Raven Adyatama mengorbankan segalanya. Demi cinta, ia membangun sebuah kerajaan teknologi dari nol untuk membiayai pendidikan kekasihnya, Valeria. Demi persahabatan, ia memercayakan seluruh bisnisnya pada sahabatnya, Radja. Ia pikir, pengorbanannya akan berbuah masa depan yang indah. Ia salah besar. Tepat di puncak kesuksesannya, Raven dihancurkan. Ia menemukan Valeria dan Radja berkhianat di ranjangnya, lalu ditendang keluar dari perusahaan yang ia bangun dengan darah dan keringat. Dibuang seperti sampah tak berguna, Raven kehilangan segalanya dan berdiri di ambang kematian. Namun, takdir memberinya satu kesempatan terakhir: sebuah flash drive misterius berisi kode untuk AI yang revolusioner. Kini, sang arsitek digital yang terbuang telah kembali dari kegelapan. Bagaimana Raven merebut kembali kerajaan bisnisnya dan memastikan para pengkhianatnya hidup cukup lama untuk menyaksikan kehancuran total mereka ?
View More“Sialan! Keparat! Kurang ajar! Tidak tahu diuntung!”
Segala caci maki beradu tanpa jeda di dalam benak Raven Adyatma, CEO dan co-founder CyberShield. Langkahnya berat dan cepat, rahangnya terkatup rapat. Setelan kerjanya masih rapi, tapi ada kemarahan liar yang tak bisa disembunyikan dari tatapannya. Dia tidak datang untuk menghadiri rapat mingguan atau mengecek laporan rutin. Dia datang untuk mengkonfrontasi Radja, Sahabat sekaligus Co-founder CyberShield yang lain. Mereka membangun perusahaan ini dari nol.
Satu kilasan ingatan menghantamnya keras, punggung Valeria yang telanjang, suara desahan yang keluar dari mulutnya, dan tangan Radja yang menjelajah seluruh tubuh perempuan itu di tempat tidur mereka. Tubuh yang harusnya hanya miliknya.
Semua terekam jelas dari kamera kecil yang ia pasang diam-diam sebelum berangkat ke Tokyo beberapa hari yang lalu. Ia tak tahu kenapa ia melakukannya waktu itu. Firasat? Atau mungkin hanya insting.
"Mana si bedebah itu!?" Kemarahan, kesedihan, dan kekecewaan bercampur-aduk dalam hatinya.
Lantai 19 gedung CyberShield seharusnya tempat Radja berada. Namun kali ini, atmosfernya terasa lain. Tirta, satu dari programmer senior terbaiknya, melirik dari balik layar monitor. Tatapan singkat, tegang, tapi memberi peringatan yang jelas. Leo, dari meja seberang, bahkan tidak berpura-pura sibuk. Dia hanya diam, menatap Raven dengan sorot mata aneh.Langkah Raven melambat. Ada sesuatu yang tidak beres.
Saat hendak masuk ke ruangan Radja, Asistennya, Jane, seorang perempuan muda dengan clipboard dan ID card menggantung dari leher, menghadangnya.
"Pak Radja dan Ibu Valeria menunggu Anda di ruang rapat utama," ujarnya. Suaranya dibuat setenang mungkin..
Raven menyipitkan mata. "Valeria?" tanyanya dingin. "Sejak kapan dia punya urusan di kantor ini?"
Asisten itu menelan ludah, tapi tidak menjawab. Ia hanya mempersilakan Raven dengan isyarat tangan.
Dengan rahang yang mengeras, Raven menuju ke ruang rapat utama. Ruang berlapis kaca transparan yang sering ia ejek sebagai “akuarium eksekutif.” Kali ini akuarium itu menjadi tempat ia dijadikan tontonan.
Di dalamnya, Radja sudah duduk santai di kursi utama. Kursi yang biasa digunakan Raven memimpin rapat. Valeria berdiri di sisinya dengan ekspresi profesional yang dibuat-buat, mengenakan blazer gelap dan lipstik dengan warna yang tak pernah ia pakai selama ini.
Di sekeliling meja, para anggota dewan dan perwakilan investor hadir semua. Tidak ada kopi, tidak ada catatan agenda. Hanya wajah-wajah canggung, dan tatapan mata yang menghindar.
Radja tidak membuang waktu.
"Raven, terima kasih sudah datang," ucapnya dengan suara datar, seolah dia sedang membuka rapat rutin, bukan mengeksekusi pengkhianatan. "Beberapa hari ini, dewan telah melakukan evaluasi. Kami akan membawa CyberShield ke arah yang baru."
Suara itu menusuk. Formal. Dingin. Menghapus seluruh sejarah mereka dalam satu kalimat. Raven berdiri tegak di sisi meja, tubuhnya kaku, tapi matanya menyala.
"Arah baru apa?" potongnya. Nada bicaranya meninggi. "Apa yang kalian bicarakan?" Keringat dingin mulai merayap di tengkuknya. "Jadi selama aku pergi, kalian …?"
Sebuah suara lain muncul, lembut tapi mematikan.
"Yang kami butuhkan adalah pemimpin yang visioner," ujar Valeria dari kursinya, anggun dan tak tergoyahkan. "Bukan hanya pekerja keras. Seseorang yang bisa menjadi wajah perusahaan." Dia menatap langsung ke mata Raven."Dan itu bukan kamu."
Suaranya tidak meninggi. Justru karena itu, luka yang ia hasilkan terasa lebih dalam. Raven menahan napas, mencoba menguraikan makna kata-kata itu.
"Val, apa maksudmu? Dan... ngapain kamu di sini?"
Valeria membenarkan posisi duduknya, lalu tersenyum tipis.
"Tentu saja aku di sini untuk membantu kekasih baruku," katanya pelan.
"Menjalankan perusahaan miliknya ke arah yang baru."“Perusahaannya?” Kepalanya berdengung. Rasanya seperti peluru menembus dari dua arah sekaligus, logika dan harga diri. Kalimat itu meledak di dalam kepalanya, membangkitkan bayangan pengkhianatan yang mereka lakukan semalam.
"Apa maksudmu, Val? Aku yang membiayai kuliahmu sampai dapat gelar doktor Bisnis. Aku..."
Raven terdiam sesaat "Kau kekasihku. Dan sekarang, kekasihku sendiri ingin mengusirku dari perusahaan yang kubangun?"
Valeria menautkan jemari di atas meja, tetap tersenyum.
"Ehm... ralat. Mantan, Raven." Ia memandang Radja sejenak, lalu kembali ke Raven.
"Mulai hari ini, kita putus. Dan ya, kau benar. Kami akan mengusirmu."
Suara Raven pecah dalam ledakan kemarahan yang tak tertahankan.
"Bullshit macam apa ini?! Jangan bercanda!" bentaknya. Tangannya bergetar. "Aku yang membangun perusahaan ini! Aku yang menulis setiap baris kodenya! Aku pemegang saham individu terbesar!"
Radja menanggapi dengan senyum yang tak bisa lebih menyebalkan lagi.
"Di situlah kau salah," ujarnya pelan. Dia mengangkat tangannya dan menunjuk ke sekeliling meja.
"Saham gabungan kami sudah melebihi 51 persen. Jauh…diatas 51%. Kami adalah mayoritas sekarang, Raven. Suaramu tidak lagi berarti."
Radja tidak berhenti. Suaranya terdengar begitu mantap.
"Dan dengan investor baru yang akan masuk minggu depan," katanya, tangan masih disilangkan di dada, "kepemilikanmu akan terdilusi hingga menjadi tidak signifikan. Kau sudah tidak relevan di sini, Raven."
Raven hanya berdiri. Napasnya mulai dangkal, seolah tubuhnya baru menyadari bahwa semua oksigen di ruangan itu telah dicuri. Dia menoleh, mencoba membaca wajah-wajah yang dulu adalah timnya, keluarganya, sekutunya.
Tak ada satu pun yang membalas tatapannya.
Di depannya, Valeria menyodorkan sebuah amplop putih kecil. Rapi, halus, ringan.
"Ini kompensasi untuk... kerja kerasmu," ucapnya sambil tersenyum kecil. Senyum seseorang yang tahu bahwa hadiah ini akan lebih menyakitkan daripada peluru.
Raven mengambil amplop itu perlahan. Tangannya gemetar. Ia membukanya. Sebuah cek.
Dua puluh juta. Itu bahkan tidak cukup untuk membayar satu bulan seorang Senior Programmer. Tidak cukup untuk sewa apartemennya di pusat kota. Tidak cukup untuk harga sepatu Valeria yang ia belikan dua bulan lalu.
Ini bukan kompensasi. Ini penghinaan.
Radja berdiri, membenarkan jasnya. Matanya menyapu ruangan seperti hakim yang menutup sidang eksekusi.
"Dengan ini, atas nama dewan, Raven Adyatama tidak lagi menjadi bagian dari CyberShield. Berlaku sekarang juga."
Ia menoleh ke arah dua pria berbaju hitam di dekat pintu. "Keamanan akan mengantarmu keluar, Pak Raven."
Raven melangkah keluar dari gedung mewah itu, udara malam kota menyambutnya dengan dingin yang jujur. Lampu-lampu jalan dan riuh kendaraan di kejauhan terasa jauh lebih nyata dibanding percakapan penuh racun yang baru saja ia tinggalkan. Ia menarik napas panjang, membiarkan paru-parunya dipenuhi oleh dunia luar, mencoba meluruhkan ketegangan yang masih menempel di tubuhnya.Di seberang jalan, sebuah van hitam yang nyaris tak mencolok menunggu dengan mesin menyala. Raven melangkah cepat, membuka pintu gesernya, lalu masuk. Aroma kopi instan dan peralatan elektronik memenuhi ruang sempit itu. Leo sedang duduk, earphone menempel di telinga, matanya terpaku pada layar-layar monitor kecil yang menampilkan feed kamera tersembunyi.Begitu Raven menutup pintu, Leo buru-buru melepas earphone-nya dan menoleh. Wajahnya memancarkan kelegaan bercampur sisa ketegangan. “Gila, bro,” katanya sambil menghembuskan napas panjang. “Itu tadi tegang banget gue. Jujur aja, sempet ngira lo bakal luluh sama p
Valeria mengulurkan tangannya, menutupi jemari Raven dengan kedua tangannya yang hangat dan gemetar. Ia menatap dalam, seakan ingin menembus lapisan pertahanan yang selama ini dijaga Raven mati-matian. “Kita bisa menjadi tak terkalahkan, Rave,” bisiknya, suaranya penuh getaran emosi yang dibuat begitu meyakinkan. “Seperti yang seharusnya. Seperti yang seharusnya kebahagiaan kita terjadi. Tolong, lupakan masa lalu. Pikirkan masa depan.”Raven menatap tangan itu, merasakan kilatan memori menyeruak, memori tentang masa ketika mereka berdua bermimpi di ruang kantor kecil, menulis visi yang sama di papan tulis butut, tentang dunia digital yang aman bagi semua orang. Tapi kemudian tatapannya bergeser ke mata Valeria. Ada sesuatu di sana, obsesi yang dibungkus dengan air mata. Entah untuknya atau hanya untuk sesuatu yang bisa ia berikan.“Rave, jangan…” suara Clara pecah di telinga Raven, sedikit lebih keras dari biasanya. Ia panik, hingga nadanya sedikit bocor keluar dari earpiece Raven.
“Langsung saja ke intinya, Val. Apa maumu?” suara Raven terdengar tenang, tapi di baliknya ada tebing curam yang tak terlihat. Ia tak ingin membuang waktu dengan basa-basi.Valeria tersenyum simpul, sedikit miring, lalu tertawa kecil. “Raven, oh Raven. Kau tak berubah ya, Sejak dulu kau selalu tidak sabaran, selalu ingin tahu isi permainan sebelum gilirannya dimulai.” Tawa itu ringan, hampir menggoda.Namun Raven tidak membalas. Tatapannya dingin, tidak bergeming. Keheningan itu cukup untuk membuat senyum Valeria perlahan pudar. Ia menarik napas, lalu merubah ekspresinya. Kini wajahnya tampak lebih tenang, bahkan serius.“Oke,” katanya akhirnya, suaranya menurun beberapa oktaf. “Pertama-tama, aku ingin meminta maaf. Untuk segalanya.” Jemarinya menggenggam gelas anggur yang belum disentuh, seakan mencari pegangan. “Aku nggak tahu kenapa waktu itu aku mengkhianatimu. Aku… aku buta. Ambisi, ketakutan, semuanya bercampur. Tapi sekarang aku sadar. Itu salah.”Matanya mulai berkaca-kaca. Ca
Di tengah penemuan yang mengguncang itu, kemenangan mereka atas Radja terasa hambar. Biasanya, berita tumbangnya seorang lawan besar akan menyalakan sorak atau tawa lepas, tapi kini tak seorang pun di ruang bunker itu mengeluarkan suara. Mereka sadar, yang mereka kalahkan hanyalah pion dalam papan catur yang jauh lebih luas. Kemenangan ini ternyata sekadar jeda kecil dalam perang yang lebih gelap, lebih tua, dan lebih berbahaya dari yang pernah mereka bayangkan.Ponsel Raven bergetar di atas meja. Bunyi itu memecah hening seperti retakan kecil di dinding. Sebuah pesan singkat diterima dari Valeria. "Sudah selesai. Kapan kita bertemu?"Raven menatap layar ponsel itu cukup lama, seakan mencoba menembus huruf-huruf digital di hadapannya. Di layar lain, laporan dari Dominion masih terbuka, dengan nama Ezio yang kini terasa menatap balik padanya. Dua ular berbeda, satu berwajah Valeria dengan senyum manis penuh racun, satu lagi Dominion dengan mata tak terlihat yang sudah lama mengawasi. D
Halaman pertama file itu terbuka dengan gambar yang sederhana, tapi justru paling menghantam Raven. Foto dirinya saat wisuda S1, bertahun-tahun lalu. Wajah muda dengan senyum tipis, toga hitam yang tampak kebesaran, dan tatapan penuh harapan tentang masa depan. Saat itu, ia sama sekali belum tahu bahwa ada lensa asing yang mengabadikannya, bukan sebagai kenangan, tapi sebagai data.Freya menahan napas, jarinya terus menggulir halaman demi halaman. Muncul deretan teks yang tersusun rapi. Transkrip percakapan telepon. Ada yang dengan sahabat lamanya, ada pula yang dengan seorang dosen pembimbing. Beberapa di antaranya begitu pribadi, dengan Radja, dengan Valeria, termasuk pembicaraan tentang mimpinya mendirikan perusahaan sendiri, dan rencana awal membangun CyberShield dari nol.Clara mencondongkan tubuh, suaranya bergetar. “Mereka tahu… sampai sedetail ini? Nggak ada yang terlewat.”Laporan lain menyusul. Catatan pergerakan Raven selama tahun-tahun awal berdirinya CyberShield. Detail j
Kantor Radja yang biasanya penuh wibawa malam itu terasa sesak. Telepon di mejanya berdering keras, memecah keheningan. Begitu ia mengangkat, suara marah langsung membanjiri ruangannya.“Apa-apaan ini, Radja?!” seru suara pria tua yang marah, salah satu anggota dewan, menggema di seberang. “Kau menjual aset di belakang kami?! Divisi R&D? Tanpa persetujuan rapat dewan? Apa kau sudah gila?!”Radja menegang, keringat dingin membasahi pelipisnya. “Tunggu dulu, kalian salah paham,” katanya terbata. “Aku tidak benar-benar menjual. Itu hanya… langkah antisipasi. Rencana cadangan kalau…”“Jangan berani-beraninya berbohong pada kami!” suara lain, seorang perempuan dari dewan, memotong kasar. “Kami mendengar rekaman suaramu dengan jelas. Kau mengakui niat menjual aset vital tanpa restu dewan. Apa kau tahu apa arti ini? Kau sudah melanggar konstitusi perusahaan.”Radja berdiri dari kursinya, berjalan mondar-mandir dengan tangan gemetar. “Itu… itu tidak sepenuhnya benar! Rekaman itu bisa saja dim
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments