MasukLangit senja Khatulistiwa berwarna merah darah, seolah ikut menangis bersama dua sosok yang berdiri di tengah laboratorium bawah tanah yang disulap seperti kamar rumah sakit itu—tempat di mana realitas dan waktu telah kehilangan maknanya. Suara mesin tua berdengung pelan, menandai detik-detik di mana dunia mungkin akan berubah untuk terakhir kalinya.
“Jadi... selama ini Vermilion Vein yang diramalkan akan memulihkan Negeri Khatulistiwa... tersimpan di dalam tubuhmu, Kak Rendy?” suara Renata bergetar, matanya menatap layar holografik yang memantulkan wajah Rendy—lemah, namun perlahan penuh kehidupan.
Rendy menatapnya dengan mata yang memantulkan serpihan masa lalu yang kacau. “Renata... kau tahu kenapa aku tidak sadarkan diri selama lima tahun setelah pertempuran di Kartanesia?”
Renata terdiam. Nafasnya tersengal, seolah menahan sesuatu yang lebih berat dari kenyataan itu sendiri. “Kau salah, Kak... bukan lima tahun. Kau telah tidak sadar selama dua puluh lima tahun.”
Waktu seakan berhenti. Detak mesin berhenti terdengar di telinga Rendy, berganti dengan gema ngeri yang menggulung di dalam pikirannya.
Renata melanjutkan dengan suara parau, “Kami berusaha menggali ingatanmu... untuk mencari cara mengalahkan Kekuatan Tertinggi yang sekarang menguasai seluruh dunia. Semua ini—laboratorium ini, sistem ini adalah program pemulihan pikiran yang kami pasang di tubuhmu. Kau... sudah mati, Kak Rendy.”
“A... apa...?” suara Rendy pecah, matanya membulat tak percaya.
Renata menunduk, menahan air mata. “Aku dan Jessy... kami menciptakan teknologi ini dari sisa data otakmu. Tubuhmu tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan... dingin dan kaku saat pertempuran terakhir. Tapi pikiranmu... kesadaranmu... masih bisa kami selamatkan. Saat kau gagal menaklukkan Kekuatan Tertinggi di dunianya, mereka membalas dengan serangan besar-besaran ke alam fana. Sekarang, Khatulistiwa, Cakrawala, Andalas, Aurora... semuanya telah jatuh.”
Suara angin dari ventilasi terdengar seperti jeritan jauh di ujung dunia.
Namun di tengah kehancuran itu, Renata justru tersenyum samar.
Rendy menatapnya curiga. “Kenapa kau tersenyum, Ren?”
Renata menarik napas dalam, matanya berkilat harapan. “Kabar dari Jessy baru saja datang... Vermilion Vein di dalam tubuhmu aktif. Energinya membungkus tubuhmu dalam cahaya merah menyala. Seluruh sistem pemulihan biologismu bereaksi! Kau... akan hidup kembali, Kak Rendy. Dunia ini masih punya pemimpinnya.”
Kilatan cahaya merah tiba-tiba menerangi ruangan. Rendy merasakan panas aneh di dadanya—denyut energi yang mengalir seperti darah api, membangunkan setiap sel tubuhnya.
Tapi di balik kebangkitan itu, muncul satu pertanyaan yang lebih menusuk. “Bagaimana dengan yang lain?” suaranya serak, nyaris seperti doa. “Cindy... Katrin... Kristin... Clarissa... Sheila... Seruni... Selina... apakah mereka... masih hidup?”
Renata menunduk. Bibirnya gemetar sebelum akhirnya berkata lirih, “Mereka semua gugur, Kak. Saat serangan besar Kekuatan Tertinggi meluluhlantakkan Khatulistiwa... kami tak sempat menyelamatkan siapa pun.”
Rendy membeku. Dunia terasa runtuh kedua kalinya.
Namun Renata belum selesai. Ada secercah cahaya dalam tatapannya. “Tapi... ada harapan kecil. Aku dan Jessy berhasil membuat portal waktu. Jika kita bisa menyalakan mesinnya, kita bisa mengirimmu kembali ke masa lalu—ke titik sebelum semua kehancuran ini dimulai.”
“Portal waktu?” Rendy mengulang, napasnya tercekat.
Renata mengangguk mantap. “Benar! Vermilion Vein di tubuhmu adalah sumber energi terakhir yang bisa menggerakkan mesin itu. Kau... adalah kunci, Kak. Satu-satunya cara untuk memperbaiki segalanya.”
Hening. Hanya suara denyut energi dari dada Rendy yang terus berdetak keras—seperti jantung dunia yang mencoba hidup kembali.
Di luar laboratorium, langit Khatulistiwa bergetar. Garis merah api mulai melingkar di cakrawala, menandai kebangkitan sang legenda yang telah lama tertidur.
Di saat itulah, untuk pertama kalinya setelah dua puluh lima tahun, Rendy Wang membuka matanya sepenuhnya.
Langit senja Khatulistiwa berwarna merah darah, seolah ikut menangis bersama dua sosok yang berdiri di tengah laboratorium bawah tanah yang disulap seperti kamar rumah sakit itu—tempat di mana realitas dan waktu telah kehilangan maknanya. Suara mesin tua berdengung pelan, menandai detik-detik di mana dunia mungkin akan berubah untuk terakhir kalinya.“Jadi... selama ini Vermilion Vein yang diramalkan akan memulihkan Negeri Khatulistiwa... tersimpan di dalam tubuhmu, Kak Rendy?” suara Renata bergetar, matanya menatap layar holografik yang memantulkan wajah Rendy—lemah, namun perlahan penuh kehidupan.Rendy menatapnya dengan mata yang memantulkan serpihan masa lalu yang kacau. “Renata... kau tahu kenapa aku tidak sadarkan diri selama lima tahun setelah pertempuran di Kartanesia?”Renata terdiam. Nafasnya tersengal, seolah menahan sesuatu yang lebih berat dari kenyataan itu sendiri. “Kau salah, Kak... bukan lima tahun. Kau telah tidak sadar selama dua puluh lima tahun.”Waktu seakan berhe
Petir pertama menyambar begitu Rendy Wang mencabut Elixir Sword dari sarungnya. Cahaya emas membelah langit, bergemuruh hingga ke dasar bumi. Angin meledak di sekelilingnya, menyingkirkan debu dan kabut pertempuran. Di belakangnya, empat naga elemental berputar cepat, membentuk pusaran energi berbentuk naga bersayap empat yang tampak hidup—matanya menyala, sisiknya berkilau bagai kristal dewa.“Menara ini bukan kuburan,” suara Rendy bergema di seluruh lembah, berat dan mengguncang seperti lonceng perang para dewa. “Ini tempat kebangkitan!”Suara itu menjadi tanda dimulainya kehancuran.Lembah Roh Kultivator masih tersegel sehingga Rendy tidak bisa menggunakan segala keuntungan yang didapatnya dari kuburan pedang spiritual ini. Ia mengandalkan ramalan kuno kalau Elemental Naga Baru ini akan memberikan kemenagan dalam pertempuran hebat di Kartanesia ini.Sheila melompat ke depan, aura apinya membara liar hingga rambutnya sendiri tampak terbakar cahaya biru. “Flame Nova—Dragon Rebirth!” s
Sisi timur Kartanesia mendadak menyala bagai fajar yang meledak terlalu dini. Sembilan titik cahaya muncul di langit—berkilau tajam, kemudian membesar, membentuk siluet para penjaga langit... Kaelion Ardent, Fayra Alumea, Rorick Vale, Velan Teyros, Lyra Windveil, Thanos Grimwood, Maelis Dawnrose, Tyrion Voxen, dan Seris Veloria. Di belakang masing-masing, naga mereka muncul dari balik kabut spiritual, tubuhnya membentang sepanjang lembah, sisik mereka memantulkan warna-warna elemen yang berbeda—merah, biru, perak, hijau, hingga hitam obsidian yang memantulkan kilatan petir.Kaelion melangkah paling depan, mantel perangnya berkibar diterpa angin spiritual. Suaranya menggelegar di antara guntur dan nyala plasma.“Ignirion! Bangkit!”Langit pun menyala. Dari balik pusaran energi merah, Ignirion, naga api plasma, muncul dengan auman yang membelah udara. Sayapnya membentur angkasa, setiap kibasan meninggalkan jejak bara menyala yang jatuh seperti hujan meteor ke tanah.Rorick Vale menurunk
Langit Kartanesia malam itu tidak sekadar berubah warna—ia berdenyut, seperti jantung dunia yang berdetak terlalu cepat. Biru tua yang tenang mendadak bergolak, menjadi merah darah, lalu bergradasi ke ungu pekat. Udara menegang. Bumi bergetar halus. Alam spiritual terbelah oleh sesuatu yang melampaui batas kekuatan manusia.Menara Naga Perang berdiri gagah di jantung kota, menjulang seribu meter menembus awan. Namun bahkan batu-batu hitamnya pun bergetar pelan, seakan takut pada arus energi yang kini membanjiri langit. Dari setiap penjuru negeri, pilar-pilar cahaya menembus atmosfer, menari liar sebelum bersatu membentuk empat simbol naga raksasa... api, air, angin, dan tanah—mengelilingi menara bagaikan penjaga masa lalu yang baru dibangkitkan dari tidur panjangnya.Keajaiban baru Elemental Naga dengan perubahan elemental yang mereka miliki.Di puncak menara, Rendy Wang berdiri tegap. Jaket panjangnya berkibar deras di tengah badai energi, rambut hitamnya memantulkan cahaya petir kee
Langit Kota Metropolitan memantulkan cahaya jingga dari ribuan lampu hologram. Gedung-gedung tinggi menjulang seperti tombak raksasa yang menembus awan, sementara di bawahnya, dunia berdenyut dengan kehidupan—mobil-mobil terbang melintas, papan iklan bercahaya menampilkan wajah para elit spiritual, dan suara mesin spiritual bergema di setiap lorong.Di antara hiruk pikuk itu, satu sosok berjalan dengan langkah tenang namun tegas—Rendy Wang, Sang Naga Perang. Jaket panjangnya basah oleh sisa hujan malam sebelumnya. Di punggungnya tergantung Elixir Sword yang kini tampak seolah berdenyut pelan, menyimpan sisa energi dari pertempuran maut melawan Akira Tanata.Namun malam ini bukan malam untuk perang.Malam ini adalah malam untuk mengikat kekuatan baru.Rendy menatap menara kaca berlogo “Helion Tech Consortium”, perusahaan riset spiritual terbesar di Negeri Cakrawala—dan tempat Selina Khan, wanita yang dulu dikenal sebagai Pewaris Naga Angin, bersembunyi setelah perang dunia spiritual li
Petir menyambar tiang-tiang logam, membuat udara bergetar seperti genderang perang. Hujan kini berubah menjadi badai, derasnya seakan menandai akhir dari satu era, dan kelahiran era baru yang ditulis dalam darah.Rendy Wang menatap Akira Tanata yang kini melayang di udara, di punggung naga hitam spiritual yang mengaum bagai monster dari dunia bawah. Aura gelap itu menelan cahaya di sekitarnya, dan setiap napas naga itu membuat kaca gedung-gedung pecah, alarm mobil meraung tak karuan.“Kau tidak akan bisa melawan teknik ini, Rendy Wang!” teriak Akira, suaranya bergema mengguncang seluruh distrik. “Inilah kekuatan naga pemangsa, Penghancur Surgawi!”Rendy mengangkat wajahnya. Hujan menetes di kulit, namun dari tubuhnya muncul semburan listrik keemasan yang membuat air mendesis di udara.Ia perlahan menghunus Elixir Sword—bilahnya memantulkan cahaya petir, menggetarkan udara. “Kau benar,” katanya datar, “aku tidak akan melawannya...”Langkahnya maju, petir menyambar di sekelilingnya...“







