Keesokan harinya, Vincen bangun lebih awal dari biasanya. Dia merasa bersemangat untuk menghadapi hari yang baru.
Setelah mandi dan menyiapkan diri, dia mengenakan jas rapi yang sudah disiapkan oleh Noel. Di depan cermin, Vincen mengenakan dasi yang serasi dengan jasnya, lalu melirik ke arah cermin. Dia tersenyum puas melihat penampilannya yang kini berubah sembilan puluh derajat dari sebelumnya. Tak ada lagi jejak kekusutan atau kelelahan di wajahnya, kini yang tersisa hanyalah wajah berkarisma dan penuh percaya diri. "Ternyata aku tampan juga.” Dia tertawa saat mendengar pujian konyol yang dia kumandangkan untuk dirinya sendiri. Sudah begitu lama sejak Vincen memiliki waktu untuk mempersiapkan dirinya seperti ini. Lagi pula, sebagian besar waktunya dia luangkan untuk bekerja demi menafkahi sang istri, Lidia. Ah salah... Mantan istri harusnya. Mengingat hal tersebut, Vincen cepat-cepat menggelengkan kepalanya. ‘Berhenti memikirkan yang tidak penting,’ batinnya, sebelum akhirnya berbalik menuju pintu keluar. Melangkah keluar dari kamar, Vincen yang baru saja membuka pintu apartemennya langsung mendapati sosok Noel sudah berada di sana. “Tuan Muda,” sapa Noel dengan penuh hormat. Vincen menganggukkan kepala. “Kita berangkat.” Dia pun mulai lanjut berjalan menuju lift untuk turun ke lobi. Memerhatikan sang tuan muda yang begitu mirip dengan mendiang tuannya yang telah wafat, mata Noel berkaca-kaca. ‘Andai Tuan Vinicius bisa melihat putranya kembali ke posisi sahnya, betapa bahagia dirinya ….’ “Paman Noel?” Panggilan Vincen yang bingung lantaran Noel hanya terdiam di tempat langsung membuat pria paruh baya itu tersentak dan langsung mengikuti sang tuan muda. Mereka pun masuk ke mobil dan berangkat menuju tujuan mereka hari ini; Central Clark Capital, kantor pusat keluarga Clark di Aldasia. Sepanjang perjalanan, Vincen menatap nanar keluar jendela, matanya mengikuti gerak-gerik orang-orang berlalu lalang. Menatap mereka yang bekerja keras di bawah panasnya terik matahari. Dulu, Vincen pernah di posisi itu. Semenjak menikah dengan Lidia, dia perlu menguras tenaganya sampai habis demi menyokong gaya hidup sang istri yang tidak main-main. Tak jarang Vincen terluka di pekerjaannya karena bahkan pekerjaan kasar pun dia ambil demi pulang dengan jumlah uang yang bisa membuat sang istri tersenyum. Sadar dirinya kembali mengingat sosok Lidia, alis Vincen tertaut dan dia pun mengepalkan tangannya. "Tuan muda, Anda tidak apa-apa?" tegur Noel, melihat ekspresi kesulitan yang tergambar di wajah Vincen. Vincen segera tersadar dan langsung menenangkan ekspresinya. Dia menatap Noel dan menggelengkan kepala. “Aku tidak apa-apa, Paman Noel.” Vincen menatap ke depan dengan tekun, matanya terfokus pada jalan yang terbentang di hadapannya. Setiap keputusan yang diambilnya seolah membawanya satu langkah lebih dekat untuk membuktikan dirinya bukan lagi orang yang sama. Dalam hatinya, Vincen menegur dirinya sendiri dengan tegas, 'Lupakan masa lalumu, Vincen. Kamu bukan lagi bedebah bodoh yang dibutakan oleh cinta.' Kata-kata itu menggema di benaknya, menjadi mantra yang mengingatkannya akan perubahan yang telah ia jalani. Wajahnya yang dulu penuh kebimbangan dan keraguan kini tergantikan dengan ekspresi penuh percaya diri dan keberanian. Tak ada lagi rasa takut atau penyesalan yang menghantui pikirannya. Kini, Vincen yakin bahwa masa lalunya telah ia tinggalkan jauh di belakang, dan ia siap untuk menghadapi tantangan apa pun yang mungkin menghadang di depan. *** Setelah beberapa saat perjalanan, mobil yang dinaiki Vincen pun sampai di area perkantoran yang terlihat mewah dan elit. Vincen pun berkata, “Kita sudah sampai?” Noel menganggukkan kepala. “Sedikit lagi, ada di sana,” ucapnya seraya menunjuk ke satu arah. Mengikuti arah jari Noel, Vincen melihat sebuah gedung yang jauh lebih mencolok dibandingkan gedung-gedung lainnya di area tersebut. Dengan tinggi menjulang ke langit, gedung pencakar tersebut seolah menunjukkan dominasinya sebagai perusahaan terbesar yang terletak di kota Aranka—Aldasia. Napas Vincen agak tercekat, terpukau dengan kegagahan gedung yang logo perusahaannya terpampang di puncaknya itu. ‘Jadi, ini Central Clark Capital,’ batinnya. Melihat ekspresi Vincen, Noel tersenyum tipis. Dia merasa cukup senang bisa melihat sang tuan muda terpukau dengan kepunyaan keluarganya itu. “Tuan Besar sudah menunggu Anda, jadi nanti Anda bisa lebih dulu–” “Hentikan mobilnya!” CIIIT! Noel langsung menginjak rem akibat terkejut oleh suara Vincen. Dia menoleh ke belakang, lalu mendapati Vincen sudah membuka pintu mobil untuk keluar. “Tuan Muda, apa yang–!?” “Paman pergilah dulu ke kantor! Aku ada urusan sebentar dengan seseorang!” Sebelum Noel bisa membalas, Vincen langsung berlari cepat keluar mobil dan berbelok ke satu jalanan sempit, seperti mengejar sesuatu. Noel sempat mengejar, tapi Vincen terlalu cepat! Terengah-engah, Noel bertanya-tanya dalam hati. Apa yang terjadi kepada tuan mudanya itu? Apa mungkin tuan mudanya mengurungkan niat kembali ke keluarga karena merasa tertekan!? Tidak mungkin, bukan!? Baru melihat wujud gedungnya saja, masa sudah takut? Bagaimana kalau Vincen tahu mengenai pasukan pengawal khusus yang Pak Tua Clark bangun secara diam-diam!? Tepat di saat itu, seseorang tampak menelepon Noel. Itu adalah Pak Tua Clark. “Tuan Besar,” sapa Noel dengan gugup. “Di mana kalian? Para eksekutif sudah hadir!” tegur Pak Tua Clark, tampak tidak sabaran. Menyisir rambutnya ke belakang dengan wajah kesulitan, Noel berkata, “Tuan Muda... menghilang, Tuan Besar!” “Apa?! Bagaimana bisa?!” terdengar suara terkejut diseberang telepon. Jantung Noel berdebar. Dia sendiri tidak tahu jawabannya, tapi ….“Tampaknya, Tuan Muda tanpa sengaja melihat seseorang yang dia kenal, jadi diam engejarnya,” jelas Noel. “Hanya saja … saya tidak bisa mengejarnya, jadi Tuan Mudam enghilang dari pandangan saya ….” Pak Tua Clark terdiam sebentar, sebelum akhirnya dia berkata, “Kembalilah ke kantor terlebih dahulu. Aku yakin dia akan datang setelah urusannya selesai.” “Baik, Tuan,” balas Noel sebelum mematikan panggilan. Masuk ke dalam mobil dan melajukannya menuju kantor, Noel tak elak berpikir. Kiranya, siapa yang sebenarnya Vincen lihat sampai dia nekat langsung turun dari mobil seperti itu!? ‘Mungkinkah … mantan istrinya?’ batin Noel penasaran.Vincen berdiri di depan jendela besar rumahnya, pandangannya kosong melintasi langit malam yang penuh bintang. Tangan kanannya yang menggenggam telepon genggam sedikit gemetar. Wajahnya yang tadinya tegang dan pucat perlahan mulai menunjukkan raut lega saat mendengar berita tersebut dari ujung telepon. "Apa benar-benar semua telah dikalahkan, Master?" suaranya terdengar serak, mencari kepastian."Iya, Tuan Clark. Semua sudah beres. Tidak perlu khawatir lagi," jawab suara di seberang sana, tegas dan menenangkan.Seketika, otot-otot yang tegang di leher Vincen melunak. Dia menutup matanya, menghela napas panjang dan mengusap muka dengan kedua tangannya. Pria itu kemudian berjalan pelan menuju sofa, duduk dengan letih. Rasa cemas yang selama ini menderanya perlahan menguap, digantikan oleh rasa syukur yang dalam.Vincen menatap ke atas, mengucap syukur dalam hati. Kepalanya yang tadinya dipenuhi oleh ketakutan dan kecemasan tentang apa yang mungkin terjadi pada orang-orang di sekitarnya
Dentuman keras menggema, membuat tanah di bawah mereka bergetar dan debu mengepul tinggi ke udara. Saat kekuatan mereka berdua saling beradu satu sama lainTubuh Harley bergetar karena kekuatan yang baru saja dia lepaskan. Matanya menyala tajam, energi spiritualnya mengalir seperti sungai yang deras. Di depannya, Lizzy dengan cekatan menahan serangannya dengan pedang yang ia oegang, menciptakan gelombang energi yang bertabrakan dengan pukulan Harley.Asap perlahan mulai menghilang, Lizzy berdiri tegak, pedangnya masih terjulur ke depan, tapi nafasnya terengah-engah menandakan usaha yang ia keluarkan.Harley, di sisi lain, masih terpaku di posisinya, matanya terpaku pada sosok Lizzy yang ternyata mampu menahan serangannya. Ada rasa kagum yang bercampur dengan kegigihan dalam dirinya, mengetahui bahwa pertarungan ini akan lebih sulit dari yang dia bayangkan.Dengan gerakan yang begitu cepat, Harley dan Lizzy saling menyerang dengan serangan dahsyat yang bertenaga. Benturan energi spirit
Harley melihat ke sekitar arena pertarungan. Setelah mengalahkan lawannya, matanya mencari sosok Solomon yang terlihat berada dalam kesulitan. Dengan langkah cepat dan pasti, Harley melompat melewati pohon dan bebatuan yang ada dibawahnya, bergegas menuju Solomon yang tampak kewalahan.Solomon, dengan tubuhnya yang sudah renta, berusaha menangkis serangan dengan teknik pernapasan Alam. Wajahnya terlihat pucat dan keringat membanjiri dahi, menunjukkan betapa dia berjuang untuk bertahan. Harley, dengan mata yang tajam dan gerakan cepat, langsung menghampiri, mengayunkan pukulan kuat ke arah sosok lawan Solomon. membuatnya sosok tersebut terhempas jauh ke belakang."Anda tidak apa-apa?!" teriak Harley bertanya sambil berdiri didepan pria tua itu. Solomon, dengan napas yang tersengal, hanya bisa mengangguk pelan dan mencoba untuk tetap berdiri.Sosok yang terhempas barusan, terlihat terbang kembali ke arah Harley, melakukan serangan cepat.Namun, Harley dengan gerakan lincah, melindungi
Lotar segera waspada saat menatap sosok yang membangkitkan energi spiritual Iblis. Dia tahu betul bahwa pengguna energi spiritual kegelapan memiliki kekuatan yang sangat luar biasa.Menarik napas dalam-dalam, Lotar memutuskan untuk tidak menahan kekuatan lagi. Dia melepaskan seluruh energi spiritualnya yang mendalam dan kuat."Hahaha... bagus, gunakan semua kekuatanmu, pak tua!" seru pengguna energi spiritual kegelapan dengan nada mengejek, sambil melayang di udara bak sosok yang menguasai langit.Swuz!Tak ada yang menduga, Lotar tiba-tiba menghilang dari tempatnya. Hanya terdengar ledakan dahsyat saat dia melompat ke atas dengan kecepatan luar biasa.Sosok pengguna energi spiritual kegelapan tersenyum mengejek, seolah sudah tahu akan serangan Lotar. Dia dengan mudah menahan serangan pukulan dahsyat dari Lotar, tanpa perlu mengeluarkan banyak tenaga.Duak!Gelombang angin menerjang sekitar mereka akibat benturan pukulan Lotar yang ditahan oleh sosok pengguna energi kegelapan dengan s
Harley berdiri dengan tegap, tatapan matanya terkunci pada sosok yang dengan tenang menahan serangannya.Tanah di bawah kaki mereka terbelah, membentuk jurang kecil, dan debu berterbangan mengelilingi area pertarungan mereka. Sosok tersebut, dengan ekspresi yang tidak terbaca, membetulkan posisi kakinya, menyiapkan diri untuk serangan berikutnya.Harley, dengan kecepatan kilat, melancarkan pukulan lain, namun Sosok itu hanya mengangkat tangan kanannya dan dengan mudahnya mengalihkan serangan tersebut. Gerakan Sosok itu begitu tenang dan terkendali, seolah-olah dia sedang berada dalam latihan rutin bukan dalam pertarungan sengit.Harley merasakan emosi yang mulai membuncah di dalam dadanya, dia tidak pernah bertemu lawan yang seakan meremehkannya seperti itu. Setiap serangan yang dia lancarkannya hanya seperti angin lalu bagi Sosoj tersebut.Kemarahan dan kekaguman bercampur dalam pandangannya, namun dia tidak akan menyerah. Dengan rahang yang mengeras, Harley mengumpulkan seluruh kek
Langit malam yang gelap berpadu dengan gemerisik dedaunan yang tertiup angin kencang, menciptakan suasana yang mencekam di tengah pepohonan yang rimbun. Di kejauhan, cahaya obor dari para pemuja Iblis menerangi area sekeliling mereka, membentuk lingkaran yang terang benderang. Sementara itu, dari balik kegelapan, Lotar, Harley, Face, Solomon dan bawahannya bersembunyi di balik pepohonan besar, mata mereka fokus memantau setiap gerakan pemuja Iblis. Wajah mereka tegang, penuh konsentrasi, tangan mereka memegang senjata yang siap digunakan.Lotar, memberi isyarat untuk mendekat. Dia berbisik, "Sekarang atau tidak sama sekali." Mereka mengangguk, mengerti akan tugas yang harus dilakukan. Perlahan, mereka bergerak keluar dari persembunyian, mengatur langkah agar tidak mengundang perhatian.Solomon, dengan pisau panjang di tangannya, memimpin langkah. Harley dan Face mengikuti di belakang, sementara Lotar bergerak melingkar, mencari sudut yang lebih baik untuk menyerang. Mereka mendekat,
Sementara itu, di kediaman keluarga Clark, suasana hati para penghuni rumah sedang riang gembira. Vincen menemui keluarga pujaan hatinya, Veronica, ditemani oleh Nenek Elma yang kini menjadi wali untuknya."Kami semua sudah sepakat untuk menggelar pernikahan mereka berdua satu Minggu lagi, bagaimana pendapat Anda, Nyonya Ritsu?" tanya Pak Tua Shancez dengan penuh antusias, sebagai wakil pembicaraan keluarga Shancez."Jika itu keinginan kalian, aku tidak keberatan sama sekali. Malahan, aku juga ingin segera memiliki cicit dari mereka berdua," jawab Elma sambil tersenyum hangat, melirik Vincen dan Veronica yang duduk bersebelahan.Semua anggota keluarga Shancez tersenyum bahagia, merasa lega karena tidak ada penolakan dari pihak keluarga Vincen.Veronica terlihat sangat bahagia. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya dia akan dapat bersanding dengan pria yang telah mencuri hatinya selama ini.Mereka pun melanjutkan obrolan dengan santai, sambil menikmati hidangan makan malam yang lezat.
Matahari terbenam perlahan, memberikan cahaya temaram yang melapisi bukit pinggiran kota Helsia.Solomon dan para bawahannya bergerak cepat saat sudah sampai diwilayah tujuan, menuruni jalan setapak yang berliku, memenuhi perintah Vincen. Daun-daun kering berderak di bawah tapak sepatu mereka, mengumumkan kedatangan mereka kepada siapa pun yang mungkin mendengar.Di kejauhan, Solomon melihat siluet Lotar, Harley, dan Face yang bersembunyi di balik semak-semak, mengintai gerak-gerik kelompok pemuja kekuatan Iblis. Mereka tampak tegang, mata mereka tajam mengawasi setiap gerakan yang mencurigakan.Solomon memberi isyarat kepada bawahannya untuk bergerak lebih hati-hati. Mereka merunduk, menghindari siluet yang bisa terlihat oleh musuh. Udara dingin malam semakin menambah ketegangan.Sesampainya di posisi yang lebih dekat, Solomon dan timnya bergabung dengan Lotar dan yang lainnya. Lotas berbisik. "Ada dua belas orang yang kemungkinan akan melakukan ritual di sana," ujarnya sambil menun
Harley pun akhirnya setuju untuk bersembunyi, walau sebenarnya dia ingin bertarung dengan orang-orang tersebut.Mereka segera mencari tempat persembunyian yang aman di ruangan tersebut. Lotar melirik ke sekeliling, menemukan ruang kecil di belakang tumpukan kotak kayu tua. Ia memberi isyarat pada Harley dan Face untuk mengikutinya ke sana."Ssst, jangan berisik," bisik Lotar saat mereka memasuki ruang kecil itu, bersembunyi di balik kotak-kotak kayu.Harley dan Face menahan napas, mencoba untuk tidak membuat suara apa pun. Mereka melihat sekelompok orang berpakaian hitam itu berkumpul di tengah ruangan, berbicara dengan suara yang pelan dan serius. Lotar mencoba untuk mendengarkan percakapan mereka, mencari informasi penting yang bisa digunakan nanti.Salah satu orang berpakaian hitam melihat ke arah tempat mereka bersembunyi, membuat jantung Lotar berdegup kencang. Namun, untungnya orang itu tidak mendekati mereka dan melanjutkan percakapannya dengan yang lain.Tiba-tiba, seorang pr