Di sisi utara Shadow Island…Langit yang kelam tercabik perlahan oleh kehadiran dua sosok—sepasang bayangan yang melangkah sunyi di antara puing-puing tebing yang terdistorsi oleh kekuatan elemen ekstrem. Batu-batu yang sebelumnya kokoh meleleh layaknya lilin terkena nyala abadi, lalu membeku kembali seketika, seolah waktu tak lagi mampu memilih musim. Suara gemeretak es dan desisan magma menyatu dalam irama kehancuran.Langkah mereka ringan, tapi dunia menunduk.Kekuatan dua soosk yang sungguh menakutkan.Yang pertama, seorang wanita muda berambut panjang sewarna darah gelap, mengenakan jubah merah yang seakan dijahit dari api neraka itu sendiri. Tubuhnya ramping dan lentur, namun aura membunuhnya tajam dan tak tertutupi. Di sekelilingnya, daun-daun kering rontok, pohon-pohon melayu tanpa disentuh, dan udara menjadi kering seperti gurun yang terbakar. Di genggamannya, Blazing Viper—sebilah pedang panjang yang menyala merah menyilaukan, berdesis lirih seperti naga api yang bangun dari
Langit di atas Shadow Island perlahan-lahan berubah muram. Awan hitam menggulung seperti ombak yang ditarik oleh kekuatan tak kasatmata, menyelimuti langit dengan kegelapan yang menyesakkan. Cahaya matahari tersedot lenyap, seolah ada makhluk raksasa tanpa wujud yang menelan cahaya itu tanpa belas kasih.Pepohonan di hutan sekitar mulai bergetar, dahan-dahannya bergoyang tanpa arah seakan dihantam angin dari dua dimensi berbeda. Gemeretak ranting bersautan, suara serasak dedaunan terdengar seperti bisikan panik dari alam. Suhu udara tak menentu—sesaat sedingin es yang menggigit tulang, lalu sekejap berubah panas membakar hingga kulit terasa terbakar dari dalam. Bahkan makhluk kecil seperti serangga pun mulai keluar dari sarangnya, bingung dan ketakutan, seolah merasakan pertanda kehancuran yang tak bisa mereka pahami.Di dalam aula batu, Mahendra Tan berdiri dengan sikap angkuh, jubah hitamnya menjuntai seperti bayangan malam. Namun untuk pertama kalinya, wajahnya menegang. Pandangann
Helikopter meluncur di atas lautan biru kehijauan yang luas, membelah awan tipis yang menggantung rendah. Di kejauhan, Shadow Island mulai terlihat—pulau kecil yang terisolasi, dikelilingi tebing tinggi dan hutan gelap seperti pelindung alami dari dunia luar.Di dalam kabin, suara baling-baling terasa seperti detak jantung yang memburu. Renata duduk di seberang Rendy, mengenakan sabuk pengaman dan menatap jendela, namun jelas pikirannya tidak ada di sana. Matanya kosong, tak menatap langit, tak menatap laut. Ia sedang mengukur luka di dalam hatinya, luka yang tidak terlihat tapi terasa tajam.Rendy ingin bicara, tapi tidak tahu harus mulai dari mana. Ia hanya bisa menatap jemari tangannya sendiri—yang dulu digunakan untuk menyelamatkan nyawa, kini justru tak mampu melindungi perasaan orang yang ia cintai.Loksa di kursi depan hanya menoleh sekali, matanya tajam seperti biasa."Kita akan mendarat dalam tiga menit. Cuaca tenang, tapi energi spiritual di pulau ini tidak."Rendy menganggu
Ponsel masih tergenggam di tangan Rendy. Jemarinya membeku, sementara pikirannya berkelana terlalu jauh, terlalu cepat. Pertanyaan Renata menggantung di udara seperti kabut dingin: “Kak Rendy sendirian, kan?”Rendy menatap ke arah tempat tidur. Seruni mulai bergerak, menggeliat pelan seperti kucing yang baru terbangun. Cahaya matahari pagi menyapu sebagian wajahnya, menyilaukan bulu matanya yang perlahan terbuka. Tatapan mereka bertemu.Hening.Seruni mengangkat tubuhnya, duduk di atas ranjang sambil mengusap mata. “Kamu mau pergi?” tanyanya pelan, suaranya masih berat, namun mengandung ketulusan yang membuat dada Rendy sesak.Ia mengangguk pelan. “Aku harus ke Shadow Island. Ada sesuatu yang harus kuselesaikan … seseorang yang harus kutemui.”Seruni menatapnya dalam-dalam. Mata itu, mata yang pernah menyaksikan dunia runtuh di sekelilingnya, kini terlihat rapuh. Namun, bukan karena takut—melainkan karena ia tahu dirinya tak bisa ikut.“Clarissa, ya?” tanyanya pelan.Rendy tak menjawa
Langit masih berwarna biru kelam ketika Rendy membuka matanya. Udara pagi yang dingin menyusup lewat celah jendela Hotel Aurora Velaris, menggigit kulitnya dan membuatnya menghela napas panjang. Aroma samar linen bersih dan embusan angin laut yang asin terasa menyelimuti ruangannya yang hening.Ia duduk di sisi tempat tidur, matanya menatap sosok Seruni yang masih terlelap di balik selimut putih tebal. Nafas gadis itu teratur, tenang, dan sesekali terdengar gumaman kecil dari bibirnya yang bergerak dalam mimpi. Wajahnya terlihat damai—terlalu damai untuk diganggu dengan berita bahwa ia harus ditinggal pagi-pagi sekali.Rendy menghela napas pelan. Ada pergolakan di dadanya. Ia tahu, ini bukan waktunya untuk membangunkan Seruni. Terlalu banyak yang sedang dipertaruhkan. Terlalu banyak luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.Perlahan, ia berdiri, mengambil ponsel dari meja di samping ranjang. Jarinya bergerak cepat, menekan kontak Renata.Nada sambung berdengung di telinga, dan dalam bebe
Di luar, Horizon City masih terus berdenyut. Tapi di dalam suite itu, waktu seolah melambat. Dua manusia duduk di ambang sesuatu yang belum mereka beri nama—lebih dari hubungan, lebih dari misi, lebih dari takdir.Rendy memandangi wajah Seruni dengan mata yang tak sekadar melihat—tapi mencoba menyelami. Setiap gurat halus, setiap bayangan yang jatuh di pipinya akibat cahaya lembut dari lampu meja, terasa seperti sebuah teka-teki yang ingin ia pahami sepenuhnya. Bukan karena ia mirip seseorang dari dunia lain. Bukan karena nostalgia atau takdir. Tapi karena sosok perempuan ini—di sini, malam ini—telah menggetarkan sesuatu yang lebih nyata dalam dirinya.“Seruni ...” suaranya rendah, nyaris bergetar, seolah kata-kata itu menuntut keberanian tersendiri. “Kalau aku menyentuhmu malam ini … itu bukan karena kamu mengingatkanku pada seseorang dari dunia paralel. Tapi karena aku ingin mengenalmu, benar-benar mengenalmu … sebagai perempuan yang berdiri di hadapanku sekarang.”Seruni tak segera