Hari ini begitu melelahkan, Davanka Abisheva Gunadhya atau pria berusia dua puluh delapan tahun yang kerap disapa Abang Dava oleh keluarganya itu akhirnya bisa mengembuskan napas panjang setelah seharian mematuti layar komputer.
Dia meregangkan tubuh dengan mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi hingga punggungnya melengkung ke depan. Masih menikmati perasaan lega setelah berhasil menyelesaikan pekerjaannya—Davanka dikejutkan oleh notif pesan masuk di ponsel yang dia simpan di atas meja. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, gedung kantor milik AG Group yang merupakan perusahaan milik keluarganya itu tentu saja sudah sepi. Sekertarisnya yang bernama Erin pun mungkin sudah sampai di rumah karena pukul enam sore tadi ijin pulang untuk menjemput putrinya dari daycare. Bisa jadi saat ini hanya dirinya yang ada di gedung kantor selain sekuriti. Davanka mengulurkan tangan, punggungnya masih menempel enggan beranjak dari sandaran kursi. Jempol Davanka mulai bergerak menggulir layar sampai dia menemukan sebuah pesan dari sang Bunda. Bundadari : Weekend ini Abang harus kenalin cewek untuk jadi istri Abang, kalau enggak … Bunda yang cariin jodoh buat Abang. Bundadari : Abang tinggal pilih … ada Nadia anaknya pemilik stasiun televisi nomor satu di Indonesia yang papinya lagi nyalonin jadi Presiden. Bundadari : Ada Cecil anak dari komisaris bank swasta terbesar di Indonesia. Bundadari : Ada Jingga anaknya Pak Mentri dan masih banyak lagi anak-anaknya teman-teman Bunda. Bundadari : Mau yang mana? Davanka mengembuskan napas panjang, semenjak salah satu adik perempuannya yang kuliah di Amerika dikabarkan melakukan percobaan bunuh diri karena patah hati oleh seorang pria—ayah dan bundanya memutuskan untuk menjodohkan sang adik dengan salah satu pengusaha kenalan sang ayah yang berdomisili di New York dan kebetulan beliau akan melebarkan bisnisnya ke sana. Tentu kata ‘kebetulan’ hanya akal-akalan ayah saja, beliau pasti sudah merencanakan perjodohan tersebut sejak awal. Dan karena itu lah akhir-akhir ini Davanka selalu mendapat tekanan dari kedua orang tuanya agar segera menikah sebelum sang adik menikah dan tenggat waktunya hanya tinggal beberapa bulan lagi. Davanka selalu protes setiap kali sang bunda mengancam akan mencarikan istri untuknya. Dia menolak keras perjodohan begitu juga sang adik namun kedua orang tua mereka mengatakan kalau ayah bunda pun menikah karena dijodohkan. Lalu mereka berorasi kalau pilihan kedua orang tua tidak akan pernah salah dan lucunya, ayah dan bunda bercerita justru momen-momen saling mengenal, menjajaki dan pacaran setelah menikah itu yang menggemaskan juga menyenangkan. Davanka masih belum mengerti di mana bagian menggemaskan dan menyenangkannya karena hidup dengan orang asing itu menurut Davanka tidaklah nyaman. Tinggal bersama dengan kedua orang tuanya saja hidup Davanka tidak pernah tenang apalagi kalau sang bunda sudah menginginkan sesuatu darinya. Beliau akan terus meneror Davanka, buktinya seperti sekarang ini. Bunda bisa menunggu Davanka sampai di rumah untuk mengatakan ultimatum dan ancamannya, namun wanita yang baru akan memasuki usia paruh baya tapi masih terlihat cantik seperti bidadari itu seakan tidak sabar dan ingin segera mengutarakannya sehingga mengirim banyak chat kepada si sulung. Davanka mengetik sesuatu untuk membalas pesan bunda. Abang Dava : Oke Bunda. “Hah? Oke apaan nih?” celetuk Bunda sambil menatap layar ponselnya. “Apa?” Ayah yang sedang bersandar pada headboard sambil membaca buku kemudian menoleh. “Ini si abang, main oke-oke aja.” Bunda memperlihatkan isi chat-nya pada ayah. Ayah Davanka yang bernama Kama Gunadhya itu pun tersenyum. “Memang begitu ‘kan dia.” “Iya, kaya Ayah … kalau ngomong irit banget.” Bunda Arshavina misuh-misuh. “Jadi, maksudnya abang itu apanya yang oke? Cari istri sendiri apa dicariin?” Ayah bertanya, dia tidak paham dengan kesimpulan chat sang istri dengan putra mereka juga tidak mengerti kenapa istrinya merajuk. “Mana Bunda tahu, Ayah aja nanti yang tanya … males Bunda, masa ngomong sama Bundanya irit banget … bete ah, kesel.” Bunda menarik selimut menutupi tubuhnya hingga kepala, merajuk. Ayah menyimpan buku ke meja samping tempat tidur kemudian memeluk sang istri yang berbaring membelakanginya. “Kita liat weekend ini, abang bawa cewek enggak … kalau enggak, jodohin sama anak komisaris bank swasta itu aja ya? Ayah dari dulu pengen beli saham di sana tapi susah banget.” Ayah berbisik di telinga bunda yang kemudian mengangguk menyetujui. Bunda membalikan badan dan keduanya tidur saling berpelukan. Mereka tidak menunggu Davanka tiba di rumah. Meski tinggal satu rumah tapi ayah dan bunda tidak pernah mencampuri urusan Davanka, tidak pernah bertanya ke mana dan apa yang dilakukan Davanka sampai pulang larut malam. Mereka memberikan kepercayaan penuh dan selama ini Davanka selalu menjaga kepercayaan kedua orang tuanya. Kembali lagi pada Davanka yang kini sudah bergerak keluar dari ruangannya. Dia berniat langsung pulang ke rumah, tubuhnya juga terasa begitu lelah. Jadi, Davanka langsung menekan tombol basement pada lift yang ditumpanginya. Lift melewati lantai demi lantai kemudian berhenti di lantai lima. “Bro! Lembur lo?” Adalah Raga Argantara, sahabat kecil Davanka yang memiliki jabatan selevel dengannya di perusahaan tersebut. Walaupun Davanka adalah anak dari pemilik perusahaan—sang ayah tidak serta merta menempatkan Davanka pada level tertinggi mengingat usianya masih muda dan baru beberapa tahun lalu lulus kuliah. Memang bukan jabatan rendah, Davanka langsung menduduki jabatan satu tingkat di bawah CEO yaitu Chief Marketing Eksekutif. Davanka harus berjuang untuk mendapat posisi CEO nantinya. “Hem,” sahut Davanka hanya bergumam menanggapi sapaan Raga. “Ke night club yo!” ajak Raga semangat. “Males … capek.” Davanka sebaliknya, dia merasakan penat setelah disibukkan dengan kerjaan lalu harus memikirkan calon istri. Raga berdecak lidah. “Hayu lah, lo enggak kasian sama teman lo ini kalau mabok? Nanti gimana kalau gue digrepe-grepe cewek-cewek di sana?” Davanka mendengkus geli, dia bersandar setengah tubuhnya pada dinding lift. “Gue yang nyetir nanti gue anter lo pulang,” kata Raga lagi memaksa. Raga tahu sahabatnya tidak akan menolak dan benar saja—meski berjalan gontai tapi Davanka mengikuti Raga ke mobilnya setelah mereka keluar dari lift. Tangan Davanka terulur menarik handle pintu lantas duduk di jok samping kemudi. Raga mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan sedang. Mereka hampir tiba di dekat nightclub, papan nama nightclub sudah terlihat dari jarak beberapa meter. Tiba-tiba Raga menginjak rem sangat dalam membuat tubuh mereka berdua tersungkur ke depan, beruntung tertahan seatbelt. “Anjirrr, gue nabrak cewek!” Raga berseru. Mata pria itu membulat karena syok. Davanka juga syok, tapi dia bisa mengendalikan dirinya dengan bersikap tenang. Davanka yang lebih dulu keluar dari dalam mobil diikuti Raga yang sebenarnya di dalam hati sudah ada setan yang berbisik untuk kabur saja. “Mas … tolongin Anya, Mas … tolongin Anya, please.” Gadis cantik berpakaian seksi yang ditabrak Raga tadi mencengkram celana kain Davanka sambil duduk bersimpuh di tanah. Davanka melihat luka di lutut dan lengan sang gadis, kening gadis itu terluka tapi sepertinya rasa takut melebihi rasa sakit yang dia derita. Tapi apa yang ditakutkan gadis itu? “Anya!” seru Raga yang baru mengenali kalau orang yang dia tabrak adalah seorang gadis yang dia kenal. “Mas Raga, tolongin Anya … Mas.” Raga membantu Zevanya berdiri, gadis itu menekuk kakinya yang sepertinya keseleo sehingga berdirinya tidak sempurna. “Hey! Anya!“ Dua orang bodyguard yang mengejar Zevanya semakin dekat saja. Sambil tertatih, Zevanya bersembunyi ke belakang punggung Raga. “Tolongin Anya, Mas … please.” Davanka dan Raga mengerutkan kening bingung melihat kejadian tersebut padahal syok mereka yang tadi menabrak Zevanya saja belum hilang.Matahari terbenam di atas horizon, memancarkan warna keemasan yang indah di langit Hawai. Di tepi pantai yang tenang, Davanka dan Zevanya berjalan beriringan, tangan mereka saling menggenggam erat. Di depan mereka, Aksara dan Ashera sedang bermain dengan gembira di pasir, membangun istana pasir dan tertawa riang. Davanka tersenyum menatap ke arah Aksara dan Ashera, sambil mengeratkan genggaman tangannya. “By, lihat betapa bahagianya mereka. Abang rasa mereka enggak akan pernah melupakan liburan ini.” Zevanya mengangguk, matanya menatap putra dan putrinya penuh cinta. “Liburan ini memang sempurna. Terima kasih karena telah memilih tempat yang indah ini, Abang.” Davanka tersenyum, menatap laut dengan mata penuh kebahagiaan. “Kakek selalu mengatakan kalau tempat ini adalah tempat terbaik untuk menciptakan kenangan keluarga. Abang ingin anak-anak kita tumbuh dengan kenangan indah seperti ini.” Aksara berlari mendekat, ekspresi di wajahnya penuh semangat. “Ayah, B
Di sebuah rumah sakit bersalin yang mewah nyaman, Davanka berjalan mondar-mandir di koridor seperti ayam jago yang kebingungan. Wajahnya pucat, tangan kanan memegang ponsel, tangan kiri mengacung gelas kopi yang isinya sudah habis sejak sejam lalu.Dari dalam kamar bersalin, suara Zevanya terdengar berteriak-teriak, membuat Davanka berkeringat lebih banyak daripada saat jogging pagi.“Abang! Kalau kamu cuma mau mondar-mandir, sini gantikan Anya dulu!” teriak Zevanya dengan nada bercampur emosi dan kesakitan.“Gantikan? Gantikan apa, Anya? Abang enggak mungkin melahirkan untuk kamu, sayang …,” jawab Davanka gugup sambil setengah membuka pintu.Zevanya menatapnya dengan mata menyala. “Ya kalau enggak bisa bantu melahirkan, minimal kasih Anya semangat! Abang itu suami atau figuran sih di sini?”“Semangat, sayang! Kamu pasti bisa!” seru Davanka, setengah meloncat sambil mengepalkan tangan seperti cheerleader yang salah tempat.“Abang, serius! Duduk di sini, pegang tangan Anya! Kalau Anya
Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi ketika suara aneh terdengar dari kamar tidur. Suara itu datang dari sisi tempat tidur, tempat di mana Zevanya biasa tertidur dengan tenang. Namun malam ini, situasinya berbeda.Zevanya tiba-tiba terbangun, matanya yang bulat terbelalak seperti baru tersadar dari mimpi buruk. Dengan suara terengah-engah, dia menoleh ke arah suaminya, Davanka, yang sedang terbaring di sampingnya."Abang ...." Zevanya bergumam dengan wajah setengah bingung. "Anya ngidam."Davanka mengerutkan kening, mengira istrinya hanya terjaga karena mimpi. "Ngidam? Anya, ini ‘kan sudah hampir jam tiga pagi, kamu yakin?"Zevanya duduk, memegangi perutnya yang mulai membesar, matanya tetap terjaga. "Iya, Anya ngidam banget, Abang … Anya pengen makan ... nasi goreng dengan buah durian!" Suaranya penuh dengan keyakinan, seolah itu adalah hal yang paling masuk akal di dunia ini.Davanka terdiam sejenak, mencoba mencerna permintaan itu. "Nasi goreng ... durian
“Aksaraaaa ….” Bunda Arshavina memanggil dengan suara mendayu dari arah pintu utama. Aksara langsung berlarian menuju ke sana tanpa menggunakan celana. “Eh … ke mana celananya?” Ayah Kama bertanya. “Abis pipis.” Aksara memberitahu sembari menepuk bokong. “Iiiih belum sunat.” Bunda menunjuk bagian bawah Aksara yang langsung ditutupi bocah laki-laki itu sembari cekikikan. “Aksaraaaa, pakai celana dulu!” Zevanya berseru dari dalam rumah. “Eh … Ayah … Bunda.” Zevanya baru menyadari kedatangan kedua mertuanya dan langsung menyalami mereka. “Abang pakai celana dulu ya,” kata Zevanya tapi Aksara malah lari ke dalam gendongan sang kakek. “Aduuuuh, cucu kakek sudah berat.” “Kakek! Abang enggak mau pakai celana.” Aksara meronta-ronta dalam gendongan sang kakek saat bundanya berusaha memakaikan celana. “Ayo pakai dulu celananya atau nanti Nenek sunat? Mana gunting? Mana gunting?” Bunda Arshavina pura-pura mencari gunting. “Enggak mau!” Aksara menjerit sambil terta
Davanka benar-benar menjadi bapak-bapak sekarang, tapi bukan bapak-bapak biasa.Pria itu pantas diberi julukan hot daddy dengan perawakan tinggi dan tubuhnya yang atletis serta ketampanan bak Dewa Yunani yang dia miliki membuat para gadis, janda dan istri orang tidak bisa melepaskan tatapan setiap kali melihat Davanka.Seperti saat ini, para papa yang lain seolah tidak memiliki harga diri karena para mama yang menemani putra dan putri mereka di play ground mall ternama di Jakarta terus menatap Davanka yang tengah menemani Aksara bermain sementara Zevanya sedang melakukan perawatan rambut di salon yang masih ada di mall tersebut.Kegiatan rutin di saat weekend yang dilakukan Davanka sekeluarga adalah ngemall karena Aksara masih berusia tiga tahun yang kalau diajak jalan-jalan keluar kota atau keluar Negri masih sering tantrum.Jadi ketika Davanka ada perjalanan bisnis saja baru Zevanya dan Aksara ikut.“Ma … itu liatin anaknya, jangan liatin suami orang terus!” tegur salah seorang
“Pak, malam ini ada acara charity sama komunitas Pengusaha Muda … Mentri Perdagangan dan Mentri Investasi juga jadi tamunya, kesempatan yang bagus mendekati mereka untuk proyek baru yang akan mulai dikembangkan oleh AG Group.” Arman mencetuskan sebuah ide brilliant. “Kamu yang datang temani ayah, ya!” Davanka bukan sedang bertanya tapi memerintah. Pria itu bangkit dari kursi kebesarannya bergerak ke sudut ruangan meraih jas yang tergantung di sana lalu memakainya. “Laporkan hasil yang kamu dapat dari acara itu.” Davanka memberi instruksi pada sekertarisnya. “Ta-tapi, Pak …,” sergah Arman saat Davanka melewatinya. Davanka menghentikan langkah membalikan badannya menatap Arman tanpa ekspresi. “Kamu enggak mampu?” Pertanyaan Davanka adalah sebuah tekanan agar Arman menjawab sebaliknya. “Mampu, Pak!” Arman menjawab lugas. Davanka membalikan badannya lagi. “Saya pulang duluan ya, Man.” Pria itu mengangkat tangan sembari melangkah keluar dari ruangannya meninggalkan A