"Aku tidak! Tante, jangan sembarangan menuduh, aku bisa saja menuntut. Semua yang kamu katakan tidak lebih hanya dugaanmu saja, tidak ada bukti!" kata Juwita sambil berdiri dan mengibaskan kotoran yang menempel di bajunya karena telah dijatuhkan ke tanah.Nina menatap Juwita ragu. Apakah benar dirinya telah salah menuduh? Tapi mengapa orang-orang itu kembali bersemangat? Tadi dia hanya melihat aksi Juwita dari kejauhan. Nina benar-benar tidak tahu apa yang dikatakan Juwita kepada salah satu keluarga karyawan anaknya itu."Lepaskan dia!" kata Nina sambil berbalik."Tante, apakah kamu pikir, kamu bisa bersikap seperti ini kepadaku? Kamu telah menyuruh orangmu menarik dan melemparkan aku ke gang kotor. Bukankah ini melanggar hukum?" tanya Juwita sambil tersenyum jahat menatap punggung Nina. Nina kembali berbalik dan mendekati Juwita dengan sikap mengancam.Sekalipun dia wanita, aura Nina sebenarnya tidak kalah menakutkan dari suaminya ketika dia sedang marah."Apakah kamu mengancam aku
Di dalam kamar, Wei langsung merebahkan diri di atas kasur. Dia terkejut melihat Ara membawa selimut dan tidur di atas sofa."Mengapa kamu tidur di sana? Bukankah kita suami istri?" tanya Wei heran."Aku ...."Ara bingung, tidak tahu harus menjawab apa untuk pertanyaan suaminya saat ini."Bukankah katamu kita juga telah melakukannya? Apakah kamu berbohong kepadaku?" tanya Wei tidak bisa menyembunyikan kecurigaannya."Tidak, aku tidak bohong," kata Ara cepat."Lalu mengapa kamu tidur di sana? Mengapa tidak tidur di sini?" tanya Wei cemberut."Aku hanya merasa canggung," kata Ara beralasan."Karena aku hilang ingatan?" Ara hanya menganggukkan kepalanya. Dia berharap Wei mau membiarkan dirinya tidur di sofa agar mereka bisa tidur terpisah seperti beberapa hari sebelum kecelakaan yang menimpa Wei terjadi."Apakah kamu malu kepadaku?" tanya Wei sambil menatap Ara dan tersenyum lebar." ... " Ara terdiam."Jangan malu, aku tetap Wei yang dulu, hanya ingatanku saja yang hilang, tapi dia tet
Ara keluar dari kamar dan duduk di meja makan di kursi sebelah Wei.Nina menatap wajah lesu menantunya dengan bibir berkedut. Apakah anak laki-lakinya telah membuat menantunya begadang semalaman? Mengapa Ara terlihat lesu dan lelah?Seolah mengerti keheranan mamanya. Wei tersenyum lebar. Dia mengambil semur hati ampela dan langsung menaruhnya di piring Ara."Makan yang banyak," kata Wei sambil mengambil lauk yang lain dan menaruhnya di piring Ara tanpa bertanya."Stop, jangan taruh lagi ini sudah terlalu banyak," kata Ara melihat lauk yang sudah menumpuk di piringnya."Kamu terlalu kurus, ada baiknya menumbuhkan sedikit daging agar lebih nyaman ketika di peluk," kata Wei blak-blakan."Kamu!"Ara mendelik ke arah Wei dengan wajah yang merona merah karena malu. Sementara Wuzini hanya tersenyum melihat kelakuan putranya."Ehm ... ehm!" Nina menatap Wei memberikan peringatan untuk tidak lagi menggoda istrinya di meja makan. Ketika mereka mulai sibuk makan, terdengar bunyi dering ponsel
"Lewat jalan khusus!" perintah Wuzini tegas."Mengapa lewat jalan khusus? Lewat depan saja, bukankah Papa kemarin sudah menjelaskan kalau kita berada di pihak yang benar?" tanya Wei tidak setuju."Iya, tapi kalau kita langsung menerobos mereka, bukannya tidak mungkin mereka akan menimpuki kita dengan batu atau melakukan perbuatan anarkis lainnya," kata Wuzini tidak sabar."Oh ....""Cepat lewat jalan khusus," kata Wuzini kepada sopir."Apa rencana Papa selanjutnya?" tanya Wei ingin tahu."Bagaimana menurutmu?" Wuzini balik bertanya meminta pendapat Wei."Kita tidak bisa bersembunyi, masalah ini harus kita selesaikan. Ada baiknya kita temui dan berbicara dengan mereka secara langsung," kata Wei setelah lama terdiam."Itu pasti. Nanti setelah di dalam, baru kita minta perwakilan media dan masa yang berdemo untuk masuk ke dalam dan berbicara dengan kita. Akan kita jelaskan kejadian yang sebenarnya," kata Wuzini menyetujui kata-kata Wei dan menjelaskan apa yang akan dia lakukan.Di dalam,
Wei dan papanya langsung mendatangi ruang rapat diikuti oleh Joy."Selamat pagi semuanya," sapa Wuzini kepada semua yang ada di ruang rapat tersebut.Setelah mendapatkan respon, Wuzini dan Wei duduk di kursi yang di sediakan untuk mereka, sementara Joy berdiri di samping Wei.Joy sengaja berdiri di samping Wei bukan Wuzini karena Joy tahu saat ini bosnya sedang hilang ingatan dan pasti membutuhkan dirinya untuk memberitahukan hal-hal tentang perusahan yang telah dia lupakan saat ini."Pada kesempatan kali ini, kami selaku pemilik perusahaan, mengundang anda semua untuk berkumpul di sini dan membahas keributan yang saat ini sedang terjadi di depan perusahan, oleh keluarga korban," kata Wuzini sambil menatap Haris tajam.Dia benar-benar tidak menyangka kalau keluarga korban sekaligus pelaku berani membuat keributan. Padahal Haris sebagai ayah korban sudah melihat sendiri barang bukti korupsi yang telah dilakukan oleh anaknya.Haris hanya menunduk dan merasa bersalah mendapati tatapan ta
"Tadinya kami ingin menyelesaikan semua ini dengan cara baik-baik. Tapi karena pihak mereka ingin membuat masalah ini menjadi publik, maka tidak ada jalan lain, pihak perusahaan akan menempuh jalur hukum untuk membuktikan siapa yang bersalah dalam kasus ini, sekaligus membersihkan nama baik perusahaan yang telah tercemar karena kerakusan karyawannya sendiri!" jawab Wuzini tegas."Lalu Pak Haris, apa yang akan anda lakukan dengan keputusan perusahaan ini?" tanya wartawan itu lagi sambil menoleh ke arah Haris."Kami dari pihak keluarga korban, tetap akan memperjuangkan hak-hak kami dan tidak menerima tuduhan yang telah dikatakan oleh pihak perusahan! Jangan karena kami ini orang kecil, maka mereka bisa menindas kami seenaknya!" kata Haris tidak kalah tegas."Sebenarnya tidak ada perbedaan dalam hal kebenaran, entah itu orang miskin ataupun orang kaya. Kita lihat saja hasil akhirnya, kebenaran pasti akan mencari jalannya sendiri," sela Wei bijak.Kata-kata bijak Wei membuat Joy berkali-k
"Kalau sikapmu seperti ini terus, maka perusahaan ini lama-lama akan bangkrut!" kata Wuzini sambil menggelengkan kepala melihat tindakan anaknya."Aku hanya menempatkan hati dan perasaanku pada posisi mereka," kata Wei apa adanya."Kamu tidak bisa seperti ini terus! Ini perusahan, bukan badan amal!" kata Wuzini cemberut.Sia-sia dia mendidik Wei dari kecil, kalau pada akhirnya hanya karena hilang ingatan, anaknya jadi lemah seperti sekarang.Wei hanya menatap papanya bingung. Di mana letak kesalahannya? Dia hanya ingin karyawannya merasa nyaman bekerja di perusahaan ini. Apakah itu salah?"Dengar, tidak perlu terlalu membawa perasaanmu ketika sedang menjalankan sebuah perusahan," kata Wuzini lagi melihat Wei hanya terdiam."Aku hanya ingin membuat karyawanku merasa betah bekerja disini.""Ck! Mereka betah atau tidak itu bukan urusan kita, ada banyak orang yang menantikan tempat mereka di perusahan ini!" kata Wuzini blak-blakan.Dia sangat tahu jelas kalau saat ini ada banyak pelamar d
"Aku akan memikirkannya lagi, Pa," kata Ara pada akhirnya."Baiklah, jaga dirimu baik-baik. Jangan khawatirkan Juwita, Papa pasti akan menyuruhnya kembali ke sini agar dia tidak terus mengganggumu dan Wei," kata Paul menghibur."Terima kasih,Pa, salam buat Mama," kata Ara sebelum mengucapkan salam perpisahan dengan papa angkatnya tersebut. Juwita yang baru saja mandi, mengerutkan kening melihat panggilan telepon dari Paul."Aneh sekali, mau apa Paman paul meneleponku?" tanya Juwita was-was.Apakah Ara sudah memberitahukan apa yang selama ini dia lakukan di Indonesia?"Halo, Paman," sapanya manis."Cepat tinggalkan Indonesia sekarang juga!" kata Paul tanpa basa-basi."Apa maksud paman?" tanya Juwita ketakutan."Alasanmu untuk memperbaiki hubungan dengan Ara hanyalah kebohongan!""Mengapa paman berkata seperti itu? Aku tulus benar-benar ingin memperbaiki hubunganku dengan Ara," kata Juwita pura-pura sedih.Ini benar-benar gawat! Kalau pamannya sampai bersikeras menyuruhnya pulang ke Pr