Home / Urban / Kebangkitan Sang Raja Teknologi / Bab 2. Ada Hadiah Dari Langit

Share

Bab 2. Ada Hadiah Dari Langit

Author: KiraYume
last update Huling Na-update: 2025-07-26 10:42:00

Langkah Raven gontai menyusuri trotoar yang padat. Entah sudah berapa lama ia berjalan tanpa arah. Orang-orang berlalu-lalang, suara klakson bersahut-sahutan. Tapi semuanya terasa jauh. Teredam. Seolah dia berjalan di dunia lain.

Kotak kardus di tangannya berisi sisa-sisa hidupnya. Keyboard mekanik tua. Mug hitam dengan logo CyberShield. Kartu akses. Sebuah jaket yang pernah ia tinggal di kursi kantor selama dua tahun terakhir. Barang-barang remeh. Tapi setiap satunya terasa seperti beban. Ringan karena tak berharga, berat karena penuh kenangan.

Pikirannya kosong. Tapi langkah kakinya tak berhenti. Ada yang membawanya, entah apa.

Dia berhenti di seberang jalan. Mendongak.

Di sana berdiri gedung kaca yang dulu jadi rumah pertama CyberShield. Raven menatapnya lama. Terlalu lama.

“Dulu semua berawal dari sana,” bisiknya pelan.

Matanya berpindah. Di sebelah gedung itu berdiri hotel tua. Tidak terlalu tinggi. Catnya mulai pudar, papan nama neon-nya setengah menyala. Di antara bangunan modern yang mengelilinginya, tempat itu terlihat seperti peninggalan yang terlupa.

Pandangan Raven menatap ke lantai paling atas. Terlintas jalan pintas yang gelap di pikirannya.

“Mungkin aku bisa mengakhirinya sekarang. Cepat. Sunyi. Nggak nyakitin siapa-siapa.”

Tangannya mencengkeram kardus lebih erat, lalu ia melangkah.

Ia masuk ke lobi hotel. Ruangannya sepi. Hanya ada meja resepsionis kayu, sofa usang, dan kipas gantung yang berputar malas. Tidak ada musik. Tidak ada tamu lain.

Langkahnya mengarah ke lorong kiri. Matanya mencari tanda tangga darurat. Setiap anak tangga yang ia lalui menambah beban di dada, bukan mengurangi.

Perjalanan itu pendek, tapi terasa seperti satu-satunya jalan yang tidak bisa diputar balik.

Tak lama Raven tiba di atap.

Langit terbuka luas di hadapannya. Pemandangannya menenangkan. Kota Kaliandra membentang dalam diam yang indah. Garis-garis cahaya kendaraan membentuk urat jalanan. Gedung-gedung pencakar langit memantulkan sisa matahari yang mulai turun ke barat.

Ia berjalan ke pembatas beton setinggi pinggang, meletakkan kardusnya di lantai, lalu naik satu kaki ke pijakan tipis di atas.

“Lepaskan. Selesaikan. Kalaupun lo ilang hari ini, ga bakal ada yang nyari"

Ia duduk di tepi pembatas, kedua telapak tangannya mencengkeram sisi kasar beton yang dingin. Angin menerpa wajahnya lagi. Kali ini ia menikmatinya.

Entah berapa lama ia melamun hingga senja datang. Warna oranye meleburkan langit dan bayangan gedung. Tapi Raven tidak merasakannya. Matanya kosong menatap ke bawah.

Jarak antara ujung sepatu dan udara bebas hanya beberapa senti.

Ia mencondongkan tubuh sedikit, hanya untuk melihat kebawah.

“Cepat. hanya satu lompatan.”

Ia memejamkan mata.

Angin menghantam wajahnya lagi, kali ini dingin dan bebas. Ia mengangkat satu kaki dari pijakan.

Hening.

Tiba-tiba Teriakan membelah udara dari lantai bawah. Panik. Bukan suara biasa.

Raven membuka mata, reflek menoleh ke bawah. Sebuah angin kuat menghantam wajahnya sesaat sebelum sosok tubuh melesat dari jendela. Hanya satu detik. Tapi cukup untuk membuat darahnya membeku.

BRAK!

Benturan keras menghantam logam di bawah. Suara baja melengkung, diikuti suara rem mendecit dan teriakan dari jalanan. Kaca pecah. Orang-orang mulai berteriak.

Raven tersentak mundur. Kakinya terpeleset, bokongnya membentur lantai. Napasnya memburu, dada terasa sesak. Dunia berputar cepat di dalam kepalanya. Adrenalin menyapu bersih semua pikiran bunuh diri dalam satu hentakan brutal.

"Sial! Apa barusan... orang... jatuh?"

Ia merangkak ke depan, lututnya goyah, lalu berdiri terburu-buru. Tangannya mencengkeram pembatas beton, menahan tubuhnya yang gemetar.

Dia melihat ke bawah.

Sebuah mobil hitam penyok parah di bagian atap, kaca depan remuk. Orang-orang mengerumuni, beberapa merekam dengan ponsel, sebagian lain menjerit atau mencoba membantu. Di tengah kekacauan itu, tubuh pria yang jatuh masih bergerak. Pelan. Tangan kirinya berkedut.

"Aku harus... ke bawah!"

Raven berlari menuruni tangga darurat, dua anak tangga sekaligus, kardus sisa hidupnya tertinggal di atap. Keringat dingin membasahi tengkuk. Jantungnya tak berhenti berdegup.

Begitu ia tiba di jalan, petugas keamanan sudah mulai mendorong mundur kerumunan. Sirine polisi dan ambulans mendekat dari kejauhan. Tapi Raven berhasil menyelinap cukup dekat untuk melihat wajah pria itu.

Matanya terbuka setengah. Tubuhnya hancur, tapi kesadarannya belum sepenuhnya pergi.

Pandangan pria itu tidak liar. Ia menatap lurus ke atas. Ke arah atap tempat Raven tadi berdiri.

Mereka bertatapan. Hanya beberapa detik.

"Apa dia tahu... aku ada di sana?" batin Raven tercekat.

Tangan kanan pria itu perlahan terbuka. Dari genggamannya, sebuah benda kecil tergelincir, jatuh ke aspal keras. Hitam. Panjang dua ruas jari. USB stick.

Raven menatap benda itu, terdiam. Tidak tahu kenapa, tapi perasaannya menegang seketika. Lalu ia mengambilnya perlahan.

Pria itu menarik napas sekali, berat, seperti sedang melawan maut. Dengan suara parau yang nyaris tak terdengar, ia bicara.

"Jangan ... biarkan ... Dominion ... mendapatkannya..."

Setelah memberi keterangan singkat ke polisi soal insiden pria jatuh dari atap. Raven segera menyewa kamar satu kamar di hotel itu. Kamarnya murah dan lembap, dengan sprei apek dan cahaya lampu kuning pucat. Tak banyak pertanyaan. Mereka mengira itu bunuh diri, tanpa identitas, dan kasus pun akan ditutup.

Raven menatap satu-satunya benda yang ia bawa tadi. Sebuah USB stick hitam tanpa label. Ia menyalakan laptop tuanya dan mencolokkannya. Layar langsung menampilkan prompt: Encrypted Drive Detected. Ia mendecak. “Yak... dikunci. Udah pasti.”

Bagi orang biasa, ini jalan buntu. Tapi bagi Raven, ini justru tantangan. Ia mulai mengamati pola enkripsi, mencari anomali dari delay sistem. Bukan brute force, itu bukan gayanya. Ia membuka terminal dan menjalankan Acidi, program dekriptor adaptif ciptaannya yang pernah ia pakai dalam penyelidikan kasus pencucian uang.

“Kalau dia sampai kehilangan nyawa gara-gara ini... pasti ada sesuatu yang besar di dalam sana,” gumamnya.

Ia memasukkan potongan data dari struktur file dan metadata. Semuanya samar, tapi dengan bantuan Acidi, Raven tahu bagaimana menebus semua celah Firewall yang ada. Tiga jam berlalu tanpa ia sadari. Hingga akhirnya, satu baris hijau muncul di layar.

ENCRYPTION BYPASSED.

Raven langsung membuka hasilnya. Dan saat itu pula matanya terbelalak.  

“Apa-apaan Ini …?”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (5)
goodnovel comment avatar
Yuli Darmono
NAH, GINI DONG! Jangan nyerah, Ven! Skill hacking lo masih dewa. Buktiin lo bisa bangkit lagi. Balas dendamnya dimulai dari USB itu!
goodnovel comment avatar
kemal prasetya
Dominion itu siapa/apa? Kok sampe ada yg rela mati buat ngelindungin USB itu? Penasaran gila sama isinya! Jadi ikut deg-degan.
goodnovel comment avatar
Danisha Zafira
Nyesek banget liat Raven di awal, rasanya pengen meluk. Untung ada 'hadiah dari langit' yang nyelametin dia, walau caranya serem.
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Kebangkitan Sang Raja Teknologi   Bab 11. Direnggut Dari Kebebasan

    “Okay guys, jelas kita belum bisa bekerja sekarang,” kata Raven, berdiri di tengah ruangan dengan telapak tangan terbuka.“Jadi, apa yang kalian butuhkan?” Suaranya netral, tapi tatapannya menyapu seluruh tim. Ia tidak sekadar bertanya. Ia sedang membangun kepercayaan, bahwa suara mereka akan didengar.Leo melangkah pelan, menyusuri tepi ruangan, gerakannya seperti predator yang memeriksa sarangnya. Setiap retak di dinding, setiap sudut gelap, bahkan ventilasi di langit-langit, diperhatikannya satu per satu.“Seperti yang dikatakan mama Clara tadi,” gumamnya, suaranya rendah. “Tempat ini adalah mimpi buruk dari sisi keamanan. Dua pintu masuk, tanpa sistem penguncian otomatis, jendela yang terlalu besar, jaringan listrik terbuka, dan … terlalu panas&r

  • Kebangkitan Sang Raja Teknologi   Bab 10. Dia Bernama Quantix

    Langit di luar masih berwarna baja kusam ketika pintu loteng terbuka. Udara pagi yang dingin menyusup masuk lewat celah jendela tinggi yang belum tertutup tirai. Loteng ini adalah milik seorang teman lama Raven yang kini bekerja di Eropa, dan dengan satu panggilan singkat, kunci dan akses diberikan tanpa banyak tanya. Ia menyukai ruang ini. Cukup besar, sempurna untuk membangun sesuatu dari awal.Di tengah ruangan, Raven berdiri dengan satu tangan di saku, secangkir kopi hitam mengepul di tangan satunya. Kalimat terakhir Ezio malam itu terus bergema dalam benaknya."Organisasi gelap bernama dominion juga menginginkan NexusCore.”Beberapa menit kemudian, suara-suara ramai terdengar dari tangga. Tirta muncul lebih dulu, membawa seikat blueprint gu

  • Kebangkitan Sang Raja Teknologi   Bab 9. Melindunginya Dari Lawan Yang Salah

    “Raven Adyatama,” ucap Ezio, menyebut namanya dengan pelan, seolah menimbang tiap suku kata. “Aku sudah menunggumu. Lumayan butuh waktu lama ya… sejak kau menemukan USB itu?”Napas Raven terpotong sejenak. Tenggorokannya kering. “Kau… kenal aku?”Ezio tidak menjawab langsung. Ia hanya menundukkan kepala sedikit.“Duduklah, Raven,” katanya kemudian. Tidak ada jabat tangan, tidak ada sapaan hangat. Hanya satu gerakan dagu, cukup untuk menunjukkan posisi kekuasaan yang tidak perlu dibuktikan lagi.Raven duduk, perlahan, mencoba menenangkan jantungnya yang berdetak cepat. Matanya mencari-cari celah pada wajah Ezio, ekspresi yang mungkin memberi petunjuk tentang apa sebenarnya yang sedang ia hadapi. Tapi yang ia lihat hanya ketenangan mutlak.

  • Kebangkitan Sang Raja Teknologi   Bab 8. Gagal Adalah Kunci

    Empat Puluh Delapan Jam Sebelumnya.Kamar hotel itu masih sama pengap dan sempitnya. Raven duduk di kursi plastik yang keras, tubuhnya membungkuk ke arah laptop yang sudah panas di meja. Kipas pendingin berputar terengah, ikut gelisah. Di layar, diagram arsitektur sistem NexusCore memenuhi sebagian besar jendela kerja. Ratusan garis koneksi digital menyilang, menghubungkan protokol, subnet, dan lapisan-lapisan keamanan yang saling menindih.Raven mengetik beberapa baris kode, lalu berhenti. Sebuah firewall di tengah arsitektur itu menolak semua perintahnya. Proteksinya tidak hanya menahan, tapi bereaksi. Ia sudah mencoba tiga metode penetrasi dalam dua jam terakhir, tapi semua gagal. Yang menghalanginya bukan sistem biasa. Ini buatan tangan yang sangat lihai. Terlalu tangguh untuk dibebankan pada laptopnya.Pandangan Raven jatuh ke meja

  • Kebangkitan Sang Raja Teknologi   Bab 7. Sistem, Penilaian, dan Pertukaran

    Raven duduk dengan punggung tegak di dalam sebuah jazz club, telapak tangan bertaut di atas meja, menunggu seseorang. Kali ini bukan pertemuan untuk membangun kembali persahabatan. Ini adalah diplomasi, dengan musuh yang masih membawa bendera lawan.Clara datang dengan anggun. Penampilannya memang selalu sempurna. Gaun hitamnya sederhana namun mengiris pandangan, rambutnya terikat rapi. Tidak ada tanda bahwa ia baru saja keluar dari kubangan krisis. Tidak satu kerut pun di wajahnya. Dia kemudian duduk tanpa basa-basi, meletakkan clutch-nya di samping dan memanggil pelayan. “Teh hijau, tidak terlalu panas.”Matanya langsung menusuk Raven. “Kau mengambil risiko besar dengan menghubungiku Raven. Kau pikir aku tak akan membocorkan semuanya ke Radja?”“Benar. Tapi kau tak akan melakukannya. Lagipula risiko terbesar adalah hanya berdiam diri dan tidak bertindak,” jawab Raven, matanya tidak berkedip. “Aku tahu apa yang terjadi di dalam CyberShield. Aku tahu dia sedang dalam masalah. Dan aku

  • Kebangkitan Sang Raja Teknologi   Bab 6. Hingga Mendapat Pukulan Pertama

    Sasana itu panas dan lembap. Lampu neon menggantung rendah, berkelip seolah nyaris padam. Setiap pukulan yang menghantam samsak terdengar seperti dentuman kecil dalam ruang gema. Suasana ini bertolak belakang dengan keheningan akademik di perpustakaan IIT siang tadi.Raven berdiri di ambang pintu, matanya menyapu ruangan yang penuh dengan aura testosteron. Leo ada di tengah, kaosnya basah, tangannya dililit perban putih yang sudah berubah warna. Pukulan-pukulannya presisi, cepat, dan brutal. Sansak terguncang, rantainya mengerang.Leo berhenti sejenak, mengambil napas dalam-dalam. Ia tak menoleh, hanya melihat bayangan Raven dari cermin dinding yang retak di ujung. “Mau ikut latihan?” tanyanya, datar, sambil melanjutkan pukulan.“Gue nggak suka kekerasan,” sahut Raven pelan, melangkah lebih dalam.“Heh. Itulah masalah lo,” kata Leo sambil mengayunkan hook kanan yang menghentak. “Mungkin karena itu Valeria ninggalin lo. Lo terlalu lemah.”Raven menggertakkan gigi. Urat di pelipisnya me

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status