Share

7. Kelahiran Tanpa Suami

Penulis: Shaveera
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-24 19:59:32

"Bagaimana ini, Bulek, apa perlu saya antar ke rumah sakit?" tanya Andi padaku.

Aku diam, mencoba berpikir untuk jalan keluar yang terbaik. Warung hanya ada aku dan Andi, maka aku harus berani mengambil keputusan yang terbaik. Akhirnya aku pun meminta Andi untuk memesabkan taksi yang akan membawaku ke rumah sakit milik pemerintah kota. Dengan berbekal surat jaminan kesehatan puskesmas atau biasa disebut Jamkesmas, jaminan ini bisa digunakan untuk kelahiran.

"Jika Bulek berangkat sendiri apa tidak apa?" tanya Andi dengan nada khawatir.

Aku tersenyum, kemudian kujelaskan jika semua keluar siapa yang akan menjaga rumah dan warung. Dengan alasan itu lah aku berbagi tugas dengan Andi, akhirnya Andi setuju dengan ideku itu. Taksi yang akan membawaku akhirnya datang, aku segera bersiap untuk berangkat. Andi membantuku memasukan beberapa barang yang aku bawa.

"Bulek nanti kabari Andi, Ya. Apalagi jika butuh sesuatu terutama duit buat pegangan," kaya Andi penuh rasa khawatir dengan keadaanku.

"Jangan khawatir, semua kebutuhanku sudah dicafer oleh pemkot," balasku mencoba mengurangi rasa khawatir Andi.

"Oya, jika paman kamu nanti pulang katakan saja jika aku sudah berangkat ke rumah sakit bersalin milik pemerintah kota. Dan jika hingga malam dia belum pulang, maka bulek mohon jaga rumah dan warung ini, Ya!" kataku penuh harap.

Andi mengangguk dan menutup pintu taksi untukku. Setelah semua tertutup barulah taksi itu meluncur meninggalkan rumahku menuju ke rumah sakit pemkot. Aku selalu melafalkan kalimat syahadat dan takbir, mengangungkan kebesaran Tuhanku. Sopir taksi membawaku dengan kecepatan pelan, sesekali dia menatapku melalui kaca.

Aku hanya mengulas senyum tipis jika mata kami saling bertabrakan. Sopir taksi itu kelihatan begitu ingin berbincang denganku, tetapi sepertinya dia menahan rasa ingin tahunya. Aku pun akhirnya memandang jalan raya untuk melupakan rasa nyeri yang terkadang datang menyapa. Perjalanan cukup lancar hingga dalam waktu 30 menit taksi sudah memasuki lobi rumah sakit.

"Bisa antar saya di ugd, Pak?" tanyaku.

Sopir taksi itu pun tidak menjawab pertanyaanku, dia langsung saja membelokkan kendaraannya menuju ke UGD. Setelah sampai segera dia berlarinke sisi pintu untuk aku keluar. Dibukanya pintu belakang taksi untukku.

"Terima kasih, Pak. Ini ongkos untuk semuanya," kataku sambil menyodorkan uang kertas berwarna merah.

"Ini terlalu banyak, Bu," kata sopir itu, aku pun tersenyum ramah.

"Tidak apa, Pak. Katena taksi Bapak lah aku sampai dengan selamat di sini," balasku.

"Semoga proses kelahirannya lancar dan selamat ibu juga bayinya," doa tulus sopir tersebut.

Aku pun tersenyum dan mengangguk sebagai ucapan terima kasih, kemudian aku melangkah menuju ke ruang pendaftaran. Semua kelengkapan syarat Jamkesmas sudah aku siapkan sehingga mempermudah proses aku mendapatkan ruang bersalin. Aku pun dibawa oleh perawat yang bernama Susi.

"Mari saya antar ke ruangan sementara, Bu!" ajak Susi yang aku baca dari papan nama yang tersemat di dada kanannya.

"Iya," jawabku sambil mengikuti langkah Mbak Susi.

Setelah sampai di ruang pemeriksaan aku pun disuruh untuk berbaring agar mudah untuk diperiksanya. Dengan telaten perawat itu melakukan pemeriksaan atas kondisi tubuhku. Mulai denyut jantung janin dalam kandungan hingga tensi darahku diperiksa dengan teliti.

"Bagus, Bu. Pertahankan kondisinya, ini baru bukaan lima," kata perawat tersebut.

Aku hanya mengangguk tanpa tahu arti bukaan lima. Yang aku tahu dan rasakan sakitnya perutku, ada sesuatu yang mendorong dalam perutku

Seakan dia ingin segera keluar

Aku pun mengikuti setiap hentakan yang di dalam perut. Semakin lama semakin terasa hentakan itu, aku makin cepat jarak mengejan.

"To-tolong, ini saya sudah tidak tahan!" ucapku sambil sesekali mengambil napas panjang.

Suaraku yang sedikit keras membuat dua orang segera masuk dalam ruangan dan dengan cepat melakukan pemeriksaan denyut jantung janin dalam perutku. Salah satu perawat itu keluar ruangan dan beberapa saat kemudian dia balik masuk dengan seorang dokter wanita.

"Bagaimana Diska, kondisi janinnya?" tanya dokter Clara, name tag yang berhasil aku baca.

Diska pun melepas alat diteksi jantung, kemudian menyiapkan sarung tangan dan alat yang lain. Dokter itu pun menerima sarung tangan yang diulurkan oleh Diska. Perawat itu tidak ada suara yang keluar dari mulutnya hanya semua tindakannya yang menjawab semua.

"Maafkan Diska ya, Bu. Dia seorang tuna wicara," kata sang dokter memberitahu padaku.

Aku terdiam, tetapi melihat senyum Diska akupun ikit tersenyum aku begitu terharu dengan cara kerja perawat itu yang begitu cekatan dalam menangani keluhanku. Dokter Clara pun segera bertindak, semua terasa cepat bagiku hingga beberapa saat sudah kudengar suara tangis bayi.

"Alhamdulillah," ucapku lirih.

"Selamat Bu, bayinya perempuan dan sehat!" kata Dokter Clara.

Aku tersenyum sambil melihat bayi merah yang ditenteng oleh sang dokter. Kaki anakku diangkat keatas dengan posisi kepala dibawah. Hal ini bertujuan agar semua cairan bisa keluar dari tubuhnya. Dan benar, cairan bening keluar dari mulut mungil itu. Aku menatap penuh haru akan sosok kecil itu.

"Terima kasih, Tuhan. Kau limpahkan semua rezekimu padaku hari ini dan seterusnya," doaku dalam hati.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   168. Sebuah Keputusan Yang Sakit

    Aku pun memanggil Zahra dan Abdul setelah menurunkan semua barang bawaan Adam. Kedua anakku pun segera keluar dari rumah."Umi ingin membesuk abah kalian, siapa yang akan ikut dan tinggal di rumah?" tanyaku."Aku ikut saja, Umi. Biar Halimah di rumah bersama Arkan, kau bagaimana Abdul?" kata Adam."Aku ikut, mungkin Zahra saja yang tetap tinggal di rumah menemani Kak Halimah. Iya 'kan Zahra?" tanya Abdul yang memandangku lalu berganti pada Zahra.Putriku itu mengangguk tetapi mukanya cemberut, ada sebersit rasa kecewa. Namun, aku mencoba memberinya pengertian. Agar dia mau tinggal di rumah, akhirnya gadis kecilku pun setuju.Setelah kata sepakat tercapai, kami bertiga segera masuk ke dalam mobil. Sopir pun melajukan kendaraannya menuju ke Rumah Sakit Bayangkara. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah sakit itu. Keadaan jalanan yang sepi bagai kita mati membuat lalu lintas Surabaya begitu lengang.Kuinjakkan kakiku dengan napas berat, kuatur ulang pola napasku dan hatiku. Mampuka

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   167. Memberi Kabar

    Aku terdiam cukup lama, mencari jalan keluar untuk masalah ini. Akhirnya kucoba hubungi Adam untuk menyelesaikan masalah ini. Mengingat ini berita sangat penting akhirnya kupaksakan hatiku. Panggilang terhubung tetapi belum diangkat. Hingga panggilan yang kedua barulah diangkat, kudengar suara wanita yang lembut."Assalamualaikum, Umi! Ada apa dini hati seperti ini hubungi mas Adam?" kata Halimah."Waalaikumsalam, Halimah. Ini abah baru saja mengalami kecelakaan bersama istri sirinya, saat ini sudah ditangani oleh polisi dan masuk ke RS. Polda. Sedangkan pesanan ayam bakar untuk esok setelah salat idul fitri ada 150 ayam, tolong Umi!" paparku tanpa ku tutupi.Hening, aku masih menunggu reaksi lanjutan dari seberang. Aku masih diam, tetapi kudengar langkah mendekat dan duduk di sampingku."Biar Abdul yang lihat kondisi abah, Umi. Berhubung ini sudah menjelang dini hari, sebaiknya Umi pejamkan mata agar esok terasa sedikit segar!" pinta Abdul."Benar apa yang dikatakan oleh Abdul, Umi.

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   166. Kabar Duka

    Aku pun hanya tersenyum di balik cadar untuk melepas kepergian suamiku. Sebenarnya sudah hal biasa dia pergi tinggalkan aku sendiri dalam memberesi semua pekerjaan, tetapi malam ini ada yang berbeda. Sebuah rasa was was menelusup di relung hati, Abdul pun yang juga ada di dekatku hanya berdiri mematung menatap kepergian abahnya."Apakah ini tidak apa, Umi?" tanya Abdul."Semoga saja tidak, Abdul. Kita bereskan ini lebih dulu, lalu segera istirahat agar esok menjelang subuh bisa bakar ayam dalam keadaan fit!" kataku sambil mulai memberesi barang.Abdul pun segera melakukan apa yang aku perintahkan dengan rapi. Semua lantai teras dibersihkan dan langsung dia pel. Hal ini kami lakukan dengan bekerja sama, bahkan kali ini Zahra juga ikut turun. Putriku itu membantu membereskan semua wadah baskom yang sudah aku cuci. Cukup lama waktu yang kami gunakan untuk membersihkan teras, hingga pukul delapan malam semua baru selesai. Aku menutup warung lebih dulu tetapi masih berada di dalam. Kulih

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   165. Tiga Hari Akhir Puasa

    Sesaat Bulan pun sampai dari belanjanya, kemudian kutatap manik mata wanita itu. Bulan menjadi salah tingkah, dia merasa bingung mengartikan tatapanku padanya. Lalu wanita muda itu mengalihkan pandangannya ke Sambuel sambil mengangkat dagunya. Samuel kulihat menggedikkan bahu."Apa yang sedang kalian sembunyikan?" tanyaku sambil menatap keduanya bergantian.Bulan menggelengkan kepala tanda dia tidak mengerti apa yang aku tanyakan, sedangkan Samuel hanya senyum simpul membuatku semakin geram dan penasaran. "Bisa kau jelaskan alasan kamu masuk pagi, Sam?" tanyaku lebih detail lagi.Samuel menarik napas panjang, lalu dihempas perlahan. Setelahnya dia menatap sepeda motor pengantar ayam gembung. Pak Roni sendiri yang antar ayam gembung itu. Ini kesempatanku untuk bertanya berapa suamiku mengorder ayam hari ini."Bu Arini ini ayamnya masih separo ya, sisanya nanti sekitar jam sepuluhan!" kata Roni."Sebentar to, Pak. Memangnya suamiku pesan berapa?" tanyaku."100 ekor ayam, untuk tiga har

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   164. Salah Paham

    "Apakah Umi sudah lupa? Atau kasih ijin dalam diam?" cerca Yahya padaku.Jujur aku diam bukan karena lupa atau apapun itu, sungguh suamiku itu mahkluk adam yang tidak peka. Siapa dia meminta ijin wanita lain masuk ke dalam rumah pribadiku. Rumah warisan dari orang tuaku, sedangkan dia di sini numpang. Meskipun uang untuk ganti warisan para saudaraku yang lain merupakan hasil kerja ayam bakar tetapi itu tetap hal aku yang terbanyak.Aku hanya bisa mendesah kesal, tetapi untuk terucap rasanya enggan. Lebih baik diam saja daripada nanti lisanku mengeluarkan kata berbobot yang diijabah Allah malaah lebih parah. Seperti kara para orang tua dulu, jika istri atau ibu yang teraniaya mengucapkan kata balas dendam bisa langsung terjadi. Mengingat nasehat itu membuatku menjaga lisanku baik suara maupun batin. Aku tidak mau berucap yang bisa menjadi doa dan berakibat fatal. Apalagi ini menyangkut nasib anak-anak ke depan."Umi, kok diam. Jawab dong!" pinta Yahya dengan nada lembut."Tidak aku ja

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   163. Penjelasan

    Aku dan Zahra melangkah tanpa memedulikan panggilan suamiku. Zahra pun terlihat lebih memilih aku dari abahnya, dia kulihat langsung meraih ponselnya. Entah siapa yang akan dia hubungi, aku hanya menunggu duduk di sebelahnya. Bibir Zahra tersenyum kala panggilannya tersambung."Asslaamualaikum, Kak Abdul! Aku mau curhat ini, dengerin yaa!" sapa Zahra sekalian dia meminta pada kakaknya itu. Aku tersenyum.Lalu Zahra mulai menceritakan semua kejadian yang baru saja dialaminya di teras rumah tadi. Aku yang mendengar hanya geleng kepala, sungguh putriku itu meluapkan emosinya pada kakak tirinya. "Dia abah kamu lho, Kak. Mana ada seorang abah kok kek gitu, bawa anak dari wanita lain yang bahkan bukan darah dagingnya. Pokoknya aku tidak mau tahu, nanti Kak Abdul harus ikut merawat umiku. Enak saja!" Begitu keluh Zahra pada kakaknya, "Dan tanggung jawab padaku juga lho, janji!" lanjutnya memastikan apa yang diucapkan oleh Abdul.Aku hanya tersenyum saat Zahra menutup panggilannya itu. Lalu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status