Netraku melebar tak percaya saat melihat seseorang yang kukenal menjemput kami. "Sejak kapan dia ada di sini?" gumamku. "Hai Rein. Apa kabar?" Elkan menghampiri pria yang ternyata adalah Rein. Aku menatapnya penuh selidik.Sejak kapan dia ada di sini? Jika dia memang di sini sejak kemarin, kenapa tidak memberi kabar padaku? "Hai, Salma." "Rein, sejak kapan kamu ada di Singapore?" Rein terlihat gugup karena pertanyaanku.. "Nanti kita ngobrol lagi. Sekarang, ayo aku antar ke apartement!" Dengan memendam rasa penasaran, Aku menuntun anak-anakku menuju mobil yang telah disediakan oleh Rein untuk kami. Sepanjang jalan tidak ada satupun yang memberi penjelasan padaku. Mungkin karena ada anak-anak diantara kita. Tak berselang lama kami tiba di sebuah apartemen mewah. "Apartement milik siapa ini, Rein?"tanyaku saat kami memasuki salah satu unit apartemen mewah ini. "Ini milik Yuda." Satu lagi kejutan yang tidak pernah aku duga. Mas Yuda punya apartement semewah ini di Singapore. M
"Sabrina ...!" desisku dengan menahan napas. Sejak awal setiap melihat wanita itu, dadaku selalu bergemuruh. Wanita cantik berpakaian formil dengan rok di atas lutut itu mendekatiku. "Untuk apa kamu ke sini? Bukankah sudah jelas Yuda bukan lagi suamimu?" Sikap Sabrina jauh berbeda. Dia lebih angkuh dan sombong. Apa saat ini dia merasa telah memiliki Mas Yuda? "Mas Yuda masih Ayah dari anak-anakku, Sabrina!" ucapku dengan emosi tertahan. Napasku memburu. Sabrina menyeringai. Sialnya dia tetap terlihat cantik. Membuat hatiku meringis. Lelaki manapun akan tertarik dengan kecantikannya. Termasuk ... Mas Yuda. Dadaku kembali merasakan nyeri membayangkan hal ini. "Bukankah Yuda sudah memintamu menikah dengan Elkan setelah dia menceraikanmu? Bukankah kamu memang ada main dengan pengacara tampan itu?" Sabrina kembali tersenyum miring seolah mengejekku. "Jaga bicaramu. Jangan fitnah!" Tubuhku gemetar hebat mendengar ucapan Sabrina. Kenapa dia bicara seperti itu? "Sudahlah! Aku mohon j
Rein muncul bersama seorang perawat. "Bagaimana, Rein? Apa Aku bisa masuk ke kamar Mas Yuda sekarang?" Wajahku berbinar melihat anggukan Rein. "Ayolah cepat, Rein!" Aku memandang Rein dengan tatapan memohon. Sabrina melirik kami dengan tatapan tak suka. Wanita itu mendengkus kesal. "Ingat, kamu bukan lagi istri Yuda!" ketusnya. Tanpa mempedulikan ucapan dokter itu, aku dan Rein mengikuti langkah perawat itu menuju pintu masuk tempat Mas Yuda berada. Sebelum masuk, aku dan Rein diminta perawat itu untuk menggunakan pakaian khusus. Bagai dejavu, aku kembali berada di situasi delapan tahun yang lalu. Ketika Mas Yuda terbaring tak berdaya karena kecelakaan itu. Langkahku terhenti tepat di samping Mas Yuda terbaring. Perlahan tanganku terangkat untuk menyentuh wajah yang selalu kurindukan siang dan malam. Namun aku sadar, kini kami bukan lagi suami istri. Ingin rasanya membelai wajah tampan yang telah mengisi hatiku itu. Andai saja saat ini kami masih sah sebagai suami istri, te
"Astaga! Mau apa kamu?" Aku terlonjak melihat Elkan berada di dapur. Ternyata yang menarikku barusan adalah Elkan. Mau apa dia? Elkan berdiri di dekat pintu dapur yang baru saja dia kunci. Matanya menatap dalam padaku. "Jangan macam-macam, El!" desisku. "Bagaimana Yuda?" "Kalau mau membicarakan Yuda, kenapa harus tutup pintu?" tanyaku ketus. "Maafkan aku Salma, Aku sudah tak bisa lagi menahan diri." Haah?? Aku tersentak mendengar ucapan Elkan barusan. Apa maksudnya? Apa Elkan akan berbuat sesuatu yang tidak pantas padaku? "Maksudmu apa?" Aku memandangnya dengan tatapan nyalang. Elkan berdiri semakin dekat. Tubuhnya yang tinggi semakin mengikis jarak diantara kami. "Elkan, Stop!" Aku meletakkan kedua tanganku di depan mencoba menghalangi Elkan. Sialnya, kedua tanganku malah menempel di dada bidangnya Secepat kilat kembali menarik kedua tanganku. "Aku ... nggak bisa lihat kamu dekat-dekat dengan pria lain. Aku nggak bisa lihat kamu dekat dengan Rein," tegasnya dengan tatapa
POV Sabrina "Pulanglah, Sabrina! Kasihan Tristan." Aku berdecak kesal mendengar permintaan ibu.Entah untuk yang ke berapa kalinya ibu menghubungiku dalam beberapa hari ini. Lagi-lagi alasannya karena Tristan. Padahal Sejak kecil Tristan sudah terbiasa aku tinggal. Bahkan hingga berbulan-bulan. "Maaf, Bu. Bukankah Tristan sudah biasa aku tinggal pergi dalam waktu yang cukup lama? ini hanya alasan ibu saja, kan?" Walau Tristan bukan anak kandungku, tapi sejak kecil anak itu memanggilku Mami. Yang dia tau aku adalah ibu kandungnya. Tapi Ibulah yang merawatnya sejak aku mengadopsinya. Waktu itu aku tidak tega melihat bayi kecil yang ditinggal mati oleh kedua orang tuanya. Tristan dirawat beberapa hari di rumah sakit tempat aku bertugas. Setelah sembuh, Aku membawanya pulang dan mengadopsinya. Beberapa bulan kemudian aku melanjutkan pendidikan ke luar negeri meninggalkan Tristan bersama Ibu dan pengasuhnya. Aku hanya pulang sesekali menengok mereka. "Lalu demi laki-laki itu kamu r
Napasku memburu memandang Mas Yuda yang berdiri di hadapanku. Keringat mulai bercucuran di dahiku. Bulir bening yang telah membendung siap akan tumpah membasahi kedua pipiku. "Pergilah, Elkan akan menemanimu!" Mas Yuda mengusirku dengan tatapan dinginnya. "Apa salahku, Mas? Aku nggak mau pergi dengan Elkan. Dia jahat, Mas. Kemarin aja aku dipeluknya. Da lancang, Mas. Pokoknya Aku nggak mau dekat-dekat dia lagi." Aku terus meracau sambil memohon pada Mas Yuda yang kemudian berbalik membelakangiku. "Elkan tidak jahat. Tapi dia justru sangat mencintaimu. Sudahlah, cepat kalian pergi!" tegas Mas Yuda tanpa menoleh sedikitpun. Saat ini aku hanya bisa memandang punggung tegapnya yang semakin kurus. Rambutnya pun mulai panjang dan tak terurus. "Aku pergi!" Tiba-tiba dia melangkah semakin menjauh tanpa menoleh padaku walaupun hanya sesaat. "Mas ... Mas Yuda! Mas Yuda ...., Mas!" Aku menjerit sangat keras memanggil namanya. "Bu ..., Bu Salma! Buka pintunya, Bu!" "Salma ...! Ada apa kam
"Yuda, apa kamu tidak mengerti bagaimana perasaan Salma? Dia sangat mencintaimu." Elkan berusaha meyakinkan Mas Yuda. Sementara aku hanya berdiri mematung sambil sesekali menyusut air mata yang tak henti-hentinya membasahi wajahku. "Aku hanya ingin dia bahagia. Aku tidak akan bisa membahagiakannya. Kamu juga sangat mencintainya, bukan?" Mas Yuda kembali bicara dengan oksigen yang masih menutupi mulut dan hidungnya. Napasnya terdengar naik turun. Ya Allah. Tidak mengertikah dia bahwa kabahagiaanku adalah hanya bersamanya? Tangisku semakin pecah. Aku memutuskan untuk keluar dari ruangan itu. Aku tak menemukan Rein di depan ruangan. Kemana dia? Seketika aku membuka ponselku, barangkali Rein mengirim pesan untukku. [Maaf aku tidak pamit. Katakan pada Yuda aku kembali ke Indonesia beberapa hari ini] Aku mendesah. Jika Rein pergi, lalu siapa yang mengurus Mas Yuda di sini? Sebaiknya aku minta izin pada guru Raihan untuk menunda kepulanganku. Setidaknya sampai Rein kembali. Aku tidak
POV Elkan "Apa maksudmu? Permintaan apa?" Aku mengerutkan kening. "Sekali lagi aku mohon padamu. Menikahlah dengan Salma. Aku ingin tenang. Aku tau kamu sangat mencintainya!" Aku menghela napas kasar. Entah apa yang yang ada dalam otak sahabatku ini. Jelas-jelas sampai hari ini dia masih hidup. Kenapa dia selalu berpikir akan pergi dengan tenang? Aku tersentak saat tiba-tiba saja Salma melangkah lebih dekat pada Yuda. Emosi di wajahnya mulai terlihat. "Kamu benar-benar nggak punya hati, Mas! Kamu pikir aku ini perempuan apa? Seenaknya saja kamu ceraikan, lalu kamu paksa menikah dengan pria lain." Aku menoleh pada Salma yang telah berlinang air mata sambil menunjuk-nunjuk dadanya. Kilatan amarah nampak jelas dari kedua netranya. Tatapan nyalang itu seakan menggambarkan emosi yang sudah tak terbendung lagi. Salma seakan menumpahkan sesuatu yang selama ini dia pendam. "Salma ... bukan maksudku ..., Aku hanya ingin ..." suara Yuda semakin berat dan tersendat. "Apa, Mas? Kamu ingin