“Hadiah lagi? Senang banget ya jadi Bu Nita, sudah dapat suami ganteng, anak cakep, hidup enak gini, nggak usah kerja, apa lagi kurangnya? Hm, bikin iri.” Surti membatin iri pada Nita–majikannya setelah menerima kiriman paket dari kurir yang mengantarkan barang atas nama Akbar. Surti yakin itu isinya kado, dan mengira kado itu dari teman kerja majikannya tersebut, karena beberapa hari yang lalu baru saja berdatangan banyak hadiah atas nama rekan kerja Akbar dengan ucapan selamat atas kelahiran anaknya. “Surti, tolong bikinkan susu hangat buat Nita. Seperti biasanya, dan antar ke kamarnya, ya,” titah Bu Yusni–ibunya Nita yang tak sengaja berpapasan dengan Surti di ruang tengah. “Eh, iya, Bu. Baik.”Belum beranjak pergi, ibunya Nita menelisik benda yang berada di tangan Surti. ‘Kado?’ Pikir Bu Yusni. Ibunya Nita tahu betul itu kado dan pasti diperuntukkan pada Nita anaknya karena tak henti sejak anaknya melahirkan, berbagai hadiah tak henti berdatangan. “Tunggu! Itu apa, Sur, kado
“Astaga! Apa ini? Aku harus apa? Kenapa kakiku lemas buat berjalan?”Surti gemetaran saat tahu rahasia apa yang disembunyikan oleh istri majikannya. Ia baru tahu kalau anak yang baru saja dilahirkan Bu Nita bukanlah anak dari Pak Akbar, tapi anak dari laki-laki lain. “A–aku harus pergi! Minimal menjeda, memberi jarak waktu sebelum ke sini. Kalau aku langsung masuk ke dalam pasti mereka curiga kalau aku telah mendengar pembicaraan mereka. Posisiku bakal terancam. Apalagi kedua orang tersebut sebenarnya tidak menyukaiku. Di rumah ini cuma Nyonya besar sama Pak Akbar yang menerimaku dengan baik. Kalau aku gegabah dan melakukan kesalahan, pasti jadi celah keduanya untuk beralasan memecatku.” Surti berpikir keras dan langkahnya sudah bisa digerakkan untuk berbalik arah tapi belum juga melangkah tiba-tiba ….“Surti!”Deg! Jantungnya terasa ingin copot. Ada yang memanggilnya dan ia kenal betul suara siapa itu. “I–iya, Bu. Ada yang bisa dibantu?” Gegas Surti bertanya dengan gugup sebelum ny
Tok! Tok! Tok! Dengan perasaan gugup dan sedikit takut, Surti mengetuk pintu kamar Bu Nilam yang telah memintanya ke sana jika telah selesai dengan pekerjaannya. Ada hal penting yang ingin diketahui Bu Nilam. “Masuk!” Bu Nilam setengah berteriak meminta orang yang mengetuk pintu kamarnya untuk masuk. Ia yakin itu Surti. “Sini!” titah wanita paruh baya tersebut pada Surti. Dengan menganggukkan kepala Surti terus berjalan mendekati Bu Nilam. “Duduk!” ujarnya lagi saat Surti sudah berada di depannya dengan menyorot ke arah kursi di belakangnya. Kursi yang memang terletak di depan meja hias persis di dekat ranjang Bu Nilam. Suasana sempat hening sesaat karena Bu Nilam cuma menatap lekat Surti, seolah sedang menguliti sisi dalamnya, sedang wanita muda yang berumur 24 tahun tersebut semakin tertunduk karena tak nyaman ditatap sedekat itu. Ia juga tak berani bertanya lebih dulu perihal kenapa ia diminta ke kamar ini. Ia yakin ada hal yang penting sampai dipanggil secara khusus oleh maj
“Akbar, pulang jam berapa kemarin?” Bu Nilam bertanya saat tak sengaja berpapasan dengannya di ruang tengah. Bu Nilam ingin menuju dapur guna melihat kerja Surti di pagi hari ini, sedangkan Akbar baru keluar dari kamar tamu. Sejak Nita pulang bersama anak mereka, Akbar memilih tidur di kamar tamu karena ibu mertuanya kadang ikut tidur di kamar mereka guna membantu mengurus Kesya. “Hm …jam sebelas, Bu. Banyak kerjaan,” jawab Akbar seraya melebarkan mulut, menguap. Rasa ngantuk masih menderanya padahal sudah mandi dan rapi berpakaian kerja. “Jangan diforsir, Bar. Semampunya saja. Nanti kamu sakit, sia-sia kamu ngumpulin uang, ujung-ujungnya malah dihabiskan buat berobat,” sentil Bu Nilam mengingatkan. “Iya, mau bagaimana lagi, kan seminggu lagi acara tasyakuran buat Kesya.”“Sudah kasih tahu Nita? Ibu kemarin keceplosan cerita sama Nita, eh ternyata kamu belum ngomong, ya.” Tampak rasa bersalah. kepala Bu Nilam menoleh sekilas ke arah kamar yang ditempati Nita dan Akbar. Suaranya pun
Beni sudah berada di dekat kantor Akbar, tidak masuk ke sana tapi menunggu suruhannya saja yang mengantarkan paket yang diminta Hanifah antarkan ke kantor laki-laki tersebut. “Sudah Bos.” Seseorang menghampiri dan memberitahukan kalau perintahnya telah berhasil dijalankan. “Kasih ke siapa?” Beni memastikan. Dia tidak ingin salah lagi seperti kejadian kemarin dimana paket yang harusnya diterima Akbar, malah sepertinya tidak sampai ke orang yang dimaksud. Tidak terjadi apa-apa di rumah tersebut seperti bayangan Beni dan Hanifah. “Sama security-nya, Bos,” jawab orang tersebut yang umurnya tampak lebih muda dari Beni. “Katamu apa?” Beni awas bertanya kembali. “Tolong berikan ke Pak Akbar. Hadiah dari teman lamanya. Seperti yang Bos perintahkan,” sahutnya mengulangi apa yang diminta Beni. Laki-laki dengan kumis tipis tersebut manggut-manggut mempercayai perkataan bawahannya. “Ya, sudah. Ayo masuk. Kita pergi dari sini.”Tak selang berapa lama setelah mobil yang ditumpangi Beni membe
“Apa ini?!!” “Ini nggak benar!”Akbar meremas kuat surat yang isinya sungguh mengesalkannya. Bisa-bisanya ia dapat surat kaleng seperti ini. Belum lagi foto-foto yang barusan dilihatnya sungguh menyesakkan dada. Ingin membantah dan menolak mentah-mentah, tapi sisi hatinya yang lain mulai meragu. Apa benar istrinya ada hubungan dengan laki-laki tersebut dan apakah benar anak yang telah dilahirkan istrinya itu bukan anaknya? Tapi anak Nita dengan laki-laki tersebut? “Aaargh! Tidak! Itu tidak mungkin. Aku yang menghamili Nita. Aku ingat jelas malam pertamaku dengannya menyisakan bercak merah di seprei yang menandakan keperawanannya telah kurenggut. Ia juga kesakitan saat keperjakaanku menusuk dalam miliknya. Memang tidak begitu sulit menembusnya karena kupikir pemanasan yang kami lakukan sangat luar biasa. Bahkan dengan Nita lah aku merasa sangat menikmati dan terpuaskan. Dia seolah mampu menyeimbangi permainanku yang berjalan seirama atau … dia memang sudah ahli melakukannya? Berbeda
Akbar pulang ke rumah dengan perasaan kacau. Di kantor ia tak konsentrasi bekerja. Pikirannya terbagi dua. Antara Nita dan Hanifah. Ia sudah meragu akan anak yang dikandung Nita, mulai membenarkan berbagai macam kemungkinan kalau memang itu bukan anaknya. Dari wajah, hitungan kapan lahir, sampai surat kaleng yang menerornya. Sedangkan dengan Hanifah, ia cemburu. Tak rela mantannya itu mendapatkan laki-laki lain karena muncul harapan untuk kembali padanya lagi. Apalagi setelah melihat langsung seperti apa calonnya. Ia sungguh tak terima mendapat saingan yang lebih dari dirinya. “Pak, tumben sudah pulang?” Surti yang mendapati majikannya pulang lebih awal sedikit terkejut. Makin kaget lagi saat pertanyaannya cuma dilewati saja tanpa jawaban. Tatapan Akbar terlihat kosong. ‘Pak Akbar kenapa ya? Nggak biasanya cuekin aku. Apa dia sudah tahu rahasia istrinya ya? Kan ibu besar sudah tahu, meskipun tidak begitu mempercayaiku, tapi pasti sudah cerita sama Pak Akbar makanya wajahnya seperti
“Siapa ayahnya Kesya? Jawab!”Bentakan Akbar membuat Nita terkejut. Bukan hanya karena bentakannya, tapi pertanyaannya yang membuat Nita shock berat. “A–ayah Kesya? Ya k–kamu, Mas, siapa lagi,” jawab Nita tergagap. Ia sampai memundurkan langkah dengan badan gemetar. Tidak menyangka Akbar akan menanyakan pertanyaan tersebut padanya. Hatinya tak karuan, takut rahasia besar yang disimpannya terbongkar. Akbar tersenyum miring menyeringai. “Aku? Yakin? Jangan sampai aku bisa membuktikan kalau Kesya itu bukan anakku,” pelan, tapi mengandung ancaman. Akbar mencoba mengintimidasi istrinya. Ia tahu Nita sedang gugup dan takut, hal ini memperkuat dugaannya kalau ternyata apa yang dikatakan surat kaleng itu benar. Kesya bukan anaknya dan Nita telah membohonginya selama ini. Kalau memang tidak benar seharusnya Nita tidak gugup seperti sekarang ini, harusnya bersikap biasa saja. Lagi pula apa untungnya si pengirim surat kaleng melakukan semua ini, Akbar merasa tak punya musuh, dan kepentingan ap