Share

Merasa Beruntung

Penulis: Erna Azura
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-05 08:22:25

“Mas Dava … Anya duduk di depan ya?” Anya berujar dalam bentuk kata tanya namun sebenarnya dia tidak butuh jawaban, dia sedang memberitahu Davanka.Dan seperti biasa Davanka tidak mau repot-repot mengeluarkan suara.

Zevanya duduk di samping kemudi lalu memakai seatbelt setelah itu dia menoleh pada pria tampan yang sedari tadi diam saja tidak menganggapnya ada seakan Zevanya adalah makhluk tak kasat mata.

“Mas Dava mau ‘kan anter Anya ke night club lagi?”

Zevanya bertanya serius karena kalau tidak, dia akan pulang naik ojeg online saja.

Dan lagi- lagi Davankan membungkam mulutnya rapat.

“Iiihhh … gemeees, Anya cipok tuh bibir keritingnya baru tahu rasa.” Zevanya mengumpat kesal di dalam hati.

Zevanya tidak bertanya lagi, terserah mau dibawa ke mana kalau perlu dia akan tidur di rumah pria itu jika Davanka membawanya pulang.

“Ssshhh ….” Zevanya meringis.

Luka yang dia dapatkan akibat terjatuh di aspal ternyata baru terasa sakit sekarang.

Lutut dan bagian sisi telapak tangannya perih.

Diam-diam Davanka melirik ke samping, Zevanya sedang menekan-nekan luka di lutut dan tangannya menggunakan tissue kering.

Gadis itu bahkan belum sempat mencuci lukanya dengan air apalagi mengobati luka tersebut.

Sepertinya tadi Raga tidak memperhatikan luka di tubuh Zevanya, yang paling terlihat jelas sebenarnya di bagian pelipis tapi tampaknya tadi tertutup poni sehingga pada saat berbicara dengan Zevanya—Raga tidak melihat kalau gadis itu terluka.

Kenapa juga Zevanya tidak mengeluh atau minta diobati ketika mereka masih berada di apartemen Raga tadi?

Di saat sedang bergulat dengan pikirannya apakah perlu mengantar Zevanya ke rumah sakit atau tidak—mobil yang dia kemudikan sudah tiba di pelataran parkir night club.

“Makasih ya Mas Dava,” kata Zevanya tersenyum lebar.

Zevanya turun kemudian berjalan tertatih mengitari setengah bagian depan mobil.

Davanka mengembuskan napas panjang, dia adalah seorang kakak laki-laki paling tua dan memiliki dua adik perempuan yang seusia Zevanya bahkan mungkin sedikit lebih tua dari Zevanya.

Dan melihat Zevanya terluka seperti itu hati nuraninya meronta memaksa Davanka menolong Zevanya minimal memberikan kotak obat yang ada di mobil Raga agar Zevanya bisa mengobati lukanya sendiri.

Mungkin karena alasan itu juga lah, Davanka bersedia turun dari mobil ketika Raga memintanya menemani saat menolong Zevanya yang diseret ke dalam hotel oleh dua pria kekar orang kepercayaan Madame Rossy.

Lalu bersedia meminjamkan uang senilai empat ratus juta kepada Raga untuk membebaskan Zevanya.

Diam-diam Davanka iba sekaligus takjub karena Zevanya mampu berjuang sendiri melawan kerasnya hidup tanpa mengeluh bahkan bibirnya tidak lupa tersenyum.

Tiiiin!

Davanka menekan klakson membuat Zevanya terlonjak kemudian menoleh padanya dengan mata menyalang.

Gadis itu terkejut bukan main sampai tanpa sadar menyentuh dadanya.

Davanka keluar dari dalam mobil, berjalan mendekati Zevanya yang masih mematung bingung lalu menarik sikut gadis itu.

“Obatin dulu luka lo,” kata Davanka sambil menyeret Zevanya yang tertatih mengikutinya ke belakang mobil.

Zevanya menurut saja, dia tidak mengira kalau pria dingin irit bicara dan jelmaan batu nisan ini ternyata memiliki empati.

Sang gadis pun mengulum senyum. “Ah, Mas Dava … Anya ‘kan jadi baper.” Dia hanya berani mengatakannya di dalam hati.

Davanka membuka pintu mobil bagian belakang.

“Duduk di situ!” titahnya dingin.

Zevanya langsung duduk di bagian ruang sempit bagian belakang mobil Raga, tentu dia tidak ingin membuat kesal Davanka.

Davanka mencari kotak obat, ini bukan mobilnya jadi dia membutuhkan waktu mengobrak-ngabrik bagian belakang mobil Raga untuk menemukan kotak P3K dan … ketemu.

“Obatin sendiri!” Davanka masih berujar dingin sambil menyodorkan kotak putih berisi perlengkapan pertolongan pertama pada kecelakaan.

Zevanya meraih kotak P3K sambil tersenyum kepada Davanka dan pria itu malah membuang pandangannya ke arah lain.

Hebatnya, Zevanya tidak sakit hati malah dia merasa lucu karena dibalik sikap dingin dan ketus Davanka ternyata memiliki hati yang lembut.

Zevanya tidak serta merta berbangga hati menerima sikap peduli Davanka, apalagi mengira Davanka memiliki perasaan asmara padanya.

Dia justru kagum dengan tipe-tipe pria dingin, santai dan tidak jelalatan tapi peka dan peduli terhadap perempuan.

Zevanya membuka kotak P3K namun kesulitan mengenali perlengkapan di dalam sana karena minimnya cahaya.

“Mas Dava,” panggil Zevanya pada Davanka yang tadi sempat menjauh.

Davanka menoleh.

“Boleh minta tolong senterin enggak? Gelap.”

Dengan wajah tanpa ekspresi, Davanka mendekat seraya merogoh sakunya mencari ponsel lalu menyalakan mode senter pada ponsel.

Zevanya jadi bisa mengobati lukanya, meski kesulitan tapi dia berusaha tidak meminta bantuan Davanka kecuali pria itu menawarkan diri.

Tapi sudah bisa ditebak ‘kan kalau Davanka tidak akan pernah menawarkan diri.

Davanka memberikan kotak P3K saja merupakan tindakan paling impulsif yang pernah pria itu lakukan kepada orang asing.

“Beres!” Zevanya berseru sambil merapihkan kotak P3K lalu menyimpan kembali di tempat tadi Davanka menemukannya.

“Makasih ya, Mas Dava.”

Zevanya tersenyum ketika mengatakannya, dia turun dari kabin paling belakang di mobil Raga.

Dan dia mendapat balasan berupa delikan Davanka yang kemudian masuk ke dalam mobil setelah menutup pintu belakang.

Zevanya langsung pergi menuju parkiran motor yang tidak jauh dari tempat Davanka memarkirkan mobil.

Langkahnya masih tertatih dan rasa sakit semakin menjadi karena baru saja diolesi obat luka.

Ah, Zevanya lupa kalau tas dan ponselnya tertinggal di kamar Pak Broto.

Dan di dalam tasnya ada kunci motor, kenapa dia baru ingat sekarang.

Zevanya mengusap wajahnya kasar, dia hendak berbalik untuk menemui Madame Rossy dan menanyakan barang-barangnya namun urung ketika melihat Pak Agus-sekuriti night club berjalan mendekat sambil membawa tasnya.

Seketika Zevanya tersenyum lebar, matanya berbinar menatap pak Agus.

“Neng, tadi pak Feri sama pak Agung nitip tas katanya ini punya Neng Anya.”

“Ah … iya, Pak … ini tas Anya, makasih ya Pak.”

“Sama-sama Neng, mau dikeluarin motornya?”

Pak Agus memang terbaik.

“Boleh, Pak ….” Zevanya mundur, memberi ruang kepada pak Agus untuk mengeluarkan motornya.

“Udah ya Neng … hati-hati ya, Bapak balik ke pos lagi.”

Pak Agus juga menyalakan mesin motor dan memposisikan motor matic Zevanya pada standar dua.

“Iya, Pak … makasih.”

Pak Agus mengangguk kemudian pergi, kembali ke pos satpam di depan pintu masuk utama night club di bagian luar.

Zevanya membuka bagasi motornya, di pelataran parkir di mana banyak orang berlalu lalang—dia memakai celana leging hitam dengan santai.

Lalu memakai jaket tebal.

Belum lupa ‘kan kalau Zevanya saat ini masih menggunakan mini dress super seksi yang diberikan Madame Rossy?

Tidak mungkin dia hanya memakai mini dress kurang bahan itu mengendarai motor pulang ke rumah.

Untungnya, Zevanya selalu menyiapkan celana legging, kaos juga jaket di dalam bagasi motornya untuk keadaan darurat.

Setelah itu dia memakai helm kemudian menaiki motornya dan mulai melajukan motor matic kecil itu keluar pelataran parkir night club.

Zevanya tidak menyadari kalau Davanka belum beranjak ke mana-mana, dia masih di dalam mobil memperhatikan Zevanya hingga gadis itu keluar pelataran parkir dan menghilang dari pandangan Davanka.

Pria itu barulah menyalakan mesin mobil milik Raga lantas mengemudikannya pulang ke rumah.

Banyak pelajaran yang dia dapatkan malam ini dari Zevanya.

Demi bertahan hidup dan membiayai pengobatan ibunya, Zevanya rela menjual diri dan bekerja di night club.

Sungguh beruntung Davanka beserta ketiga adiknya yang tidak pernah tahu bagaimana rasanya hidup susah.

Dia dan ketiga adiknya hanya dituntut untuk menguasai bidang akademik semasa sekolah.

Davanka dan ketiga adiknya juga bersekolah di sekolah terbaik dan termahal di Negaranya dengan segala fasilitas eksclusive.

Pulang pergi di antar menggunakan mobil.

Uang jajan sehari pernah lebih dari UMR kota Jakarta.

Sedangkan Zevanya, dia mengatakan tadi belum membayar uang kuliah dan mengandalkan tip dari Pak Broto untuk membayar uang kuliah.

Lalu bagaimana Zevanya bisa membayar uang kuliah kalau dia tidak jadi menjual diri?

Davanka menggelengkan kepala, kenapa juga dia memikirkan Zevanya?

Gadis itu bukanlah urusannya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kawin Kontrak Dengan CEO Dingin   Ekstra Chapter 10

    Matahari terbenam di atas horizon, memancarkan warna keemasan yang indah di langit Hawai. Di tepi pantai yang tenang, Davanka dan Zevanya berjalan beriringan, tangan mereka saling menggenggam erat. Di depan mereka, Aksara dan Ashera sedang bermain dengan gembira di pasir, membangun istana pasir dan tertawa riang. Davanka tersenyum menatap ke arah Aksara dan Ashera, sambil mengeratkan genggaman tangannya. “By, lihat betapa bahagianya mereka. Abang rasa mereka enggak akan pernah melupakan liburan ini.” Zevanya mengangguk, matanya menatap putra dan putrinya penuh cinta. “Liburan ini memang sempurna. Terima kasih karena telah memilih tempat yang indah ini, Abang.” Davanka tersenyum, menatap laut dengan mata penuh kebahagiaan. “Kakek selalu mengatakan kalau tempat ini adalah tempat terbaik untuk menciptakan kenangan keluarga. Abang ingin anak-anak kita tumbuh dengan kenangan indah seperti ini.” Aksara berlari mendekat, ekspresi di wajahnya penuh semangat. “Ayah, B

  • Kawin Kontrak Dengan CEO Dingin   Ekstra Chapter 9

    Di sebuah rumah sakit bersalin yang mewah nyaman, Davanka berjalan mondar-mandir di koridor seperti ayam jago yang kebingungan. Wajahnya pucat, tangan kanan memegang ponsel, tangan kiri mengacung gelas kopi yang isinya sudah habis sejak sejam lalu.Dari dalam kamar bersalin, suara Zevanya terdengar berteriak-teriak, membuat Davanka berkeringat lebih banyak daripada saat jogging pagi.“Abang! Kalau kamu cuma mau mondar-mandir, sini gantikan Anya dulu!” teriak Zevanya dengan nada bercampur emosi dan kesakitan.“Gantikan? Gantikan apa, Anya? Abang enggak mungkin melahirkan untuk kamu, sayang …,” jawab Davanka gugup sambil setengah membuka pintu.Zevanya menatapnya dengan mata menyala. “Ya kalau enggak bisa bantu melahirkan, minimal kasih Anya semangat! Abang itu suami atau figuran sih di sini?”“Semangat, sayang! Kamu pasti bisa!” seru Davanka, setengah meloncat sambil mengepalkan tangan seperti cheerleader yang salah tempat.“Abang, serius! Duduk di sini, pegang tangan Anya! Kalau Anya

  • Kawin Kontrak Dengan CEO Dingin   Ekstra Chapter 8

    Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi ketika suara aneh terdengar dari kamar tidur. Suara itu datang dari sisi tempat tidur, tempat di mana Zevanya biasa tertidur dengan tenang. Namun malam ini, situasinya berbeda.Zevanya tiba-tiba terbangun, matanya yang bulat terbelalak seperti baru tersadar dari mimpi buruk. Dengan suara terengah-engah, dia menoleh ke arah suaminya, Davanka, yang sedang terbaring di sampingnya."Abang ...." Zevanya bergumam dengan wajah setengah bingung. "Anya ngidam."Davanka mengerutkan kening, mengira istrinya hanya terjaga karena mimpi. "Ngidam? Anya, ini ‘kan sudah hampir jam tiga pagi, kamu yakin?"Zevanya duduk, memegangi perutnya yang mulai membesar, matanya tetap terjaga. "Iya, Anya ngidam banget, Abang … Anya pengen makan ... nasi goreng dengan buah durian!" Suaranya penuh dengan keyakinan, seolah itu adalah hal yang paling masuk akal di dunia ini.Davanka terdiam sejenak, mencoba mencerna permintaan itu. "Nasi goreng ... durian

  • Kawin Kontrak Dengan CEO Dingin   Ekstra Chapter 7

    “Aksaraaaa ….” Bunda Arshavina memanggil dengan suara mendayu dari arah pintu utama. Aksara langsung berlarian menuju ke sana tanpa menggunakan celana. “Eh … ke mana celananya?” Ayah Kama bertanya. “Abis pipis.” Aksara memberitahu sembari menepuk bokong. “Iiiih belum sunat.” Bunda menunjuk bagian bawah Aksara yang langsung ditutupi bocah laki-laki itu sembari cekikikan. “Aksaraaaa, pakai celana dulu!” Zevanya berseru dari dalam rumah. “Eh … Ayah … Bunda.” Zevanya baru menyadari kedatangan kedua mertuanya dan langsung menyalami mereka. “Abang pakai celana dulu ya,” kata Zevanya tapi Aksara malah lari ke dalam gendongan sang kakek. “Aduuuuh, cucu kakek sudah berat.” “Kakek! Abang enggak mau pakai celana.” Aksara meronta-ronta dalam gendongan sang kakek saat bundanya berusaha memakaikan celana. “Ayo pakai dulu celananya atau nanti Nenek sunat? Mana gunting? Mana gunting?” Bunda Arshavina pura-pura mencari gunting. “Enggak mau!” Aksara menjerit sambil terta

  • Kawin Kontrak Dengan CEO Dingin   Ekstra Chapter 6

    Davanka benar-benar menjadi bapak-bapak sekarang, tapi bukan bapak-bapak biasa.Pria itu pantas diberi julukan hot daddy dengan perawakan tinggi dan tubuhnya yang atletis serta ketampanan bak Dewa Yunani yang dia miliki membuat para gadis, janda dan istri orang tidak bisa melepaskan tatapan setiap kali melihat Davanka.Seperti saat ini, para papa yang lain seolah tidak memiliki harga diri karena para mama yang menemani putra dan putri mereka di play ground mall ternama di Jakarta terus menatap Davanka yang tengah menemani Aksara bermain sementara Zevanya sedang melakukan perawatan rambut di salon yang masih ada di mall tersebut.Kegiatan rutin di saat weekend yang dilakukan Davanka sekeluarga adalah ngemall karena Aksara masih berusia tiga tahun yang kalau diajak jalan-jalan keluar kota atau keluar Negri masih sering tantrum.Jadi ketika Davanka ada perjalanan bisnis saja baru Zevanya dan Aksara ikut.“Ma … itu liatin anaknya, jangan liatin suami orang terus!” tegur salah seorang

  • Kawin Kontrak Dengan CEO Dingin   Ekstra Chapter 5

    “Pak, malam ini ada acara charity sama komunitas Pengusaha Muda … Mentri Perdagangan dan Mentri Investasi juga jadi tamunya, kesempatan yang bagus mendekati mereka untuk proyek baru yang akan mulai dikembangkan oleh AG Group.” Arman mencetuskan sebuah ide brilliant. “Kamu yang datang temani ayah, ya!” Davanka bukan sedang bertanya tapi memerintah. Pria itu bangkit dari kursi kebesarannya bergerak ke sudut ruangan meraih jas yang tergantung di sana lalu memakainya. “Laporkan hasil yang kamu dapat dari acara itu.” Davanka memberi instruksi pada sekertarisnya. “Ta-tapi, Pak …,” sergah Arman saat Davanka melewatinya. Davanka menghentikan langkah membalikan badannya menatap Arman tanpa ekspresi. “Kamu enggak mampu?” Pertanyaan Davanka adalah sebuah tekanan agar Arman menjawab sebaliknya. “Mampu, Pak!” Arman menjawab lugas. Davanka membalikan badannya lagi. “Saya pulang duluan ya, Man.” Pria itu mengangkat tangan sembari melangkah keluar dari ruangannya meninggalkan A

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status