Share

7. Kelahiran Tanpa Suami

"Bagaimana ini, Bulek, apa perlu saya antar ke rumah sakit?" tanya Andi padaku.

Aku diam, mencoba berpikir untuk jalan keluar yang terbaik. Warung hanya ada aku dan Andi, maka aku harus berani mengambil keputusan yang terbaik. Akhirnya aku pun meminta Andi untuk memesabkan taksi yang akan membawaku ke rumah sakit milik pemerintah kota. Dengan berbekal surat jaminan kesehatan puskesmas atau biasa disebut Jamkesmas, jaminan ini bisa digunakan untuk kelahiran.

"Jika Bulek berangkat sendiri apa tidak apa?" tanya Andi dengan nada khawatir.

Aku tersenyum, kemudian kujelaskan jika semua keluar siapa yang akan menjaga rumah dan warung. Dengan alasan itu lah aku berbagi tugas dengan Andi, akhirnya Andi setuju dengan ideku itu. Taksi yang akan membawaku akhirnya datang, aku segera bersiap untuk berangkat. Andi membantuku memasukan beberapa barang yang aku bawa.

"Bulek nanti kabari Andi, Ya. Apalagi jika butuh sesuatu terutama duit buat pegangan," kaya Andi penuh rasa khawatir dengan keadaanku.

"Jangan khawatir, semua kebutuhanku sudah dicafer oleh pemkot," balasku mencoba mengurangi rasa khawatir Andi.

"Oya, jika paman kamu nanti pulang katakan saja jika aku sudah berangkat ke rumah sakit bersalin milik pemerintah kota. Dan jika hingga malam dia belum pulang, maka bulek mohon jaga rumah dan warung ini, Ya!" kataku penuh harap.

Andi mengangguk dan menutup pintu taksi untukku. Setelah semua tertutup barulah taksi itu meluncur meninggalkan rumahku menuju ke rumah sakit pemkot. Aku selalu melafalkan kalimat syahadat dan takbir, mengangungkan kebesaran Tuhanku. Sopir taksi membawaku dengan kecepatan pelan, sesekali dia menatapku melalui kaca.

Aku hanya mengulas senyum tipis jika mata kami saling bertabrakan. Sopir taksi itu kelihatan begitu ingin berbincang denganku, tetapi sepertinya dia menahan rasa ingin tahunya. Aku pun akhirnya memandang jalan raya untuk melupakan rasa nyeri yang terkadang datang menyapa. Perjalanan cukup lancar hingga dalam waktu 30 menit taksi sudah memasuki lobi rumah sakit.

"Bisa antar saya di ugd, Pak?" tanyaku.

Sopir taksi itu pun tidak menjawab pertanyaanku, dia langsung saja membelokkan kendaraannya menuju ke UGD. Setelah sampai segera dia berlarinke sisi pintu untuk aku keluar. Dibukanya pintu belakang taksi untukku.

"Terima kasih, Pak. Ini ongkos untuk semuanya," kataku sambil menyodorkan uang kertas berwarna merah.

"Ini terlalu banyak, Bu," kata sopir itu, aku pun tersenyum ramah.

"Tidak apa, Pak. Katena taksi Bapak lah aku sampai dengan selamat di sini," balasku.

"Semoga proses kelahirannya lancar dan selamat ibu juga bayinya," doa tulus sopir tersebut.

Aku pun tersenyum dan mengangguk sebagai ucapan terima kasih, kemudian aku melangkah menuju ke ruang pendaftaran. Semua kelengkapan syarat Jamkesmas sudah aku siapkan sehingga mempermudah proses aku mendapatkan ruang bersalin. Aku pun dibawa oleh perawat yang bernama Susi.

"Mari saya antar ke ruangan sementara, Bu!" ajak Susi yang aku baca dari papan nama yang tersemat di dada kanannya.

"Iya," jawabku sambil mengikuti langkah Mbak Susi.

Setelah sampai di ruang pemeriksaan aku pun disuruh untuk berbaring agar mudah untuk diperiksanya. Dengan telaten perawat itu melakukan pemeriksaan atas kondisi tubuhku. Mulai denyut jantung janin dalam kandungan hingga tensi darahku diperiksa dengan teliti.

"Bagus, Bu. Pertahankan kondisinya, ini baru bukaan lima," kata perawat tersebut.

Aku hanya mengangguk tanpa tahu arti bukaan lima. Yang aku tahu dan rasakan sakitnya perutku, ada sesuatu yang mendorong dalam perutku

Seakan dia ingin segera keluar

Aku pun mengikuti setiap hentakan yang di dalam perut. Semakin lama semakin terasa hentakan itu, aku makin cepat jarak mengejan.

"To-tolong, ini saya sudah tidak tahan!" ucapku sambil sesekali mengambil napas panjang.

Suaraku yang sedikit keras membuat dua orang segera masuk dalam ruangan dan dengan cepat melakukan pemeriksaan denyut jantung janin dalam perutku. Salah satu perawat itu keluar ruangan dan beberapa saat kemudian dia balik masuk dengan seorang dokter wanita.

"Bagaimana Diska, kondisi janinnya?" tanya dokter Clara, name tag yang berhasil aku baca.

Diska pun melepas alat diteksi jantung, kemudian menyiapkan sarung tangan dan alat yang lain. Dokter itu pun menerima sarung tangan yang diulurkan oleh Diska. Perawat itu tidak ada suara yang keluar dari mulutnya hanya semua tindakannya yang menjawab semua.

"Maafkan Diska ya, Bu. Dia seorang tuna wicara," kata sang dokter memberitahu padaku.

Aku terdiam, tetapi melihat senyum Diska akupun ikit tersenyum aku begitu terharu dengan cara kerja perawat itu yang begitu cekatan dalam menangani keluhanku. Dokter Clara pun segera bertindak, semua terasa cepat bagiku hingga beberapa saat sudah kudengar suara tangis bayi.

"Alhamdulillah," ucapku lirih.

"Selamat Bu, bayinya perempuan dan sehat!" kata Dokter Clara.

Aku tersenyum sambil melihat bayi merah yang ditenteng oleh sang dokter. Kaki anakku diangkat keatas dengan posisi kepala dibawah. Hal ini bertujuan agar semua cairan bisa keluar dari tubuhnya. Dan benar, cairan bening keluar dari mulut mungil itu. Aku menatap penuh haru akan sosok kecil itu.

"Terima kasih, Tuhan. Kau limpahkan semua rezekimu padaku hari ini dan seterusnya," doaku dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status