Share

Kok Kepanasan?

Penulis: Syarlina
last update Terakhir Diperbarui: 2023-08-11 08:51:39

"Kenyang ah, aku nggak sanggup ngabisinnya." Kuletakkan kembali garpu kecil di atas piring yang berisi mangga muda. Tertinggal setengah piring dari yang awalnya penuh.

"Nita, kamu mau?" tanyaku menawarkan. Kutatap kedua manik biru miliknya yang tentu saja bukan warna mata sebenarnya. Dia pasti mengenakan soflen. Memang jadi terlihat lebih cantik dipandang. Bisa jadi daya tariknya untuk menggaet suamiku. Buktinya laki-laki itu kecantol hingga mau menikahi siri.

Nita menggeleng dengan wajah datar. Tak seperti di awal dia penuh senyum padaku.

"Kamu ini, sudah mau habis baru ditawarkan ke Nita. Ya sudah malas lah, Han." Ibu mertua menimpali dengan nada ketus.

"Aduh, maaf, Bu, maaf Nita. Aku kelupaan kalau ada kamu di sini. Ingatnya cuma Ibu dan Mas Akbar dan kalian berdua tidak makan ini." Tak mau kalah aku beralasan.

Matanya melebar tanda tak percaya dengan apa yang barusan kuucapkan. Namun aku tak peduli. Aku memasang wajah tak bersalah di hadapan semuanya.

"Aku sudah selesai, sudah kenyang juga. Bu, Mas, aku ke kamar dulu ya. Kalian lanjutkan saja makannya." Aku berdiri bersiap pergi dari meja makan.

Belum juga beranjak pergi, Ibu menegurku. "Loh, kok ke kamar Han? kamu nggak nunggu kami selesai makan? Ini nanti siapa yang bereskan?"

Aku tersenyum ke arah Ibu. "Memang siapa yang harus bereskan, Bu?" Tatapanku beralih ke Nita dan Ibu mengekor gerak mataku.

"Kamu minta Nita yang bereskan? Dia tamu di sini, Han. Apalagi sekarang dia lagi–"

Ucapannya terjeda. Aku sampai menatap lekat Ibu, menunggunya mengatakan kebenaran tentang Nita. Sepertinya Ibu tersadar kalau dia hampir keceplosan.

"Nita kenapa, Bu?" ujarku tak sabaran melihat Ibu belum bicara juga.

"Sudah, biar Akbar yang bereskan. Kasihan Hani juga Bu, dia pasti kecapekan membuat masakan ini." Mas Akbar menyela, membuat Ibu tak jadi bicara. Padahal aku menantikan kejujuran mereka, apa mereka berani mengatakannya padaku.

"Maaf ya, Mas. Hari ini Hani beneran capek. Hani ke kamar dulu, ya." Ucapanku dibalas Mas Akbar dengan anggukkan pelan. Walaupun sebenarnya kalau diperhatikan, Mas Akbar seperti terpaksa melakukannya. Sekali lagi, aku tak peduli. Sekarang aku hanya ingin peduli pada diriku sendiri, tidak pada orang lain. Bertahun-tahun hidup memperdulikan mereka, ternyata dibalas dengan pengkhianatan.

Aku tak segera menuju kamar, tapi berhenti di ambang pintu masuk bagian dapur, menepi ke samping dinding dan bersembunyi di sana. Aku ingin mengintip dan mendengarkan percakapan mereka setelah kepergianku.

"Akbar! Kamu apa-apaan? Ngapain mau beresin ini. Kan bukan tugas kamu, Bar!" Terdengar suara Ibu protes.

"Jangan keras-keras. Nanti kedengaran Hani, Bu. Biar saja Hani istirahat. Akbar nggak tega lihat Hani yang bereskan. Kayaknya dia memang kecapekan. Ini semua masakannya bukan? Pasti capek, Bu, bikin ini sendirian."

Terdengar Mas Akbar membela, tapi sayang Mas, aku tak tersentuh.

"Lah, dia sudah terbiasa, Bar. Makanya Ibu minta dia bereskan. Masa Nita? Dia lagi hamil nggak boleh banyak aktivitas berat. Lagian Hani hari ini aneh. Tidak seperti biasanya. Kamu merasa nggak?" suara Ibu makin pelan, untung masih terdengar.

Degh. Gawat? Apa kentara sekali perubahanku? Sulit untuk bersikap biasa saja setelah kebohongan mereka kuketahui.

"Maaf ya, Bu. Nita belum bisa bantu-bantu di sini." Sekarang giliran wanita hamil itu yang bicara. Suaranya sengaja dibuat manja begitu pasti untuk mengambil hati Ibu mertua.

"nggak papa, Nak. kamu memang nggak boleh capek. Harusnya Hani, tapi kakak madumu itu aneh. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Iya kan Bar?"

"Huuusst! Sudahlah, Bu, jangan dibahas lagi. Nanti kalau Hani dengar gawat. Nanti saja kita bicarakan. Mending Ibu bantu Akbar bereskan. Nita, tolong ditumpang piring kotornya dan bawa ke wastafel, ya. Nanti biar Mas yang cuci."

"Biar Nita bantu, Mas. Nggak tega lihat Mas yang nyuci."

"Nggak papa kok. Cucian piringnya nggak banyak juga."

"Nggak papa Nak, tapi Terima kasih ya kamu sudah perhatian sama Akbar. Ibu senang dengarnya."

Nyes! Ada yang berdenyut nyeri mendengar perlakuan manis Mas Akbar sama Ibu mertua pada Nita. Andai aku hamil, apa mereka akan seperti itu juga padaku?

Setelah mendengar sepintas percakapan singkat mereka, aku memutuskan berjalan ke arah kamar. Takut ketahuan kalau kelamaan bersembunyi di balik dinding tersebut. Tak sanggup juga mendengar pembelaan untuk Nita, yang dulu pernah kudapatkan.

"Hani, kamu baik-baik saja kan?" Mas Akbar bertanya setelah masuk ke dalam kamar. Ia memperhatikanku.

Aku mengangguk, lalu bangun dari tempat tidur. "Iya, Mas. Aku baik-baik saja. Kenapa?" tanyaku balik pura-pura polos sok tak tahu maksud pertanyaannya tersebut.

"Ini testpack. Coba cek dulu, Sayang. Mas sempatin beli tadi, maaf baru bisa kasih." Tiba-tiba Mas Akbar memberikan alat tes kehamilan tersebut padaku. Aku sedikit terkesiap heran karena tak menduga bakal sungguhan dibelikannya. Kukira dugaanku salah dan dia berubah pikiran sehingga melupakan hal tersebut ketika kembali pulang. Ternyata ....

"Ehm, besok pagi saja kucoba, Mas. Biar akurat." Aku menolak dan meletakkan benda tersebut ke atas nakas.

"Tapi kalau hasilnya mengecewakan, maaf ya Mas," ujarku lagi sengaja berkata demikian. Aku ingin menunjukkan betapa menyedihkan diriku agar dia merasa sempurna sebagai laki-laki, tapi sayangnya niat baikku itu malah dikhianati. Bertahun-tahun rela menyandang hinaan orang karena dianggap mandul, malah dibalas seperti ini.

"Nggak papa Sayang. Tanpa anak pun kita bahagia. Aku akan tetap mencintaimu sampai ajal menjemputku meskipun tanpa kehadiran buah hati di pernikahan kita. Jadi kamu jangan sedih seperti ini. Mas tak suka melihatnya." Mas Akbar memelukku dari belakang membisikkan kata tersebut di dekat telinga.

Aku berbalik menghadapnya. "Mas nggak ada keinginan untuk menikah lagi?" tanyaku memancingnya. Aku ingin tahu jawabannya sekarang apa sama seperti dulu atau sudah berubah dan dia mau jujur padaku atau tidak. Dulu dia berjanji tidak akan menikah lagi, tapi sekarang janji itu diingkarinya.

Pertanyaanku cukup membuatnya salah tingkah dan sedikit menjauh.

"Kamu ngomong apa sih Han. Selalu mengulang pertanyaan itu terus. Mas capek jawabnya. Kamu kan tahu jawabannya apa." Mas Akbar menyibukkan diri dengan membuka kancing bajunya. Nada suaranya terdengar tak suka.

Aku merangsek memeluknya yang telah bertelanjang dada. Sengaja menunjukkan sisi manjaku padanya.

"Siapa tahu Mas berubah pikiran," ujarku yang masih dalam dekapannya.

Tak ada sahutan darinya. Mas Akbar diam. Hanya elusan lembut tangannya yang terasa di kepalaku.

"Mas tahu kan kalau aku tidak melarang Mas menikah lagi." Kepalaku mendongak menatap wajahnya. Mas Akbar menatapku balik.

"Tapi … ceraikan aku Mas, karena aku tak sanggup diduakan. Aku tak sanggup berbagi suami dengan wanita mana pun."

Sampai kapan pun Mas tidak akan menceraikanmu, Han. Jadi, jangan tanyakan hal itu lagi." Mas Akbar mengurai pelukanku. Dia jelas tak suka.

Aku memilih duduk di tepi ranjang sambil menatapnya yang berjalan ke arah lemari pakaian.

"Aku hanya mengingatkan. Siapa tahu Mas lupa. Aku tak masalah kalau harus pisah dari Mas. Daripada makan hati satu rumah dengan madu sendiri. Aku tidak akan bisa Mas. Mending pisah." Aku kembali bicara. Mengingatkan kembali apa saja yang pernah kukatakan dulu padanya.

Kulihat Mas Akbar menjatuhkan bajunya ke lantai. Tampaknya ucapanku barusan membuat Mas Akbar gugup.

"Mas, kamu nggak papa?"

"Sudah lah, Han. Jangan bicarakan itu lagi. Mas lagi capek dan malas diajak debat." Suara Mas Akbar meninggi.

"Kok marah? Siapa yang mengajak debat. Aku hanya mengingatkan apa saja konsekuensinya bila Mas menikah lagi. Apalagi kalau nikahnya diam-diam. Wah, itu bakalan membuatku marah besar Mas. Aku langsung minta cerai, Mas."

"Hani!"

Aku kaget dibentak Mas Akbar. Lalu bangkit dari duduk dengan menatapnya tajam.

"Kenapa Mas? Kenapa marah? perkataanku salah ya?"

Mas Akbar meraup wajahnya dan duduk di tepi ranjang. "Maaf, Sayang. Please jangan bahas itu lagi. Kamu kan tahu Mas tidak suka diungkit terus pertanyaan yang sama. Lagian jangan sering disebut, takut malah kejadian."

"Mas sepertinya capek. Istirahat lah. Maaf jika membahas hal tersebut. Aku tidak tahu entah kenapa mengungkitnya lagi. Aku takut mimpi itu jadi kenyataan."

"Mimpi? Mimpi apa?" Mas Akbar tampak tertarik saat kukatakan hal tersebut.

Aku mengangguk. "Aku mimpi Mas pulang bawa wanita lain yang Mas akui sebagai istri Mas yang baru. Mas bilang Mas terpaksa nikah lagi demi mendapatkan keturunan. Itu yang membuatku tak karuan rasa Mas. Apalagi pas Mas datangnya bersama Nita. Kesannya jadi seperti nyata seolah-olah Nita itulah wanita yang jadi madu dalam mimpiku itu, Mas."

Bersamaan dengan itu, ponsel Mas Akbar terjatuh. Suamiku itu membungkukkan badannya guna meraih ponselnya kembali.

"Mas, nggak papa?" tanyaku yang melihatnya gelagapan memegang ponsel dengan tangan gemetar.

"Tidak. Tidak apa," ujarnya sambil menyeka keringat. Refleks aku menatap ke arah AC memastikan kalau mesin pendingin ruangan itu berfungsi dengan benar. Lalu mengulum bibir melihat mesin AC memang menyala dengan baik dan suhu dinginnya pun terasa di badanku. Permasalahannya di Mas Akbar, bukan AC-nya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
kmu diem2 pasang cctv d k.r nya Anita terus d ruang tengah ,ruang makan dn ruangan tamu juga dapur .biar kmu bisa cpt ada bukti .perselingkuhan nya Akbar dn Anita ...
goodnovel comment avatar
Maria Rina
suka dgn tindakan hani
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kelamaan jadi istri merangkap babu membuat si hani kelihatan bodoh dan banyak drama
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Kau Lukai Aku, Kubuka Aibmu   Telat, dan Penyesalan

    “Bagaimana, persiapan sudah sampai mana?” Bu Rosa bertanya saat Hanifah baru saja mendaratkan badannya ke sofa ruang tengah. Ia mampir sebentar ke rumah orangtua angkatnya ini demi menunjukkan perhatiannya pada orang yang telah berperan besar mengubah nasibnya tersebut. Sesibuk apa pun bakal menyempatkan hadir ke rumah ini. “Hm, sudah hampir beres Bu, sudah delapan puluh persen dan berjalan lancar. Sisanya ngepas baju pengantin bersama Mas Alfian,” jawab Hanifah tak jadi merebahkan punggungnya ke bahu sofa, mencoba bersikap sopan karena diajak bicara. Sebenarnya badannya terasa remuk sebab seminggu belakangan ini Hanifah sibuk kerja demi hari pernikahannya berjalan lancar. Ia tak mau konsentrasinya jadi terganggu. Makanya menuntaskan pekerjaan kantor secepatnya, sisanya biar dihandle sama asisten dan karyawan kepercayaannya. Bu Rosa tersenyum. “Syukurlah. Tidak ada kendala berarti kan?” tanya wanita berumur setengah abad itu dengan tatapan serius, memastikan. Hanifah menggeleng le

  • Kau Lukai Aku, Kubuka Aibmu   Keadaan Keluarga Akbar

    “Bu.” Akbar merangsek duduk di hadapan ibunya yang terbaring lemah di atas tempat tidur. Sejak tahu kebenaran tentang menantunya, Bu Nilam jatuh sakit. Tekanan darahnya naik, disertai demam tinggi. Akbar sudah memaksa ibunya untuk pergi berobat ke dokter, tapi Bu Nilam menolak. Ia merasa takkan ada perubahan berarti andai dirawat di sana, ini soal hati, bukan raga. Ia sakit hati. Tak menyangka bakal dicurangi menantu yang disayanginya hingga rela mengorbankan menantu pertama. Bu Nilam memutuskan tetap berada di rumah. Minta Surti saja yang merawatnya dan minum obat racikan apotek. Pasti juga sembuh, pikir Bu Nilam. “Bu, makan dulu.” Akbar mengangkat piring dan siap untuk menyuapi ibunya makan. Surti memberitahu kalau ibunya tak mau makan meski sudah dipaksa asisten rumah tangganya tersebut. Makanya terpaksa Akbar turun tangan sendiri. Kalau tidak begini keadaan ibunya akan tetap sama. Bu Nilam menggeleng. Menolak suapan Akbar yang mengayun ke mulutnya. Gerakan tangan Akbar tertahan

  • Kau Lukai Aku, Kubuka Aibmu   Misi Berakhir

    “Mas, kumohon. Jangan usir kami. Kasihan Kesya, dia masih kecil butuh sosok ayah, kalau–”“Tapi aku bukan ayahnya. Silakan bawa dia ke ayah kandungnya, aku yakin orang itu masih hidup bukan? Kenapa jadi membebaniku dengan dosa laki-laki lain, dosa kalian berdua tepatnya. Cih! Aku tak sudi!” sela Akbar kasar memotong ucapan Nita. Hatinya sudah mati untuk bersimpati. Kesalahan Nita dan keluarganya sudah fatal. Kesabarannya sudah diambang batas. Tega-teganya kedua ibu-anak tersebut membodohi ia dan ibunya. Bahkan karena menikahi Nita, Akbar tega menceraikan Hanifah yang menurutnya adalah istri terbaik selama hidupnya. Sekarang nasi sudah menjadi bubur, semua takkan bisa dikembalikan seperti semula. Hanifah pergi, dan Nita terpaksa diusir. Nita tak dapat menjawab, ia kehabisan kata. Sindiran Akbar benar. Kenapa malah laki-laki tersebut yang menanggung dosa ayah biologisnya Kesya, dosanya juga. Tak mungkin Kesya hadir tanpa kontribusi kedua orang berlawanan jenis tersebut. Nita menatap

  • Kau Lukai Aku, Kubuka Aibmu   Tatap Muka

    “Bagaimana? Ada kabar apa?” Hanifah bertanya saat Beni minta bertemu. Katanya ada informasi penting dan harus tatap muka. Mereka sekarang berada di sebuah kafe dekat kantor Hanifah. Meskipun bingung, Hanifah menurut saja, mungkin ia kira memang ada yang harus diobrolkan secara tatap muka. selama ini komunikasi mereka lebih sering lewat sambungan telepon. “Maaf, Bu, minta bertemu. Mungkin ini laporan terakhir yang bisa saya sampaikan."Jawaban Beni berhasil membuat kening Hanifah berkerut. Dia bingung kenapa Beni mengatakan hal seperti itu, apa mau mengundurkan diri dari tugas rahasia ini? Apa semua sudah selesai? Perasaan Hanifah, semua baru setengah berjalan, bahkan terkesan baru saja dimulai. Apa jangan-jangan semua rencana mereka telah ketahuan oleh Akbar atau orang lain dan? Tapi ….Hanifah belum sempat bertanya, Beni sudah bersuara. “Sepertinya tugas saya sudah selesai, Bu. Dari kabar yang saya dengar, Nita, ibu, dan anaknya diusir dari rumah oleh Pak Akbar. Dari kabar yang saya

  • Kau Lukai Aku, Kubuka Aibmu   Akbar Marah Besar

    Beberapa hari sudah hubungan Akbar dan Nita sangat dingin. Akbar malas mengajak bicara Nita, sedang Nita takut-takut untuk memulai pembicaraan ke Akbar. Sejak melakukan tes DNA, keduanya seperti memutuskan irit bicara dan hanya sekedarnya. Terutama Akbar dan ibunya. Begitupun hubungan Bu Nilam dan Yusni. Keduanya seolah menabuh genderang perang tapi secara diam-diam dan hanya lewat tatapan mata yang sengit. Rumah Bu Nilam dan Akbar layaknya medan perang tapi dalam mode gencatan senjata. “Gimana, Bu? Mas Akbar masih mendiamkan Nita sampai sekarang ini. Bahkan cuma menengok Kesya tanpa ingin menggendongnya apalagi menciumnya seperti biasa. Suamiku itu makin menjauh seolah yakin Kesya bukan anaknya. Ia juga tak peduli dengan apa yang sudah Nita lakukan. Semua terasa sia-sia. Apa Mas Akbar sudah merasakan hal tersebut ya? Aaakh! Nita bingung. Nita pasrah, Bu.” Nita mengeluh melihat sikap Akbar padanya. Padahal Nita sudah mulai berubah. Sikapnya lebih lembut dari sebelumnya. Ia tidak lagi

  • Kau Lukai Aku, Kubuka Aibmu   Gagal, Nita Pasrah

    “Dok, tunggu. Boleh tidak kita bicara dulu empat mata? Cuma sebentar, cuma berdua.” Baru saja seorang perawat ingin meraih Kesya dari gendongan Nita, dengan cepat ditepisnya seraya memalingkan badan ke arah berlawanan. Ia juga mengatakan hal yang membuat dokter dan perawat yang ada di dalam ruangan ini mengernyit heran. “Ada apa ya, Bu?” Dokter Iraguna tampak hati-hati bertanya. Ia merasa ada kerisauan dari wajah yang ditampakkan wanita yang berdiri di hadapannya. Kecemasan yang berlebihan. “Ada yang bisa dibantu? Kalau untuk Kesya, aman Bu, kami profesional,” imbuh Dokter menenangkan. “Hmm … bukan, bukan itu, tapi ….” Nita menatap seorang perawat di dalam ruangan tersebut seolah memberi kode pada Dokter kalau perawat itu harus pergi. Ia hanya ingin bicara berdua, cuma berdua saja bersama dokter. Kalau ibunya tidak bisa bertindak, Nita terpaksa yang turun tangan. Hanya ini harapannya. Dr. Iraguna mengisyaratkan lewat tatapannya kalau perawat bernama Bening tersebut harus pergi. P

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status