Share

Booster

Author: Erna Azura
last update Last Updated: 2024-10-05 08:23:26

“Anya … kamu pinjam uang ke siapa untuk bayar pengobatan ibu? Hutang kita ke bu RT aja belum dibayar.”

Zevanya yang sedang memasukan barang-barang ibunya ke dalam tas kemudian membatu.

Dia lantas menoleh menatap ibu Nina yang masih duduk di atas ranjang rumah sakit.

Mereka tinggal menunggu perawat membawakan obat untuk ibu Nina yang akan dibawa pulang.

“Anya dapet pinjaman dari mas Raga, Bu … ibu inget enggak mas Raga yang dulu murid ayah? Rumahnya di perumahan elit dekat komplek kita dulu, Bu.”

Zevanya memang tidak bohong tapi tidak jujur juga kalau sebenarnya dia sempat ingin menjual diri untuk membayar pengobatan ibu Nina.

Jangan sampai ibu Nina tahu karena bisa-bisa nanti beliau masuk rumah sakit lagi tapi dengan diagnosa stroke.

“Oh … anaknya pak Adhitama?” Ternyata ibu Nina masih ingat.

“Iya, Bu.”

“Kok bisa kamu pinjam uang sama dia? Kalian udah lama enggak ketemu, kan?”

Ibu Nina jadi curiga.

“Anya pernah ketemu sama mas Raga beberapa kali di tempat kerja, Bu … terus waktu ketemu mas Raga lagi, Anya coba-coba minta tolong … dan ternyata mas Raga mau bantuin Anya kasih pinjaman uang jadi Anya bisa bayar rumah sakit dan hutan ke Bu RT.”

Ibu Nina mengembuskan napasnya, raut wajah beliau berubah sendu.

“Memangnya kamu mau bayar pake apa? Gaji kamu cuma cukup bayar kontrakan, bayar kuliah sama makan kita sehari-hari.”

Ibu Nina salah, gaji Zevanya tidak cukup untuk membayar uang kuliah.

Gaji dari bekerja di night club tanpa mendapat tip tidak lah besar.

Teman-temannya yang lain sering dapat tip tapi Zevanya tidak, kenapa?

Karena dia tidak mau disentuh atau melayani keinginan mesum para tamu pria.

Dia benar-benar bekerja membawa minuman saja.

Dan, ibu Nina tidak tahu kalau Zevanya bekerja di night club.

Setau ibu Nina, putrinya bekerja menjadi kasir sebuah minimarket.

“Anya bayarnya pakai tenaga, Bu … sekarang mas Raga tinggal di apartemen … jadi setiap hari pulang kuliah, Anya ke apartemen mas Raga beres-beres apartemennya, nyapu sama nyuci baju … kebetulan tempat kerja Anya sama apartemen mas Raga deket jadi Anya enggak perlu pulang dulu sehabis kuliah kalau mau kerja ….” Zevanya menjelaskan dan alasannya itu masuk akal bagi ibu Nina.

“Nak Raga baik ya, Nya … sampaikan salam ibu sama nak Raga nanti ya.”

Zevanya tersenyum lega, ibunya percaya. “Iya, Bu.”

Keduanya pun menoleh saat seorang perawat datang membawakan obat-obatan untuk ibu Nina.

Perawat muda itu juga memberikan surat kontrol yang harus dilakukan ibu Nina seminggu lagi.

Setelah selesai urusan dengan pihak rumah sakit, Zevanya bisa membawa ibunya pulang.

“Bu, Anya pesen taksi online dulu ya … Ibu duduk di sini.” Zevanya menuntun ibu Nina ke kursi di depan loby.

Dia juga menyimpan tas ibu Nina di lantai di dekat kaki ibu lalu mengotak-ngatik ponselnya.

“Kenapa enggak pake motor aja, Nya? Pakai taksi online ‘kan mahal.”

“Ya masa Anya bawa Ibu naik motor, bisa kebuka itu jaitan Ibu.”

Ibu Nina tertawa dan demi apa, Zevanya rela memberikan apapun hanya agar bisa melihat ibunya tersenyum dan tertawa.

“Itu taksinya, Bu ….”

“Wah cepet ya Nya datangnya.”

“Anya ‘kan bestian sama supirnya, Bu.”

Zevanya menanggapi asal ucapan ibunya sambil memapah beliau masuk ke dalam taksi online.

Empat puluh lima menit kemudian mereka tiba di depan mulut gang rumah kontrakan.

Keduanya harus berjalan kurang lebih sejauh seratus meter untuk tiba di rumah.

Ibu Nina memegangi lengan putrinya begitu erat, dia masih lemas tapi tidak mungkin meminta Zevanya menggendongnya.

“Ibu mau naik ojeg?”

Zevanya bertanya ketika melihat wajah pucat ibu Nina.

“Enggak usah lah, udah dekat.” Ibu Nina menolak.

Jarak dari mulut gang memang dekat, kalau ibu sedang tidak sakit seperti ini.

Bu Nina langsung merebahkan tubuhnya di sofa panjang di ruang tamu yang bersatu dengan ruang televisi begitu sampai di rumahnya.

“Haduuuuh, ibu rindu rumah … enggak enak tidur di rumah sakit tuh … berisik, bau obat ….” Ibu Nina berceloteh dengan mata terpejam, tangannya mengusap-ngusap dudukan sofa.

“Anya beli makan malem dulu untuk ibu ya, soalnya Anya harus ke apartemen mas Raga ….”

“Enggak usah, Nya … ibu makan telur aja nanti, masih ada telur di kulkas, kan?”

“Ada Bu, ya udah … Anya masakin nasi dulu ya.”

“Biar Ibu aja, Nya.”

Zevanya hanya tersenyum, dia tidak mengindahkan ucapan ibu Nina.

Langsung pergi ke dapur untuk memasak nasi.

“Nya … nanti nak Raga keburu pulang dari kantor terus lihat apartemennya masih berantakan, gimana? Udah … ibu bisa masak nasi sendiri.”

“Enggak apa-apa, Bu … mas Raga baik kok ….”

Zevanya tetap memasak nasi untuk ibunya.

Ibu Nina menatap punggung Zevanya yang sedang mencuci beras dengan mata basah oleh buliran kristal.

Dia merasa telah menjadi beban Zevanya padahal semestinya dia yang mengurus dan membiayai sang putri.

“Makasih ya, Nya.”

Zevanya membalikan badan mendengar ibu Nina berucap demikian, kebetulan dia baru selesai mencuci beras tinggal memasukannya ke dalam magicom.

“Terimakasih untuk apa, Bu?” Zevanya bertanya, telunjuknya menekan tombol cook pada magicom.

“Karena udah bekerja keras merawat dan membiayai Ibu … maafkan Ibu ya, Nya … setelah pulih, Ibu akan berjualan nasi kuning lagi untuk bantu bayar biaya kuliah kamu.” Ibu Nina mengatakannya di sela isak tangis.

“Buuuu, Anya yang harus berterimakasih sama Ibu karena udah melahirkan Anya ….” Zevanya memeluk ibu Nina.

Wanita yang telah melahirkan Zevanya itu memang melankolis.

Sesungguhnya Zevanya juga bukan gadis tangguh, dia terpaksa.

Mental Zevanya ditempa oleh keadaan, dia tidak boleh menangis, dia tidak boleh lemah karena hanya akan membuatnya kehilangan fokus.

Dia harus kuat untuk bisa bertahan hidup.

“Mau Anya buatin telur dadar, Bu?”

Zevanya mengurai pelukan.

“Enggak usah, kamu pergi aja … ibu belum laper, kok … hati-hati di jalan ya … semoga Tuhan melindungi kamu ya, Nak.”

Kedua tangan ibu Nina merangkum pipi Zevanya kemudian mengecup kening putrinya.

Zevanya memejamkan mata saat bibir ibu menempel di keningnya.

Kecupan ibu seperti booster yang membuat Zevanya kuat dan merasa kalau dia akan baik-baik saja, dia bisa melewati setiap kesulitan dan dia akan menjadi orang sukses nanti.

Setelah pamit dengan mengecup punggung tangan ibu, Zevanya memakai jaket juga helm.

Dia mengendarai motornya dengan kecepatan sedang ke apartemen Raga.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Natan Torkis
bknnya apa2sih, tp zefanya itu nama tokoh di alkitab n seorang pria hehe bny yg salah kaprah emg sm nama zefanya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kawin Kontrak Dengan CEO Dingin   Ekstra Chapter 10

    Matahari terbenam di atas horizon, memancarkan warna keemasan yang indah di langit Hawai. Di tepi pantai yang tenang, Davanka dan Zevanya berjalan beriringan, tangan mereka saling menggenggam erat. Di depan mereka, Aksara dan Ashera sedang bermain dengan gembira di pasir, membangun istana pasir dan tertawa riang. Davanka tersenyum menatap ke arah Aksara dan Ashera, sambil mengeratkan genggaman tangannya. “By, lihat betapa bahagianya mereka. Abang rasa mereka enggak akan pernah melupakan liburan ini.” Zevanya mengangguk, matanya menatap putra dan putrinya penuh cinta. “Liburan ini memang sempurna. Terima kasih karena telah memilih tempat yang indah ini, Abang.” Davanka tersenyum, menatap laut dengan mata penuh kebahagiaan. “Kakek selalu mengatakan kalau tempat ini adalah tempat terbaik untuk menciptakan kenangan keluarga. Abang ingin anak-anak kita tumbuh dengan kenangan indah seperti ini.” Aksara berlari mendekat, ekspresi di wajahnya penuh semangat. “Ayah, B

  • Kawin Kontrak Dengan CEO Dingin   Ekstra Chapter 9

    Di sebuah rumah sakit bersalin yang mewah nyaman, Davanka berjalan mondar-mandir di koridor seperti ayam jago yang kebingungan. Wajahnya pucat, tangan kanan memegang ponsel, tangan kiri mengacung gelas kopi yang isinya sudah habis sejak sejam lalu.Dari dalam kamar bersalin, suara Zevanya terdengar berteriak-teriak, membuat Davanka berkeringat lebih banyak daripada saat jogging pagi.“Abang! Kalau kamu cuma mau mondar-mandir, sini gantikan Anya dulu!” teriak Zevanya dengan nada bercampur emosi dan kesakitan.“Gantikan? Gantikan apa, Anya? Abang enggak mungkin melahirkan untuk kamu, sayang …,” jawab Davanka gugup sambil setengah membuka pintu.Zevanya menatapnya dengan mata menyala. “Ya kalau enggak bisa bantu melahirkan, minimal kasih Anya semangat! Abang itu suami atau figuran sih di sini?”“Semangat, sayang! Kamu pasti bisa!” seru Davanka, setengah meloncat sambil mengepalkan tangan seperti cheerleader yang salah tempat.“Abang, serius! Duduk di sini, pegang tangan Anya! Kalau Anya

  • Kawin Kontrak Dengan CEO Dingin   Ekstra Chapter 8

    Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi ketika suara aneh terdengar dari kamar tidur. Suara itu datang dari sisi tempat tidur, tempat di mana Zevanya biasa tertidur dengan tenang. Namun malam ini, situasinya berbeda.Zevanya tiba-tiba terbangun, matanya yang bulat terbelalak seperti baru tersadar dari mimpi buruk. Dengan suara terengah-engah, dia menoleh ke arah suaminya, Davanka, yang sedang terbaring di sampingnya."Abang ...." Zevanya bergumam dengan wajah setengah bingung. "Anya ngidam."Davanka mengerutkan kening, mengira istrinya hanya terjaga karena mimpi. "Ngidam? Anya, ini ‘kan sudah hampir jam tiga pagi, kamu yakin?"Zevanya duduk, memegangi perutnya yang mulai membesar, matanya tetap terjaga. "Iya, Anya ngidam banget, Abang … Anya pengen makan ... nasi goreng dengan buah durian!" Suaranya penuh dengan keyakinan, seolah itu adalah hal yang paling masuk akal di dunia ini.Davanka terdiam sejenak, mencoba mencerna permintaan itu. "Nasi goreng ... durian

  • Kawin Kontrak Dengan CEO Dingin   Ekstra Chapter 7

    “Aksaraaaa ….” Bunda Arshavina memanggil dengan suara mendayu dari arah pintu utama. Aksara langsung berlarian menuju ke sana tanpa menggunakan celana. “Eh … ke mana celananya?” Ayah Kama bertanya. “Abis pipis.” Aksara memberitahu sembari menepuk bokong. “Iiiih belum sunat.” Bunda menunjuk bagian bawah Aksara yang langsung ditutupi bocah laki-laki itu sembari cekikikan. “Aksaraaaa, pakai celana dulu!” Zevanya berseru dari dalam rumah. “Eh … Ayah … Bunda.” Zevanya baru menyadari kedatangan kedua mertuanya dan langsung menyalami mereka. “Abang pakai celana dulu ya,” kata Zevanya tapi Aksara malah lari ke dalam gendongan sang kakek. “Aduuuuh, cucu kakek sudah berat.” “Kakek! Abang enggak mau pakai celana.” Aksara meronta-ronta dalam gendongan sang kakek saat bundanya berusaha memakaikan celana. “Ayo pakai dulu celananya atau nanti Nenek sunat? Mana gunting? Mana gunting?” Bunda Arshavina pura-pura mencari gunting. “Enggak mau!” Aksara menjerit sambil terta

  • Kawin Kontrak Dengan CEO Dingin   Ekstra Chapter 6

    Davanka benar-benar menjadi bapak-bapak sekarang, tapi bukan bapak-bapak biasa.Pria itu pantas diberi julukan hot daddy dengan perawakan tinggi dan tubuhnya yang atletis serta ketampanan bak Dewa Yunani yang dia miliki membuat para gadis, janda dan istri orang tidak bisa melepaskan tatapan setiap kali melihat Davanka.Seperti saat ini, para papa yang lain seolah tidak memiliki harga diri karena para mama yang menemani putra dan putri mereka di play ground mall ternama di Jakarta terus menatap Davanka yang tengah menemani Aksara bermain sementara Zevanya sedang melakukan perawatan rambut di salon yang masih ada di mall tersebut.Kegiatan rutin di saat weekend yang dilakukan Davanka sekeluarga adalah ngemall karena Aksara masih berusia tiga tahun yang kalau diajak jalan-jalan keluar kota atau keluar Negri masih sering tantrum.Jadi ketika Davanka ada perjalanan bisnis saja baru Zevanya dan Aksara ikut.“Ma … itu liatin anaknya, jangan liatin suami orang terus!” tegur salah seorang

  • Kawin Kontrak Dengan CEO Dingin   Ekstra Chapter 5

    “Pak, malam ini ada acara charity sama komunitas Pengusaha Muda … Mentri Perdagangan dan Mentri Investasi juga jadi tamunya, kesempatan yang bagus mendekati mereka untuk proyek baru yang akan mulai dikembangkan oleh AG Group.” Arman mencetuskan sebuah ide brilliant. “Kamu yang datang temani ayah, ya!” Davanka bukan sedang bertanya tapi memerintah. Pria itu bangkit dari kursi kebesarannya bergerak ke sudut ruangan meraih jas yang tergantung di sana lalu memakainya. “Laporkan hasil yang kamu dapat dari acara itu.” Davanka memberi instruksi pada sekertarisnya. “Ta-tapi, Pak …,” sergah Arman saat Davanka melewatinya. Davanka menghentikan langkah membalikan badannya menatap Arman tanpa ekspresi. “Kamu enggak mampu?” Pertanyaan Davanka adalah sebuah tekanan agar Arman menjawab sebaliknya. “Mampu, Pak!” Arman menjawab lugas. Davanka membalikan badannya lagi. “Saya pulang duluan ya, Man.” Pria itu mengangkat tangan sembari melangkah keluar dari ruangannya meninggalkan A

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status