Malam itu, Alma pulang ke rumah dengan sikap biasa, seolah tidak terjadi apapun. Ia membuka pintu rumah dan langsung disambut oleh sosok Nadine yang sedang duduk di ruang tamu sambil memainkan ponselnya.
“Eh, Kak Alma udah pulang?” tanya Nadine tanpa menoleh. Bila diperhatikan saksama, Alma bisa melihat bekas merah samar di area tengkuk sang adik. Ekspresi Alma berubah gelap. Tak perlu orang cerdas untuk tahu bekas merah apa itu. Selagi Alma sedang memerhatikan tengkuk Nadine, tiba-tiba sebuah suara terdengar bertanya, “Dari mana aja?” Alma mengalihkan pandangan, menatap Arhan yang baru saja keluar dari kamar, masih mengenakan kemeja kerja. Tampaknya, pria itu memutuskan pulang dari rumah sang ibu sore ini. “Rumah sakit,” jawab Alma santai, meletakkan tasnya di meja. “Tadi ketemu sama temen lama.” Mendengar itu, Nadine dan Arhan membeku sesaat sebelum langsung melirik cepat ke arah Alma. "Kakak ke rumah sakit, kok nggak bilang?" tanya Nadine cepat seraya langsung meletakkan ponselnya. Di sisi lain, Arhan juga menautkan alis. Wajahnya tampak tegang. “Iya. Kenapa kamu nggak bilang kalau ke rumah sakit? Memangnya kamu ketemu siapa sih?” Alma ingin sekali tertawa dalam hati. Bagaimana mau bilang atau pun izin kalau Nadine dan Arhan sendiri yang menghindarinya sejak pagi? Pun bilang, keduanya malah akan lebih memilih menyuruhnya tinggal di rumah atau beralasan sibuk. Jelas sebuah kebohongan, karena alasan sebenarnya adalah mereka merasa kedatangan Alma mengganggu dan hanya buat malu. “Felix,” jawab Alma singkat sambil berjalan ke dapur. “Sahabatku waktu koas dulu.” Wajah Arhan langsung berubah sedikit tegang, sementara Nadine melirik Arhan sekilas. Walau sedikit terkejut lantaran Alma ternyata memiliki hubungan di masa lalu dengan Felix, dokter paling ternama di rumah sakit mereka, tapi Nadine lebih mementingkan bagaimana dia bisa membuat hubungan sang kakak dengan sang suami semakin renggang. “Wah, aku baru tau kalau Dokter Felix itu sahabat Kakak. Pasti seneng banget ya ketemu sahabat lama,” komentar Nadine, nada suaranya datar tapi penuh makna tersirat. “Ngobrolin masa lalu? Atau mungkin ... masa depan juga?” Senyum tipis terlukis di bibirnya. Alma masih memasang wajah datar sambil membuka kulkas. “Dua-duanya.” “Apa?” Arhan terdengar kesal. “Apa maksudmu dua-duanya?! Kamu lupa kamu ini wanita bersuami?!” tegur pria itu selagi menghampiri Alma dan memblokir jalan sang istri. Alma menatap Arhan lurus dengan kening berkerut. “Memang ada yang salah? Tidak aneh ‘kan membicarakan kenangan lama dengan sahabat lama?” Dia melewati Arhan dan lanjut berjalan ke arah kamar dengan botol di tangan. “Kamu—!” “Lagi pula, kami lebih banyak berbicara tentang rencana kerjaku ke depannya.” Arhan terdiam, mematung di tempat. Dia pikir maksud sang istri membicarakan masa depan dengan Felix memiliki makna tertentu, tapi ternyata … mereka hanya membicarakan soal pekerjaan? Tunggu, pekerjaan?! Arhan langsung tampak bingung. “Apa maksudmu rencana kerja? Kamu mau kerja lagi?” Alma menghentikan langkah dan berbalik menatap Arhan. “Iya.” Bukan hanya Arhan, tapi Nadine juga terlihat kaget mendengar jawaban kakaknya itu. “Loh, bukannya Kakak mau fokus punya anak? Kok tiba-tiba mau kerja lagi?” Pandangan Alma beralih mendarat pada Nadine dengan tenang. “Kakak sudah berusaha, dan memang yang di Atas belum memberi, jadi daripada memaksakan yang bukan waktunya, lebih baik jalani dulu yang ada di depan mata, ‘kan?” Nadine menelan ludah, entah kenapa merasa kalimat sang kakak memiliki makna tersembunyi. Di sisi lain, Arhan merasa tidak senang. “Kita sudah sepakat mau fokus mendapatkan anak dulu, jadi kenapa—” “Tiga tahun, Mas,” potong Alma, membuat Arhan tertegun saat wanita itu menatapnya tajam. “Tiga tahun aku mencoba, tapi tidak ada hasilnya. Aku sudah periksa kandungan seperti yang kamu minta, dan jelas aku nggak ada masalah.” Wanita itu meneguk minumannya, lalu lanjut berkata, “Jadi kita hanya bisa terima kalau memang belum waktunya saja.” “Dan mengenai ‘kesepakatan’ yang kamu bicarakan, aku rasa sudah cukup aku mencoba memenuhi keinginanmu.” Alma membuang botol kosong yang telah habis dia minum ke tong sampah, sebelum akhirnya menatap Arhan lagi lurus, “Sekarang sudah waktunya aku memperjuangkan keinginanku.” Arhan dan Nadine melihat pancaran mata Alma ketika mengucapkan kalimat itu, dan mereka terdiam di tempat seperti dua orang bisu. “Aku capek,” ucap Alma selagi mengalihkan pandangan dan berjalan ke arah kamar. “Aku mandi dan istirahat dulu. Kalau kalian lapar, pesan saja makanan dari luar.” Lalu, wanita itu menghilang masuk ke dalam kamar tidurnya. Di tempat mereka, Arhan dan Nadine merasa sedikit sesak. Apa ini perasaan mereka … atau ada sesuatu dari diri Alma yang berbeda?Alma membuka mata dengan perasaan berbeda, lebih ringan, lebih damai. Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamarnya. Semua beban yang kemarin-kemarin menekan dadanya kini seakan lenyap, berganti semangat baru. Alma mengusap wajahnya, lalu tersenyum menatap cermin besar di kamarnya. “Hari pertama … jadi tunangannya Felix,” gumamnya pelan, seolah ingin meyakinkan diri sendiri bahwa semua yang terjadi semalam bukan mimpi. Suara ketukan pintu terdengar. “Non Alma, sarapan sudah disiapkan,” kata Bu Sarti dari luar. “Baik, Bu. Aku segera turun,” jawab Alma. Ia bangkit, merapikan rambut, lalu mengenakan blouse sederhana berwarna pastel dan celana kain hitam. Tidak ada aksesoris berlebihan, tidak ada riasan tebal. Meski kini semua orang tahu ia calon menantu keluarga Mahesa, Alma tetap ingin tampil seperti dirinya yang dulu, sederhana. Di meja makan, aroma nasi goreng hangat dan teh manis menyambut. Bu Sarti tersenyum, matanya masih berbinar haru sejak acara semalam. “Non keliha
Senja mulai turun perlahan di langit Jakarta ketika mobil-mobil mewah memasuki halaman hotel berbintang lima milik keluarga Mahesa. Gedung megah dengan lampu-lampu kristal yang menggantung di lobi seakan menyambut para tamu undangan dengan cahaya keemasan. Malam itu, hotel tersebut berubah menjadi saksi peristiwa besar, pertunangan Felix Alexander Mahesa dengan Alma Azzahra Kusuma. Sejak sore, Alma sudah tiba di rumah kediaman keluarga Mahesa yang letaknya tidak jauh dari rumahnya sendiri. Ia datang bersama beberapa kerabat yang turut mendampingi. Dari sana, rombongan bergerak bersama menuju hotel tempat acara berlangsung. Di kamar khusus yang disediakan untuk pengantin wanita, Alma sedang dirias. Rambutnya ditata anggun dalam sanggul modern yang dihiasi dengan bunga melati segar dan aksesori mutiara. Gaun kebaya modern berwarna putih gading melekat indah di tubuhnya, dipadukan dengan kain batik motif parang klasik bernuansa emas yang menjuntai anggun. Wajahnya dipulas dengan make-
Kebahagiaan yang memenuhi dada Alma sejak menerima undangan pertunangannya dengan Felix semalam masih ia rasakan. Senyumnya masih sering terbit tanpa ia sadari, seakan hari-hari kelam yang ia lalui perlahan digantikan cahaya baru. Namun di sela rasa syukurnya, ada bayangan yang terus menghantui pikirannya, Nadine. Sehari sebelum pertunangan, Alma menepati niatnya untuk membesuk adiknya itu. Hati kecilnya mengatakan, apa pun yang sudah dilakukan Nadine, hubungan darah mereka tidak bisa diputus begitu saja. Walau rasa sakit akibat pengkhianatan Nadine masih membekas, Alma ingin memastikan adiknya tidak benar-benar sendirian. Ia berangkat ditemani seorang pria berjas abu-abu, pengacara Nadine, yang kini mengurus kasusnya. Di dalam mobil menuju penjara, Alma mendengarkan penjelasan dengan wajah serius. “Sidang terakhir sudah diputuskan, Bu Alma. Nadine divonis lima belas tahun penjara karena terbukti bersalah dalam kasus pembunuhan yang kemarin,” ujar pengacara itu dengan nada berat.
Ruang rawat VIP itu sunyi, hanya suara detak mesin pemantau yang sesekali terdengar. Maharani berbaring di atas ranjang dengan wajah pucat, tatapannya kosong menatap langit-langit. Meski sudah dipindahkan dari ICU ke ruang rawat, keadaannya masih lemah. Orang tuanya duduk di sisi ranjang, terlihat letih sekaligus pasrah. Clara melangkah masuk perlahan. Senyum sopan ia berikan pada kedua orang tua Rani. “Selamat siang, Pak, Bu. Bagaimana keadaan Rani hari ini?” Sang ibu hanya menggeleng pelan, matanya sembab. “Masih sama, Bu Clara. Dia jarang bicara. Hanya mengangguk kalau ditanya. Kami sudah pasrah … apa pun keputusan keluarga Mahesa, kami terima. Kalau memang pertunangan ini harus dibatalkan, kami tak bisa memaksa.” Clara menarik kursi, duduk di sisi ranjang Rani. Tangannya lembut meraih tangan Rani yang terkulai lemah. “Rani … maafkan Tante, ya.” Maharani menoleh perlahan. Bibirnya bergerak, berusaha tersenyum, meski gagal. Matanya yang sendu seakan mengerti apa yang hendak disa
Tiba waktunya acara makan malam di rumah William. Alma berdiri lama di depan cermin sebelum berangkat. Tangannya sempat bergetar ketika merapikan gaun sederhana berwarna biru muda yang jatuh anggun hingga lutut. Potongannya tidak mencolok, namun memberi kesan elegan. Rambutnya ia biarkan terurai natural, hanya disematkan jepit kecil di sisi kanan. Hatinya berdebar kencang. Meski jarak ke rumah keluarga Mahesa tidak jauh, rasanya perjalanan ini seperti akan membawanya ke sebuah persimpangan besar dalam hidupnya.“Tenang, Alma … ini hanya makan malam biasa,” bisiknya pada diri sendiri. "Ya, ini hanya makan malam sebagai ucapan terima kasih karena aku sudah menolong calon menantu mereka, Maharani." Pukul tujuh malam, mobil Alma memasuki gerbang besar rumah keluarga Mahesa. Rumah megah dengan taman luas itu tampak sedikit ramai oleh tamu. Lampu-lampu gantung dari kaca kristal menyala terang, memberi kesan hangat sekaligus berwibawa. Seorang pelayan segera menyambut, mempersilakan Alma
Felix menyalakan mesin mobilnya kembali, namun pikirannya masih berputar. Nama Aditya Kusuma terus memenuhi kepalanya. Itu bukan nama asing. Sosok yang dulu dihormati banyak kalangan medis dan di dunia bisnis, salah satu pendiri Permata Grup. “Alma … dia memang bukan perempuan dari kalangan biasa,” gumam Felix, setengah tak percaya. Ia melajukan mobilnya pulang. Jalanan malam yang sepi tidak membuat pikirannya tenang. Justru semakin banyak pertanyaan yang menyesakkan dadanya. Apa alasan Alma merahasiakan tempat tinggalnya? Apa karena Maharani? Sesampainya di rumah besar keluarga Mahesa, Felix langsung disambut oleh keheningan. Hanya lampu ruang tamu yang masih menyala. Ia melepas jas, menaruhnya di sandaran sofa, lalu melangkah masuk. Namun, langkahnya tertahan. Clara sudah duduk di sana, lengkap dengan gaun santainya, wajahnya masih menyisakan bekas tangis namun kali ini terlihat lebih tenang. Di sampingnya, William Kusuma duduk tegap, wajahnya tenang penuh wibawa. “Felix,” s