"Kak Alma ... tolong aku ... Aku nggak tahu harus gimana ..." Alma masih berdiri di balik meja kerjanya, ekspresinya tetap tenang seperti biasa. Namun, pandangannya menajam saat melihat Nadine berdiri di ambang pintu dengan wajah kacau, rambut sedikit berantakan, dan mata sembab seolah baru saja menangis lama. "Masuklah kalau mau bicara," ucap Alma datar, lalu kembali duduk dan membuka map yang tadi sempat ia tutup. Nadine masuk perlahan, lalu duduk di kursi seberang meja Alma. Wajahnya sedih, matanya berkaca-kaca. "Aku ... aku akan disidang sama badan pengawas rumah sakit, Kak. Aku takut ... Semua laporan itu, aku ... aku nggak tahu harus jawab apa. Pasien, perawat ... semuanya kayak nyalahin aku." Alma menatap Nadine lama. Ia tidak langsung menjawab. Hening beberapa detik, hingga akhirnya Alma berkata pelan tapi tajam, "Lalu apa yang kamu harapkan dariku?" "Aku minta tolong, Kak. Tolong bantu aku. Kakak kan punya pengaruh sekarang. Punya reputasi. Orang-orang akan dengar apa
“Saya … saya hanya mengikuti saran istri saya waktu itu,” jawab Arhan gugup. Suaranya nyaris tak terdengar, membuat beberapa kepala mendekat sedikit seolah ingin memastikan tak salah dengar. Orang-orang di ruangan itu memandang Arhan dengan kening berkerut. Tak ada satu pun rekan sejawatnya yang puas dengan jawaban itu. Jawaban yang terlalu dipaksakan. Dokter Adrian menghela napas panjang, lalu menyandarkan tubuh ke kursinya. “Saya pikir … ada hal lain yang disembunyikan,” gumamnya pelan namun cukup membuat Arhan menelan ludah. Tatapannya langsung mengarah ke Arhan. Arhan terdiam, membeku di tempat duduknya. Sekilas ia melirik Alma yang duduk tenang di sisi ruangan, tanpa sedikit pun memperlihatkan ketegangan. Tiba-tiba, pintu ruang konferensi terbuka. Tiga orang masuk hampir bersamaan. Semua langsung berdiri. “Selamat pagi,” ucap Prof. Mahendra sambil tersenyum ramah. Di sampingnya, berdiri Prof. Baskara dengan wajah cukup serius, dan seorang pria muda dan tampan memakai j
Pagi itu suasana di rumah sakit tampak ramai seperti biasa. Terutama di lobi staf, banyak staf medis berkumpul. Namun, ada gosip yang tidak biasa menyusup ke antara bisik-bisik para staf. Biasanya, nama Alma disebut-sebut karena kemampuan medisnya yang mengagumkan, atau sikapnya yang tenang dan empatik terhadap pasien. Tapi pagi ini, ada topik baru yang jauh lebih mengguncang. "Acara semalam katanya heboh. Bukan cuma karena dokter Alma banyak dipuji oleh tokoh penting. Tapi ... ternyata dia dan dokter Arhan itu--," ucap salah satu staf dengan suara pelan. “Katanya, dokter Alma itu istrinya dokter Arhan, loh …," sambut staf lain yang berada di sebelahnya. “Iya, aku juga denger! Makanya waktu itu pas Arhan marah-marah, kayaknya pribadi banget, ya?” salah satu perawat menyahut. "Kayaknya nggak bisa dipercaya, dokter Alma anggun dan sepintar itu ternyata punya suami seperti dokter Arhan." Perawat lainnya ikut buka suara. “Dan Nadine itu ... bukannya adik Alma sendiri ya? Gila nggak s
Arhan pun membanting tubuhnya ke sofa ruang tamu, lalu menggeram rendah sambil memijit pelipisnya. Kepalanya berdenyut, pikirannya berputar tanpa arah. Tubuhnya lelah, tapi masalah yang ada di kepalanya tidak memberikan dia waktu untuk istirahat. Kata-kata Alma tadi terus berputar di kepalanya. "Cerai." Ia menarik napas dalam. Berusaha menghilangkan kepanikan. Namun, semakin mencoba untuk tenang, semakin hatinya digerogoti oleh pikiran-pikiran itu. Di saat itu, ada suara langkah kaki mendekat. Arhan menoleh cepat. Sosok ibunya, Ferika, muncul dari lorong kamar. Wanita paruh baya itu masih memakai daster sutra biru tua. Rambut dijepit seadanya, wajahnya kusut, dan kantuknya hilang. Ia menyapa Arhan dengan sorot mata tajam.“Bertengkar lagi sama Alma?” tanya Ferika tanpa basa basi.Arhan menundukkan kepala. “Jangan sekarang, Bu.” Dia tahu sang ibu berniat menceramahinya lagi. Dan ini akan memakan waktu yang lama. Sedangkan saat ini ia sudah terlalu lelah.Ferika duduk di sofa sebel
Kalimat yang terlontar dari mulut Alma menghantam Arhan seperti badai di siang bolong. Dia terpaku dengan mulut terbuka, tapi tak ada suara yang keluar. Otaknya kosong sejenak, kemudian dipenuhi kepanikan yang meletup dari dalam dadanya. Arhan tertawa canggung yang terdengar sumbang, ia mencoba memecah ketenangan, “Alma … kamu bercanda, ‘kan? Tadi kamu bilang apa barusan?”Alma menatapnya, tenang, seakan tidak terjadi apa-apa. “Cerai, Mas.” Tidak ada keraguan sama sekali.Dua kata itu jatuh seperti palu ke wajah Arhan. “Kamu bercanda ….," gumamnya lagi. Kali ini suaranya lebih seperti memohon pada kenyataan agar semua itu tidak benar. “Aku serius,” lanjut Alma tanpa mengubah nada suaranya. “Kalau Mas nggak bisa terima aku seperti ini, untuk apa kita terus menyiksa satu sama lain?”Mata Arhan membulat, tidak menjawab. Lidahnya kelu. Jantungnya berdebar keras. Cerai? Alma baru saja menuntut cerai kepadanya!? Yang benar saja!Memang, patut Arhan akui, dia tak mencintai Alma seperti
“ALMAAA ...! Suara teriakan itu terdengar ke seluruh penjuru rumah. Pintu dibanting keras, nyaris seperti akan copot dari engselnya. Terdengar jelas langkah kaki berat dan cepat menapaki lantai menuju kamar Alma. Di dalam kamar, Alma belum tidur. Ia duduk di sudut ranjang, mengenakan gaun tidur berwarna peach dengan blazer rajut berwarna putih. Di tangannya ada salinan berkas medis yang tadi ingin ia baca sebelum tidur. Tapi aktivitasnya itu terhenti saat mendengar pintu dibanting. Tak lama kemudian, pintu kamar dibuka kasar. Arhan berdiri di ambang pintu dengan napas memburu, mata menyala penuh emosi. Alma menutup map-nya pelan. Tatapan mereka bertemu, dingin dan tajam, seolah tak ada sisa kasih sayang yang pernah tumbuh sebelumnya. “Puas kamu, ya?” Arhan mendekat, telunjuknya menunjuk tepat ke arah wajah Alma. “Puas mempermalukan aku di depan semua orang?!” Alma tetap duduk tenang. Ekspresinya tidak berubah. “Aku tidak melakukan apa-apa. Kamu yang mengumbar aibmu sendiri, Mas