Beranda / Romansa / Pelakor itu Adikku / Bab 6. Kenyataan yang Menyakitkan

Share

Bab 6. Kenyataan yang Menyakitkan

Penulis: Rina Novita
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-07 08:27:24

Baru saja ujung jari Alma menyentuh gagang pintu, sebuah tangan lain dengan cepat menahannya.

“Berhenti.”

Suara bariton itu membuat Alma terkejut setengah mati. Dia menoleh, lalu melihat seseorang yang dia kenali.

“Felix?” panggil Alma dengan suara tercekat. “Kenapa kamu—”

Belum sempat Alma melanjutkan kata-katanya, Felix menyela dengan nada rendah namun tegas, “Jangan di sini.” Tanpa ragu, pria itu menarik Alma jauh dari pintu.

"Apa yang kamu lakukan? Lepasin aku, Lix!" Alma berusaha melepaskan genggaman Felix, namun tenaga pria itu jauh lebih besar.

Ada satu-dua orang petugas rumah sakit yang melihat mereka, tapi ketika melihat sosok Felix, orang-orang itu gegas membuang wajah seperti tidak ingin ikut campur.

Felix menarik Alma melewati lorong panjang menuju sebuah ruangan yang cukup jauh dari tempat Arhan berada. Di pintu ruangan itu terpasang papan nama [dr. Felix Alexander, SP.BS].

Setelah masuk, Felix segera melepaskan Alma, namun saat Alma hendak berbalik untuk pergi, tubuh tinggi dan tegap Felix memblokir pintu.

"Buat apa kamu halangi aku, Lix? Biarkan aku menemui mereka!” Alma berteriak kencang.

Dengan emosi menggebu, dia tidak peduli dan mengusahakan segala cara untuk menyingkirkan Felix, bahkan sampai memukuli pria itu.

“Minggir! Minggir! Mingg—"

Hanya ketika Alma merasakan tubuhnya ditarik ke dalam pelukan, barulah wanita itu berhenti.

Felix mendekapnya erat.

“Hanya sampai kamu tenang, baru aku akan menyingkir,” kata Felix pelan, namun penuh keyakinan.

Seketika, tangis Alma tumpah di dada sahabat lamanya itu. Histeris, dan begitu menyayat hati. Seolah seluruh dunianya telah runtuh.

Mendengar itu, Felix menautkan alis, seperti ikut terluka. "Maaf, Alma,” bisik pria itu, nyaris tidak terdengar. “Maaf….”

"Suamiku dengan adikku sendiri, Lix.” Suara Alma parau. “Segalanya kuberikan untuk mereka. Aku tinggalkan pekerjaanku untuk Arhan. Aku biayai sekolah Nadine! Dan begini mereka membalasnya?!”

Bagi Arhan, Alma mengorbankan pekerjaan dan waktunya untuk menjadi sosok istri yang baik. Dia bertahan di bawah tekanan dan hinaan karena dirinya tak kunjung hamil.

Bagi Nadine, Alma sudah menyediakan rumah yang hangat, membiayai pendidikannya, bahkan menjaganya semenjak ibu mereka tiada. Bahkan bila adiknya itu sering kali melawan dan merendahkan statusnya sebagai ibu rumah tangga, Alma tidak pernah mempermasalahkannya.

Lalu, apa balasan mereka? Perselingkuhan dan pengkhianatan!? Menusuknya dari belakang?!

Alma tidak terima!!

Alma tidak tahu berapa lama ia menangis dalam dekapan sahabat lamanya tersebut. Felix pun tidak mendorongnya menjauh. Pria itu juga tidak mengatakan apa pun, hanya beberapa kali menggumamkan permintaan maaf, entah untuk apa.

Baru setelah tangis Alma mereda, wanita itu menguatkan diri untuk bertanya, “Sejak kapan …?”

Felix tersentak, dan dia menatap Alma yang memandangnya dengan pancaran mata tanpa emosi.

“Melihat bagaimana kamu menghalangiku untuk melabrak mereka, juga bagaimana kamu berusaha menenangkanku tanpa terkejut, aku yakin … kamu sudah tahu sebelumnya,” jelas Alma.

Untuk beberapa saat, Felix terdiam. Kemudian, dia menghela napas. “Cukup lama. Mungkin … hampir setahun.” Pria itu cepat menimpali, “Tapi aku tidak tahu kalau Arhan suamimu dan Nadine adikmu, jadi … maaf ….”

Mata Alma membesar. Ternyata, dua orang itu sudah mengkhianati begitu lama!

Menahan emosi, Alma kembali bertanya, “Siapa saja yang tahu? Apa Septiana—”

Felix menggeleng. “Tidak, dia tidak tahu. Hanya yang bertugas di lantai yang sama yang tahu.”

Jawaban Felix membuat Alma menutup mata, sedikit lega sang sahabat tidak tahu mengenai semua ini. Kalau Septiana sampai ikut menyembunyikan hal ini darinya, Alma tidak tahu dirinya akan menggila seperti apa.

Pandangan Alma terjatuh pada layar ponselnya yang gelap, yang menampilkan wajahnya yang terlihat lelah dan terluka. Sungguh, dia tidak paham kenapa semua ini terjadi padanya.

Bagi Arhan, Alma mengorbankan pekerjaan dan waktunya untuk menjadi sosok istri yang baik. Dia bertahan di bawah tekanan dan hinaan keluarga karena dirinya tak kunjung hamil, padahal suaminya itu sendiri tidak bersedia ikut berjuang.

Bagi Nadine, Alma sudah menyediakan rumah yang hangat, membiayai pendidikannya, bahkan menjaganya semenjak ibu mereka tiada. Bahkan bila adiknya itu sering kali melawan dan merendahkan statusnya sebagai ibu rumah tangga, Alma tidak pernah mempermasalahkannya.

Lalu, apa balasan mereka? Perselingkuhan dan pengkhianatan!? Menusuknya dari belakang?!

Alma tidak terima!!

Tangan Alma mengepal kuat, matanya tertutup.

“Apa … yang akan kamu lakukan?”

Pertanyaan yang tiba-tiba mengudara itu membuat Alma membuka mata, menatap sosok yang sekarang memandangnya penuh kekhawatiran.

Felix.

Ekspresi Alma datar, hatinya terasa dingin. Dia menatap telapak tangannya sendiri, benaknya melayang ke adegan yang dia dengar tadi.

Suara Nadine yang menggoda walau sedang berhadapan dengan kakak iparnya, juga nada bicara Arhan yang sama sekali tidak peduli dirinya sedang bermain gila dengan adik istrinya sendiri.

“Kalau mereka ingin bersama, maka aku akan kabulkan keinginan mereka.”

Felix terkejut, tidak menyangka itu adalah jawaban yang akan keluar dari mulut Alma.

Namun, kemudian satu kalimat lain dilontarkan oleh Alma, “Akan tetapi, semua yang kuberikan pada mereka … aku akan mengambilnya kembali.”

Alma mengalihkan pandangan untuk menatap Felix lurus. “Felix … apa kamu bersedia membantuku?”

(Bersambung)

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (5)
goodnovel comment avatar
Koirul
nah gitu dong yg tegas
goodnovel comment avatar
Rina Novita
masyaAllah , terimakasih sudah baca Kak.
goodnovel comment avatar
Riswan mirza
mana lanjutnya bu... sdh kangen dgn novel2 ibu... bbrp sdh selesai sampai tamat... tp ini lama nggak updatenya...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Pelakor itu Adikku   Bab 187. Seperti Mimpi

    Alma membuka mata dengan perasaan berbeda, lebih ringan, lebih damai. Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamarnya. Semua beban yang kemarin-kemarin menekan dadanya kini seakan lenyap, berganti semangat baru. Alma mengusap wajahnya, lalu tersenyum menatap cermin besar di kamarnya. “Hari pertama … jadi tunangannya Felix,” gumamnya pelan, seolah ingin meyakinkan diri sendiri bahwa semua yang terjadi semalam bukan mimpi. Suara ketukan pintu terdengar. “Non Alma, sarapan sudah disiapkan,” kata Bu Sarti dari luar. “Baik, Bu. Aku segera turun,” jawab Alma. Ia bangkit, merapikan rambut, lalu mengenakan blouse sederhana berwarna pastel dan celana kain hitam. Tidak ada aksesoris berlebihan, tidak ada riasan tebal. Meski kini semua orang tahu ia calon menantu keluarga Mahesa, Alma tetap ingin tampil seperti dirinya yang dulu, sederhana. Di meja makan, aroma nasi goreng hangat dan teh manis menyambut. Bu Sarti tersenyum, matanya masih berbinar haru sejak acara semalam. “Non keliha

  • Pelakor itu Adikku   Bab 186. Hari Bahagia

    Senja mulai turun perlahan di langit Jakarta ketika mobil-mobil mewah memasuki halaman hotel berbintang lima milik keluarga Mahesa. Gedung megah dengan lampu-lampu kristal yang menggantung di lobi seakan menyambut para tamu undangan dengan cahaya keemasan. Malam itu, hotel tersebut berubah menjadi saksi peristiwa besar, pertunangan Felix Alexander Mahesa dengan Alma Azzahra Kusuma. Sejak sore, Alma sudah tiba di rumah kediaman keluarga Mahesa yang letaknya tidak jauh dari rumahnya sendiri. Ia datang bersama beberapa kerabat yang turut mendampingi. Dari sana, rombongan bergerak bersama menuju hotel tempat acara berlangsung. Di kamar khusus yang disediakan untuk pengantin wanita, Alma sedang dirias. Rambutnya ditata anggun dalam sanggul modern yang dihiasi dengan bunga melati segar dan aksesori mutiara. Gaun kebaya modern berwarna putih gading melekat indah di tubuhnya, dipadukan dengan kain batik motif parang klasik bernuansa emas yang menjuntai anggun. Wajahnya dipulas dengan make-

  • Pelakor itu Adikku   Bab 185. Maaf yang tulus

    Kebahagiaan yang memenuhi dada Alma sejak menerima undangan pertunangannya dengan Felix semalam masih ia rasakan. Senyumnya masih sering terbit tanpa ia sadari, seakan hari-hari kelam yang ia lalui perlahan digantikan cahaya baru. Namun di sela rasa syukurnya, ada bayangan yang terus menghantui pikirannya, Nadine. Sehari sebelum pertunangan, Alma menepati niatnya untuk membesuk adiknya itu. Hati kecilnya mengatakan, apa pun yang sudah dilakukan Nadine, hubungan darah mereka tidak bisa diputus begitu saja. Walau rasa sakit akibat pengkhianatan Nadine masih membekas, Alma ingin memastikan adiknya tidak benar-benar sendirian. Ia berangkat ditemani seorang pria berjas abu-abu, pengacara Nadine, yang kini mengurus kasusnya. Di dalam mobil menuju penjara, Alma mendengarkan penjelasan dengan wajah serius. “Sidang terakhir sudah diputuskan, Bu Alma. Nadine divonis lima belas tahun penjara karena terbukti bersalah dalam kasus pembunuhan yang kemarin,” ujar pengacara itu dengan nada berat.

  • Pelakor itu Adikku   Bab 184. Undangan Pertunangan

    Ruang rawat VIP itu sunyi, hanya suara detak mesin pemantau yang sesekali terdengar. Maharani berbaring di atas ranjang dengan wajah pucat, tatapannya kosong menatap langit-langit. Meski sudah dipindahkan dari ICU ke ruang rawat, keadaannya masih lemah. Orang tuanya duduk di sisi ranjang, terlihat letih sekaligus pasrah. Clara melangkah masuk perlahan. Senyum sopan ia berikan pada kedua orang tua Rani. “Selamat siang, Pak, Bu. Bagaimana keadaan Rani hari ini?” Sang ibu hanya menggeleng pelan, matanya sembab. “Masih sama, Bu Clara. Dia jarang bicara. Hanya mengangguk kalau ditanya. Kami sudah pasrah … apa pun keputusan keluarga Mahesa, kami terima. Kalau memang pertunangan ini harus dibatalkan, kami tak bisa memaksa.” Clara menarik kursi, duduk di sisi ranjang Rani. Tangannya lembut meraih tangan Rani yang terkulai lemah. “Rani … maafkan Tante, ya.” Maharani menoleh perlahan. Bibirnya bergerak, berusaha tersenyum, meski gagal. Matanya yang sendu seakan mengerti apa yang hendak disa

  • Pelakor itu Adikku   Bab 183. Makan malam yang hangat

    Tiba waktunya acara makan malam di rumah William. Alma berdiri lama di depan cermin sebelum berangkat. Tangannya sempat bergetar ketika merapikan gaun sederhana berwarna biru muda yang jatuh anggun hingga lutut. Potongannya tidak mencolok, namun memberi kesan elegan. Rambutnya ia biarkan terurai natural, hanya disematkan jepit kecil di sisi kanan. Hatinya berdebar kencang. Meski jarak ke rumah keluarga Mahesa tidak jauh, rasanya perjalanan ini seperti akan membawanya ke sebuah persimpangan besar dalam hidupnya.“Tenang, Alma … ini hanya makan malam biasa,” bisiknya pada diri sendiri. "Ya, ini hanya makan malam sebagai ucapan terima kasih karena aku sudah menolong calon menantu mereka, Maharani." Pukul tujuh malam, mobil Alma memasuki gerbang besar rumah keluarga Mahesa. Rumah megah dengan taman luas itu tampak sedikit ramai oleh tamu. Lampu-lampu gantung dari kaca kristal menyala terang, memberi kesan hangat sekaligus berwibawa. Seorang pelayan segera menyambut, mempersilakan Alma

  • Pelakor itu Adikku   Bab 182. Perubahan Drastis

    Felix menyalakan mesin mobilnya kembali, namun pikirannya masih berputar. Nama Aditya Kusuma terus memenuhi kepalanya. Itu bukan nama asing. Sosok yang dulu dihormati banyak kalangan medis dan di dunia bisnis, salah satu pendiri Permata Grup. “Alma … dia memang bukan perempuan dari kalangan biasa,” gumam Felix, setengah tak percaya. Ia melajukan mobilnya pulang. Jalanan malam yang sepi tidak membuat pikirannya tenang. Justru semakin banyak pertanyaan yang menyesakkan dadanya. Apa alasan Alma merahasiakan tempat tinggalnya? Apa karena Maharani? Sesampainya di rumah besar keluarga Mahesa, Felix langsung disambut oleh keheningan. Hanya lampu ruang tamu yang masih menyala. Ia melepas jas, menaruhnya di sandaran sofa, lalu melangkah masuk. Namun, langkahnya tertahan. Clara sudah duduk di sana, lengkap dengan gaun santainya, wajahnya masih menyisakan bekas tangis namun kali ini terlihat lebih tenang. Di sampingnya, William Kusuma duduk tegap, wajahnya tenang penuh wibawa. “Felix,” s

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status