"Astagfirullah!" Aku tersentak kaget mendengar suara pintu yang ditutup keras. Suaranya membangunkanku yang baru saja terlelap tidur. Perasaan aku baru saja memejamkan mata, sudah dipaksa bangun lagi. Ada sedikit rasa kesal menyeruak. Namun tak tahu kemana harus dimuntahkan. Nita yang berada di sebelahku tampaknya tidak terganggu sama sekali. Dia terlihat nyenyak saja, tak terbangun sepertiku. Eh, tapi itu tadi apa? Suara apa? Sungguhan suara pintu yang ditutup kencang atau ….Apa aku yang salah dengar? Daripada dirundung penasaran, bergegas aku bangkit dari rebahan dan segera bangun menuju pintu kamar. Suaranya dari kamar sebelah kiriku dan itu kamarnya Dina. Apa benar adikku itu yang melakukan hal tersebut atau gangguan gaib? Kurang kerjaan sekali dia. Namun kalau diingat-ingat, tiba-tiba bulu kudukku meremang memikirkan hal tersebut. Pikiranku sudah bercabang saja kemana-mana. Semua beraura negatif. Siapa juga yang malam-malam melakukan hal yang sangat mengganggu tersebut kec
"Mas.""Hm.""Mas, bangun."Sayup seperti ada yang memanggil namaku. Suara itu ….Nita. "Mas!"Mataku dengan cepat mengerjap, terkejut saat bahuku ditepuk keras seseorang. Nita. Benar dia yang melakukan hal tersebut, membuat mataku melek seketika. "Iya. Ada apa, Nit?" sahutku menoleh ke asal suara, bertanya. Keadaanku masih setengah sadar sembari mengumpulkan nyawa yang masih belum lengkap. "Sudah pagi. Mas nggak kerja?" tanyanya seraya berbaring kembali di sampingku. Ia memelukku. "Kerja? Astaga, Nit, kenapa Mas baru dibangunkan?" protesku tersadar sembari menyingkirkan tangannya dari atas perutku. Aku sedikit kesal setelah melihat jam digital di atas nakas menunjukkan pukul 06.35. Tentu saja itu waktu yang buruk karena artinya aku telah terlambat berangkat ke kantor dan Nita tampak biasa saja seolah meremehkan. Bergegas aku turun dari ranjang untuk menuju kamar mandi."Maaf, Nita kesiangan juga, Mas. Ini baru bangun kalau Ibu tidak mengetuk kamar kita dan menanyakan keberadaan
"Minggat?" Ibu membeo ucapanku. "Maksudnya Hani pergi dari rumah ini tanpa pamit?" tanyanya memastikan. Nadanya naik se-oktaf. Aku mengangguk lemah seraya mengusap kasar wajah. Tak pernah terbayangkan kalau dia akan pergi dari rumah ini. Tanpa pamit lagi. Bahkan aku tak tahu kapan dia pergi. Mendapati hal ini entah kenapa hatiku terasa sesak. "Nah, kan! Tambah nggak sopan. Seenaknya aja dia pergi. Sudah Bar, ajukan saja gugatan cerai, biar nyaho istrimu itu. Sudah kebangetan pergi nggak pamit. Apa sih maunya Hani? Sudah enak hidup di sini, semua ada, semua terpenuhi, punya suami dan mertua yang baik, eh, cuma dimadu doang milih minggat."Aku tak ingin menanggapi ucapan Ibu. Tidak penting juga dan sedikit heran. Bagaimana bisa Ibu berucap seperti itu? Perkara diduakan itu bukan masalah kecil. Tidak semua mau dan pasti sakit bagi kaum wanita, hanya saja kenapa Hani tidak bertahan barang sebentar sampai anak yang diimpikan lahir, pasti aku akan kembali padanya lagi. Jadi tak perlu ada
"Mas, ada apa?" Baru juga menghampiri Ibu dan Nita di ruang makan sudah dicecar pertanyaan oleh istri mudaku itu. "Makan saja, jangan tanya dulu." Tanpa menoleh ke arahnya, aku menjawab ketus. Lalu duduk di seberang dia dan Ibu. Kutunggu lima menit, Nita diam saja, dia tak peka. Terpaksa aku mengambil sendiri piring dan makananku. Ia tak melayaniku seperti Hani. "Ekhem." Mendengar dehaman Ibu refleks kepala menoleh padanya. Saat mata kami bersirobok, Ibu mengedipkan matanya menyorot ke Nita seolah memberi kode padaku. Mungkin teguran atas sikap ketusku pada istri mudaku tersebut. Kulihat Nita makan tanpa semangat. Makanan di piringnya cuma diaduk-aduk saja dengan wajah ditekuk. Aku mendesah berat. 'Wanita memang aneh'. Sebenarnya lagi malas, tapi kode dari Ibu tak bisa diabaikan. "Nit, ayo makan. Jangan diaduk begitu makanannya. Maaf Mas tadi lagi banyak pikiran, tapi tolong jangan ditanya dulu, ya? Boleh kan?" Aku membujuknya lembut untuk makan dengan benar. Andai Nita tidak ham
"Jangan!" tolakku. Aku tak setuju kalau kamar ini ditempati Nita. "Loh, kenapa? Kan kak Hani sudah pergi. Kamar ini juga kosong. Sayang, daripada dibiarkan, mending kita yang pindah ke sini. Iya kan Mas?" Nita setengah memaksa. Aku menggelengkan kepala tetap menolak ide dan inginnya tersebut. "Tidak, biarkan saja seperti ini. Kamarmu tetap di sebelah.""Kenapa Mas? Apa Mas Akbar masih mengharapkannya kembali?"Refleks aku mendelik tajam padanya. Tak suka dengan kalimat yang dilontarkannya meski itu benar. Sudut hatiku terdalam masih berharap Hani kembali, tapi tidak juga harus diakui apalagi di hadapan Nita. Pasti dia cemburu kalau kuiyakan. "Sudah, jangan tanya-tanya lagi. Ayo kita keluar!" ajakku keluar dari kamar agar pembicaraan seputar Hani dan kamar ini tak dibahas lagi. Meski berat, Nita terpaksa menurut. ***"Akbar." Aku menoleh sebentar ke asal suara yang memanggilku tersebut. Itu Ibu. Dia yang bersuara dan datang menghampiriku di ruang tengah. Aku sedang sibuk di d
Pov Hanifah"Kak.""Kak Hani!"Dina terus saja memanggilku setelah aku keluar dari pintu rumahnya, tapi kuabaikan. Aku terus berjalan menuju gerbang keluar dari rumah ini. "Kak Hani!" Kepalaku refleks menoleh ke asal suara yang memanggilku tersebut. Dina. Dia menghampiriku. "Ayolah Kak, jangan menyerah. Kakak tetap di sini untuk mempertahankan Mas Akbar. Please …." rengeknya manja seperti biasanya saat dia ingin sesuatu dariku. Namun sayangnya telat, Din. Aku tersenyum kecut mendengar permohonannya barusan. Kenapa sekarang dia terlihat peduli? Kemarin kemana saja? Bukannya mendukungku, malah terus-terusan menghinaku yang selalu dianggapnya bodoh. Aku tak bergeming dengan rengekannya seperti anak kecil. "Yang minta aku pergi itu Mas Akbar, jadi buat apa aku mempertahankan kalau orang yang kuperjuangkan tidak menginginkanku di sini," jawabku mematahkan harapannya. Ponselku berbunyi. Aku yakin itu dari supir taksi online yang telah kupesan."Tapi Kak, Mas Akbar itu cintanya–"Tan
Alfian.Dokter Alfian. Iya, itu dia. Aku ingat betul karena sering bertemu dengannya. Dia dokter spesialis andrologi. Dia yang menangani suamiku dulu saat pemeriksaan kesuburan Mas Akbar. "Alfian," ucap laki-laki tersebut ramah menyebutkan namanya seraya mengulurkan tangannya ke arahku. Tak ada rasa canggung sepertiku. Apa dia tidak mengenalku? Aku asyik bertanya dalam hati, hingga …. "Han.""Hani." Teguran Reni membuyarkan lamunanku tentang laki-laki di depanku saat ini. Aku terkesiap, sedikit malu juga takutnya Reni salah mengartikan diamku. Apalagi dari caraku memandang suaminya. "Eh, m–maaf." Aku menangkupkan tanganku ke dada, menolak bersalaman dengannya. Namun aku menyebutkan namaku layaknya orang yang saling berkenalan dengan sedikit menundukkan kepala. "Hanifah."Laki-laki bernama Alfian tersebut menarik tangannya kembali. Senyum tipis masih terulas padaku. Sedikit mengangguk juga padaku. "Beruntung kamu ketemu suamiku, Han. Biasanya dia sudah di rumah sakit.""Oh, dokte
"Kenapa Ren?" Aku tak sabar ingin tahu. Reni malah tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. "Tidak apa. Aku cuma kesenangan kamu mau tinggal di sini. Jadi aku ada temannya. Padahal aku berharap kamunya lama loh tinggal di sini." Ia menggamit lenganku manja. Melihatnya membuatku merasakan arti sebuah saudara. Reni tiga tahun diataskudiatasku, dan sikapnya barusan membuatku terharu. Aku memeluknya. "Terima kasih ya Ren. Kalau tidak ada kamu, aku nggak tahu harus bagaimana. Harus tinggal dimana dulu. Semuanya tidak berjalan sesuai rencanaku.""Kamu nggak mau cerita kenapa cerai?"Aku melepas pelukanku. "Aku malu Ren, soalnya ada aib yang harus kututupi.""Aib … suamimu?" tebak Reni terdengar hati-hati. "Hah?" Cukup kaget mendengarnya lalu kusunggingkan senyum tipis. Tak membenarkan juga apa yang barusan dikatakan Reni. "Iya, aku ngerti. Maaf ya." Kuanggukkan kepala mengiakan. Setelah itu Reni tak bertanya lagi, ia pamit pergi dan membiarkan aku istirahat di kamarnya. Alhamdulil