Home / Romansa / Pelakor itu Adikku / Bab 5. Bertemu Teman Lama

Share

Bab 5. Bertemu Teman Lama

Author: Rina Novita
last update Huling Na-update: 2025-01-07 08:21:42

“Kamu serius Arhan dan Nadine bilang begitu?”

Ekspresi terkejut terlukis di wajah seorang wanita cantik berjubah dokter yang saat ini duduk berhadap-hadapan dengan Alma.

Mendengar pertanyaan wanita itu, Alma hanya mengangguk lemah. “Aku mulai berpikir, apa memang aku yang bermasalah? Jangan-jangan aku yang sok benar sampai buat mereka kesal.” Dia mengepalkan tangan dan matanya mulai berkaca-kaca lagi. “Kalau begini, nggak heran Mas Arhan berubah, Na ….”

Saat ini, Alma sedang berada di ruang kerja teman dekatnya, Septiana Lestari, seorang psikolog yang praktik di rumah sakit Nur Anisa, rumah sakit yang sama dengan tempat Arhan serta Nadine bekerja.

Usai pertengkaran Alma dengan Arhan tadi malam, pria itu memutuskan untuk pergi ke rumah ibunya dengan alasan menenangkan diri. Nadine sendiri tidak berusaha melerai keduanya maupun menenangkan Alma. Sebaliknya, gadis itu malah ikut menyalahkan dan berkata Alma sudah keterlaluan dan tidak paham perasaan orang lain.

“Nggak heran kalau Mas Arhan sering ngeluh soal hubungannya dengan kakak ke aku,” kata Nadine semalam.

Hal ini membuat Alma merasa tertampar. Di luar banyaknya pertanyaan yang muncul dalam benaknya, Alma pun mulai menyalahkan dirinya sendiri.

Merasa situasi mentalnya menjadi tidak sehat dan diselimuti kecurigaan, Alma pun memutuskan untuk mengunjungi Septiana agar bisa bertukar pikiran.

Sekarang, usai mendengarkan cerita Alma dan juga ketakutannya, Septiana berakhir terdiam. Dia tampak hati-hati dalam percakapan ini lantaran tahu salah kata bisa berakibat buruk.

“Kamu jangan berpikiran yang nggak-nggak dulu, Al. Kamu nggak salah di sini, kamu hanya menyampaikan pemikiran kamu,” jelas Septiana.

Alma mengangkat pandangan. “Tapi kalau begitu, kenapa Mas Arhan semarah itu, Na? Sampai dia tega mengungkit masalah kehamilan. Dia harusnya tahu bahwa aku sudah mengusahakan seribu satu cara, tapi memang yang di Atas belum memberi, aku bisa apa?”

Di saat ini, Alma sedikit bergumam, “Dan lagi, aku sudah bilang ke Mas Arhan aku mau ikut program kehamilan, tapi dia sendiri yang nggak mau. Katanya nggak sempat dan buang-buang waktu.”

Septiana pun menghela napas, mencoba tetap netral walau memang sikap Arhan menurutnya keterlaluan. “Sebagai temanmu, aku bakalan bilang kalau aku sendiri nggak setuju sama sikap Arhan, begitu pula dengan Nadine. Tapi … dilihat dari sudut pandang sebagai seorang psikolog, aku akan bilang bahwa kita juga harus berusaha mengerti kalau mungkin Arhan lelah karena pekerjaannya dan jadi mudah marah. Kamu tahu sendiri ‘kan Arhan sekarang sudah jadi salah satu dokter bedah syaraf yang banyak direkomendasikan.”

Alma terdiam sesaat, mencoba mencerna penjelasan dokter wanita di depannya. Kemudian, ia mengangguk pelan.

Melihat hal itu, Septiana pun tersenyum tipis. “Sekarang, dibandingkan kamu menyalahkan dirimu sendiri, saranku kamu coba temui Arhan, bicarakan sama dia. Mungkin cari waktu juga agar kalian bisa pergi berdua, berlibur misalnya? Atau sekadar makan di luar berdua? Yang jelas, ambil kesempatan ini untuk merajut lagi hubungan kalian yang tadi kamu bilang sedikit renggang.”

Sejenak, Alma terdiam. Memang, sudah lama sejak dirinya dan Arhan pergi berdua. Itu semua karena biasanya Nadine ikut bersama mereka lantaran Arhan selalu merasa tidak enak dan kasihan meninggalkan adik Alma itu sendirian di rumah. Alma sendiri tidak pernah komplain karena … ya Nadine adiknya sendiri.

Tapi sekarang … saran Septiana ada benarnya. Mungkin dia dan Arhan sudah jarang menghabiskan waktu berdua, jadi tidak pernah lagi tukar pikiran dan mencoba memahami situasi masing-masing.

Memikirkan itu, ekspresi Alma pun berubah sedikit lebih cerah. “Kamu benar, Na. Aku akan coba cari waktu untuk pergi berdua dengan Mas Arhan.” Senyuman tipis terlukis di bibirnya selagi dia menggenggam tangan Septiana. “Makasih ya, Na. Doain masalahku ini cepat selesai.”

Septiana tersenyum lebar. “Jelas dong, Al.”

Sadar dirinya sudah mengambil waktu istirahat sahabatnya cukup lama, Alma akhirnya berkata, “Kalau begitu, aku pamit dulu ya, Na. Aku juga mau mampir ke ruangan Mas Arhan dulu. Terima kasih untuk konsultasinya." Dia beranjak dari kursi dan memeluk singkat sahabatnya itu.

“Sama-sama, Al. Jangan sungkan,” balas Septiana. “Kabarin aku kalau ada apa-apa.”

Baru saja Septiana hendak mengantar Alma keluar, tiba-tiba pintu ruangan diketuk dan langsung dibuka dari luar.

Alma dan Septiana terkejut. Mereka mengalihkan pandangan dan melihat seorang pria dengan jas putih telah berdiri di ambang pintu.

“Septiana, apa maksud pesan yang kamu ki–"

Suara bariton yang terdengar begitu dominan itu terhenti saat pemiliknya beradu tatap dengan Alma.

“Alma?” Kening pria itu berkerut saat mengenali wanita tersebut.

Di sisi lain, Alma sendiri tertegun melihat sosok di ambang pintu. Dia juga mengenali pria itu.

“Felix!” panggil Alma dengan kaget. Sama sekali tidak dirinya sangka akan bertemu seorang teman lama lain di tempat itu. “Astaga, lama nggak ketemu ….”

Felix Alexander, itulah nama lengkap dari pria yang sekarang berdiri di ambang pintu dan menatap intens ke arah Alma.

Seperti Septiana, Felix juga teman dekat Alma semasa kuliah. Akan tetapi, semenjak Alma menikah, keduanya jarang bertemu lantaran Felix sibuk dengan karirnya selagi Alma sibuk dengan rumah tangannya.

Dan lagi … Felix juga salah satu yang tidak setuju dengan keputusan Alma berhenti sebagai dokter. Oleh karena itu, hubungan mereka juga agak renggang, dan Septiana tahu hal itu. Jadi, mungkin itu alasan sahabatnya itu tidak pernah mengungkit bahwa Felix bekerja di tempat yang sama dengannya.

Melihat sosok Alma dan juga senyumannya, ekspresi dingin yang tadi menghiasi wajah Felix berubah lembut. “Lama nggak ketemu,” balasnya dengan senyum tipis. Dia melirik Septiana untuk sesaat sebelum kembali pada Alma. “Maaf, aku kira Septiana sedang istirahat. Nggak kusangka ada tamu.”

Alma mengangkat kedua tangannya. “Nggak ganggu, nggak ganggu! Aku juga sudah selesai kok konsulnya.” Dia pun menatap Septiana. “Na, aku pamit dulu ya. Sekali lagi, terima kasih.” Pandangannya kembali lagi pada Felix. “Aku pamit pergi dulu ya, Lix.”

Namun,baru saja Alma melewati ambang pintu, mendadak tangannya ditahan seseorang.

Alma menoleh kaget, lalu menyadari Felix yang menahannya.

Felix sendiri seperti terkejut dengan tindakannya, lalu dia menarik tangannya cepat. “Maaf, refleks,” ucap pria itu. Kemudian, dia melanjutkan, “Karena kebetulan ketemu, dan ini waktu istirahat, ayo kita makan siang bertiga.”

Ajakan Felix mengejutkan bukan hanya Alma, tapi terlebih lagi Septiana.

‘Tumben banget Felix mau makan bareng …’ batinnya.

Lalu, dia melirik sosok Felix dan Alma bergantian, dan sekejap Septiana mengerti.

Mungkin, Felix ingin memperbaiki hubungan. Tapi–

“Maaf, Lix. Hari ini nggak bisa. Mungkin lain kali? Soalnya sekarang aku harus ke ruangan suamiku,” tolak Alma halus selagi tersenyum.

“Suamimu di sini?” Felix mengernyit bingung. “Dia sakit?”

“Bukan, bukan!” Alma sedikit tertawa. “Kamu nggak datang ke acara nikahanku sih, makanya nggak pernah tahu suamiku yang mana. Dia dokter di sini, Lix.”

Mendengar ini, Felix tampak semakin bingung. “Siapa namanya?”

Alma tersenyum sembari menjawab, “Arhan Nugroho.”

“Arhan?” Seketika, Felix terlihat kaget.

Alma menganggukkan kepala. “Iya. Dia dokter bedah di sini.”

Keheningan tiba-tibai muncul di ruangan tersebut. Mungkin perasaannya saja, tapi Alma heran melihat ekspresi Felix mengeras ketika mendengar nama Arhan disebut tadi.

Apa mungkin mereka berdua punya masalah?

Akan tetapi, mengingat sifat Felix yang dingin dan acuh tak acuh terhadap orang lain, rasanya hampir tidak mungkin dia bisa punya masalah dengan Arhan.

Walau rasanya ingin bertanya lebih jauh, tapi Alma ingat kalau waktu istirahat sang suami sebentar lagi akan berakhir. Jadi, dia pun memutuskan untuk menunda percakapan lebih lanjut dan menepis pemikiran tersebut.

“Kalau gitu, aku permisi dulu ya. Lain kali kabari aku lewat Septiana kalau mau makan bareng,” ucap Alma sebelum melangkah pergi dengan sedikit terburu-buru.

Tanpa wanita itu sadari, Felix tampak memerhatikannya dengan ekspresi kesulitan dan juga khawatir.

Diam-diam, pria itu bergumam, “Apa mungkin … Arhan yang itu …?”

**

Alma baru saja tiba di lantai dua, tepat di poli bedah saraf. Kata seorang petugas rumah sakit yang dia temui tadi, Arhan seharusnya ada di ruangannya di jam-jam segini.

Mata Alma pun menyapu tiap pintu di lantai tersebut, sampai akhirnya dari kejauhan dia melihat papan nama yang familier.

[dr. Arhan Nugroho, Sp.BS]

Langkah Alma terhenti di depan ruangan dengan papan nama suaminya tersebut.

Entah kenapa, ada perasaan bangga saat Alma membaca gelar sang suami. Semua karena ia turut menyumbang usaha dalam pendidikan pria tersebut. Ia yang menemani Arhan dalam pendidikan spesialis dan bahkan membantunya dalam beberapa kesempatan.

Menepis nostalgia, Alma bergegas mengulurkan tangannya untuk mengetuk pintu.

Akan tetapi, gerakannya terhenti saat mendengar suara dari dalam.

“Aku stres banget hari ini. Kamu bisa kan, bikin aku rilex, Sayang?”

Alma mengernyit mendengar suara suaminya. Dengan siapa suaminya bicara?

“Mas, ih! Yakin mau main di sini lagi?” Sebuah suara menyahuti ucapan Arhan dengan genit. “Kalau ada yang denger dan lapor ke Kak Alma gimana?”

Tiba-tiba tubuh Alma menegang. Dadanya bergemuruh. Kakinya tiba-tiba gemetar.

Dia … dia mengenali suara itu!

“Dia bukan dokter, siapa yang masih kenal sama dia? Udahlah, nggak usah bahas kakakmu, Mas udah nggak tahan, Nad.”

‘Nad’, itu nama panggilan Nadine. Adik Alma sendiri!!

Dengan amarah yang mendidih dalam hati, juga air mata yang menetes menuruni wajah, Alma langsung mengulurkan tangan ke gagang pintu untuk membukanya!

(Bersambung)

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Pelakor itu Adikku   Bab 81. Rencana Gagal

    “Jadi ... Prof. Mahendra sudah menjelaskan sebagian besar hal teknisnya?” tanya Leonard dengan nada tenang namun dalam, khas suara pria yang terdengar dominan sebagai seorang pimpinan. Dari lobby tadi ia dan Alma menuju ruang praktek, lalu berbincang di sana. Alma mengangguk, mencoba bersikap profesional meski dalam hatinya ia merasa tak sepenuhnya tenang. “Ya, beliau menjelaskannya dengan cukup rinci saat rapat tadi. Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot datang langsung ke RS Annisa sore ini, Pak Leonard.” Pria itu tersenyum tipis, wajahnya memancarkan ketampanan yang tidak dibuat-buat. Sikapnya sopan, bahasanya terjaga. Tapi entah kenapa, Alma bisa merasakan getaran berbeda dalam tiap kata dan sorot mata Leonard. “Tidak repot, kok. Lagipula aku memang ingin menyampaikannya langsung padamu. Rasanya ... lebih memuaskan kalau bisa menyampaikan niat kerja sama ini tanpa perantara. Terutama karena kamu yang akan jadi kunci proyek ini,” ujarnya sambil menatap Alma intens namun tida

  • Pelakor itu Adikku   Bab 80. Masih Suami Istri

    “Diam deh! Jangan mulai!” bisik Arhan tajam, menahan nada bentakannya agar tak menarik perhatian sekitar. Tatapannya tajam pada Ernest, yang jelas sedang menikmati momen menyindirnya. Hanya Ernest yang tau semua masalah yang Arhan hadapi saat ini. Sejak awal hanya teman satu kampusnya itu yang tau hubungannya dengan Nadine dan tau bahwa Alma adalah istri Arhan. Ernest tertawa pelan, seperti biasa tak gentar. “Santai, Bro. Aku cuma tanya, itu tadi di lobby—” “Udah," sanggah Arhan geram, matanya masih tertuju pada punggung Alma yang menjauh bersama pria lain. Pria yang baru muncul, tapi dengan mudah akrab dengan Alma. Leonard, ucapnya dalam hati dengan getir. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia melangkah cepat keluar dari lobby menuju café di samping rumah sakit. Ernest menyusul, duduk di kursi seberang dengan santai. Ia geleng-geleng kepala melihat wajah Arhan penuh bara. “Dari pada kamu naik darah terus, mending mikir deh jalan keluarnya. Nggak bisa terus-terusan begini, Han,” kata Er

  • Pelakor itu Adikku   Bab 79. Diskusi Para Senior

    Alma terduduk lemas di kursinya. Telapak tangannya menekan pelipis, napasnya berat dan panjang. Sejak tadi ia mencoba tetap tenang menghadapi ledakan emosi Arhan yang membabi buta, tapi tetap saja tubuhnya terasa gemetar setelah semua itu. Jika saja Felix tak datang tepat waktu, ia tak yakin bisa tetap sekuat tadi. “Alma!” suara Septiana membuat Alma menoleh kaget. Perempuan itu masuk terburu-buru, wajahnya dipenuhi kekhawatiran. “Aku baru dengar dari perawat di depan. Arhan tadi marah-marah di sini?” tanya Septiana sambil memeluk Alma sekilas. Alma mengangguk pelan. “Aku baik-baik saja. Cuma ... ya, kamu tahu sendiri gimana emosinya Arhan.” Felix berdiri tak jauh dari meja Alma. “Untung aku datang,” katanya sambil melipat tangan di dada. “Aku nggak akan biarin dia mempermalukanmu di tempat kerja seperti ini.” “Kalau bukan karena kamu, mungkin aku udah balas dia dengan nada tinggi juga,” ucap Alma jujur. “Terima kasih, Felix.” Septiana melirik mereka bergantian, lalu menyeringai

  • Pelakor itu Adikku   Bab 78. Dipindahkan ke Bangsal Kelas Tiga

    “Apa ini soal tadi di bangsal kelas?” tanya Arhan cepat, sesaat setelah perawat muda itu mengatakan Prof. Mahendra memanggilnya. Perawat tersebut mengangguk. “Sepertinya iya, Dok. Saya dengar beliau sudah tahu kejadian barusan.” Arhan menghembuskan napas panjang. “Masalah datang terus tanpa henti,” gumamnya pelan, lebih ke dirinya sendiri. Kepalanya sedikit menunduk, lalu mendongak lagi dengan rahang mengeras. “Siapa yang bikin jadwal baru itu? Kenapa tiba-tiba aku dipindahkan ke bangsal kelas 3 tanpa pemberitahuan?” Nada suaranya meninggi. “Saya nggak tahu detailnya, Dok. Tapi dari yang saya dengar di ruang perawat, perombakan itu dari Dokter Alma. Ada sistem baru katanya.” Arhan mengernyit. “Alma?” “Ya. Katanya beliau mau ada pemerataan tugas dokter. Semua dapat giliran, termasuk dokter spesialis senior.” Dada Arhan mendadak terasa panas. Seolah ada bara yang ditumpuk di dalamnya. Ia mengepalkan tangannya. “Dia sengaja … Pasti dia sengaja mau permalukan aku!” “Dok, maaf, say

  • Pelakor itu Adikku   Bab 77. Dipermalukan di Depan Pasien

    Nadine berdiri terpaku. Ucapan Arhan barusan benar-benar mengguncang batinnya. “Memangnya apa yang akan Mas lakukan? Mas tega?” Nadine berseru lirih. “Ini darah daging Mas sendiri …” Arhan menyeringai tipis. Dalam hatinya ia masih ragu kalau itu anaknya. Tapi, anak siapapun itu, jika semua orang tahu kehamilan Nadine, pasti dirinya akan kena tuduh, karena rumor kedekatannya dengan Nadine telah menyebar. Jadi, sebenarnya dia memang tidak peduli itu anak siapa. "Kalau kamu masih maksa pertahankan bayi itu, kamu sendiri yang akan rugi. Lihat dirimu sekarang, Nadine. Sudah jadi bahan gunjingan satu rumah sakit. Sekarang hamil di luar nikah. Mau nambah malu lagi?” Nadine menunduk. Ia memasang wajah sesedih mungkin. Berharap Arhan akan menaruh iba padanya. “Aku ... aku nggak tahu harus bagaimana, Mas ....” “Pokoknya gugurkan. Aku nggak akan ikut bertanggung jawab!” tegas Arhan. Suaranya seperti vonis yang tak bisa diganggu gugat. Dengan tangan mengepal di samping tubuhnya, Nadine akh

  • Pelakor itu Adikku   Bab 76. Nadine dan Laporan Pasien

    "Kak Alma ... tolong aku ... Aku nggak tahu harus gimana ..." Alma masih berdiri di balik meja kerjanya, ekspresinya tetap tenang seperti biasa. Namun, pandangannya menajam saat melihat Nadine berdiri di ambang pintu dengan wajah kacau, rambut sedikit berantakan, dan mata sembab seolah baru saja menangis lama. "Masuklah kalau mau bicara," ucap Alma datar, lalu kembali duduk dan membuka map yang tadi sempat ia tutup. Nadine masuk perlahan, lalu duduk di kursi seberang meja Alma. Wajahnya sedih, matanya berkaca-kaca. "Aku ... aku akan disidang sama badan pengawas rumah sakit, Kak. Aku takut ... Semua laporan itu, aku ... aku nggak tahu harus jawab apa. Pasien, perawat ... semuanya kayak nyalahin aku." Alma menatap Nadine lama. Ia tidak langsung menjawab. Hening beberapa detik, hingga akhirnya Alma berkata pelan tapi tajam, "Lalu apa yang kamu harapkan dariku?" "Aku minta tolong, Kak. Tolong bantu aku. Kakak kan punya pengaruh sekarang. Punya reputasi. Orang-orang akan dengar apa

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status