya hangat. Ia merasa seperti baru saja menutup satu bab besar dalam hidupnya.

Ketika ia tiba di depan gerbang kosan, Mikael berdiri di sana, menunggunya.

"Kamu habis dari mana?" tanyanya lembut.

"Menutup masa lalu," jawab Liora jujur. "Aku ketemu Rayden."

Mikael tidak terlihat terkejut. Ia hanya mengangguk perlahan. "Dan?"

"Aku pulang sebagai Liora yang baru."

Mikael tersenyum. "Selamat datang kembali."

Ia meraih tangan Liora, menggenggamnya hangat. Dan malam itu, di antara lampu jalanan dan suara motor yang berlalu lalang, Liora tahu cinta yang tumbuh tidak selalu datang dari awal yang sempurna. Kadang ia tumbuh dari reruntuhan, tapi tetap mekar dengan indah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 56

    Malam itu, di kantor kecil mereka, lampu-lampu hangat menyinari meja panjang penuh dokumen, laptop, dan catatan-catatan. Hujan deras di luar seakan menambah ketegangan, tapi di dalam ruangan, suasana lebih panas: ini adalah malam perencanaan terakhir sebelum aksi dimulai. Liora duduk di tengah, membuka dokumen yang dikirim Clara. Mikael menatap layar laptop, jari-jari siap mengetik setiap instruksi. Clara, meski lelah, duduk di samping dengan mata tajam dan penuh konsentrasi. “Baik,” Liora membuka pembicaraan, “dokumen ini memberi kita titik masuk yang jelas. Kita tahu aliran uang, siapa yang terlibat, dan lokasi perusahaan cangkang. Sekarang, kita harus menentukan siapa melakukan apa.” Mikael menatap mereka berdua. “Clara akan tetap masuk sebagai mata-mata di Eterna. Semua bukti akan terus dia kirim ke kita secara terenkripsi. Dia juga harus memperhatikan siapa pun yang mencurigakan tidak hanya Rayden, tapi juga staf yang mungkin bagian dari jaringan.” Clara mengangguk, meski

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 55

    Pagi itu, udara Jakarta terasa lembap. Clara berdiri di depan gedung Eterna Global Trading, detak jantungnya berpacu kencang. Gedung kaca tinggi itu memantulkan sinar matahari pagi, seolah menantang keberaniannya. Ia mengenakan blazer hitam sederhana, rambut diikat rapi, dan tas kerja tipis yang menyembunyikan alat-alat pengawasan dari Mikael. Di tangannya, resume lamanya yang sudah dimodifikasi. Ia menelan ludah. “Ini dia, titik awalnya,” bisiknya pelan. Clara memasuki lobi gedung dengan langkah mantap, meskipun seluruh tubuhnya bergetar. Petugas keamanan menatapnya sebentar, lalu mengangguk ketika melihat ID palsu yang sudah disiapkan Mikael. “Selamat pagi, Bu Clara,” sapa petugas, seolah tak menaruh curiga. Clara menahan napas, tersenyum tipis. “Selamat pagi.” Setiap langkah di lantai marmer itu terasa seperti berjalan di atas kaca tipis. Ia tahu, satu kesalahan kecil bisa membuatnya terdeteksi Rayden atau orang-orang yang bekerja untuknya. Pertemuan dengan Tim HR Cla

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 54

    Malam itu kantor Liora tidak seperti biasanya. Lampu-lampu masih menyala, layar komputer berderet penuh angka, dan tumpukan dokumen berserakan. Mikael duduk di depan monitor dengan kemeja yang sudah kusut. Jemarinya menari cepat di atas keyboard, wajahnya serius penuh konsentrasi. Clara duduk di kursi sebelah, masih menggenggam secangkir kopi yang sudah dingin. Sementara Liora berdiri di dekat jendela, menatap keluar seolah mencari jawaban dari kegelapan kota. “Jejak uang ini tidak mudah diikuti,” gumam Mikael, matanya tak lepas dari layar. “Rayden menggunakan beberapa rekening bayangan, semuanya lewat perusahaan cangkang.” “Bisakah kau tembus?” tanya Liora, nadanya tegas namun ada sedikit getaran. Mikael mengangguk kecil. “Aku sudah melewati dua lapis. Tapi ada sesuatu yang aneh. Rekening ini terhubung bukan hanya ke Rayden, tapi ke sebuah nama besar yang… jujur saja, tidak kusangka.” Clara mendekat, penasaran. “Siapa, Pak Mikael?” Mikael menekan enter, lalu sebuah nama m

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 53

    Malam itu, ruang rapat kantor Liora terasa lebih tegang daripada biasanya. Hanya ada tiga orang di sana: Liora, Mikael, dan Clara. Di luar, hujan deras mengguyur kota, seakan menyembunyikan segala percakapan yang terjadi di dalam. Clara duduk dengan wajah pucat, kedua tangannya menggenggam erat secangkir kopi yang sudah dingin. Ia tahu, sekali salah langkah, hidupnya bisa hancur. Tapi ia juga tahu, ini adalah kesempatan terakhir untuk menebus kesalahannya. “Clara,” suara Liora tenang tapi tegas, “kalau kau benar-benar ingin menebus semuanya, maka kau harus siap mengambil risiko yang sama besar dengan yang aku ambil.” Clara mengangguk cepat. “Aku siap, Bu. Aku tidak mau terus hidup di bawah ancaman Rayden.” Mikael menggeser laptopnya ke arah Clara. Di layar, muncul catatan komunikasi digital. “Kau bilang Rayden menghubungimu lewat pesan terenkripsi. Apakah kau masih menyimpannya?” Clara menarik napas panjang, lalu mengeluarkan ponselnya. “Aku simpan semuanya. Aku tidak berani

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 52

    Malam masih panjang ketika Rayden duduk di ruang kantornya yang hanya diterangi lampu meja. Asap rokok tipis mengepul di udara. Di depannya terbentang laporan keuangan dan sejumlah dokumen yang ia peroleh dengan cara yang tidak bersih. Matanya menyipit, penuh amarah bercampur obsesi. “Kalau kata-katamu bisa membuat orang mencintaimu, Liora, maka aku akan tunjukkan betapa rapuhnya dunia yang kau bangun.” Rayden mengetik pesan di ponselnya kepada seorang pengusaha yang dikenal licik, bernama Adrian Halberd. “Aku punya tawaran. Kita buat Liora terlihat terlibat dalam penggelapan dana proyek. Aku siapkan dokumennya, kau mainkan kontakmu di media. Kau dapat bagian, aku dapat kehancurannya.” Balasan datang singkat, penuh persetujuan: “Kau selalu tahu cara membuat orang jatuh, Rayden. Anggap selesai.” Rayden tersenyum tipis, dingin. “Kali ini, Liora tidak akan bisa lari.” Sementara itu, Liora dan Mikael duduk di sebuah kafe kecil yang jarang diketahui orang. Hujan turun lembu

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 51

    Pagi itu, notifikasi ponsel Liora tak berhenti berbunyi. Pesan, mention, dan email masuk seperti badai. Ia baru saja menyalakan televisi ketika berita pagi menayangkan headline yang membuat jantungnya berhenti sejenak: “Masa Lalu Kelam Liora Terungkap: Keluarga Sendiri Menyalahkannya atas Kejadian Tragis.” Gambar wajahnya terpampang besar di layar. Narasi berita itu seakan-akan menguliti dirinya hidup-hidup: kisah masa kecil, bagaimana ia pernah dituduh sebagai penyebab penderitaan ayahnya, dan bagaimana keluarganya lebih sering menyalahkan daripada merangkul. Semua itu rahasia yang ia simpan begitu dalam, yang hanya sedikit orang tahu kini diumbar ke dunia. Tangannya gemetar memegang remote. Pandangannya kabur, udara seakan hilang dari paru-parunya. “Tidak…” suaranya nyaris tak terdengar. Mikael yang baru masuk ke ruang tamu langsung menatap layar, lalu berbalik ke arahnya. “Lior—” Air mata jatuh, bukan karena malu, tapi karena luka lama yang dipaksa terbuka kembali.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status