Malam semakin larut, dan suasana di rumah keluarga Ombra penuh ketegangan. Luka yang diderita Isabella bukan hanya sebuah peringatan, melainkan juga cambuk yang membangkitkan amarah yang tak pernah dirasakan Luca sebelumnya. Luka-luka di tubuh adiknya mengingatkannya pada realitas kejam dunia yang ia huni. Namun, di balik itu, ia juga menemukan tekad baru—tekad untuk melindungi satu-satunya orang yang ia sayangi, meskipun harus membalas dunia yang sudah mengajarkannya untuk tak mempercayai siapapun.
Di kamarnya yang remang, Luca duduk di kursi berlapis kulit hitam sambil memandangi pistol yang tergeletak di atas meja. Pikiran Luca penuh dengan rencana-rencana dan bayangan tentang apa yang akan ia lakukan pada keluarga Rosso. Ia ingin memberikan mereka rasa sakit yang setara dengan apa yang mereka lakukan pada Isabella. Keluarga Ombra telah lama hidup dalam bayangan, tetapi kali ini, Luca akan keluar dari bayang-bayang itu dan menghadapi mereka secara langsung. Suara ketukan pintu memecah kesunyian. Luca melirik ke arah pintu, yang kemudian terbuka perlahan. Dante masuk, menatap Luca dengan pandangan yang sulit ditebak. Sebagai tangan kanan keluarga Ombra, Dante adalah orang yang paling mengerti isi pikiran Luca, meskipun kadang-kadang ia juga menjadi suara hati kecil Luca yang masih penuh keraguan. “Kau ingin membalaskan dendam Isabella, kan?” tanya Dante dengan suara rendah namun tegas. Luca hanya mengangguk, tidak perlu kata-kata lebih banyak untuk menjelaskan apa yang ada di dalam hatinya. Dante memahami itu. “Kalau begitu, kau harus melakukannya dengan cara yang tidak akan merusak kehormatan keluarga. Ini bukan sekadar masalah pribadi, Luca. Dunia kita penuh dengan aturan, dan setiap tindakan memiliki konsekuensi,” lanjut Dante. Luca menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gejolak yang ada di dalam dadanya. Ia tahu Dante benar. Dunia mafia memiliki aturan yang tak tertulis, sebuah kode etik yang, anehnya, menjaga keseimbangan di antara kekacauan. Pembalasan buta tanpa perencanaan hanya akan menghancurkan segalanya, termasuk keluarga Ombra. “Apa kau sudah memiliki rencana?” tanya Dante lagi. “Belum sepenuhnya,” jawab Luca. “Tapi aku tahu apa yang harus aku lakukan pertama kali.” Ia menatap Dante, matanya penuh keyakinan. “Aku akan menargetkan pemasok utama keluarga Rosso. Kalau kita bisa memutuskan sumber senjata mereka, itu akan melemahkan mereka.” Dante tersenyum samar. “Ide yang bagus. Tapi kau harus siap. Mereka tidak akan tinggal diam jika kau mulai menyerang dari bagian terpenting mereka.” Tanpa menunggu lebih lama, Luca mulai menyusun rencana. Dia mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, menghubungi beberapa kontak yang dipercaya keluarga Ombra untuk mendapatkan informasi detail tentang rantai pasokan keluarga Rosso. Malam itu, Luca dan Dante mulai mengumpulkan tim kecil, kelompok yang dapat dipercaya untuk menjalankan misi ini. Mereka menyusun strategi dan mempersiapkan segala yang dibutuhkan. Di malam berikutnya, mereka berangkat menuju sebuah gudang di pinggiran kota yang menjadi lokasi salah satu pemasok utama senjata keluarga Rosso. Gudang itu tersembunyi di balik bukit-bukit dan dikelilingi oleh pagar tinggi serta pengawasan ketat. Luca tahu bahwa ini bukan misi yang mudah, tetapi kali ini ia tak akan berhenti hanya karena rintangan. Sesampainya di lokasi, Luca membagi tugas dengan tenang. Timnya bergerak dengan senyap, menyelinap di antara bayangan malam. Misi ini membutuhkan ketepatan waktu dan kecermatan. Setiap kesalahan bisa berarti kematian. Dante, yang sudah terbiasa dengan operasi semacam ini, berada di sisi Luca, mengawasi dengan teliti. Mereka merayap perlahan, menghindari lampu-lampu penjaga, dan mendekati pintu utama gudang. “Setelah kita di dalam, pastikan kita bisa melumpuhkan setiap penjaga tanpa menimbulkan suara. Kita harus melakukannya dengan cepat,” bisik Luca kepada timnya. Dante mengangguk sebagai tanda kesepakatan. Saat mereka mendekati gudang, Luca bisa merasakan adrenalinnya meningkat. Seluruh indra dan nalurinya fokus pada misi ini. Di dalam pikirannya, bayangan Isabella terluka kembali muncul, menyalakan kembali bara api dalam dirinya. Ia melangkah lebih berani, membayangkan dirinya menghancurkan mereka yang telah melukai adiknya. Begitu mereka berhasil menyelinap masuk, Dante memberikan isyarat untuk memulai serangan. Beberapa penjaga yang sedang berjaga tak sempat menyadari kehadiran mereka hingga mereka terjatuh dalam diam, dilumpuhkan dengan cepat oleh tim Luca. Di setiap sudut gudang, anggota keluarga Ombra bergerak dengan kecepatan dan keheningan yang hampir menakutkan, menguasai seluruh bangunan. Luca bergerak menuju pusat kendali di dalam gudang, tempat berbagai dokumen dan catatan distribusi senjata disimpan. Jika ia bisa mendapatkan informasi ini, ia akan memiliki keuntungan besar untuk langkah berikutnya. Saat ia mulai membuka file-file yang tersusun rapi, sebuah suara tiba-tiba terdengar di belakangnya. “Berhenti di situ juga, Ombra!” Luca berbalik dengan cepat. Di hadapannya, seorang pria besar, dengan senapan terarah kepadanya, berdiri dengan senyum mengejek. Ia mengenal pria itu, salah satu pengawal utama keluarga Rosso, Riccardo. Seorang pria brutal yang dikenal sadis, bahkan di antara kaum mafia. “Kau pikir kau bisa masuk ke sini tanpa aku tahu?” Riccardo menyeringai, menatap Luca dengan pandangan penuh kebencian. Namun Luca tidak gentar. Ia mengarahkan pistolnya pada Riccardo, dengan tatapan yang tak kalah tajam. Di belakangnya, Dante bergerak maju, bersiap menghadapi ancaman ini. “Jika aku jadi kau, aku tidak akan bertaruh nyawa untuk melawan keluarga Ombra,” balas Luca dingin. Mereka saling menatap, masing-masing penuh tekad dan kebencian. Namun, sebelum Riccardo sempat menarik pelatuk, Dante dengan cepat melompat maju, menyerang pria itu dan menjatuhkan senjatanya. Luca mengambil kesempatan itu untuk menonaktifkan Riccardo dengan satu pukulan ke kepala, membuatnya terjatuh pingsan. Setelah mereka mengamankan lokasi dan mendapatkan dokumen yang diperlukan, Luca dan timnya meninggalkan gudang itu dengan cepat. Sebelum pergi, mereka memastikan bahwa tidak ada yang tersisa kecuali kehancuran yang akan menjadi peringatan bagi keluarga Rosso. Gudang itu terbakar dalam kobaran api besar, dan dari jauh, Luca bisa melihat asap hitam membubung ke langit, menjadi tanda peringatan bagi musuh-musuhnya. Dalam perjalanan pulang, Dante menatap Luca dengan bangga. “Kau melakukannya dengan baik, Luca. Ini baru awal dari pertempuran yang lebih besar, tetapi kau sudah menunjukkan siapa dirimu.” Namun Luca hanya menatap keluar jendela, dengan pikiran yang jauh melayang. Baginya, misi ini bukan sekadar kemenangan atau kekuatan. Ia melakukannya demi Isabella, demi keluarganya, dan demi harga diri yang kini ia rasakan tumbuh dalam dirinya. Luka yang ada di hati dan jiwanya telah berubah menjadi kekuatan yang menggerakkan setiap langkahnya. Malam itu, Luca kembali ke rumah dengan membawa sebuah pesan untuk keluarganya. Sebuah pesan bahwa ia, Luca Ombra, siap mengambil alih bayang-bayang kekuasaan keluarganya, dan ia akan melakukan segala cara untuk melindungi yang berharga bagi dirinya. Dan dengan misi pertama yang berhasil, Luca Ombra memulai jalannya sebagai pemimpin sejati, satu langkah dalam kegelapan yang akan mengantarkannya ke puncak dunia penuh kekuatan dan misteri yang telah lama menantinya.Berlin menjadi saksi bisu ketegangan yang tak terlihat di balik gemerlapnya lampu-lampu kota. Setelah berhasil menyusup ke markas Bayangan Kedua, Luca, Elena, dan Marco tahu mereka tidak bisa berlama-lama di kota ini. Informasi yang mereka bawa terlalu penting untuk disimpan terlalu lama tanpa tindakan. Namun, pergerakan mereka kini diikuti, dan waktu untuk bersembunyi sudah hampir habis. Di apartemen kecil yang mereka sewa, Elena memimpin analisis mendalam terhadap data yang mereka curi. Peta digital, pesan-pesan terenkripsi, dan dokumen keuangan menjadi bahan utama mereka. Semua bukti itu menunjukkan bahwa Bayangan Kedua sedang mempersiapkan sebuah operasi besar, yang disebut “Proyek Valhalla.” “Elena, apa sebenarnya proyek ini?” tanya Marco, duduk di sofa dengan pistol di pangkuannya. Elena mengerutkan kening sambil mengetik cepat di laptopnya. “Proyek Valhalla tampaknya adalah serangkaian serangan terkoordinasi di berbagai negara. Mereka menarget
Hening malam Berlin hanya sesekali terganggu oleh deru mobil yang melintasi jalan-jalan sempitnya. Kota itu menyimpan sejuta rahasia, dan malam ini, Luca, Elena, dan Marco berada di tengah-tengahnya, menyamar sebagai turis yang tampak biasa. Mereka tiba di Berlin dengan tujuan yang jelas: menemukan titik koordinat terakhir yang ditandai pada peta yang mereka curi dari markas Bayangan Kedua di Budapest. "Tempat ini jauh lebih sibuk dibandingkan hutan tempat kita bersembunyi," kata Marco, berjalan di trotoar sambil memegang tasnya dengan erat. "Dan aku tidak suka itu." "Kita hanya perlu menyatu dengan keramaian," jawab Elena. "Tidak ada yang akan mencurigai kita kalau kita terlihat seperti orang lokal." Luca mengangguk setuju. "Kita fokus pada misi. Gedung yang kita cari ada di distrik Mitte, sebuah kawasan perkantoran yang cukup sibuk. Kita akan bergerak tengah malam, saat keamanan paling lemah." Mereka berjalan menuju s
Suara kendaraan yang mendekat membuat suasana di pondok semakin tegang. Marco berdiri di ambang pintu, mencoba mengintip dari celah kecil. Di kejauhan, lampu sorot kendaraan terlihat menembus kegelapan hutan. “Mereka sudah sampai,” bisik Marco. Elena segera mengambil posisi di samping jendela, senjata di tangan. Luca memeriksa Krylov yang tetap terikat di kursinya, wajahnya masih dengan senyuman mengejek. “Apakah kau memberitahu mereka lokasimu?” tanya Luca dingin. Krylov mengangkat bahu. “Mungkin saja. Kau tahu, Bayangan Kedua punya cara mereka sendiri.” “Bungkam dia,” kata Elena tajam. Luca memutuskan untuk menyumpal mulut Krylov dengan kain, memastikan dia tidak bisa berteriak atau memberi isyarat apa pun. “Marco, berapa banyak?” tanya Luca sambil memeriksa senjatanya. “Dua mobil, setidaknya delapan orang,” jawab Marco sambil melangkah mundur dari pintu.
Hening malam Berlin hanya sesekali terganggu oleh deru mobil yang melintasi jalan-jalan sempitnya. Kota itu menyimpan sejuta rahasia, dan malam ini, Luca, Elena, dan Marco berada di tengah-tengahnya, menyamar sebagai turis yang tampak biasa. Mereka tiba di Berlin dengan tujuan yang jelas: menemukan titik koordinat terakhir yang ditandai pada peta yang mereka curi dari markas Bayangan Kedua di Budapest. "Tempat ini jauh lebih sibuk dibandingkan hutan tempat kita bersembunyi," kata Marco, berjalan di trotoar sambil memegang tasnya dengan erat. "Dan aku tidak suka itu." "Kita hanya perlu menyatu dengan keramaian," jawab Elena. "Tidak ada yang akan mencurigai kita kalau kita terlihat seperti orang lokal." Luca mengangguk setuju. "Kita fokus pada misi. Gedung yang kita cari ada di distrik Mitte, sebuah kawasan perkantoran yang cukup sibuk. Kita akan bergerak tengah malam, saat keamanan paling lemah." Mereka berjalan menuju sebuah hostel sederha
Setelah perjalanan panjang, Luca, Elena, dan Marco akhirnya tiba di sebuah pondok kecil di tengah hutan, tempat perlindungan yang sebelumnya mereka gunakan sebagai markas darurat. Pondok itu sederhana, dengan dinding kayu yang mulai lapuk dan jendela kecil yang hampir tidak memberikan cahaya. Namun, di dalamnya terdapat persediaan yang cukup untuk bertahan beberapa hari. Krylov, yang tangannya masih terikat, diseret masuk oleh Marco. Pria itu tetap tersenyum seperti biasanya, meskipun keadaannya sekarang jauh dari menyenangkan. “Tempat ini cukup terpencil. Kita aman untuk sementara,” kata Marco sambil mengunci pintu belakang. “Kita harus bergerak cepat,” ujar Elena sambil memeriksa senjatanya. “Bayangan Kedua tidak akan menyerah sampai mereka mendapatkan Krylov kembali.” Luca mengangguk setuju. “Kita harus memanfaatkan waktu ini untuk menggali informasi sebanyak mungkin darinya.” ### **Interogasi Dimulai** Krylov didu
Kendaraan melaju kencang melewati jalan-jalan sepi di luar Praha. Di dalamnya, suasana penuh ketegangan. Luca duduk di kursi depan, tangannya erat menggenggam setir. Di belakang, Elena dan Marco duduk berjaga dengan senjata di tangan, sementara Krylov yang terborgol tersenyum sinis, seolah tidak gentar sedikit pun meski dia sudah menjadi tawanan mereka. “Kita ke mana sekarang?” tanya Elena, memecah keheningan. “Markas sementara di luar kota,” jawab Luca sambil tetap fokus pada jalan. “Kita tidak bisa menuju pangkalan utama. Mereka mungkin sudah memantau semua jalur ke sana.” Marco menatap Krylov dengan tajam. “Pria ini pasti punya lebih banyak trik. Jangan sampai kita lengah.” Krylov tertawa kecil. “Ah, kalian terlalu berlebihan. Aku hanya seorang pria tua yang kalah dalam pertarungan, bukan?” “Kalah?” Elena mendekatkan wajahnya ke Krylov. “Jangan terlalu percaya diri. Kita sudah menghancurkan sebagian besar jaringanmu. Kau buka