“Kamu serius Arhan dan Nadine bilang begitu?”
Ekspresi terkejut terlukis di wajah seorang wanita cantik berjubah dokter yang saat ini duduk berhadap-hadapan dengan Alma. Mendengar pertanyaan wanita itu, Alma hanya mengangguk lemah. “Aku mulai berpikir, apa memang aku yang bermasalah? Jangan-jangan aku yang sok benar sampai buat mereka kesal.” Dia mengepalkan tangan dan matanya mulai berkaca-kaca lagi. “Kalau begini, nggak heran Mas Arhan berubah, Na ….” Saat ini, Alma sedang berada di ruang kerja teman dekatnya, Septiana Lestari, seorang psikolog yang praktik di rumah sakit Nur Anisa, rumah sakit yang sama dengan tempat Arhan serta Nadine bekerja. Usai pertengkaran Alma dengan Arhan tadi malam, pria itu memutuskan untuk pergi ke rumah ibunya dengan alasan menenangkan diri. Nadine sendiri tidak berusaha melerai keduanya maupun menenangkan Alma. Sebaliknya, gadis itu malah ikut menyalahkan dan berkata Alma sudah keterlaluan dan tidak paham perasaan orang lain. “Nggak heran kalau Mas Arhan sering ngeluh soal hubungannya dengan kakak ke aku,” kata Nadine semalam. Hal ini membuat Alma merasa tertampar. Di luar banyaknya pertanyaan yang muncul dalam benaknya, Alma pun mulai menyalahkan dirinya sendiri. Merasa situasi mentalnya menjadi tidak sehat dan diselimuti kecurigaan, Alma pun memutuskan untuk mengunjungi Septiana agar bisa bertukar pikiran. Sekarang, usai mendengarkan cerita Alma dan juga ketakutannya, Septiana berakhir terdiam. Dia tampak hati-hati dalam percakapan ini lantaran tahu salah kata bisa berakibat buruk. “Kamu jangan berpikiran yang nggak-nggak dulu, Al. Kamu nggak salah di sini, kamu hanya menyampaikan pemikiran kamu,” jelas Septiana. Alma mengangkat pandangan. “Tapi kalau begitu, kenapa Mas Arhan semarah itu, Na? Sampai dia tega mengungkit masalah kehamilan. Dia harusnya tahu bahwa aku sudah mengusahakan seribu satu cara, tapi memang yang di Atas belum memberi, aku bisa apa?” Di saat ini, Alma sedikit bergumam, “Dan lagi, aku sudah bilang ke Mas Arhan aku mau ikut program kehamilan, tapi dia sendiri yang nggak mau. Katanya nggak sempat dan buang-buang waktu.” Septiana pun menghela napas, mencoba tetap netral walau memang sikap Arhan menurutnya keterlaluan. “Sebagai temanmu, aku bakalan bilang kalau aku sendiri nggak setuju sama sikap Arhan, begitu pula dengan Nadine. Tapi … dilihat dari sudut pandang sebagai seorang psikolog, aku akan bilang bahwa kita juga harus berusaha mengerti kalau mungkin Arhan lelah karena pekerjaannya dan jadi mudah marah. Kamu tahu sendiri ‘kan Arhan sekarang sudah jadi salah satu dokter bedah syaraf yang banyak direkomendasikan.” Alma terdiam sesaat, mencoba mencerna penjelasan dokter wanita di depannya. Kemudian, ia mengangguk pelan. Melihat hal itu, Septiana pun tersenyum tipis. “Sekarang, dibandingkan kamu menyalahkan dirimu sendiri, saranku kamu coba temui Arhan, bicarakan sama dia. Mungkin cari waktu juga agar kalian bisa pergi berdua, berlibur misalnya? Atau sekadar makan di luar berdua? Yang jelas, ambil kesempatan ini untuk merajut lagi hubungan kalian yang tadi kamu bilang sedikit renggang.” Sejenak, Alma terdiam. Memang, sudah lama sejak dirinya dan Arhan pergi berdua. Itu semua karena biasanya Nadine ikut bersama mereka lantaran Arhan selalu merasa tidak enak dan kasihan meninggalkan adik Alma itu sendirian di rumah. Alma sendiri tidak pernah komplain karena … ya Nadine adiknya sendiri. Tapi sekarang … saran Septiana ada benarnya. Mungkin dia dan Arhan sudah jarang menghabiskan waktu berdua, jadi tidak pernah lagi tukar pikiran dan mencoba memahami situasi masing-masing. Memikirkan itu, ekspresi Alma pun berubah sedikit lebih cerah. “Kamu benar, Na. Aku akan coba cari waktu untuk pergi berdua dengan Mas Arhan.” Senyuman tipis terlukis di bibirnya selagi dia menggenggam tangan Septiana. “Makasih ya, Na. Doain masalahku ini cepat selesai.” Septiana tersenyum lebar. “Jelas dong, Al.” Sadar dirinya sudah mengambil waktu istirahat sahabatnya cukup lama, Alma akhirnya berkata, “Kalau begitu, aku pamit dulu ya, Na. Aku juga mau mampir ke ruangan Mas Arhan dulu. Terima kasih untuk konsultasinya." Dia beranjak dari kursi dan memeluk singkat sahabatnya itu. “Sama-sama, Al. Jangan sungkan,” balas Septiana. “Kabarin aku kalau ada apa-apa.” Baru saja Septiana hendak mengantar Alma keluar, tiba-tiba pintu ruangan diketuk dan langsung dibuka dari luar. Alma dan Septiana terkejut. Mereka mengalihkan pandangan dan melihat seorang pria dengan jas putih telah berdiri di ambang pintu. “Septiana, apa maksud pesan yang kamu ki–" Suara bariton yang terdengar begitu dominan itu terhenti saat pemiliknya beradu tatap dengan Alma. “Alma?” Kening pria itu berkerut saat mengenali wanita tersebut. Di sisi lain, Alma sendiri tertegun melihat sosok di ambang pintu. Dia juga mengenali pria itu. “Felix!” panggil Alma dengan kaget. Sama sekali tidak dirinya sangka akan bertemu seorang teman lama lain di tempat itu. “Astaga, lama nggak ketemu ….” Felix Alexander, itulah nama lengkap dari pria yang sekarang berdiri di ambang pintu dan menatap intens ke arah Alma. Seperti Septiana, Felix juga teman dekat Alma semasa kuliah. Akan tetapi, semenjak Alma menikah, keduanya jarang bertemu lantaran Felix sibuk dengan karirnya selagi Alma sibuk dengan rumah tangannya. Dan lagi … Felix juga salah satu yang tidak setuju dengan keputusan Alma berhenti sebagai dokter. Oleh karena itu, hubungan mereka juga agak renggang, dan Septiana tahu hal itu. Jadi, mungkin itu alasan sahabatnya itu tidak pernah mengungkit bahwa Felix bekerja di tempat yang sama dengannya. Melihat sosok Alma dan juga senyumannya, ekspresi dingin yang tadi menghiasi wajah Felix berubah lembut. “Lama nggak ketemu,” balasnya dengan senyum tipis. Dia melirik Septiana untuk sesaat sebelum kembali pada Alma. “Maaf, aku kira Septiana sedang istirahat. Nggak kusangka ada tamu.” Alma mengangkat kedua tangannya. “Nggak ganggu, nggak ganggu! Aku juga sudah selesai kok konsulnya.” Dia pun menatap Septiana. “Na, aku pamit dulu ya. Sekali lagi, terima kasih.” Pandangannya kembali lagi pada Felix. “Aku pamit pergi dulu ya, Lix.” Namun,baru saja Alma melewati ambang pintu, mendadak tangannya ditahan seseorang. Alma menoleh kaget, lalu menyadari Felix yang menahannya. Felix sendiri seperti terkejut dengan tindakannya, lalu dia menarik tangannya cepat. “Maaf, refleks,” ucap pria itu. Kemudian, dia melanjutkan, “Karena kebetulan ketemu, dan ini waktu istirahat, ayo kita makan siang bertiga.” Ajakan Felix mengejutkan bukan hanya Alma, tapi terlebih lagi Septiana. ‘Tumben banget Felix mau makan bareng …’ batinnya. Lalu, dia melirik sosok Felix dan Alma bergantian, dan sekejap Septiana mengerti. Mungkin, Felix ingin memperbaiki hubungan. Tapi– “Maaf, Lix. Hari ini nggak bisa. Mungkin lain kali? Soalnya sekarang aku harus ke ruangan suamiku,” tolak Alma halus selagi tersenyum. “Suamimu di sini?” Felix mengernyit bingung. “Dia sakit?” “Bukan, bukan!” Alma sedikit tertawa. “Kamu nggak datang ke acara nikahanku sih, makanya nggak pernah tahu suamiku yang mana. Dia dokter di sini, Lix.” Mendengar ini, Felix tampak semakin bingung. “Siapa namanya?” Alma tersenyum sembari menjawab, “Arhan Nugroho.” “Arhan?” Seketika, Felix terlihat kaget. Alma menganggukkan kepala. “Iya. Dia dokter bedah di sini.” Keheningan tiba-tibai muncul di ruangan tersebut. Mungkin perasaannya saja, tapi Alma heran melihat ekspresi Felix mengeras ketika mendengar nama Arhan disebut tadi. Apa mungkin mereka berdua punya masalah? Akan tetapi, mengingat sifat Felix yang dingin dan acuh tak acuh terhadap orang lain, rasanya hampir tidak mungkin dia bisa punya masalah dengan Arhan. Walau rasanya ingin bertanya lebih jauh, tapi Alma ingat kalau waktu istirahat sang suami sebentar lagi akan berakhir. Jadi, dia pun memutuskan untuk menunda percakapan lebih lanjut dan menepis pemikiran tersebut. “Kalau gitu, aku permisi dulu ya. Lain kali kabari aku lewat Septiana kalau mau makan bareng,” ucap Alma sebelum melangkah pergi dengan sedikit terburu-buru. Tanpa wanita itu sadari, Felix tampak memerhatikannya dengan ekspresi kesulitan dan juga khawatir. Diam-diam, pria itu bergumam, “Apa mungkin … Arhan yang itu …?” ** Alma baru saja tiba di lantai dua, tepat di poli bedah saraf. Kata seorang petugas rumah sakit yang dia temui tadi, Arhan seharusnya ada di ruangannya di jam-jam segini. Mata Alma pun menyapu tiap pintu di lantai tersebut, sampai akhirnya dari kejauhan dia melihat papan nama yang familier. [dr. Arhan Nugroho, Sp.BS] Langkah Alma terhenti di depan ruangan dengan papan nama suaminya tersebut. Entah kenapa, ada perasaan bangga saat Alma membaca gelar sang suami. Semua karena ia turut menyumbang usaha dalam pendidikan pria tersebut. Ia yang menemani Arhan dalam pendidikan spesialis dan bahkan membantunya dalam beberapa kesempatan. Menepis nostalgia, Alma bergegas mengulurkan tangannya untuk mengetuk pintu. Akan tetapi, gerakannya terhenti saat mendengar suara dari dalam. “Aku stres banget hari ini. Kamu bisa kan, bikin aku rilex, Sayang?” Alma mengernyit mendengar suara suaminya. Dengan siapa suaminya bicara? “Mas, ih! Yakin mau main di sini lagi?” Sebuah suara menyahuti ucapan Arhan dengan genit. “Kalau ada yang denger dan lapor ke Kak Alma gimana?” Tiba-tiba tubuh Alma menegang. Dadanya bergemuruh. Kakinya tiba-tiba gemetar. Dia … dia mengenali suara itu! “Dia bukan dokter, siapa yang masih kenal sama dia? Udahlah, nggak usah bahas kakakmu, Mas udah nggak tahan, Nad.” ‘Nad’, itu nama panggilan Nadine. Adik Alma sendiri!! Dengan amarah yang mendidih dalam hati, juga air mata yang menetes menuruni wajah, Alma langsung mengulurkan tangan ke gagang pintu untuk membukanya! (Bersambung)Bab 18Pak Hendrik menutup map cokelat itu perlahan, seolah tengah menyerap setiap lembar dokumen yang baru saja ia pelajari.“Saya sudah membaca semuanya,” katanya akhirnya. “Termasuk salinan surat wasiat dari mendiang Ayah Anda.”Alma hanya mengangguk. Ekspresinya tampak tenang, namun kedua tangannya yang bertaut di pangkuan tak bisa menyembunyikan kegelisahan yang bersembunyi di balik ketegasannya.Ia tahu betul kemunculannya akan mengguncang banyak pihak, tapi ia tidak datang untuk meminta belas kasihan. Ia datang untuk mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya.“Saya paham ini terdengar mendadak,” ujarnya pelan. “Tapi saya hanya menjalankan hak dan tanggung jawab saya sebagai ahli waris.”Pak Hendrik menghela napas, bibirnya membentuk senyum tipis yang sulit dibaca. “Tak hanya mendadak, tapi juga membingungkan. Anda tahu sendiri, selama ini Anda tak pernah muncul dalam urusan rumah sakit. Bahkan banyak yang tak tahu Anda putri kandung Pak Aditya Kusuma.”Memori lama
“Apa sih maksud kamu, Mas nggak ngerti! Kalau memang Mas Ada salah, ya kamu bilang aja apa susahnya, sih? Mas pasti minta maaf dan berubah!”Mendengar itu, Alma hanya tertawa dingin dalam hati. “Kalau Mas merasa nggak ada salah, ya sudah,” ucapnya seraya berjalan ke arah pintu, lalu mengambil kunci mobil dari atas lemari kecil. “Karena hari ini Mas nggak ke rumah sakit, aku bawa mobil, ya. Mas nggak keberatan, kan?”Arhan belum sempat membalas, tapi Alma sudah lanjut berkata, “Harusnya nggak ya. Toh mobil juga aku yang beli, kan?”Kemudian, tanpa membuang waktu lagi, Alma melangkah keluar dan membanting pintu pelan. Suara langkahnya terdengar jelas, lalu pintu depan dibuka, dan tidak lama kemudian, suara deru mesin mobil terdengar membelah keheningan pagi.“Sialan!” Arhan mengumpat keras sambil menendang sisi ranjang. Suaranya terdengar hingga ke penjuru rumah.Pintu kamar Nadine terbuka. Gadis itu muncul dengan piyama satin warna pink muda, rambutnya dikuncir satu, ekspresi heran ter
Usai makan malam, terlihat Arhan dan sang ibu duduk di ruang tamu.“Tadi Ibu udah lihat sendiri ‘kan gimana Alma sekarang? Kalau terus begini, gimana aku bisa tenang?!” gerutu Arhan.Ferika menghela napas. Dia sendiri merasa masalah ini sedikit rumit karena sikap Alma yang berubah seratus delapan puluh derajat. Jadi, dia hanya berkata, “Istrimu cuma lagi masa membangkang aja. Nanti kalau bosen juga dia balik lagi.”“Aduh, Bu. Kalau tunggu dia bosen, bisa-bisa posisi kepala bagianku hilang duluan!”Kening Ferika berkerut. Bingung. “Maksudnya?”Arhan menegapkan tubuh, menatap ibunya serius. “Jadi gini loh, Bu. Tadinya aku tuh calon tunggal untuk posisi kepala bagian, ‘kan? Tapi sekarang … gara-gara Alma balik kerja, Prof Mahendra, yang ternyata juga guru Alma, malah lebih perhatian ke Alma dan kayaknya ingin jadiin Alma penggantinya!”Ferika tampak agak kaget. Dia yang sudah tahu sepenting apa Prof. Mahendra di rumah sakit, sulit percaya Alma ternyata adalah murid pria tersebut. Setahu
“Ke mana aja sih kamu jam segini baru pulang?!” Suara Nyonya Ferika menyambut Alma yang baru pulang dan masuk ke ruang makan.Alma yang masih mengenakan jas putihnya hanya menghela napas pelan, menatap ketiganya yang sudah duduk manis di meja makan.Ibu mertua duduk di ujung meja dengan pose angkuh seperti pemilik rumah. Arhan tampak lesu, tapi langsung memasang wajah kesal saat melihat Alma. Sedangkan Nadine duduk di sebelah Arhan dengan senyum bangga.“Ini udah malam, Alma. Kamu itu istri orang, bukan anak kuliahan! Masa suami pulang kamu belum ada di rumah? Untung ada Nadine yang masakin dan nyiapin minum buat Arhan. Kalau nggak, entah jadi apa suamimu itu!”Nadine yang disebut namanya langsung menoleh pada Ferika. Ia tidak menyangka Ferika mengatakan bahwa dialah yang masak, terutama karena sebenarnya dia hanya bantu-bantu saja.“Nadine yang masak?” Alma menatap adiknya itu dengan alis terangkat. Seumur-umur Nadine paling enggan turun ke dapur, jadi dia tidak pernah bisa memasak.
"Gara-gara dia, semua jadi kacau!"Arhan membanting pintu ruangannya sedikit keras, hingga Nadine yang hendak duduk di sofa ruangan itu tersentak dan kembali berdiri."Mas, harusnya tadi Mas—""Diam! Mending kamu nggak usah banyak ngomong. Bikin aku tambah pusing saja!" Arhan mengacungkan telunjuknya di hadapan Nadine. Wajahnya merah padam."Loh, kok Mas Arhan bentak-bentak aku juga?" Nadine tak terima."Ya kalau kamu nggak bisa masak, jangan ngaku bisa masak! Jadinya sekarang begini, kan? Aku terlambat, dapat surat teguran dari Prof dan komplain dari pasien. Kamu tuh kalau nggak bisa bantu, jangan nambah bebanku!"Nadine menarik napas dalam-dalam. "Tapi Mas, Aku cuma ...""Halaah! Sudah jangan berisik! Malas aku debat sama kamu.” Arhan menggertakkan gigi, lalu meraih jas putihnya dan berbalik pergi untuk keluar ruangan. Namun, langkahnya berhenti dan dia menatap Nadine sesaat. “Kalau kamu memang mau bantu, coba kamu yakinkan kakakmu itu agar bisa kembali jadi istri yang baik dan me
Alma mengangkat alisnya. "Maksudnya apa, ya?" tanyanya santai. Ia melangkah menuju kulkas, mengambil sebotol jus mangga dingin, lalu duduk di sofa sambil meneguk perlahan. Ekspresinya tetap tenang. "Jangan pura-pura! Aku tahu jadwal pulangmu harusnya lebih awal. Tapi kenapa malah pulang selarut ini!?" suara Arhan meninggi, matanya menatap tajam ke arah istrinya. Alma menaruh botol jus di meja, memperbaiki posisi duduknya. "Oh, itu." Ia bergerak sedikit memperbaiki posisi duduknya, lalu lanjut bicara. "Aku nggak jalan sama siapa-siapa, Mas," jawab Alma, nadanya tetap tenang. "Aku tadi nonton proses operasi Felix. Dia menawarkan untuk jadi pembelajaran. Bukannya Mas juga tahu, belajar langsung dari senior itu kesempatan langka?" Wajah Arhan menggelap. "Kalau mau belajar, kenapa nggak sama aku aja?" Alma tersenyum tipis. "Kan kita udah sepakat untuk nggak saling kenal di kantor, Mas. Kalau aku tiba-tiba minta tolong ke kamu, yang notabenenya aku baru kenal, bukannya malah aneh?