Tiga hari telah berlalu sejak Kiran menyerahkan Orchid Altaalaite kepada Roric. Bengkel penempa legendaris itu kini tertutup rapat, dengan asap berwarna ungu kemerahan sesekali mengepul dari cerobongnya—tanda bahwa proses peleburan permata legendaris itu sedang berlangsung.Kiran duduk di beranda penginapan kurcaci, jemarinya mengetuk-ngetuk meja kayu dengan tidak sabar. Matanya menatap jauh ke arah bengkel Roric yang terletak beberapa tingkat di bawah. Emma duduk di sampingnya, menyesap minuman hangat dari cangkir batu yang dihiasi ukiran rumit."Menurutmu berapa lama lagi?" tanya Kiran, menghela napas berat.Emma mengangkat bahu. "Roric bilang butuh waktu. Melebur Orchid Altaalaite dan menyatukannya dengan pedangmu bukan proses yang sederhana."Di sudut beranda, Jasper berlatih mengendalikan api kecil di telapak tangannya, membentuknya menjadi berbagai bentuk—burung, naga, dan akhirnya merak. Chen mengamati dengan takjub, sesekali memberikan saran tentang kontrol energi."Aku bosan,
"Kita sudah sampai," Skarfum turun dari kambingnya, menghirup udara dalam-dalam. "Hutan Hermiford—salah satu hutan terindah di perbatasan Kekaisaran Qingchang."Mereka menambatkan tunggangan di tepi hutan dan mempersiapkan peralatan berburu. Skarfum membagikan busur pendek khas kurcaci kepada mereka yang tidak memiliki senjata jarak jauh."Kita akan berburu dalam kelompok kecil," instruksi Skarfum. "Aku dengan Kiran, Emma dengan Jasper, dan Chen dengan dua Imp kita. Jangan pergi terlalu jauh, dan gunakan ini untuk memberi sinyal jika menemukan sesuatu."Ia memberikan masing-masing kelompok sebuah terompet kecil dari tanduk. "Satu tiupan untuk memanggil bantuan, dua tiupan untuk berkumpul, tiga tiupan untuk bahaya."Dengan anggukan setuju, mereka berpencar ke dalam hutan. Kiran mengikuti Skarfum, bergerak dengan langkah ringan di atas dedaunan kering. Kurcaci itu, meski bertubuh pendek dan kekar, bergerak dengan keheningan yang mengejutkan—hasil dari berabad-abad berburu di pegunungan.
"Agung dalam kebohongan, mungkin," tambah Kon, menyeringai lebar, memamerkan gigi tonggosnya. "Kami sudah mendengar bagaimana Kekaisaran Hersen memperlakukan tetangga-tetangganya. Mengambil tanah sedikit demi sedikit, seperti tikus yang mencuri remah roti."Para pemburu Hersen menggeram marah, tangan mereka bergerak ke arah senjata di pinggang. Pemimpin mereka melangkah maju, tangannya mencengkeram gagang pedang."Kalian akan menyesali kata-kata itu," desisnya. "Kami bisa saja membunuh kalian di sini dan tidak akan ada yang tahu."Skarfum mengangkat kapaknya, bersiap untuk pertarungan. Jasper dan Emma bergerak ke posisi bertarung, sementara Chen bersiap dengan tongkat sihirnya.Namun Burs dan Kon hanya tertawa—tawa yang aneh dan tidak manusiawi, yang membuat para pemburu Hersen terdiam kebingungan."Membunuh kami?" Burs memiringkan kepalanya. "Itu akan jadi kesalahan terakhir kalian."Dengan gerakan cepat dan mengejutkan, tubuh Burs dan Kon mulai berubah. Kulit mereka yang pucat berub
Matahari mulai tenggelam di balik Pegunungan Rotos ketika rombongan berburu kembali ke Kota Ironhold. Langit senja mewarnai puncak-puncak gunung dengan semburat keemasan dan merah, menciptakan pemandangan yang memikat mata.Angin dingin pegunungan menyapu wajah mereka, membawa aroma pinus dan salju abadi dari puncak tertinggi.Di gerbang kota, Pigenor menunggu dengan wajah tenang. Matanya berbinar melihat teman-temannya kembali dengan selamat, meski alisnya terangkat melihat hasil buruan yang mereka bawa."Sepertinya perburuan kalian berhasil," komentarnya, mengamati kijang dan kelinci yang tergantung di pelana kuda."Lebih dari sekadar berhasil," jawab Skarfum dengan tawa menggelegar. "Kami juga berhasil mengusir pemburu Hersen dari wilayah kita!"Pigenor mengerutkan kening. "Pemburu Hersen? Di Hutan Hermiford?""Ceritanya panjang," Kiran turun dari Gallileon, menepuk leher monster iblis itu dengan lembut. "Akan kami ceritakan sambil makan."Skarfum menepukkan tangannya dengan semang
Suasana menjadi hening sejenak, kontras dengan keceriaan beberapa saat lalu. Kiran menatap api unggun, pikirannya berkecamuk. Jika Kekaisaran Hersen benar-benar berencana menginvasi, mereka harus bergerak cepat.Keheningan..."Bagaimana dengan Roric?" tanya Kiran akhirnya, memecah keheningan. "Aku tidak melihatnya di pesta ini."Gladgrik menggeleng, senyum tipis muncul di wajahnya yang keriput. "Roric dan seluruh penempa di bengkelnya tidak akan keluar sampai pekerjaan mereka selesai. Sejak kau memberikan Orchid Altaalaite, mereka bekerja tanpa henti, siang dan malam.""Apakah itu normal?" tanya Emma, keningnya berkerut khawatir."Untuk Roric? Ya," Gladgrik tertawa kecil. "Dia selalu seperti itu ketika bekerja dengan material istimewa. Dan Orchid Altaalaite..." ia menggelengkan kepalanya dengan takjub, "itu adalah material paling istimewa yang pernah ia tangani."Kiran mengangguk, merasa sedikit lega. Ia menatap ke arah bengkel Roric yang terletak beberapa tingkat di bawah alun-alun.
Suara lonceng kota berdentang tiga kali, menandakan dini hari telah tiba. Kiran, yang belum sempat memejamkan mata setelah kilatan cahaya semalam, bangkit dari tempatnya duduk di dekat api unggun yang kini hanya menyisakan bara.Alun-alun Kota Ironhold yang tadinya penuh dengan kurcaci yang berpesta kini lengang, hanya tersisa beberapa yang tertidur di tempat, terlalu mabuk untuk kembali ke rumah."Kita harus ke bengkel Roric," ucapnya, mengguncang bahu Emma yang tertidur bersandar pada sebuah tong bir kosong.Emma tersentak bangun, matanya mengerjap beberapa kali untuk mengusir kantuk. "Apa? Sekarang?""Ya, sekarang," Kiran mengangguk tegas. "Cahaya itu... aku yakin Roric telah menyelesaikan Pedang Bintang."Jasper, yang duduk tidak jauh dari mereka, bangkit dengan gerakan kaku. "Aku ikut," ucapnya, meregangkan tubuhnya yang pegal karena tertidur dalam posisi duduk.Mereka bergegas membangunkan yang lain. Chen terbangun dengan mudah, selalu siaga bahkan dalam tidurnya.Pigenor, yang
"Demi Moradin," bisik Skarfum, mundur selangkah. "Apakah pedang itu... hidup?"Roric tidak tampak terkejut. "Dalam pengertian tertentu, ya.”“Orchid Altaalaite adalah permata yang memiliki kesadaran. Saat disatukan dengan Pedang Bintang, ia memberikan sebagian kesadarannya pada senjata itu."Pedang itu bergetar lebih kuat, lalu perlahan terangkat beberapa inci dari meja—melayang di udara tanpa ada yang menyentuhnya. Kemudian, dengan gerakan anggun, pedang itu berputar hingga gagangnya mengarah ke Kiran, seolah menawarkan diri untuk digenggam."Luar biasa," ucap Gladgrik takjub. "Pedang itu memilih pemiliknya.""Ini sangat langka," tambah Pigenor. "Dalam sejarah Elf, hanya ada beberapa senjata yang diketahui memiliki kemampuan untuk memilih pemiliknya. Semua adalah artefak dengan kekuatan luar biasa."Kiran menatap pedang yang melayang di hadapannya, ragu-ragu. "Apakah... aman untuk kusentuh?"Roric mengangguk. "Pedang itu memanggilmu, Kiran. Ia telah memilihmu sebagai pemiliknya. Jika
Bengkel Roric masih dipenuhi aura sihir yang mengambang di udara seperti kabut tipis, sisa-sisa dari proses penempaan yang luar biasa. Kiran berdiri di tengah ruangan, Pedang Bintang tergenggam erat di tangannya, cahaya ungu kemerahan dari Orchid Altaalaite berkedip-kedip seperti detak jantung yang tenang.Roric, yang telah membersihkan wajahnya dari jelaga dan sedikit memulihkan tenaganya dengan secangkir minuman keras kurcaci, menatap pedang itu dengan mata berbinar. Namun ada kerutan di dahinya, seolah ada sesuatu yang masih mengganggu pikirannya."Ada apa, Roric?" tanya Kiran, menyadari ekspresi kurcaci penempa itu.Roric menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Pedang itu... ia bukan lagi Pedang Bintang yang dulu.""Apa maksudmu?" Emma melangkah maju, alisnya terangkat penasaran."Pedang Bintang adalah nama yang diberikan pada senjata itu sebelum disempurnakan dengan Orchid Altaalaite," jelas Roric, tangannya yang kasar mengusap janggutnya. "Sekarang, setelah menyatu dengan p
Emma bergerak cepat namun hati-hati melalui toko yang gelap, mengambil beberapa potong roti dan keju dari dapur untuk perbekalan perjalanan. Ia berhenti sejenak di ambang pintu depan, mendengarkan suara-suara dari luar.Jalanan tampak sepi, namun ia tahu pasukan Hersen berpatroli sepanjang malam, terutama sejak kabar tentang penyusupan di ibukota menyebar.Dengan satu tarikan napas dalam, Emma membuka pintu dan melangkah keluar ke dalam malam. Udara dingin menyapu wajahnya, membawa aroma kristal dan es yang khas Kota Crystalline. Ia menarik tudung jubahnya lebih rendah, menyembunyikan wajahnya dari pandangan siapapun yang mungkin berpapasan dengannya.Jalanan kota berkilau dalam cahaya bulan, kristal-kristal biru memantulkan sinar keperakan yang menciptakan pemandangan seperti di negeri dongeng.Namun bagi Emma, keindahan itu hanyalah topeng yang menyembunyikan bahaya. Setiap bayangan bisa menyembunyikan penjaga, setiap sudut bisa menjadi tempat penyergapan.Ia bergerak dari satu baya
Suara Madam Elyra memecah keheningan, lembut namun penuh keterkejutan.Emma berbalik perlahan, mendapati wanita tua itu berdiri di ambang pintu, mengenakan jubah tidur berwarna biru tua. Wajahnya yang biasanya ramah kini dipenuhi kebingungan dan kekecewaan."Madam," kata Emma, suaranya tercekat. Botol eliksir booster terasa berat di tangannya, bukti pengkhianatannya yang tak terbantahkan."Kau... mencuri ramuanku?" tanya Madam Elyra, matanya beralih pada tas kain yang kini setengah penuh dengan botol-botol ramuan. Suaranya bergetar, bukan oleh kemarahan, melainkan oleh luka pengkhianatan.Emma menelan ludah, merasakan rasa bersalah yang menusuk hingga ke tulang. "Aku bisa menjelaskan.""Menjelaskan apa?" Madam Elyra melangkah masuk ke ruangan, matanya tidak lepas dari tas berisi ramuan curian."Bahwa kau memanfaatkan kebaikanku? Bahwa kau berpura-pura selama ini?""Bukan seperti itu," kata Emma, suaranya hampir memohon. "Aku harus pergi, Madam. Teman-temanku dalam bahaya.""Teman?" Ma
Bulan purnama mengintip dari balik awan tipis, menyinari Kota Crystalline dengan cahaya keperakan yang dingin. Bangunan-bangunan kristal biru berkilau seperti permata raksasa, menciptakan pemandangan yang hampir ajaib di tengah keheningan malam.Di dalam toko alkemis Madam Elyra, Emma duduk tegang di tepi tempat tidurnya, mendengarkan dengan seksama setiap suara di sekitarnya.Detak jantungnya terasa seperti genderang perang yang bertalu-talu di dadanya. Keputusan telah dibuat. Ia harus pergi ke Zahranar, harus menemukan Kiran dan Roneko. Tidak ada pilihan lain.Emma menunggu hingga suara dengkuran halus Madam Elyra terdengar dari kamar sebelah. Wanita tua itu selalu tidur nyenyak setelah minum teh chamomile favoritnya.Dengan langkah seringan kucing, Emma bangkit dan mengambil tas kain yang telah ia siapkan di bawah tempat tidur."Sekarang atau tidak sama sekali," bisiknya pada diri sendiri.Lorong toko terasa panjang dan mengintimidasi dalam kegelapan. Lantai kayu berderit pelan di
Madam Elyra menatapnya sejenak, seolah menimbang kebenaran kata-katanya, sebelum kembali fokus pada ramuannya. "Ya, ada kemiripan. Alkimia dan sihir adalah dua cabang ilmu yang berasal dari akar yang sama. Keduanya berusaha memahami dan memanipulasi alam, hanya dengan cara yang berbeda."Percakapan mereka terhenti ketika pintu toko terbuka, lonceng kecil di atasnya berdenting nyaring. Dua tentara Hersen berseragam hitam dan merah melangkah masuk, wajah mereka keras dan angkuh."Selamat pagi, Tuan-tuan," sapa Madam Elyra dengan sopan, meskipun Emma bisa melihat ketegangan di bahunya. "Ada yang bisa saya bantu?""Kami membutuhkan ramuan penambah stamina," kata salah satu tentara, suaranya kasar dan tidak ramah. "Yang terkuat yang kau miliki.""Tentu," jawab Madam Elyra, berjalan ke rak di belakangnya. "Saya memiliki elixir stamina tingkat menengah yang baru saja saya buat kemarin."Sementara Madam Elyra melayani para tentara, Emma mundur ke sudut toko, berusaha tidak menarik perhati
Kristal-kristal biru berkilauan memantulkan cahaya matahari pagi, menciptakan ribuan pelangi kecil yang menari di sepanjang jalan-jalan Kota Crystalline. Bangunan-bangunan yang terbuat dari kristal biru menjulang dengan anggun, menciptakan pemandangan yang memukau namun juga mengintimidasi. Di balik keindahan itu, Emma merasakan bahaya yang semakin nyata setiap harinya.Sudah dua minggu berlalu sejak ia terdampar di tepi Sungai Crystalline dan diselamatkan oleh Madam Elyra. Dua minggu yang diisi dengan kewaspadaan konstan dan kepura-puraan yang melelahkan. Dua minggu tanpa kabar tentang teman-temannya, tanpa tahu apakah mereka masih hidup atau telah tertangkap.Emma berdiri di ambang jendela toko alkemis milik Madam Elyra, matanya mengawasi jalanan dengan seksama. Akhir-akhir ini, aktivitas tentara dan penyihir Hersen semakin meningkat. Hari ini saja, ia telah melihat tiga kelompok penyihir pemanggil api berpatroli di sekitar pasar, jubah merah mereka berkibar seperti lidah api ya
Emma menatap hasil perbuatannya dengan mata kosong. Ini bukan pertama kalinya ia membunuh, tapi rasa berat di hatinya tidak pernah berkurang. Setiap nyawa yang ia renggut adalah beban yang harus ia tanggung, setiap tetes darah adalah noda yang tak akan pernah hilang dari tangannya."Demi misi," bisiknya pada dirinya sendiri, sebuah mantra penghiburan yang semakin kehilangan maknanya setiap kali diucapkan. "Demi harapan."Dengan tangan gemetar, Emma mendorong tubuh-tubuh tak bernyawa itu ke dalam sungai, membiarkan arus deras membawa mereka pergi.Bukti kejahatannya, bukti keberadaannya, terhapus oleh air yang sama yang telah membantunya membunuh.Namun, penggunaan sihir terakhir itu telah menguras habis sisa-sisa energi spiritualnya.Emma merasakan kegelapan mulai menyelimuti pandangannya, tubuhnya terhuyung ke depan. Ia berusaha bertahan, berusaha tetap sadar, tapi kelelahan dan kehilangan darah akhirnya mengalahkannya.Saat kesadarannya mulai menghilang, Emma merasakan tubuhnya jatu
Air bergemuruh laksana seribu kuda perang menerjang medan laga.Sungai Crystalline, dengan derasnya yang tak kenal ampun, membelah Hutan Terlarang di perbatasan dua kekaisaran besar—Qingchang dan Zolia.Airnya yang jernih berkilau kebiruan bahkan di bawah cahaya bulan, seolah ribuan kristal kecil menari-nari di permukaannya. Sungai ini tidak mengenal batas politik, mengalir bebas menembus tembok sihir yang memisahkan dua kekaisaran, sebuah jalur alam yang menentang kehendak manusia.Di tepi sungai yang berbatu, tersembunyi di balik semak belukar yang rimbun, Emma meringkuk dengan napas tertahan.Darah mengalir dari luka di bahunya, menciptakan aliran merah tipis yang bercampur dengan air sungai yang dingin. Matanya yang biru cerah kini redup oleh kelelahan dan ketakutan, mengawasi gerakan para penyihir dan tentara Qingchang yang menyisir area perbatasan."Cari di setiap sudut!" Suara komandan pasukan Qingchang memecah keheningan malam."Mereka tidak mungkin menghilang begitu saja!"Em
"Siken," kata Sang Warlock, suaranya bergema di ruangan batu yang dingin, "Klan Phoenix Merah telah muncul kembali.""Mereka bersembunyi di Zolia seperti tikus di balik dinding. Aku ingin kau pergi ke sana, temukan mereka, dan hancurkan mereka. Tidak boleh ada yang tersisa—bahkan debu pun tidak."Siken mengangkat wajahnya, senyum dingin menghiasi bibirnya yang pucat seperti bulan di malam tanpa bintang. Mata birunya yang sedingin es lautan utara menatap tajam."Dengan senang hati, Tuanku. Apakah ada petunjuk khusus tentang mereka?" tanyanya, jari-jarinya yang panjang dan pucat memainkan belati perak di pinggangnya."Mereka memiliki Kyuubi berekor sembilan," jawab Sang Warlock. Keheningan mencekam melanda ruangan, seolah-olah suara Sang Warlock berasal dari dimensi lain yang menerobos masuk ke dunia fana. Bara api di obor-obor dinding bergoyang tanpa angin, seakan-akan takut."Dan kemungkinan besar, pemimpin mereka adalah penerus Sage Alaric. Dia adalah seorang pemuda bernama Kiran
Kaisar Darius mengangkat tangannya, menghentikan kata-kata Kapten Bao. Ia tidak perlu mendengar kelanjutannya. Semua orang tahu apa yang terjadi pada kerajaan-kerajaan yang berani menentang atau mengecewakan Warlock Hitam Oberon Kravit—kehancuran total."Kita harus menemukan mereka sebelum Kaisar Oberon mengirim pasukannya ke sini," kata Kaisar Darius akhirnya, suaranya tegas dan matanya menyiratkan kekhawatiran. "Kerahkan seluruh pasukan, sisir setiap sudut Zahranar. Temukan penyusup itu dan jaringan Klan Phoenix Merah yang mungkin bersembunyi di kota ini," Titah Kaisar Darius penuh otoritas."Baik, Yang Mulia," jawab Kapten Bao, bangkit dari posisi berlututnya. "Saya akan memimpin pencarian sendiri.""Dan Lyra," Kaisar Darius berpaling pada penyihir wanita itu, "hubungi Klan Zorya. Minta bantuan mereka untuk mendeteksi keberadaan penyihir asing di kota kita."Lyra mengangguk, wajahnya serius. Dia bersyukur tidak di jatuhi hukuman oleh kaisar."Saya akan melakukannya segera, Yang