Mag-log inLangkah Raven gontai menyusuri trotoar yang padat. Entah sudah berapa lama ia berjalan tanpa arah. Orang-orang berlalu-lalang, suara klakson bersahut-sahutan. Tapi semuanya terasa jauh. Teredam. Seolah dia berjalan di dunia lain.
Kotak kardus di tangannya berisi sisa-sisa hidupnya. Keyboard mekanik tua. Mug hitam dengan logo CyberShield. Kartu akses. Sebuah jaket yang pernah ia tinggal di kursi kantor selama dua tahun terakhir. Barang-barang remeh. Tapi setiap satunya terasa seperti beban. Ringan karena tak berharga, berat karena penuh kenangan.
Pikirannya kosong. Tapi langkah kakinya tak berhenti. Ada yang membawanya, entah apa.
Dia berhenti di seberang jalan. Mendongak.
Di sana berdiri gedung kaca yang dulu jadi rumah pertama CyberShield. Raven menatapnya lama. Terlalu lama.
“Dulu semua berawal dari sana,” bisiknya pelan.
Matanya berpindah. Di sebelah gedung itu berdiri hotel tua. Tidak terlalu tinggi. Catnya mulai pudar, papan nama neon-nya setengah menyala. Di antara bangunan modern yang mengelilinginya, tempat itu terlihat seperti peninggalan yang terlupa.
Pandangan Raven menatap ke lantai paling atas. Terlintas jalan pintas yang gelap di pikirannya.
“Mungkin aku bisa mengakhirinya sekarang. Cepat. Sunyi. Nggak nyakitin siapa-siapa.”
Tangannya mencengkeram kardus lebih erat, lalu ia melangkah.
Ia masuk ke lobi hotel. Ruangannya sepi. Hanya ada meja resepsionis kayu, sofa usang, dan kipas gantung yang berputar malas. Tidak ada musik. Tidak ada tamu lain.
Langkahnya mengarah ke lorong kiri. Matanya mencari tanda tangga darurat. Setiap anak tangga yang ia lalui menambah beban di dada, bukan mengurangi.
Perjalanan itu pendek, tapi terasa seperti satu-satunya jalan yang tidak bisa diputar balik.
Tak lama Raven tiba di atap.
Langit terbuka luas di hadapannya. Pemandangannya menenangkan. Kota Kaliandra membentang dalam diam yang indah. Garis-garis cahaya kendaraan membentuk urat jalanan. Gedung-gedung pencakar langit memantulkan sisa matahari yang mulai turun ke barat.
Ia berjalan ke pembatas beton setinggi pinggang, meletakkan kardusnya di lantai, lalu naik satu kaki ke pijakan tipis di atas.
“Lepaskan. Selesaikan. Kalaupun lo ilang hari ini, ga bakal ada yang nyari"
Ia duduk di tepi pembatas, kedua telapak tangannya mencengkeram sisi kasar beton yang dingin. Angin menerpa wajahnya lagi. Kali ini ia menikmatinya.
Entah berapa lama ia melamun hingga senja datang. Warna oranye meleburkan langit dan bayangan gedung. Tapi Raven tidak merasakannya. Matanya kosong menatap ke bawah.
Jarak antara ujung sepatu dan udara bebas hanya beberapa senti.
Ia mencondongkan tubuh sedikit, hanya untuk melihat kebawah.
“Cepat. hanya satu lompatan.”
Ia memejamkan mata.
Angin menghantam wajahnya lagi, kali ini dingin dan bebas. Ia mengangkat satu kaki dari pijakan.
Hening.
Tiba-tiba Teriakan membelah udara dari lantai bawah. Panik. Bukan suara biasa.
Raven membuka mata, reflek menoleh ke bawah. Sebuah angin kuat menghantam wajahnya sesaat sebelum sosok tubuh melesat dari jendela. Hanya satu detik. Tapi cukup untuk membuat darahnya membeku.
BRAK!
Benturan keras menghantam logam di bawah. Suara baja melengkung, diikuti suara rem mendecit dan teriakan dari jalanan. Kaca pecah. Orang-orang mulai berteriak.
Raven tersentak mundur. Kakinya terpeleset, bokongnya membentur lantai. Napasnya memburu, dada terasa sesak. Dunia berputar cepat di dalam kepalanya. Adrenalin menyapu bersih semua pikiran bunuh diri dalam satu hentakan brutal.
"Sial! Apa barusan... orang... jatuh?"
Ia merangkak ke depan, lututnya goyah, lalu berdiri terburu-buru. Tangannya mencengkeram pembatas beton, menahan tubuhnya yang gemetar.
Dia melihat ke bawah.
Sebuah mobil hitam penyok parah di bagian atap, kaca depan remuk. Orang-orang mengerumuni, beberapa merekam dengan ponsel, sebagian lain menjerit atau mencoba membantu. Di tengah kekacauan itu, tubuh pria yang jatuh masih bergerak. Pelan. Tangan kirinya berkedut.
"Aku harus... ke bawah!"
Raven berlari menuruni tangga darurat, dua anak tangga sekaligus, kardus sisa hidupnya tertinggal di atap. Keringat dingin membasahi tengkuk. Jantungnya tak berhenti berdegup.
Begitu ia tiba di jalan, petugas keamanan sudah mulai mendorong mundur kerumunan. Sirine polisi dan ambulans mendekat dari kejauhan. Tapi Raven berhasil menyelinap cukup dekat untuk melihat wajah pria itu.
Matanya terbuka setengah. Tubuhnya hancur, tapi kesadarannya belum sepenuhnya pergi.
Pandangan pria itu tidak liar. Ia menatap lurus ke atas. Ke arah atap tempat Raven tadi berdiri.
Mereka bertatapan. Hanya beberapa detik.
"Apa dia tahu... aku ada di sana?" batin Raven tercekat.
Tangan kanan pria itu perlahan terbuka. Dari genggamannya, sebuah benda kecil tergelincir, jatuh ke aspal keras. Hitam. Panjang dua ruas jari. USB stick.
Raven menatap benda itu, terdiam. Tidak tahu kenapa, tapi perasaannya menegang seketika. Lalu ia mengambilnya perlahan.
Pria itu menarik napas sekali, berat, seperti sedang melawan maut. Dengan suara parau yang nyaris tak terdengar, ia bicara.
"Jangan ... biarkan ... Dominion ... mendapatkannya..."
Setelah memberi keterangan singkat ke polisi soal insiden pria jatuh dari atap. Raven segera menyewa kamar satu kamar di hotel itu. Kamarnya murah dan lembap, dengan sprei apek dan cahaya lampu kuning pucat. Tak banyak pertanyaan. Mereka mengira itu bunuh diri, tanpa identitas, dan kasus pun akan ditutup.Raven menatap satu-satunya benda yang ia bawa tadi. Sebuah USB stick hitam tanpa label. Ia menyalakan laptop tuanya dan mencolokkannya. Layar langsung menampilkan prompt: Encrypted Drive Detected. Ia mendecak. “Yak... dikunci. Udah pasti.”
Bagi orang biasa, ini jalan buntu. Tapi bagi Raven, ini justru tantangan. Ia mulai mengamati pola enkripsi, mencari anomali dari delay sistem. Bukan brute force, itu bukan gayanya. Ia membuka terminal dan menjalankan Acidi, program dekriptor adaptif ciptaannya yang pernah ia pakai dalam penyelidikan kasus pencucian uang.
“Kalau dia sampai kehilangan nyawa gara-gara ini... pasti ada sesuatu yang besar di dalam sana,” gumamnya.
Ia memasukkan potongan data dari struktur file dan metadata. Semuanya samar, tapi dengan bantuan Acidi, Raven tahu bagaimana menebus semua celah Firewall yang ada. Tiga jam berlalu tanpa ia sadari. Hingga akhirnya, satu baris hijau muncul di layar.
ENCRYPTION BYPASSED.
Raven langsung membuka hasilnya. Dan saat itu pula matanya terbelalak.
“Apa-apaan Ini …?”
Mayjen Arman menarik napas panjang, punggungnya merapat ke sandaran kursi, pandangannya tak lepas dari layar yang sebentar tadi dipenuhi badai merah. Dua puluh menit yang brutal itu menunjukkan node demi node runtuh. Di wajahnya terbaca kepenatan seorang komandan yang baru saja menyaksikan kekuatan yang tak dia sangka ada. Ia mengangkat tangan, lambang menyerah yang tegas.“Cukup,” katanya, suaranya datar namun mengandung hormat. “Saya belum pernah melihat pertahanan seadaptif ini. Selamat, Tuan Adyatma. Kami sekarang memahami kemampuan Genesis. Sangat impresif.”Ruangan meledak dalam bisik, sebuah pengakuan yang berat. Para jenderal menukar pandang, beberapa menunduk, sebagian lain menatap Raven dengan kombinasi takjub dan kewaspadaan. Mayjen menatap layar, lalu memerintahkan ke terminalnya dengan gerakan singkat.
Suasana di ruang rapat kini seperti medan perang. Tidak ada yang berbicara. Hanya wajah-wajah tegang dan serius yang dingin. Ini bukan lagi presentasi bisnis, ini menjadi duel kehormatan antara startup yang baru lahir dan kekuatan militer negeri itu.Raven berdiri tegak di tengah ruangan, tenang. “Kami siap, Jenderal,” katanya datar. “Silakan serang kami kapan saja, dengan cara apa pun.”Ia menatap Freya yang duduk di konsol presentasi. Satu anggukan kecil darinya adalah sebuah sinyal untuk menyalakan protokol pertahanan langsung.Jauh dari tempat itu, di bunker Quantix, Leo dan Tirta memantau layar mereka dengan napas tertahan. Barisan log berkedip cepat, angka melonjak seperti denyut jantung yang semakin cepat. “Kontak terdeteksi,” gumam Leo. “Mereka mulai dengan exploit zero-day... kayaknya mereka baru pemanasan. Tapi Ini benar-benar dilakukan oleh militer, kita tak boleh meremehkannya Tirta.” “Ya,” balas Tirta, matanya terpaku pada grafik. “Pemanasan mereka tak akan lama.”Kembal
Di layar, AI Genesis mulai bergerak. Tapi tidak seperti sistem pertahanan konvensional yang biasanya hanya memblokir serangan, Genesis melakukan sesuatu yang sepenuhnya berbeda, dan tak terduga.Visualisasi data di monitor berubah cepat. Alih-alih hanya memblokir serangan, jaringan biru Genesis membentuk pola-pola dinamis yang tampak hidup. Serangan yang berupa visual titik merah masih datang bertubi-tubi, namun Genesis tidak hanya menahan, ia belajat. Setiap detik yang berlalu membuat sistem itu semakin cepat, semakin cerdas, semakin adaptif.“Genesis tidak seperti sistem pertahanan lain yang hanya bertugas menjadi defender,” kata Raven dengan tenang, suaranya menembus kesunyian ruang rapat yang kini penuh dengan wajah-wajah serius. “Dia bisa, dan akan, menyerang balik.”Freya menambahkan perintah kecil dari tabletnya. Seketika, di layar besar, tampak bagaimana Genesis menelusuri arus serangan, memetakan asal setiap gelombang data berbahaya, menyatukan titik-titik itu ke satu simpul
Ruangan presentasi itu bagaikan arena pengadilan, hanya saja para hakimnya mengenakan seragam militer dan setelan birokrasi. Kayu gelap yang melapisi dinding, bendera negara yang menjulang di belakang podium, dan tatapan dingin para jenderal serta pejabat intelijen menciptakan atmosfer yang kaku, tak memberi ruang untuk kesalahan.Di tengah meja berbentuk U, Valeria berdiri penuh percaya diri. Suaranya mengalun tenang namun penuh penekanan, setiap kata seperti diukir untuk menenangkan rasa cemas para pengambil keputusan. Ia berbicara tentang rekam jejak CyberShield. Di sudut meja, Kinar duduk sedikit terpisah. Tidak ikut mengangguk, tidak ikut mengernyit. Wajahnya netral, mata tajamnya mencatat setiap detail. Hanya keberadaannya saja sudah cukup untuk membuat Valeria menimbang kata-katanya dengan lebih hati-hati.Sementara itu, di ruang tunggu, Raven duduk tegak dengan ekspresi yang tak terbaca. Clara sibuk merapikan catatan, memastikan tidak ada satu pun detail yang terlewat. Freya
Di bunker, malam itu udara dipenuhi ketegangan. Layar-layar monitor menampilkan berbagai versi antarmuka Genesis, dari mockup kasar hingga simulasi real-time.Freya menekan keyboard keras-keras. “Kalau kita sederhanakan terlalu jauh, kita kehilangan konteks! Data detail itu penting. Bagaimana kalau sistem salah interpretasi? Pengguna harus bisa melihat lapisan dalamnya kalau perlu.”Raven melangkah cepat ke meja, menunjuk layar dengan telunjuk tajam. “Freya, kamu masih berpikir seperti engineer. Klien kita nanti bukan engineer. Seorang jenderal tidak peduli pada kompleksitas algoritma! Dia hanya perlu tahu di mana ancamannya, dan tombol mana yang harus ditekan untuk menghancurkannya!”“Dan kalau tombol itu salah ditekan karena tidak ada data pendukung?” balas Freya dengan nada meninggi. “Kamu pikir itu tidak lebih berbahaya? Aku tidak mau Genesis jadi senjata buta hanya karena kita sibuk bikin tampilan cantik!”Suasana membara, Tirta bahkan menahan napas, khawatir kedua rekannya aka
Tiga bulan terasa seperti tiga minggu. Bunker Quantix kehilangan wajah lamanya. Dinding-dindingnya yang tadinya kosong kini penuh dengan catatan, diagram, dan coretan-coretan strategi. Lantai dipenuhi kabel, tumpukan kardus makanan cepat saji, dan cangkir kopi bekas yang berjejer seperti trofi perang. Lampu neon yang terus menyala siang dan malam membuat semua orang kehilangan ritme tidur. Waktu melebur; hanya ada pekerjaan, target, dan detak jam yang terdengar lebih keras setiap harinya.Clara berada di tengah-tengah medan perang birokrasi. Dia sudah tak lagi terlihat seperti eksekutif startup, melainkan seorang diplomat yang harus menyeimbangkan logika dan pesona. Hari-harinya penuh dengan rapat virtual, panggilan telepon yang tak ada habisnya, dan pertemuan dengan pejabat pemerintah yang terlalu terbiasa dengan perusahaan besar. Berkali-kali ia harus menjelaskan ulang, siapa Quantix, dari mana mereka berasal, dan kenapa mereka layak dipercaya.Suatu sore yang panjang, Clara duduk b







