Share

Taklif Di Laut Selatan

Ombak yang indah,

Matahari yang menyengat terik, serta

Fajar dan Senja yang tak bisa bersatu.

* * *

Taklif menarik napas dalam, ini adalah momen yang baik untuknya menemukan kekasih hati. Cewe yang sudah menarik hatinya, sejak akhir semester lalu. Ketika mereka berbincang di waktu yang paling menegangkan.

Cewe itu berkulit putih, berambut panjang, dengan mata bulat coklat yang indah. Senyum gigi gingsulnya nampak manis. Taklif tidak bisa lupa dengan pertolongan sederhana, yang diberikan cewe itu padanya. Rasa cemas yang sering mengganggunya, membuat ia melupakan alat tulisnya, sementara waktu ujian masuk sudah di ujung tanduk. Dan sosok cewe impiannya itu, hadir di saat Taklif sedang membutuhkannya.

Kali ini Taklif harus bisa menemukannya sekali lagi, karena terakhir kali ia tidak dapat bertemu-- terhalang waktu libur semester. Mata berbingkai itu mencari, sosok tambatan hati.

"Lif! Lu udah nemu?" Wira menepuk pundak Taklif, memeriksa toples plastik mereka.

"Belum. Masih dicari nih."

"Hmm, lu udah cari di tempat-tempat sempit juga?" 

"Hah? Kenapa dia ada di tempat begituan? Mana mungkinlah!"

"Ya mungkinlah, bahkan bisa jadi nyempil Lif."

"Gak mungkin! Kalau dia nyempil, kasian kan' dan pasti bakal banyak yang bantu."

Wira bengong, mendengar jawaban Taklif yang aneh. Mata Wira melirik Taklif, pemuda itu masih mencari ke arah sebaliknya, bukan ke pesisir batu karang untuk mencari spesimen bintang laut. Tangan Wira menggeplak leher si kacamata keras, sampai pemuda itu mengaduh dan nyaris terjengkang. Omelan Wira berhamburan keluar, satwa di tangannya terabsen mengumpat di wajah Taklif. Mungkin karena matahari siang ini menyengat dahsyat, nyaris ke ubun-ubun, apa lagi terpantul melalui bias air laut yang langsung menyengat kulit. Di tambah dengan air laut yang membuat kulit terasa gatal, emosi Wira tak dapat terkontrol.

Sementara Aiza yang sudah mengumpulkan spesimen, memerhatikan mereka dari sudut pohon rindang. Menikmati angin sepoi-sepoi dari arah laut, sosok di belakangnya berbisik-bisik yang terdengar di telinga. Namun Aiza mencoba dengan keras mengabaikannya, "Zaaa! Tolongin saya! Si Wira gilaaa!" Teriak Taklif berlari ke arah Aiza, menyimpan sembarangan spesimen mereka, bersembunyi di balik punggung Aiza.

"Minggir Za, lu jangan belain dia! Gua cape-cape dia malah nyari cewe, tambatan hatilah, first love lah, tai banget! Dari tadi gua kerja sendiri, sini lu mata empat!" Gerutu Wira yang merasa tenggorokannya kering kerontang, bisa-bisa dia kena dehidrasi kembali. Aiza mengulurkan botol air mineral yang diterima Wira cepat, membuka dan meminumnya dengan sekali teguk hingga bersisa setengah.

Mereka duduk bertiga mendinginkan otak sejenak, setelah dari pagi berkeliaran di sepanjang pesisir pantai berkarang. Taklif masih meringkuk di sisi kanan Aiza, berwajah sedih dengan kacamata beruap keringat. Sementara Wira duduk berselonjor, membiarkan pasir menyentuh kulit telapak kakinya. Semua mahasiswa masih sibuk mencari, bermain ombak sesekali, atau mengambil gambar di waktu senggang.

"Sorry Lif," ucap Wira membuka suara setelah 30 menit, mereka menikmati semilir angin laut selatan. "Gua tau lu pasti nyari momen ini, biar bisa ketemu cewe yang lu taksir. Sorry, gua kurang peka." 

"Gak papa, saya juga salah. Maaf. Harusnya... Saya nyari spesimen dulu bareng kamu, tapi saya malah..." Diam kembali, keduanya tertawa bersama, merasa konyol sendiri. 

"Tapi nih ya, seharusnya yang kita berdua salahin'tu si Aiza." Yang dipanggil kaget, "Karena dia malah duduk ngadem di sini, sementara kita nyari sampai kepanasan!" Wira menarik pundak Aiza, memiting kepala pemuda itu sampai mengaduh. Aiza menjelaskan dia sudah menemukan semuanya, menarik toples-toples di belakang tempat mereka duduk dan... semuanya menghilang. Isi dalam toples yang di bawanya menghilang.

"Lu bohongkan! Dasar Aiza, cepet bantu cari sekarang giliran lu yang cari sana!" Dorong Wira menyuruhnya berdiri, dan mencari beberapa spesimen kembali ke pesisir karang. Sementara Taklif dan Wira berteduh.

Aiza benar-benar terkejut, bagaimana bisa spesimen yang ia cari menghilang semua. "Kau harus bermain sebentar dengan kami..." Suara bisikan itu mengagetkannya, ia melirik ke kiri dan kanan tapi tak ada siapapun berada di dekatnya. Hanya sekitar enam meteran, beberapa mahasiswa yang juga masih mencari di sebelah kanannya. Tapi apa iya, suara mereka bisa sampai terdengar jelas seperti itu?

"WOY!" Tepukan Wira membuat tubuh Aiza refleks melompat kecil, si pemuda berambut gondrong itu terkikik. Di ikuti Taklif di belakangnya, "lu mah di suruh nyari malah bengong mulu, udahlah kita ban--!"

"Derana!" Ucap Taklif memotong kalimat Wira, membuat tiga pasang mata itu memandang satu mahluk hidup yang sama. Sosok wanita cantik dengan gigi gingsul yang manis.

"Hai Taklif, udah berhasil nemu semua?" Sapa gadis itu, sambil bertanya pada pemuda berkacamata.

"Be-belum sih, kamu gimana?" Taklif nampak gugup, dua rekannya bisa melihat cuping telinga Taklif yang memerah. (Mungkin karena panas matahari kali, toh kulitnya juga jadi hitam).

Gadis itu menggeleng, "kamu punya spesimen lebih satu gak, aku boleh minta?"

"I-itu.." Taklif melirik kedua sobatnya, "oh! Ini Wira Mandala, kan? Hai, aku temennya Emma di SMA. Kita pernah ketemu dulu, waktu kamu main basket." Gadis itu memperkenalkan diri pada Wira, Taklif kikuk, Wira menanggapinya dengan ramah walau sedikit tak enak hati dengan Taklif.[]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status