Bab 6

Hugo berlari sambil menggendong Daren dan menggenggam tangan Tiana. Di belakang mereka, terdengar teriakan pembunuhan dan jeritan pilu antara pengawal Keluarga Garjita dengan para bandit.

"Tunggu. Kita nggak bisa tinggalkan mereka begitu saja," tutur Tiana dengan buru-buru. Setelah dibawa lari oleh Hugo sejauh ratusan meter, dia baru sadar.

Hugo terus berlari ke depan tanpa menghiraukan Tiana.

"Lepaskan aku!" pekik Tiana.

Melihat Hugo yang tidak mendengarkan perintah, Tiana langsung mengibaskan tangan untuk melepaskan diri dari genggaman Hugo. Hal ini membuat Hugo menghentikan langkahnya, lalu berbalik menatap Tiana dengan dingin.

"Kita harus kembali. Kita nggak bisa biarkan para pengawal Keluarga Garjita mati sia-sia demi kita," tegas Tiana.

"Kalau kamu kembali, apa kamu bisa mengalahkan para bandit itu?" tanya Hugo dengan nada datar.

Tiana menggigit bibirnya. Dia mengernyit dan menghela napas berat sebelum menimpali, "Mungkin yang lain masih bisa dihadapi. Tapi, Paman Ondo memiliki kekuatan Tingkat Pengumpul Energi Keenam, sedangkan kekuatanku cuma Tingkat Pengumpul Energi Ketiga."

"Komandan pengawal juga cuma Tingkat Pengumpul Energi Keempat. Meski menyatukan kekuatan, kami juga bukan tandingannya," tambah Tiana.

"Kalau begitu, apa gunanya kamu kembali? Ayo, kita pergi," balas Hugo. Setelah mendengus dingin, dia kembali menggendong Daren dan terus berjalan ke depan.

Namun, pada saat ini, anak kecil yang ada di gendongan Hugo malah terus meronta. Dia berteriak, "Dasar budak kurang ajar. Gimana caramu bicara dengan majikan? Cepat minta maaf dengan hormat pada kakakku! Kalau nggak, aku akan menyuruh orang untuk memukul bokongmu sampai bengkak!"

Hugo tertegun. Dia menatap anak kecil yang terus meronta di gendongannya, lalu menatap Tiana. Wajah Tiana juga dipenuhi amarah.

Hugo baru ingat, saat ini statusnya adalah budak Keluarga Garjita. Ucapannya barusan memang tidak sopan terhadap majikannya. Lantas mengapa? Lagi pula, dia bukan Hugo yang sebenarnya.

Apalagi, orang hebat yang statusnya sudah merosot tidak sebaik orang biasa. Untuk apa keluarga kecil yang hampir lenyap masih bersikap angkuh?

Jika bukan karena takut Iblis Hati akan mengganggu, seorang Kaisar Iblis seperti Hugo malas untuk ikut campur urusan mereka.

"Bocah nakal. Percaya atau nggak, sekarang aku akan memukul bokongmu sampai bengkak?" ancam Hugo sambil memelototi Daren.

"Kamu berani? Dasar budak kurang ajar!" balas Daren sembari memelototi Hugo tanpa rasa takut. Dia yang sejak kecil tumbuh besar di pegunungan sudah mengerti perbedaan status. Bagaimana mungkin dia takut pada ancaman seorang budak?

Sayangnya, yang ada di hadapan Daren bukan budak Keluarga Garjita yang sebenarnya.

Hugo tertawa dingin saat menatap Daren. Dia meletakkan Daren di atas pangkuannya, lalu menurunkan celana bocah itu dan meninggalkan beberapa bekas telapak tangan merah di bokongnya.

Suara pukulan yang nyaring menggema di telinga mereka bertiga. Daren dan Tiana seketika tercengang. Mereka tidak menyangka seorang budak begitu berani memukul bokong majikannya.

Daren bahkan melupakan rasa sakit di bokongnya. Beberapa saat kemudian, dia baru tersadar dan menangis dengan keras karena merasakan sakit di bokongnya.

"Lancang!" teriak Tiana yang baru tersadar dengan terkejut. Dia buru-buru membawa adiknya ke dalam pelukan sembari membentak, "Hugo, nyalimu besar sekali. Beraninya kamu memukul Daren."

Di Keluarga Garjita, Tiana terkenal memiliki temperamen yang baik, lembut, dan berwibawa, layaknya putri keluarga bangsawan. Dia tidak pernah marah pada bawahan. Namun, begitu melihat Hugo yang berani bersikap kurang ajar pada atasan, dia tak kuasa menahan amarahnya dan membentak dengan keras.

Hugo melirik Tiana sekilas, lalu mencibir sembari menyahut, "Kalau bahas soal nyali, aku masih kalah dari Nona. Musuh sudah hampir mengejar, tapi Nona masih sempat marah padaku."

Kala ini, suara teriakan pembunuhan makin kecil. Hugo dan Tiana tahu betul bahwa para pengawal tidak bisa bertahan lebih lama lagi.

"Sekarang aku cuma memukul pantat bocah ini. Tapi, kalau kalian masih nggak mau lari, mereka akan menghabisi nyawa bocah ini," jelas Hugo seraya menunjuk Daren.

Amarah di hati Tiana masih belum reda. Namun, perkataan Hugo justru menyentuh hatinya. Daren adalah satu-satunya pewaris laki-laki di Keluarga Garjita. Sebagai kakak, sekalipun harus mengorbankan nyawa, Tiana tidak akan membiarkan sesuatu terjadi pada adiknya.

Setelah berpikir sejenak, Tiana menatap Hugo dan berkata dengan tegas, "Hugo, cepat bawa Daren pergi. Aku akan mengulur waktu para bandit itu."

"Aku nggak setuju!" tolak Hugo tanpa berpikir panjang. Dia mengancam, "Kalau kamu nekat pergi, aku akan mencekik bocah ini."

"Kamu ...," ucap Tiana. Dia tidak bisa melanjutkan perkataannya karena terlalu marah. Dia tidak menyangka Keluarga Garjita bisa memiliki seorang budak yang begitu berani dan angkuh, bahkan berani mengancam majikan.

"Aku tumbuh besar di Keluarga Garjita sejak kecil, jadi nggak ngerti medan di sekitar sini. Kalau nggak ada kamu, aku dan bocah ini akan sangat kesulitan untuk kabur," tambah Hugo.

Mendengar ini, Tiana mengangguk pelan. Amarah di dalam hatinya juga mereda. Perkataan ini masuk akal. Namun, perkataan Hugo selanjutnya justru kembali membangkitkan amarah Tiana yang baru saja padam.

"Nggak masalah kalau kalian mati. Kalau aku juga ikut celaka, benar-benar nggak sepadan," lanjut Hugo.

"Kamu ...," pekik Tiana dengan kesal. Wajahnya tampak sangat merah. Dia hendak marah, tetapi malah tidak bisa berkata-kata.

Hugo tidak melirik Tiana dan Daren lagi. Dia berbalik pergi sembari bertanya, "Oh, iya. Apa ada tempat untuk bersembunyi di sekitar ini?"

Tiana mendengus dingin. Melihat Hugo yang berjalan di depannya begitu sombong, Tiana pun tidak menanggapinya.

Akan tetapi, bagaimanapun Tiana adalah putri yang berpendidikan. Meskipun dia sangat marah pada Hugo, demi tetap menjelaskan dengan cermat demi kepentingan bersama.

"Dalam radius 100 meter, cuma ada beberapa ladang, nggak ada tempat untuk bersembunyi. Tapi, ada sebuah hutan berkabut di sisi barat Gunung Artam. Tempat itu jarang dikunjungi orang. Para bandit Gunung Artam pun juga belum tentu paham medan di sana," jelas Tiana.

"Oke. Kita ke sana saja," sahut Hugo sambil mengangguk. Kemudian, dia memberi isyarat dan berkata, "Gendong adikmu. Tunjukkan jalan."

Tiana mendengus kesal. Dia langsung berjalan ke depan tanpa memperhatikan Hugo lagi.

Tiana juga tidak tahu mengapa nasibnya bisa seburuk ini. Orang yang pada akhirnya bersama dengannya dan adiknya justru seorang budak kurang ajar yang sok berkuasa.

Kini, Tiana yang memimpin jalan, sedangkan Hugo mengikuti dari belakang. Kesannya seperti Tiana adalah tahanan yang dikawal oleh budak. Tiana dan Daren belum pernah diperlakukan serendah ini.

'Kamu tunggu saja. Setelah terbebas dari bahaya, aku akan memberimu pelajaran,' gerutu Tiana dalam hati dengan kesal.