Share

8. Pulang ke Rumah

Tiga hari aku berada di rumah sakit bersalin dan selama itu tidak tampak wajah suamiku datang menjenguk. Hanya Andi yang wara-wiri melihatku untuk menanyakan keperluanku yang habis. Aku terharu dengan perhatian ponakanku itu. Hingga di hari terakhir saat semua sudah siap dalam bagasi taksi, sosok itu lelaki yang sudah menjadi suamiku datang bersama seorang wanita yang lebih muda dari aku.

"Umi, kapan lahirannya?" tanya suamiku dengan wajah polosnya.

"Tiga hari yang lalu," jawabku datar.

"Adik perempuan atau lelaki?" tanyanya lagi.

Aku hanya menyibak selimut yang menutupi wajah putri kecilku itu. Senyum Yahya mengembang, jari telunjuknya menyusuri wajah putri kami. Dia begitu memuja wajah ayu dari bayi tersebut.

"Zaenab As Syari," lirih suamiku.

"Terima kasih atas pemberian namanya, aku pulang dulu. Sepertinya Abi lagi sibuk," ucapku datar sambil menyodorkan tanganku meminta uluran tangannya agar aku bisa mencium punggung tangan itu.

Yahya pun menyambut uluran tanganku, aku pun segera mencium punggung tangannya sebagai bukti baktiku pada suami. Sementara wanita muda yang berdiri di belakang Yahya menatapku sendu. Binar matanya yang tadi sempat berbinar kini meredup seketika saat aku melakukan ritual suami istri. Aku hanya melempar senyum tipis pada wanita itu.

"Umi hati-hati dijalan ya, abi masih harus mengantar Syila kontrol," kata suamiku.

Seketika sesak dadaku mendengar kalimatnya yang begitu perhatian pada wanita itu. Sungguh aku tidak mengerti apa yang ada dalam otak pria itu, hingga lebih memilih Syila daripada aku yang sudah sah secara hukum agama dan negara sebagai istrinya. Bagaimana aku tidak sakit hati melihat begitu lembutnya lelakiku memperlakukan wanitanya tersebut, sedangkan padaku.

"Ah, sudahlah. Mungkin dia hanya mengantar saja. Tunggu apa yang dia ungkapkan saat di rumah nanti," gumamku mencoba berpikir posistif akan perlakuan suamiku pada wanita muda tersebut.

Aku pun masuk dalam taksi dan memberi perintah pada sopir taksi untuk segera melaju ke alamat yang sudah aku katakan padanya. Taksi pun melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan rumah sakit itu dengan semua luka yang berhasil tertoreh dihatiku. Sakit memang sakit, mungkin inilah rasanya wanita yang dipoligami oleh suami.

Akhirnya taksi yang membawaku sampai di depan rumahku, kulihat Andi sibuk membakar ayam rupanya selama aku tinggal penjualan ayam bakar lancar dan tidak ada kendala. Aku sungguh berucap syukur pada Robbku yang selalu ada diberbagai keadaanku. Kupanggil ponakanku itu agar membantu aku dalam membawa beberapa barang bawaanku pasca persalinan.

Syukur selalu aku panjatkan pada karibaan pencipta, sungguh aku berusaha iklas memjalani semua tanpa banyak mengeluh. Wajar kan jika seorang istri mengeluh jika semua sudah tidak mampu menjalani seorang diri, pada siapa seorang istri mengeluh jika bukan pada suaminya selain pada Robbnya. Pada siapa aku berharap jika bukan pada suamiku selain Njunjunganku.

"Entah apa yang terjadi jika aku tanpamu, Putriku. Mungkin akan sepi apalagi semua kakak tirimu pergi ke pondok," keluhku sambil mendekap putriku.

"Bulek, tadi Pak Yahya pulang sebentar membawa seorang anak laki-laki berusia enam tahun. Siapakah dia, Lho?" tanya Andi.

"Laki-laki, usia enam tahun? Apa mungkin itu anak paman kamu yang bungsu, Andi, dimana dia saat ini?" tanyaku.

Andi belum sempat menjawab apa yang aku tanyakan, bukan karena dia tidak peduli melainkan karena dia sedang melayani pembeli. Aku menyadari tugasnya sebagai karyawanku, kutinggalkan Andi sendiri di warung melayani pembeli.

"Assalamualaikum!" salam kuucapkan saat membuka pintu. Hal ini sudah menjadi kebiasaanku agar rumah selalu memperoleh berkah.

Terdengar jawaban salam dari dalam kemudian muncul anak laki-laki yang berusia sekitar enam tahun. Anak itu pun berjalan menundukkan kepala, kemudian maju mendekat padaku. Tangan mungilnya terulur meminta barang bawaanku.

Aku diam menatap sosok itu mulai dari ujung kepala hingga ujung ibu jari kakinya. Hanya napas panjang perlahan yang bisa aku lakukan. Sungguh penampilan yang sangat dekil. Rasanya aku tidak sanggup untuk merawatnya. Entahlah, aku pun kembali belajar iklas.

"Umi, biar Abdul yang bawa barang itu. Kasihan adik bayi sepertinya tertekan oleh bawaan Umi." Anak itu berkata dengan nada sedikit bergetar, aku paham arti getaran pada suaranya.

Mungkin dia sedang takut padaku, seperti layaknya ibu tiri pada serial di tv. Ibu tiri pasti kejam, ringan tangan dan sering menyuruh. Namun, aku masih mampu berdiri dengan suara yang lirih khas suaraku. Anak itu masih mengulurkan tangannya menunggu apa yang aku katakan.

"Apa kabar, Abdul? Apa kamu sudah makan?" tanyaku.

Hening, anak itu hanya menggelengkan kepala. Entah apa yang ada di pikiran suamikh itu. Anaknya sendiri saja belum dikasih makan, apalagi yang lain. Apa seperti ini jika suami sedang tergila dengan wanita lain, lupa akan anak dan istri? Huft huuu.

"Beri hamba kesabaran ya Tuhanku!"

### Shaveera ###

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Jee Esmael
hatiku jd sakit melihat kamu diperlakukan begini Arini. Apa di negeri kamu ga ada undang² keluarga Islam? Suami begini sepatutnya dilaporkan ke kantor agama untuk menunut keadilan
goodnovel comment avatar
Mael Julius
justru yg tidak d mengerti itu apa yg ad d otakmu...suami gitu malah anteng...goblok
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status