Sinar mentari pagi yang lembut menyinari kota, namun hati Luca Ombra tetap diselimuti oleh kegelapan. Setelah keberhasilan misi pertama melawan keluarga Rosso, Luca merasakan ketegangan yang terus mengintai. Meski ia telah menyerang balik dengan keras, ia tahu bahwa ini hanyalah awal dari pertempuran yang akan semakin panas.
Luca berdiri di balkon rumah keluarga Ombra, menatap jauh ke kota di bawahnya. Di sana, setiap sudut jalan, lorong gelap, dan tempat-tempat yang ia kenali menyimpan berbagai cerita, baik dari orang-orang yang pernah setia pada keluarganya, maupun dari mereka yang berkhianat. Dunia ini adalah dunianya sekarang. Dan jika ia ingin bertahan, ia harus terus maju, tanpa keraguan. Suara ketukan pelan membuyarkan lamunannya. “Masuk,” ucapnya tanpa berpaling. Dante masuk dan mendekatinya. Wajah pria itu tegas seperti biasa, namun kali ini, terlihat ada sedikit kekhawatiran di dalam matanya. Luca menyadarinya, tetapi ia tetap memasang wajah dingin, menunggu apa yang akan Dante katakan. “Keluarga Rosso tidak akan tinggal diam, Luca. Mereka sudah mulai mengumpulkan aliansi,” ucap Dante, matanya memperhatikan Luca dengan serius. “Aliansi?” Luca menyipitkan mata. “Maksudmu, mereka berusaha mendapatkan dukungan dari keluarga lain?” Dante mengangguk. “Benar. Ada kabar bahwa mereka telah berbicara dengan keluarga di wilayah timur dan selatan kota. Jika mereka berhasil menggalang kekuatan dari sana, kita bisa saja menghadapi serangan besar yang bahkan keluarga Ombra tidak akan bisa lawan sendirian.” Luca menimbang informasi ini. Sebenarnya, aliansi adalah langkah yang cerdas dari keluarga Rosso. Jika mereka berhasil menyatukan kekuatan, itu bisa sangat mempengaruhi keseimbangan kekuasaan di kota. Luca tahu bahwa ia tidak boleh membiarkan hal itu terjadi. “Apa kita bisa memecah aliansi itu sebelum mereka menyatu?” Luca bertanya, meskipun ia sudah mengetahui jawabannya. “Tidak semudah itu,” jawab Dante. “Mereka berencana mengadakan pertemuan rahasia minggu depan. Namun, kami memiliki waktu untuk menyusun strategi agar mereka ragu. Mungkin, kita bisa memengaruhi salah satu keluarga untuk tetap netral.” Luca mengangguk, merasa ide Dante masuk akal. Namun, ia juga tahu bahwa membutuhkan lebih dari sekadar netralitas untuk menghentikan Rosso. “Kalau begitu, kita harus bertindak sebelum pertemuan itu terjadi,” katanya dengan nada penuh tekad. ** Beberapa hari kemudian, Luca dan Dante menyusun rencana untuk menyusup ke dalam wilayah keluarga Rosso. Mereka harus menemukan cara untuk menggagalkan upaya aliansi Rosso sebelum pertemuan. Luca merasa bahwa ia tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan fisik saja. Kali ini, ia membutuhkan taktik yang lebih cerdik, sesuatu yang bisa merusak kepercayaan di antara keluarga-keluarga yang akan mereka hadapi. Dalam persiapan ini, Luca memutuskan untuk melibatkan satu orang yang pernah bekerja sebagai informan di pihak keluarga Ombra, seorang pria bernama Enzo. Enzo adalah sosok licik, seorang yang tahu banyak tentang pergerakan setiap kelompok di kota. Meskipun Enzo dikenal sering berurusan dengan dua pihak, Luca tahu bahwa keahliannya kali ini bisa sangat berguna. Di sebuah gudang kosong di pinggiran kota, Luca bertemu dengan Enzo. Pria itu pendek dan berwajah tirus, tetapi matanya tajam dan licik seperti serigala yang selalu mengincar kesempatan. “Kau mau bantu aku atau tidak, Enzo?” tanya Luca langsung, tanpa basa-basi. Enzo tersenyum, memperlihatkan deretan giginya yang kurang terawat. “Untuk keluarga Ombra? Tentu saja, asalkan bayarannya pantas.” Luca mengangguk, dan Dante menyerahkan amplop berisi uang tunai pada Enzo. Tanpa membuang waktu, Enzo segera memberikan informasi yang dibutuhkan Luca. “Mereka berencana mengadakan pertemuan di vila tua di luar kota, tempat yang tak mungkin bisa ditembus tanpa ketahuan,” jelas Enzo. “Tetapi, aku tahu salah satu penjaga di sana, dan dia cukup bisa diyakinkan dengan sedikit uang ekstra.” Luca tersenyum dingin. “Kau benar-benar orang yang tahu bagaimana mengatur segalanya, Enzo.” Dengan informasi itu, Luca menyusun rencana untuk mengirim pesan yang akan mengguncang keluarga-keluarga yang akan menghadiri pertemuan tersebut. Luca tahu, jika ia bisa menyebarkan desas-desus yang cukup mengancam tentang kehadiran mereka, beberapa dari mereka mungkin akan berpikir dua kali untuk mendukung Rosso. Selain itu, ia juga merencanakan serangan kecil di salah satu wilayah yang dikuasai Rosso untuk memperingatkan bahwa keluarga Ombra tidak akan membiarkan pergerakan ini begitu saja. ** Pada malam yang telah ditentukan, Luca, Dante, dan tim kecil yang ia percaya sepenuhnya menyelinap mendekati vila tempat pertemuan itu akan diadakan. Mereka mengatur posisi di tempat-tempat strategis untuk memastikan bahwa setiap orang yang keluar dari vila dapat melihat kehadiran keluarga Ombra. Luca juga mengirim pesan langsung kepada salah satu keluarga yang diundang, memberikan mereka peringatan bahwa setiap aliansi dengan Rosso adalah aliansi yang terkutuk. Dari balik bayang-bayang, Luca mengamati para undangan yang mulai tiba di vila. Ia melihat wajah-wajah tegang, langkah-langkah ragu. Desas-desus tentang keluarga Ombra telah tersebar, dan ia dapat melihat tanda-tanda keraguan mulai tumbuh di antara mereka. Keluarga-keluarga ini mungkin sangat menginginkan aliansi dengan Rosso, tetapi mereka juga tahu bahwa menantang keluarga Ombra berarti menantang api yang siap membakar segalanya. Setelah memastikan bahwa ketakutan telah tertanam, Luca memberi sinyal pada timnya untuk melakukan serangan singkat namun berdampak. Timnya bergerak cepat, menyerang salah satu pos penjaga yang terletak tidak jauh dari vila. Suara tembakan dan ledakan terdengar, membuat suasana pertemuan berubah kacau. Para penjaga di vila terpaksa keluar untuk menghadapi ancaman, sementara para undangan di dalam mulai panik, tidak lagi merasa aman. Ketika situasi semakin kacau, Luca mengirim pesan terakhir kepada Rosso melalui seorang kurir yang ia percaya. Isi pesan itu sederhana, namun penuh ancaman: *“Keluarga Ombra tidak akan tinggal diam melihatmu bersekongkol. Semua yang mendukung Rosso adalah musuh kami.”* Pesan itu adalah langkah terakhir Luca dalam taktiknya untuk memecah kepercayaan. Ia tahu bahwa begitu kabar ini tersebar, banyak keluarga yang sebelumnya tertarik untuk beraliansi akan mempertimbangkan kembali keputusan mereka. Mereka tahu bahwa keluarga Ombra tidak akan membiarkan siapapun mengganggu kekuasaannya tanpa konsekuensi. ** Malam itu, ketika mereka kembali ke markas, Luca duduk di ruang kerjanya, merenungi apa yang baru saja ia lakukan. Ia telah menjalankan strategi yang membutuhkan ketelitian dan pengorbanan. Meskipun belum sepenuhnya menang, ia berhasil membuat langkah besar dalam memecah aliansi yang sedang dibentuk oleh keluarga Rosso. Dante masuk, menatapnya dengan penuh hormat. “Ini adalah langkah yang sangat berani, Luca. Kau benar-benar menunjukkan bahwa kau siap memimpin keluarga Ombra.” Luca tersenyum tipis, namun ada sedikit rasa waspada di matanya. “Ini baru awal, Dante. Dunia ini tidak mengenal belas kasihan. Setiap langkah harus diperhitungkan, dan setiap tindakan harus memiliki dampak. Aku siap untuk semua itu.” Dante mengangguk. “Kau telah membawa badai ke kota ini, Luca. Dan sekarang, semua orang akan tahu bahwa keluarga Ombra tidak akan menyerah pada siapapun.” Dalam hati, Luca merasakan kepuasan bercampur kekhawatiran. Ia tahu bahwa jalan ini penuh risiko, tetapi untuk mempertahankan keluarga dan membalas dendam atas nama Isabella, ia siap melakukan apapun. Dunia bayangan kini telah menjadi dunianya, dan ia adalah sosok yang akan membawa badai yang mengguncang segalanya.Berlin menjadi saksi bisu ketegangan yang tak terlihat di balik gemerlapnya lampu-lampu kota. Setelah berhasil menyusup ke markas Bayangan Kedua, Luca, Elena, dan Marco tahu mereka tidak bisa berlama-lama di kota ini. Informasi yang mereka bawa terlalu penting untuk disimpan terlalu lama tanpa tindakan. Namun, pergerakan mereka kini diikuti, dan waktu untuk bersembunyi sudah hampir habis. Di apartemen kecil yang mereka sewa, Elena memimpin analisis mendalam terhadap data yang mereka curi. Peta digital, pesan-pesan terenkripsi, dan dokumen keuangan menjadi bahan utama mereka. Semua bukti itu menunjukkan bahwa Bayangan Kedua sedang mempersiapkan sebuah operasi besar, yang disebut “Proyek Valhalla.” “Elena, apa sebenarnya proyek ini?” tanya Marco, duduk di sofa dengan pistol di pangkuannya. Elena mengerutkan kening sambil mengetik cepat di laptopnya. “Proyek Valhalla tampaknya adalah serangkaian serangan terkoordinasi di berbagai negara. Mereka menarget
Hening malam Berlin hanya sesekali terganggu oleh deru mobil yang melintasi jalan-jalan sempitnya. Kota itu menyimpan sejuta rahasia, dan malam ini, Luca, Elena, dan Marco berada di tengah-tengahnya, menyamar sebagai turis yang tampak biasa. Mereka tiba di Berlin dengan tujuan yang jelas: menemukan titik koordinat terakhir yang ditandai pada peta yang mereka curi dari markas Bayangan Kedua di Budapest. "Tempat ini jauh lebih sibuk dibandingkan hutan tempat kita bersembunyi," kata Marco, berjalan di trotoar sambil memegang tasnya dengan erat. "Dan aku tidak suka itu." "Kita hanya perlu menyatu dengan keramaian," jawab Elena. "Tidak ada yang akan mencurigai kita kalau kita terlihat seperti orang lokal." Luca mengangguk setuju. "Kita fokus pada misi. Gedung yang kita cari ada di distrik Mitte, sebuah kawasan perkantoran yang cukup sibuk. Kita akan bergerak tengah malam, saat keamanan paling lemah." Mereka berjalan menuju s
Suara kendaraan yang mendekat membuat suasana di pondok semakin tegang. Marco berdiri di ambang pintu, mencoba mengintip dari celah kecil. Di kejauhan, lampu sorot kendaraan terlihat menembus kegelapan hutan. “Mereka sudah sampai,” bisik Marco. Elena segera mengambil posisi di samping jendela, senjata di tangan. Luca memeriksa Krylov yang tetap terikat di kursinya, wajahnya masih dengan senyuman mengejek. “Apakah kau memberitahu mereka lokasimu?” tanya Luca dingin. Krylov mengangkat bahu. “Mungkin saja. Kau tahu, Bayangan Kedua punya cara mereka sendiri.” “Bungkam dia,” kata Elena tajam. Luca memutuskan untuk menyumpal mulut Krylov dengan kain, memastikan dia tidak bisa berteriak atau memberi isyarat apa pun. “Marco, berapa banyak?” tanya Luca sambil memeriksa senjatanya. “Dua mobil, setidaknya delapan orang,” jawab Marco sambil melangkah mundur dari pintu.
Hening malam Berlin hanya sesekali terganggu oleh deru mobil yang melintasi jalan-jalan sempitnya. Kota itu menyimpan sejuta rahasia, dan malam ini, Luca, Elena, dan Marco berada di tengah-tengahnya, menyamar sebagai turis yang tampak biasa. Mereka tiba di Berlin dengan tujuan yang jelas: menemukan titik koordinat terakhir yang ditandai pada peta yang mereka curi dari markas Bayangan Kedua di Budapest. "Tempat ini jauh lebih sibuk dibandingkan hutan tempat kita bersembunyi," kata Marco, berjalan di trotoar sambil memegang tasnya dengan erat. "Dan aku tidak suka itu." "Kita hanya perlu menyatu dengan keramaian," jawab Elena. "Tidak ada yang akan mencurigai kita kalau kita terlihat seperti orang lokal." Luca mengangguk setuju. "Kita fokus pada misi. Gedung yang kita cari ada di distrik Mitte, sebuah kawasan perkantoran yang cukup sibuk. Kita akan bergerak tengah malam, saat keamanan paling lemah." Mereka berjalan menuju sebuah hostel sederha
Setelah perjalanan panjang, Luca, Elena, dan Marco akhirnya tiba di sebuah pondok kecil di tengah hutan, tempat perlindungan yang sebelumnya mereka gunakan sebagai markas darurat. Pondok itu sederhana, dengan dinding kayu yang mulai lapuk dan jendela kecil yang hampir tidak memberikan cahaya. Namun, di dalamnya terdapat persediaan yang cukup untuk bertahan beberapa hari. Krylov, yang tangannya masih terikat, diseret masuk oleh Marco. Pria itu tetap tersenyum seperti biasanya, meskipun keadaannya sekarang jauh dari menyenangkan. “Tempat ini cukup terpencil. Kita aman untuk sementara,” kata Marco sambil mengunci pintu belakang. “Kita harus bergerak cepat,” ujar Elena sambil memeriksa senjatanya. “Bayangan Kedua tidak akan menyerah sampai mereka mendapatkan Krylov kembali.” Luca mengangguk setuju. “Kita harus memanfaatkan waktu ini untuk menggali informasi sebanyak mungkin darinya.” ### **Interogasi Dimulai** Krylov didu
Kendaraan melaju kencang melewati jalan-jalan sepi di luar Praha. Di dalamnya, suasana penuh ketegangan. Luca duduk di kursi depan, tangannya erat menggenggam setir. Di belakang, Elena dan Marco duduk berjaga dengan senjata di tangan, sementara Krylov yang terborgol tersenyum sinis, seolah tidak gentar sedikit pun meski dia sudah menjadi tawanan mereka. “Kita ke mana sekarang?” tanya Elena, memecah keheningan. “Markas sementara di luar kota,” jawab Luca sambil tetap fokus pada jalan. “Kita tidak bisa menuju pangkalan utama. Mereka mungkin sudah memantau semua jalur ke sana.” Marco menatap Krylov dengan tajam. “Pria ini pasti punya lebih banyak trik. Jangan sampai kita lengah.” Krylov tertawa kecil. “Ah, kalian terlalu berlebihan. Aku hanya seorang pria tua yang kalah dalam pertarungan, bukan?” “Kalah?” Elena mendekatkan wajahnya ke Krylov. “Jangan terlalu percaya diri. Kita sudah menghancurkan sebagian besar jaringanmu. Kau buka