Share

8. Pulang ke Rumah

Author: Shaveera
last update Last Updated: 2023-06-24 20:44:51

Tiga hari aku berada di rumah sakit bersalin dan selama itu tidak tampak wajah suamiku datang menjenguk. Hanya Andi yang wara-wiri melihatku untuk menanyakan keperluanku yang habis. Aku terharu dengan perhatian ponakanku itu. Hingga di hari terakhir saat semua sudah siap dalam bagasi taksi, sosok itu lelaki yang sudah menjadi suamiku datang bersama seorang wanita yang lebih muda dari aku.

"Umi, kapan lahirannya?" tanya suamiku dengan wajah polosnya.

"Tiga hari yang lalu," jawabku datar.

"Adik perempuan atau lelaki?" tanyanya lagi.

Aku hanya menyibak selimut yang menutupi wajah putri kecilku itu. Senyum Yahya mengembang, jari telunjuknya menyusuri wajah putri kami. Dia begitu memuja wajah ayu dari bayi tersebut.

"Zaenab As Syari," lirih suamiku.

"Terima kasih atas pemberian namanya, aku pulang dulu. Sepertinya Abi lagi sibuk," ucapku datar sambil menyodorkan tanganku meminta uluran tangannya agar aku bisa mencium punggung tangan itu.

Yahya pun menyambut uluran tanganku, aku pun segera mencium punggung tangannya sebagai bukti baktiku pada suami. Sementara wanita muda yang berdiri di belakang Yahya menatapku sendu. Binar matanya yang tadi sempat berbinar kini meredup seketika saat aku melakukan ritual suami istri. Aku hanya melempar senyum tipis pada wanita itu.

"Umi hati-hati dijalan ya, abi masih harus mengantar Syila kontrol," kata suamiku.

Seketika sesak dadaku mendengar kalimatnya yang begitu perhatian pada wanita itu. Sungguh aku tidak mengerti apa yang ada dalam otak pria itu, hingga lebih memilih Syila daripada aku yang sudah sah secara hukum agama dan negara sebagai istrinya. Bagaimana aku tidak sakit hati melihat begitu lembutnya lelakiku memperlakukan wanitanya tersebut, sedangkan padaku.

"Ah, sudahlah. Mungkin dia hanya mengantar saja. Tunggu apa yang dia ungkapkan saat di rumah nanti," gumamku mencoba berpikir posistif akan perlakuan suamiku pada wanita muda tersebut.

Aku pun masuk dalam taksi dan memberi perintah pada sopir taksi untuk segera melaju ke alamat yang sudah aku katakan padanya. Taksi pun melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan rumah sakit itu dengan semua luka yang berhasil tertoreh dihatiku. Sakit memang sakit, mungkin inilah rasanya wanita yang dipoligami oleh suami.

Akhirnya taksi yang membawaku sampai di depan rumahku, kulihat Andi sibuk membakar ayam rupanya selama aku tinggal penjualan ayam bakar lancar dan tidak ada kendala. Aku sungguh berucap syukur pada Robbku yang selalu ada diberbagai keadaanku. Kupanggil ponakanku itu agar membantu aku dalam membawa beberapa barang bawaanku pasca persalinan.

Syukur selalu aku panjatkan pada karibaan pencipta, sungguh aku berusaha iklas memjalani semua tanpa banyak mengeluh. Wajar kan jika seorang istri mengeluh jika semua sudah tidak mampu menjalani seorang diri, pada siapa seorang istri mengeluh jika bukan pada suaminya selain pada Robbnya. Pada siapa aku berharap jika bukan pada suamiku selain Njunjunganku.

"Entah apa yang terjadi jika aku tanpamu, Putriku. Mungkin akan sepi apalagi semua kakak tirimu pergi ke pondok," keluhku sambil mendekap putriku.

"Bulek, tadi Pak Yahya pulang sebentar membawa seorang anak laki-laki berusia enam tahun. Siapakah dia, Lho?" tanya Andi.

"Laki-laki, usia enam tahun? Apa mungkin itu anak paman kamu yang bungsu, Andi, dimana dia saat ini?" tanyaku.

Andi belum sempat menjawab apa yang aku tanyakan, bukan karena dia tidak peduli melainkan karena dia sedang melayani pembeli. Aku menyadari tugasnya sebagai karyawanku, kutinggalkan Andi sendiri di warung melayani pembeli.

"Assalamualaikum!" salam kuucapkan saat membuka pintu. Hal ini sudah menjadi kebiasaanku agar rumah selalu memperoleh berkah.

Terdengar jawaban salam dari dalam kemudian muncul anak laki-laki yang berusia sekitar enam tahun. Anak itu pun berjalan menundukkan kepala, kemudian maju mendekat padaku. Tangan mungilnya terulur meminta barang bawaanku.

Aku diam menatap sosok itu mulai dari ujung kepala hingga ujung ibu jari kakinya. Hanya napas panjang perlahan yang bisa aku lakukan. Sungguh penampilan yang sangat dekil. Rasanya aku tidak sanggup untuk merawatnya. Entahlah, aku pun kembali belajar iklas.

"Umi, biar Abdul yang bawa barang itu. Kasihan adik bayi sepertinya tertekan oleh bawaan Umi." Anak itu berkata dengan nada sedikit bergetar, aku paham arti getaran pada suaranya.

Mungkin dia sedang takut padaku, seperti layaknya ibu tiri pada serial di tv. Ibu tiri pasti kejam, ringan tangan dan sering menyuruh. Namun, aku masih mampu berdiri dengan suara yang lirih khas suaraku. Anak itu masih mengulurkan tangannya menunggu apa yang aku katakan.

"Apa kabar, Abdul? Apa kamu sudah makan?" tanyaku.

Hening, anak itu hanya menggelengkan kepala. Entah apa yang ada di pikiran suamikh itu. Anaknya sendiri saja belum dikasih makan, apalagi yang lain. Apa seperti ini jika suami sedang tergila dengan wanita lain, lupa akan anak dan istri? Huft huuu.

"Beri hamba kesabaran ya Tuhanku!"

### Shaveera ###

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Jee Esmael
hatiku jd sakit melihat kamu diperlakukan begini Arini. Apa di negeri kamu ga ada undang² keluarga Islam? Suami begini sepatutnya dilaporkan ke kantor agama untuk menunut keadilan
goodnovel comment avatar
Mael Julius
justru yg tidak d mengerti itu apa yg ad d otakmu...suami gitu malah anteng...goblok
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   168. Sebuah Keputusan Yang Sakit

    Aku pun memanggil Zahra dan Abdul setelah menurunkan semua barang bawaan Adam. Kedua anakku pun segera keluar dari rumah."Umi ingin membesuk abah kalian, siapa yang akan ikut dan tinggal di rumah?" tanyaku."Aku ikut saja, Umi. Biar Halimah di rumah bersama Arkan, kau bagaimana Abdul?" kata Adam."Aku ikut, mungkin Zahra saja yang tetap tinggal di rumah menemani Kak Halimah. Iya 'kan Zahra?" tanya Abdul yang memandangku lalu berganti pada Zahra.Putriku itu mengangguk tetapi mukanya cemberut, ada sebersit rasa kecewa. Namun, aku mencoba memberinya pengertian. Agar dia mau tinggal di rumah, akhirnya gadis kecilku pun setuju.Setelah kata sepakat tercapai, kami bertiga segera masuk ke dalam mobil. Sopir pun melajukan kendaraannya menuju ke Rumah Sakit Bayangkara. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah sakit itu. Keadaan jalanan yang sepi bagai kita mati membuat lalu lintas Surabaya begitu lengang.Kuinjakkan kakiku dengan napas berat, kuatur ulang pola napasku dan hatiku. Mampuka

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   167. Memberi Kabar

    Aku terdiam cukup lama, mencari jalan keluar untuk masalah ini. Akhirnya kucoba hubungi Adam untuk menyelesaikan masalah ini. Mengingat ini berita sangat penting akhirnya kupaksakan hatiku. Panggilang terhubung tetapi belum diangkat. Hingga panggilan yang kedua barulah diangkat, kudengar suara wanita yang lembut."Assalamualaikum, Umi! Ada apa dini hati seperti ini hubungi mas Adam?" kata Halimah."Waalaikumsalam, Halimah. Ini abah baru saja mengalami kecelakaan bersama istri sirinya, saat ini sudah ditangani oleh polisi dan masuk ke RS. Polda. Sedangkan pesanan ayam bakar untuk esok setelah salat idul fitri ada 150 ayam, tolong Umi!" paparku tanpa ku tutupi.Hening, aku masih menunggu reaksi lanjutan dari seberang. Aku masih diam, tetapi kudengar langkah mendekat dan duduk di sampingku."Biar Abdul yang lihat kondisi abah, Umi. Berhubung ini sudah menjelang dini hari, sebaiknya Umi pejamkan mata agar esok terasa sedikit segar!" pinta Abdul."Benar apa yang dikatakan oleh Abdul, Umi.

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   166. Kabar Duka

    Aku pun hanya tersenyum di balik cadar untuk melepas kepergian suamiku. Sebenarnya sudah hal biasa dia pergi tinggalkan aku sendiri dalam memberesi semua pekerjaan, tetapi malam ini ada yang berbeda. Sebuah rasa was was menelusup di relung hati, Abdul pun yang juga ada di dekatku hanya berdiri mematung menatap kepergian abahnya."Apakah ini tidak apa, Umi?" tanya Abdul."Semoga saja tidak, Abdul. Kita bereskan ini lebih dulu, lalu segera istirahat agar esok menjelang subuh bisa bakar ayam dalam keadaan fit!" kataku sambil mulai memberesi barang.Abdul pun segera melakukan apa yang aku perintahkan dengan rapi. Semua lantai teras dibersihkan dan langsung dia pel. Hal ini kami lakukan dengan bekerja sama, bahkan kali ini Zahra juga ikut turun. Putriku itu membantu membereskan semua wadah baskom yang sudah aku cuci. Cukup lama waktu yang kami gunakan untuk membersihkan teras, hingga pukul delapan malam semua baru selesai. Aku menutup warung lebih dulu tetapi masih berada di dalam. Kulih

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   165. Tiga Hari Akhir Puasa

    Sesaat Bulan pun sampai dari belanjanya, kemudian kutatap manik mata wanita itu. Bulan menjadi salah tingkah, dia merasa bingung mengartikan tatapanku padanya. Lalu wanita muda itu mengalihkan pandangannya ke Sambuel sambil mengangkat dagunya. Samuel kulihat menggedikkan bahu."Apa yang sedang kalian sembunyikan?" tanyaku sambil menatap keduanya bergantian.Bulan menggelengkan kepala tanda dia tidak mengerti apa yang aku tanyakan, sedangkan Samuel hanya senyum simpul membuatku semakin geram dan penasaran. "Bisa kau jelaskan alasan kamu masuk pagi, Sam?" tanyaku lebih detail lagi.Samuel menarik napas panjang, lalu dihempas perlahan. Setelahnya dia menatap sepeda motor pengantar ayam gembung. Pak Roni sendiri yang antar ayam gembung itu. Ini kesempatanku untuk bertanya berapa suamiku mengorder ayam hari ini."Bu Arini ini ayamnya masih separo ya, sisanya nanti sekitar jam sepuluhan!" kata Roni."Sebentar to, Pak. Memangnya suamiku pesan berapa?" tanyaku."100 ekor ayam, untuk tiga har

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   164. Salah Paham

    "Apakah Umi sudah lupa? Atau kasih ijin dalam diam?" cerca Yahya padaku.Jujur aku diam bukan karena lupa atau apapun itu, sungguh suamiku itu mahkluk adam yang tidak peka. Siapa dia meminta ijin wanita lain masuk ke dalam rumah pribadiku. Rumah warisan dari orang tuaku, sedangkan dia di sini numpang. Meskipun uang untuk ganti warisan para saudaraku yang lain merupakan hasil kerja ayam bakar tetapi itu tetap hal aku yang terbanyak.Aku hanya bisa mendesah kesal, tetapi untuk terucap rasanya enggan. Lebih baik diam saja daripada nanti lisanku mengeluarkan kata berbobot yang diijabah Allah malaah lebih parah. Seperti kara para orang tua dulu, jika istri atau ibu yang teraniaya mengucapkan kata balas dendam bisa langsung terjadi. Mengingat nasehat itu membuatku menjaga lisanku baik suara maupun batin. Aku tidak mau berucap yang bisa menjadi doa dan berakibat fatal. Apalagi ini menyangkut nasib anak-anak ke depan."Umi, kok diam. Jawab dong!" pinta Yahya dengan nada lembut."Tidak aku ja

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   163. Penjelasan

    Aku dan Zahra melangkah tanpa memedulikan panggilan suamiku. Zahra pun terlihat lebih memilih aku dari abahnya, dia kulihat langsung meraih ponselnya. Entah siapa yang akan dia hubungi, aku hanya menunggu duduk di sebelahnya. Bibir Zahra tersenyum kala panggilannya tersambung."Asslaamualaikum, Kak Abdul! Aku mau curhat ini, dengerin yaa!" sapa Zahra sekalian dia meminta pada kakaknya itu. Aku tersenyum.Lalu Zahra mulai menceritakan semua kejadian yang baru saja dialaminya di teras rumah tadi. Aku yang mendengar hanya geleng kepala, sungguh putriku itu meluapkan emosinya pada kakak tirinya. "Dia abah kamu lho, Kak. Mana ada seorang abah kok kek gitu, bawa anak dari wanita lain yang bahkan bukan darah dagingnya. Pokoknya aku tidak mau tahu, nanti Kak Abdul harus ikut merawat umiku. Enak saja!" Begitu keluh Zahra pada kakaknya, "Dan tanggung jawab padaku juga lho, janji!" lanjutnya memastikan apa yang diucapkan oleh Abdul.Aku hanya tersenyum saat Zahra menutup panggilannya itu. Lalu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status